Share

Bab 6

Setelah mengetik dengan cepat di papan ketik, senyuman tipis muncul di wajah kecil Steven, dia bergumam, “Selesai!”

“Steven, kamu yakin ini aman? Ayah kita itu adalah pemimpin konglomerat besar di Kota Rom, dia bisa dengan mudah tertipu?”

Stegen masih meragukan rencana ini, karena dia tahu Samuel bukanlah orang biasa. Perasaan campur aduk muncul di hatinya. Di satu sisi, dia bangga memiliki ayah yang begitu berkuasa, tetapi di sisi lain, dia merasa sedih karena ayahnya meninggalkan mereka.

Mata indah Steven menampakkan sedikit kesedihan, dia menjawab, :Tenang saja, dia pasti akan datang. Aku sudah meneliti hubungan antara pria itu dengan putrinya selama hampir enam tahun ini. Dia benar-benar memanjakan anaknya. Mengingat saat ulang tahun gadis kecil itu, pria itu bahkan memberinya sebuah istana, istana sungguhan.”

Mendengar hal ini, mulut Stegen menganga lebar. Dia merasa iri karena tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah.

Meski ibu mereka sangat baik, tetap saja kasih sayang seorang ayah berbeda dengan kasih sayang seorang ibu.

Stegen menunduk, merakit mainan lego dengan suasana hati yang muram.

Steven menepuk bahunya dan berkata, “Jangan terlalu dipikirkan. Kita sudah punya ibu yang luar biasa, yang lainnya … hanya tambahan saja.”

Keduanya memandang keluar jendela, larut dalam keheningan. Meski mereka berusaha tampak tidak peduli, di dalam hati mereka tetap ada perasaan benci terhadap ayah yang melahirkan mereka, tetapi tidak bertanggung jawab mengasuh mereka.

Keesokan paginya, Selina tidak bisa bangun. Dia merasa lemas dan terbaring di ranjang.

Setelah melahirkan Steven dan Stegen, tubuhnya melemah karena tidak sempat beristirahat dengan baik, akhirnya meninggalkan masalah kesehatan.

“Ibu, aku bawakan air hangat untukmu.”

Ujar Stella dengan hati-hati, membawakan cangkir menuju ranjang. Wajahnya yang manis membuatnya terlihat seperti malaikat kecil.

Hati Selina terasa pilu, dia buru-buru mengambil cangkir dari tangan Stella dan berkata, “Sini, berikan pada tante. Kamu masih kecil, jangan lakukan ini, ini berbahaya. Bagaimana kalau kamu terkena air panas?”

“Ayah yang mengajarkanku. Kalau sakit perut, nggak boleh makan makanan ringan, harus minum air hangat. Tante, kamu sakit perut karena kebanyakan makan makanan ringan?”

Tanya Stella dengan wajah polosnya.

“Ehm.” Ekspresi wajah Selina memuram. Bagaimana dirinya bisa menjelaskan pada anak kecil ini tentang menstruasi?

“Stella akan mengerti nanti saat sudah dewasa,” jawab Selina dengan sedikit mengelak.

Stella mengangguk pelan, walau tampak sedikit bingung, dia melanjutkan, “Kalau ayah ada di sini, dia pasti bisa memijat perutmu. Dulu, waktu aku sakit perut, ayah akan memijatku.”

Ujar Stella dengan pelan, lalu tiba-tiba mengangkat kepalanya dengan tersenyum ceria, lalu berkata, “Ibu, biar Stella yang memijat perutmu.”

Belum sempat Selina menjawab, Stella sudah memanjat ke atas ranjang, menaruh tangan kecilnya yang lembut di atas perut Selina, sambil berkata, “Ibu, apa tenaganya sudah pas?”

Melihat betapa seriusnya Stella, Selina merasa sangat tersentuh. Dua anak laki-lakinya tidak pernah sepeduli ini. Ternyata benar, memang lebih menyenangkan punya anak perempuan.

“Stella sangat hebat, tante sudah merasa jauh lebih baik sekarang.”

Stella mengerucutkan bibirnya dan sekali lagi mengoreksi, “Bukan tante, tapi ibu! Di rumah ada banyak foto ibu, aku mengenalinya.”

Selina hanya bisa tersenyum pasrah. Dia pun ingin melihat foto-foto ibu Stella, ingin tahu seberapa mirip mereka sampai-sampai membuat gadis kecil ini begitu yakin.

Kedua orang itu terlihat seperti sepasang ibu dan anak yang harmonis di dalam kamar.

Steven dan Stegen membuka pintu kamar dan masuk. Melihat pemandangan itu, tatapan mereka tampak sedikit rumit.

“Selina sayang, kami mau keluar sebentar. Kamu istirahat saja di rumah, jangan pergi ke mana-mana.”

Selina melihat mereka sejenak, lalu mengangguk dan melambaikan tangan dengan tenang. “Pergilah, nanti pulang belikan makanan ringan untuk Stella.”

Stegen melirik Stella dengan kesal dan menjawab, “Nggak mau.”

Melihat ekspresi kakaknya, Stella merasa sedikit sedih, tetapi tetap melambaikan tangan dengan patuh saat mereka pergi dan berkata, “Sampai jumpa kakak.”

Steven dan Stegen berbalik dan berjalan keluar.

“Dasar gadis bodoh, sudah dijual sama kita masih saja begitu senang.”

Ujar Stegen mengejek gadis kecil itu.

Sebenarnya, hati Stegen sedang gundah. Melihat betapa manisnya Stella, dia tidak bisa menahan keinginan untuk mendekatinya. Namun … dia terus teringat bahwa Stella adalah anak dari ayah mereka dengan wanita lain.

Reaksi Steven tidak begitu emosional. Dengan satu tangan memeluk laptop yang agak besar, dia tampak sedikit kesulitan.

“Ayo pergi, dia akan segera tiba.”

Ujar Steven dengan tenang. Lalu, keduanya masuk ke sebuah mobil tanpa plat nomor.

Di gedung tinggi dekat jembatan Tagis.

Di lantai enam, tepatnya di sebuah ruangan yang memiliki pemandangan sempurna untuk melihat seluruh area jembatan.

Stegen berdiri di depan jendela besar, mengamatinya dengan teropong.

Sementara itu, Steven fokus pada layar laptopnya. Di mana terdapat banyak titik merah yang mewakili perangkat elektronik yang sedang dia operasikan. Layar tersebut dipenuhi dengan kode-kode rumit.

“Steven, dia sudah datang,” ujar Stegen dengan gemetar saat melihat seorang pria yang wajahnya mirip dengan mereka berdua.

“Iya.”

Stegen dengan cepat menggerakkan mouse-nya dan titik-titik merah di layar mulai bergerak ke berbagai arah.

“Dia benar-benar datang sendirian.” Stegen menunduk, perasaan campur aduk semakin terasa.

Demi putrinya, pria itu berani mengambil resiko besar, tetapi untuk mereka, dia sama sekali tidak peduli.

Tangan Steven yang memegang mouse juga terhenti sebentar, lalu tak lama kemudian dia melanjutkan gerakannya, sambil berkata, “Iya, sesuai dengan rencana kita.”

Samuel berjalan ke tepi Jembatan Tagis, menyipitkan matanya, dia diam-diam mengamati sekelilingnya.

Tidak ada tanda-tanda mencurigakan.

Dengan satu tangan, Samuel membawa koper hitam. Sementara tangan lainnya berada di samping, jari-jari panjangnya dengan ritmis mengetuk-ngetuk senjata logam yang ada di sakunya.

Dia memang datang sendirian, tapi begitu dia menyelamatkan putrinya, dia akan memastikan penculiknya merasakan akibatnya!

Teleponnya berdering. Tanpa melihatnya, Samuel langsung mengangkatnya.

“Uangnya sudah kubawa, di mana anakku?” terdengar suara Samuel yang dingin dan penuh wibawa, cukup untuk membuat orang biasa gemetar ketakutan.

“Letakkan uang itu di perahu, aku akan segera melepaskan anakmu.”

Masih suara tak dikenal itu lagi, dengan nada yang sulit dibedakan apakah itu suara pria atau wanita.

Tak lama setelah itu, sebuah perahu mendekat ke arah Samuel.

Samuel menyipitkan matanya dan berkata, “Biarkan aku melihat anakku dulu, baru kita diskusikan soal transaksinya.”

“Hehe, aku nggak sedang berdiskusi denganmu, aku sedang memerintahmu. Kalau perahu ini sudah sampai dan uangnya belum kamu letakkan di atasnya, aku hanya bisa … membunuh anakmu.”

Samuel terdiam, urat di dahunya menonjol.

Ini pertama kalinya … ada orang yang berani memerintahnya!

Melihat perahu itu hampir mendekat, Samuel segera melangkah maju dan melemparkan koper itu ke atas perahu.

Stegen yang melihat melalui teropong, merasakan matanya mulai perih. Mungkin karena teropongnya yang kurang bagus sehingga menyakiti matanya.

“Sudah terdeteksi, uangnya asli,” ujar Steven. Perahu itu adalah ciptaan Steven sendiri dengan berbagai fitur tersembunyi. Salah satunya adalah kemampuan untuk memeriksa keaslian uang.

“Baiklah,” jawab Stegen sambil mengangguk. Lalu melanjutkan, “Kalau begitu, ayo mulai aksinya.”

Kedua saudara itu saling bertukar pandang, lalu senyuman nakal muncul di wajah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status