“Mas, jawab! Kenapa diam saja? Siapa Raka dan apa hubungan anak itu dengan Mas?” aku berteriak menanti penjelasan darinya. Suamiku nampak semakin gugup dan berkeringat. Aku perhatikan jakunnya naik turun tanda keresahan yang semakin tinggi. Bola matanya saja tidak berani menatapku. Aku tahu Mas Edwin pasti punya rahasia.
“Raka itu … sebenarnya … anak ….” Mas Edwin kembali mengusap wajahnya yang berkeringat dengan sapu tangannya. Sedangkan aku masih menanti lanjutan kalimat sampai mulutku setengah terbuka.“Apa, Mas? Kenapa gugup? Jawab saja siapa Raka?” tanyaku lagi yang terus menekannya. Jika sudah tak cinta, ingin sekali aku garuk wajah suamiku yang saat ini sangat menyebalkan.“Raka itu … mm … anak … anak angkat saya, Ria,” ucap Mas Edwin dengan terbata. Aku berjalan mendekat padanya dengan langkah pelan dan penuh penasaran. Lelaki itu, lagi-lagi membuang pandangannya dariku.“Aku tahu kamu jujur, Mas. Tapi coba katakana padaku, kenapa harus ada nama hidayat di belakang nama Raka? Apa kamu juga yang memberikannya?” “Kamu ini aneh! Pulang sana! seperti polisi sedang menginterogasi pencuri saja. Pekerjaanku masih banyak. Jadi tolong pulang!” Mas Edwin menunjuk pintu yang ada di samping kami saat ini. Satu hal yang baru sekali ini ia lakukan padaku. Yaitu mengusirku dari ruangannya. Sungguh keterlaluan.“Aku rasa tak ada yang salah dengan pertanyaanku, Mas? Kenapa ada nama Hidayat di belakang nama Raka?” tanyaku lagi sambil menekan suara. Menahan emosi yang membuat dadaku sangat sesak saat ini. Air mata masih dengan senang hati turun membasahi pipi. Aku pun bingung untuk apa aku mengisi lelaki di depanku yang kini sudah sangat berubah.Tiba-tiba saja Mas Edwin meraih tanganku, lalu ia bawa untuk ia kecup. Begitu dalam kami saling bertatapan dan kulihat sorot cinta yang terbaca dari dalam sana, masihlah sama. Sekali lagi dia mencium tanganku, lalu membawaku duduk di sofa. Aku hanya menurut saja, karena siang ini aku merasa tak begitu bertenaga. Kulteakkan bokongku di sofa empuk itu dengan tangan masih dalam genggamannya.“Sayang, kamu mau curiga apa? Kamu ‘kan tahu aku impoten. Apa kamu mencurigai Raka anakku? Sayang, tolong percaya aku ya. Raka anak temanku yang cukup dekat denganku dan ibu. Teman dari SMA sampai kuliah. Jadi, bagi ibu anak wanita itunadalah cucunya sendiri, dan aku pun begitu terhadap Raka,” terangnya dengan suara begitu lembut dan mendayu. Aku ingin melepas genggaman ini dari tangannya, tetapi tidak bisa. Mas Edwin memegangnya terlalu kuat.“Kamu harus percaya saya. Nama ayah Raka itu Hidayat dan aku mendaftarkan diri sebagai ayah sambung yang resmi dengan memakai nama Hidayat juga. Gak papa’kan?” ujarnya dengan penuh kelembutan. Kuberaniklan diri menatap bola matanya dengan tajam untuk beberapa saat. Lalu dengan pelan aku mengangguk. Mas Edwin membawaku ke dalam pelukannya, lalu membiarkan aku menangis untuk beberapa saat di dekapannya. Dada yang begitu hangat dan selalu ada untukku selama enam tahun ini. Kenapa aku jadi meragukannya?“Sudah, jangan menangis! Kamu harus sabar dan sedikit tahan emosi jika berhadapan dengan Raka ya. Anak itu tak pernah kenal dengan orang lain selain mamanya, ibu guru, dan juga aku sebagai ayahnya. Maafkan aku sudah membuatmu khawatir,” ujar Mas Edwin lagi menenangkan isakanku.Dua jam setelah semua masalah terurai, aku pun memilih pulang ke rumah saja. Mas Edwin masih ada rapat dan berkata akan pulang lebih larut dari biasanya. Kukendarai mobil dengan perasaan lebih tenang, setelah aku memutuskan untuk memaafkan dan melupakan kecurigaanku pada Mas Edwin. Mana mungkin suamiku punya anak di luar nikah? Sedangkan senjatanya tidak bisa bangun. Sebelum benar-benar sampai rumah, aku memutuskan untuk mampir di sebuah toko mainan besar. Aku berharap cara ini berhasil sedikit mendekatkanku pada Raka.Aku masuk ke toko mainan dan memilih beberapa mainan lego dan mobil dengan remot sebagai hadiah untuk Raka. Mulai hari ini aku putuskan untuk mendekatkan diri dengan anak angkatku dengan segala tingkah polahnya. Aku yakin, dia pasti akan sangat senang dengan lima hadiah yang aku berikan. Setelah membayar semua belanjaanku dengan kartu kredit Mas Edwin, aku pun kembali mengendarai mobilku menuju rumah. Pintu pagar sedikit terbuka dan aku menekan klaskon mobil beberapa kali. Sepertinya ada tamu. Ah, iya. Aku baru saja teringat dengan guru les Raka yang mulai hari ini dan seterusnya mengajarkan Raka pelajaran sekolah.“Mang, ada tamu ya?” tanyaku pada Mang Dirman begitu aku keluar dari mobil. Sebuah motor Ho**a Scoo** terparkir manis di dekat mobil baruku.“Guru les Den Raka, Non. Baru lima belas menit,” jawab Mang Dirman sambil tersenyum. Aku pun mengangguk paham, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Tak lupa kuucapkan salam sebelum kaki kananku menapak di lantai ruang tamu.“Assalamuaalaykum,” seruku. Namun, tak kulihat ada siapapun di sana. hanya sepasang sepatu sandal milik seorang wanita yang aku yakin adalah kepunyaan guru les Raka. Di mana semua orang? Tanyaku dalam hati. Kakiku melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air dan memasukkan ke dalam tenggorokanku yang kering. Karena terlalu lebay menangis saat di kantor Mas Edwin, aku sampai lupa untuk membasahi tenggorokanku.Aku berjalan ke ruang belakang, tempat Bik Isa biasa menyetrika. Benar saja, wanita setengah baya itu tengah menggoyangkan pinggulnya ke nana dan ke kiri, mengikuti irama musik yang berasal dari ponselnya. Aku pun berbalik untuk masuk ke kamarku, tetapi kaki ini malah membawa melangkah menuju kamar Raka. Paling tidak, ia harus berkenalan dulu dengan guru anaknya, agar dapat berkomunikasi seputar perkembangan Raka dalam mengikuti pelajaran.Tok!Tok!Klek!Kutekan knop pintu, lalu membuka pintu itu dengan lebar. Dua pasang mata menatap ke arahku dengan kaget. Aku pun sama. Lalu, dengan membuat mimik wajah sewajar mungkin, aku tersenyum ramah, lalu berjalan masuk ke dalam kamar tanpa menutup pintu terlebih dahulu.“Halo, sore, Bu. Saya mama Raka. Perkenalkan nama saya, Maria. Biasa dipanggil Maria,” ucapku memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan untuk berjabat. Wanita itu pun ikut tersenyum manis dan menyambut uluran tanganku.“Saya Mila, guru les Raka sejak masih TK,” ucapnya memperkenalkan diri. Satu hal yang kutangkap dari wanita berkerudung dengan wajah manis ini. Suaranya begitu lembut dan sangat terlihat sebagai guru yang penuh kelembutan.“Saya tinggal sebentar ya, Bu Mila. Saya baru saja dari luar. Nanti kita bicara lagi. oh iya, Raka. Mama punya hadiah mainan untuk Raka, tetapi setelah belajar nanti bukanya ya,” kataku pada anak lelaki tampan itu. raka menoleh pada Bu Mila, lalu dengan instruksi gerakan kepala wanita itu, Raka pun kembali menoleh padaku. “Terima kasih, Tante,” ucapnya sambil tersenyum tipis. Tak apa, begini saja sudah lebih baik. Aku pun membalas senyuman Raka, lalu bergegas meninggalkan kamarnya untuk segera masuk ke kamarku.Aku pun mandi dan melakukan hal yang merilekskan tubuhku. Mulai dari menggunting kuku, mengeringkan rambut, membaca majalah, hingga tak terasa aku pun ketiduran. Aku membuka mata, saat tiba-tiba seperti ada yang membangunkan.“Loh, Mas, kok udah pulang?” tanyaku sambil berusaha duduk di tengah rasa lemas seluruh persendianku. Lelaki itu berjalan menjauh, lalu membuka bajunya satu per satu.“Kamu harusnya lihat langit di luar sana. masih terang atau sudah gelap,” katanya sembari menertawakanku. Bergegas kau turun dari ranjang, lalu mengintip dari balik jendela. Ya Tuhan, lagit sudah gelap sekali. Kulihat jam di dinding, lalu angka tujuh tertera di sana.“Ya ampun, Mas. Aku terlewat salat Ashar dan magrib,” kataku sambil menggaruk rambut yang tidak gatal. “Ya sudah, sana wudu! Aku mau segera mandi,” katanya lagi dengan tubuh bagian bawahnya terlilit handuk. Aku berjalan mendekat, lalu memeluknya dengan sangat agresif. Ya Tuhan, terkadang aku mengutuk diri sendiri kenapa sangat mesum pada Mas Edwin.“Ada apa?” tanyanya sambil mencoba melepas pelukanku.“Aku mau kamu, Mas,” rengekku manja.“Jangan mulai, Ria. Kamu tahu aku gak bisa,” jawabnya sambil memutar bola mata malas.“Mas, mm … kan dia gak bisa gagah gitu ya, Mas? Mmm … kalau dikasih air keras, bisa keras gak?”“Hah?! Apa?”Bersambung
Aku keluar kamar dengan langkah gontai. Mas Edwin lagi-lagi menolakku dengan ketusnya. Sekeras apapun aku berusaha mencobanya, sekeras itu pula ia menolakku. Sudahlah, sepertinya mengisi perut terlebih dahulu lebih baik. Setelah itu baru aku memberikan banyak mainan yang sudah kubeli pada Raka. Suara canda tawa dari ruang makan membuat indera pendengaranku terusik. Itu bukanlah suara Bik Isah. Kuambil langkah lebar agar bisa lebih cepat sampai di ruang makan.Mila;guru les Raka masih ada di ruang makanku sedang bercanda dengan anak lelaki itu. aku berjalan mendekat. “Wah, maaf Bu. Tadi saya ketiduran. Sampai lupa kalau ada Bu Mila,” ujarku berbasa-basi sambil menarik kursi tepat di depan wanita itu.“Gak papa, Bu. Maaf juga saya masih di sini, soalnya belum boleh pulang sama Raka,” sahutnya sambil mengusap rambut anak lelaki itu.“Oh, Raka … Bu Mila harus pulang. Ini sudah malam. Kasian keluarga
Aku merasa seperti sedang bermimpi, sampai menyadari bahwa ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus aku telan dalam pernikahanku. Apa yang dilakukan Mas Edwin saat ini sudah kelewat batas dan aku harus bergerak cepat sebelum hal lebih buruk dari ini terjadi dalam rumah tanggaku. Semakin jam berputar cepat, semakin aku khawatir akan suamiku yang sudah cukup larut, tetapi belum juga pulang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba menghubungi nomor ponselnya. Sial! Ponsel itu bordering dari atas meja. Nampaknya Mas Edwin melupakan ponselnya.Seketika aku menemukan ide. Segera aku turun dari ranjang, lalu meraih ponsel itu. Kutekan nomor yang biasa suamiku pakai sebagai pin ponselnya. Namun sayang, sepertinya Mas Edwin sudah mengganti pin ponselnya. Aku semakin gusar dengan mengacak-ngacak rambutku yang panjangnya sudah sebahu. Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembil menggigit kuku ibu jari karena rasa gugup sekaligus khawatir. &ld
"Jika kamu merasa berat dengan keadaan kamu yang masih perawan sampai saat ini, aku mengijinkanmu poliandri." Ria melotot mendengar ucapan suaminya. Secepat kilat ia duduk, lalu menarik tangan baju piyama Edwin."Mas, maksud kamu apa? Aku kamu suruh punya suami dua? Suami satu aja aku ngurus otaknya aja belum benar! Mikir dong, Mas! Jangan asal bicara. Memangnya istri kamu ini pelacur, bisa digilir seenaknya!" cecarku tak terima. Lelaki itu pun mendengkus kesal, lalu duduk sejajar denganku sambil berwajah masam. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kuat."Jadi mau kamu apa, Ria? Bicara yang jelas. Jangan bertele-tele," katanya lagi padaku sambil melotot."Aku mau kamu berobat dan aku mau Bu Mila tidak perlu tinggal di sini. Dia bisa tetap kos di tempat lain. Aku gak suka ada wanita lain di rumah ini, selain Bik Isah dan aku, Mas!""Kamu egois! Dua-duanya maumu takkan aku penuhi. Aku tidak mau ke dokter dan aku tidak mau mengusir Bu Mi
Mobil Mas Edwin baru saja meninggalkan pekarangan rumah. Suamiku itu ke kantor sambil mengantar Raka ke sekolah, sekaligus menumpangi Bu Mila sampai di TK-nya. Sungguh pemandangan yang sangat manis dan harmonis antara ibu, anak, dan ayahnya. Jika ada orang yang melihat sekilas, tentulah takkan ada yang tahu, bahwa ketiganya orang yang tak memiliki garis keturunan sedarah.Aku mengintip dengan jengah dari jendela kamar. Beberapa foto sudah aku dapatkan saat mereka sarapan pagi bersama sambil bercengkrama, dan juga foto manis saat memasuki mobil barusan. Yah, buat jaga-jaga saja, siapa tahu suatu saat foto ini aku butuhkan.Mang Dirman segera menutup pintu pagar, lalu kembali ke pos jaganya. Suamiku yang paling anti menggunakan mobil ke kantor, pagi ini mendadak bersembangat. Apakah ia berniat untuk menikahi guru les Raka? Mau dia buka perawannya pakai apa? Tang? Martil? Mesin bor? Sungguh lucu suamiku ini. Aku terus saja bermonolog dengan gemas sekaligus kesal
"Terserah, kalau kamu mau ribut di sini, mari kita selesaikan di sini," ucapku dengan menahan geram. Kami semua, termasuk wanita yang bersama suamiku berada di ruang kepala sekolah. Keributan yang sengaja kubuat karena kesal bercampur amarah, telah mengakibatkan kami bertiga digiring ke kantor kepala sekolah.Aku tak ingin berdamai. Walau berkali-kali suamiku mengatakan bahwa aku salah paham. Tak mungkin aku jelaskan semua duduk persoalan pada pihak sekolah Raka'kan? Bisa malu lelaki itu jika mulut ini tak tahan untuk meneriakinya suami tak tahu diuntung."Kamu salah paham, Ria?" katanya lagi sambil memelas di depan wajahku. Namun aku bergeming, sengaja kubuang muka agar tak melihat wajah dramanya. Aku tahu ini semua hanya lakon saja. Begitu sampai di rumah bisa dipastikan pipiku merah terkena tamparannya."Begini, berhubung ini masalah rumah tangga, sebaiknya Bapak dan Ibu menyelesaikan di rumah saja. Tidak baik dan tak b
Aku menangis sejak kepergian Mas Edwin. Lelaki yang aku nikahi dengan dasar cinta sama cinta. Kami memadu kasih layaknya kebanyakan orang. Tidak terlalu intim, tidak juga renggang. Setahun saling mengenal membuat kami berkomitmen untuk meneruskan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Aku mengetahui teman-temannya. Aku juga mengetahui lingkungan kerjanya yang saat itu sudah menjabat seorang manager di sebuah hotel bintang lima Jakarta.Dia lelaki baik, royal, dan bertanggung jawab. Meskipun jarang bersikap romantis, tetapi aku tahu lelaki itu mencintaiku. Sehingga aku berani mengangguk setuju saat Mas Edwin mengajakku menikah. Tak ada kecurigaan terlalu berlebihan terhadap lelaki itu, karena memang aku mengenal cukup baik semuanya. Termasuk keluarga besarnya.Namun kini yang terjadi di depan mataku, sebuah kenyataan yang tak pernah ada dalam benakku sebelumnya. Begitu banyak yang terjadi dalam beberapa hari ini. Bumi tempatku berpihak seak
Pagi ini, Bik Isah kembali muntah-muntah setelah membuka bungkusan yang ternyata berisi cacing. Tepatnya ulat bulu. Karena kaget, Bik Isah meneriakinya cacing. Bahkan kotak itu terlepas dari tangannya karena sangat geli dan jijik dengan banyaknya ulat bulu di dalam kotak.Aku pun berteriak histeria hingga Mang Dirman datang dan menyemprotkan ratusan ulat bulu itu dengan cairan pembunuh serangga. Aku berlari masuk ke dalam kamar, sedangkan Bik Isah muntah-muntah hingga tak bisa bangun lagi."Mang, ayo bawa Bik Isah ke dokter," seruku pada lelaki yang kini tengah menyiram tanamanku. Mang Dirman menoleh, kemudian mengangguk, lalu menangkap kunci mobil yang aku lemparkan ke tangannya.Selagi Mang Dirman memanaskan mobil, aku pun bersiap dengan memakai pakaian sederhana, tanpa make up. Kedua mataku masih bengkak, sisa menangis semalam. Hanya pelembab dan juga lipglos yang kuoles tipis.Mang Dirman sudah membawa
POV EdwinBenar-benar Ria mengerikan. Rekeningku dikuras habis olehnya. Hanya tersisa beberapa ratus ribu saja di dalamnya. Hal inilah yang membuatku merasa begitu kesal dan kecewa. Saat melapor pada ibu, bukannya dibela, aku malah disalahkan karena sudah mempercayai semua harta bendaku atas nama Maria. Aku pun tak bisa menyanggah karena ibu tak tahu keadaanku saat ini. Jika aku jujur, maka tamatlah riwayatku sebagai anak. Masalah Raka aku pun belum berani jujur. Sungguh hidup yang dipenuhi kebohongan kecil, ternyata akan mendatangkan kebohongan-kebohongan lainnya.“Jadi, malam ini kalian semua tidur di rumah ibu?” tanya ibuku dengan suara terdengar keberatan.“Iya, Bu. Besok, saya akan cari kontrakan untuk tinggal bersama Raka,” jawabku dengan lemas.“Trus, siapa yang menjaga Raka? Bu Mila? Apa Bu Mila bersedia menjadi
Edisi Malam Jumat"Wajahmu mengerikan sekali." Zamir menatap sinis Rena yang masih mendekam dalam penjara. Hari ini adalah tahun keenam ia dihukum. Masih ada empat tahun lagi yang harus ia lewati di dalam penjara untuk membayar semua perbuatannya yang telah merugikan banyak orang, sekaligus melakukan tindakan hampir membunuh seseorang dengan sengaja."Kalau lu kemari cuma mau mengejek gue, sebaiknya lu pergi aja!" Rena bangun dari duduknya dan bermaksud meninggalkan Zamir. Lelaki teman tidurnya sekaligus lelaki yang membuat semua rencananya yang hampir menguasai harta Erlan berhasil."Raka menikah hari ini. Pestanya sangat meriah. Apa kau tidak ingin lihat, bagaimana kebahagiaan kembali padanya? Heh, wanita yang pernah ia nikahi, kembali menjadi istri sahnya dan kau tahu, dia akan menjadi salah satu penerus keluarga Teja Corp. Ah, satu lagi ... Erlan juga
PTM 48Hari pernikahan besar antara Siwi dan Raka digelar di sebuah hotel bintang tiga milik Teja yang baru saja sebulan resmi beroperasi. Berlangsung di ballroom yang cukup megah dan luas, pasangan Siwi dan Raka-lah yang pertama kali menggunakan tempat itu sebagai lokasi sakral mengucapkan janji suci pernikahan. Ruangan yang dengan kapasitas menampung maksimal kurang lebih seribu lima ratus orang. Namun tidak perlu khawatir dengan kapasitas maksimum itu, karena tamu dijamin tidak akan berdesakan dan penuh karena area foyer dari ballroom ini sangat luas.Ada yang menarik dari acara pernikahan anak pemilik hotel baru di Jakarta ini, tidak adanya pelaminan megah, tempat tamu memberikan doa dan selamat. Lalu di mana kedua pengangtin itu akan duduk? Siwi dan Raka memiliki konsep bahwa mereka yang akan berkeliling menyambut tamu yang datang. Kenapa tidak ada pelaminan dalam sebuah pesta pernikahan? Bukankah pelaminan itu hal wajib dalam sebuah pe
6 Tahun KemudianHari Sabtu yang begitu dinantikan oleh anggota keluarga besar Teja dan Ria pun tiba. Hari yang akan dilangsungkannya pesta ulang tahun Ayumi; cucu mereka yang telah berusia delapan tahun.Pesta digelar dengan meriah di dalam rumah Teja yang baru saja selesai direnovasi. Yah, setali tiga uang. Sambil mengadakan pesta ulang tahun, Teja juga mengadakan syukuran acara rumah barunya yang semakin bagus dan mewah. Ada beberapa tamu artis dan petinggi yang datang memberikan selamat.Pesta yang digelar di dalam ruangan, tetapi juga tamu dipersilakan untuk menikmati pemandangan luar rumah yang sangat asri. Teja berhasil mendesign rumahnya dengan ide dan sesuai keinginannya sendiri. Begitu melihat hasilnya, ia sangat puas.Semua tamu yang datang ke rumahnya tentu saja membawa banyak kado untuk Ayumi. Gadis kecilnya yang semakin hari semakin cantik d
Rena terus saja menggaruk tubuhnya yang terasa sangat gatal. Tidak hanya di kedua kaki dan tangan, Rena juga mengalami rasa gatal di leher dan juga wajahnya. Entah apa yang terjadi sehingga tahanan lain tidak mau satu sel dengan Rena, karena amat jijik dengan bau busuk serta kudis yang muncul di permukaan kulit wanita itu.Seorang dokter sudah didatangkan untuk memeriksa Rena dan ia pun sudah diberikan salap dan juga obat yang harus diminum sehari tiga kalia agar rasa gatalnya hilang. Namun sangat disayangkan, wanita itu masih terus menggrauk seluruh tubuhnya. Jangankan tahanan lain, sipir penjara dan pengacaranya saja tidak sanggup duduk berlama-lama di dekat karena karena bau bangkai seperti bangkai tikus tercium hidung mereka. Rena pun hampir frustasi dengan keadaannya yang sangat menyedihkan. Tidak ada siapapun yang bisa menoleongnya, karena kedua orang tuanya juga masuk ke dalam penjara, karena kasus penggelapan
PTM 44Kondisi kesehatan Evan berangsur pulih. Polisi menjadwalkan reka ulang kejadian esok hari. Kepada pihak kepolisian, Evan sudah mengakui kesalahannya atas penyekapan berencana bersama tiga orang pria suruhannya. Semua itu ia lakukan karena sakit hati—merasa dipermainkan oleh Siwi. Jejak ciuman Siwi dengan Raka yang nampak di matanya, membuat lelaki itu buta dan nekat melakukan kejahatan yang belum pernah ia lakukan.Erlan pun sudah mulai pulih, tetapi masih dirawat di rumah sakit, karena kepalanya masih sering sakit. Lelaki itu belum mengetahui perihal pengakuan Evan dan Rena yang sudah mendekam di jeruji besi. Pak Sulis yang meminta pada pihak kepolisian untuk menahan diri memberitahukan apapun pada Erlan, karena Erlan memiliki riwayat penyakit jantung.“Siapa kamu?” tanya Erlan pada wanita bertubuh semok yang tengah duduk termenung di sofa kamar perawatannya. Wanita itu menoleh, lalu dengan sigap be
Siwi terbangun berjam-jam berikutnya. Sinar matahari pagi yang masuk ke kamar perawatannya, membuat Siwi merasakan matanya sedikit silau. Setelah matanya dapat menatap jelas langit-langit kamar, Siwi pun merenggangkan ototnya yang kaku. Kulitnya terasa tertarik dan begitu kebas karena tangannya terlalu lama diikat pada sisi tempat tidur.Jika kemarin ia belum terlalu merasa ya nyeri di sekujur tubuhnya, tapi pagi ini tubuhnya terasa sangat sakit. Siwi menoleh ke samping, tepatnya ke arah sofa. Papa dan mamanya tengah terbaring dengan lelap. Entah pukul berapa mereka baru tidur setelah menjaganya semalaman. Jam di dinding sudah menunjukkan angka sembilan dan Siwi mulai merasakan cacing di dalam perutnya melakukan orasi.Siwi ingin bangun setengah duduk untuk mengambil air, tetapi tubuhnya tidak mampu digerakkan. Kali ini ia meringis saat merasakan nyeri pada pinggang dan juga pangkal lengan. Merasa ada pergerakan dari brangkar putriny
Rena sudah meninggalkan kota Jakarta dengan menyewa mobil rentalan. Wanita itu ketakutan dan kabur keluar kota tanpa membawa banyak barang. Ia terlanjur takut akan kedatangan polisi ke apartemennya. Rena hanya membawa satu tas koper kecil dan beberapa surat berharga suaminya dan juga berkas-berkas usaha showroom miliknya.Awalnya pemilik rental tidak mengijinkan karena tidak menyertai sopir dari mereka. Namun Rena bersikeras ingin menyetir sendiri, sambil memberikan uang rental yang ia berikan dua kali lipat. Tentu saja pemilik rental tergiur dengan uang sepuluh juta di depan wajahnya. Rena juga berani meninggalkan KTP-nya sebagai barang bukti, jika ia tidak kembali dalam waktu tiga hari.Rena juga memberikan alamat orang tuanya (palsu) sebagai bukti kuat bahwa ia tidak mungkin melarikan diri membawa mobil rental yang ia pilih sangat biasa saja.Rena berhenti di rest area saat ponselnya berdering. Lelaki yang selalu saja m
["Apa? Evan sekarat? Papa jangan sembarangan bicara! Dia ke kantor tadi. Oke,oke ... Erlan segera kembali ke Jakarta dan langsung ke rumah sakit."]Erlan menekan gas mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sebelah tangannya memegang setir, sebelah lagi terus menghubungi Rena. Karena tak kunjung diangkat oleh istrinya, Erlan memutuskan untuk meninggalkan pesan suara.["Evan sekarat di rumah sakit XXX. Aku harap kamu ke sana sekarang! Aku sudah berada di tol, mungkin dua jam lagi baru sampai."]SendRena baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya segar dan wangi karena memakai sabun dan lulur yang baru saja ia beli dari salah seorang temannya. Konon, lulur ini sudah didoakan oleh seorang dukun sehingga setiap wanita yang memakainya akan selalu terpancar aura kecantikan dan juga aroma tubuh yang memabukkan setiap pria.Kopernya
Tangan Raka diborgol, lalu digiring masuk ke mobil polisi. Sedangkan Siwi masuk ke dalam ambulan ditemani oleh salah satu polwan. Siwi masih menangis tersedu melihat Raka yang menunduk di dalam mobil. Lelaki itu tidak mengatakan apapun, selain menitipkan Ayumi padanya. Jika Raka akan langsung dibawa ke rumah sakit, maka Raka langsung mendekam di penjara.Mendengar putrinya berada di rumah sakit, Teja dan juga Ria segera meluncur ke sana. Pihak rumah sakit tidak mengatakan apapun perihal Siwi. Mereka hanya mengatakan bahwa putri mereka sedang berada di rumah sakit dan dalam keadaan tidak baik-baik saja.Teja mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Pikiran buruk akan kemalangan putrinya semenjak munculnya Raka, membuat lelaki itu kesal. Di dalam hatinya pun menyimpan dendam pada Raka, jika sampai terjadi sesuatu pada putrinya."Pelan, Pa. Jangan sampai kita juga celaka karena Papa tida