Roy membuka pintu rumah dengan kunci duplikat yang di bawanya. Biasa Nency yang membukakan pintu disaat mendengar motornya memasuki halaman rumah. Setelah kembali mengunci pintu, Roy melihat istrinya sedang salat isya di kamar. Ia pun segera mengambil baju ganti dan langsung ke belakang untuk mandi.Hanya butuh beberapa menit untuk Roy menyegarkan tubuh dan sekalian berwudhu. Sambil lewat pandangannya tertuju pada keranjang buah yang isinya penuh di meja makan. Ada juga kue talam. Pria itu tergoda untuk membuka tudung saji yang masih tertutup rapat. Masak apa istrinya untuk makan malam mereka?Namun di bawah tudung saji itu tidak ada makanan apapun, selain amplop warna putih. Roy meraih benda tipis itu dan membukanya.Terkejut? Sudah pasti. Apalagi setelah melihat benda kecil yang sering dipakai istrinya untuk test urine jika ia terlambat haid. Tapi kali ini Roy melihat ada dua garis di benda pipih itu. Tidak seperti biasanya, hanya garis satu yang membuat bibir istrinya manyun satu
Yuda diam tanpa mampu berucap apa-apa. Luka Aisyah terlalu dalam. Apalagi dia tidak berusaha memperjuangkannya di saat masih ada kesempatan. Ketika Aisyah masih menunggu uluran tangan untuk membawa kembali dalam dekapannya, Yuda tidak bergerak sedikitpun. Dia terlena pada pesona mantan kekasih yang mencoba kembali berlabuh padanya. Bodoh. Dan Yuda mengakui itu."Aku minta maaf, Aisyah. Aku lelaki bodoh yang nggak tahu bagaimana menghargaimu. Aku kurang ajar dan nggak tahu diri."Aisyah tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas. Jangan disesali. Aku sudah maafin kamu." Aisyah menjawabnya dengan intonasi pelan. Wajah yang terlihat baik-baik saja tidak bisa menyembunyikan luka yang ada dalam sorot matanya. Memang bibir bisa saja bilang memaafkan, tapi hati tidak semudah itu untuk melupakan. "Kisah kita hanya akan jadi masa lalu. Sekarang kita sudah menjadi orang asing antara satu sama lain.""Tapi yang kamu kandung itu anak kita.""Kita hanya sebagai orang tua dari bayi ini," jawab Aisyah sambil m
"Rujuk?" tanya Mbak Iin. Wanita itu kaget ketika Aisyah menceritakan percakapannya dengan Yuda tadi malam. Di mana lelaki itu mengutarakan niat untuk mengajaknya rujuk lagi.Aisyah mengangguk."Kamu sendiri bagaimana?"Aisyah tersenyum getir sambil menerawang ke langit sore. "Kurasa dia hanya kecewa pada masa lalunya, kemudian ingin kembali padaku, Mbak. Kalau dia bahagia dengan Mahika, mana mungkin akan mencariku lagi." Aisyah menarik napas perlahan. "Aku merasakan jadi istri yang dimuliakan hanya dua bulan setelah pernikahan. Karena kami masih dalam momen bulan madu. Sisanya dia sibuk dengan masa lalunya. Sibuk chat diam-diam dengan wanita itu."Mbak Iin juga menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya dia ikut sakit hati atas perlakuan Yuda pada adik sepupunya, tapi di sisi lain ia juga kasihan bayi yang dikandung Aisyah jika lahir tanpa orang tua yang lengkap. Kasihan juga pada pria itu. Kelihatan sekali kalau ia sangat tertekan. Apalagi melihat Aisyah hamil, tentu nalurinya sebagai seo
Aisyah. Yuda teringat mantan istrinya. Apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Ia juga ingat perut Aisyah tempat bayinya berada. Sudah makin besar dan pasti sudah diketahui jenis kelaminnya. Kemarin ia tak sempat menanyakan hal itu. Yuda memerhatikan sang ibu yang mendengarkan Jelita bercerita tentang sekolahnya hari ini. Gadis kecil itu yang membuat Bu Yekti berdamai dengan hubungannya yang memburuk dengan sang putra. Meskipun tidak akan bisa menerima Mahika.Nur juga selalu menelepon dan menenangkan ibunya. "Ibu nggak usah terlalu banyak pikiran. Entar kalau ibu sakit siapa yang jagain. Aku jauh, Bu." Itu pesan Nur. Dan Bu Yekti patuh pada pendapat anak bungsunya, karena beliau juga tidak ingin membuat Nur susah hati. Gadisnya sedang meniti karir sekarang."Bagaimana dengan rencanamu besok?" Bu Yekti bertanya pada putranya. Meskipun ia tidak menyukai keinginan Mahika yang selalu terburu-buru dan memaksakan kehendak. Namun beliau sadar, bagaimanapun juga wanita itu adalah ibu biolog
Matahari pagi muncul dari balik Gunung Anjasmoro, menghangatkan bumi dari hawa dingin di musim kemarau. Sinar kuning keemasan menyapu pelataran rumah besar yang kini tampak lebih semarak dengan kehadiran dua bayi tampan.Fariq menggendong Farras dengan lengan kanannya dan Farel di lengan kirinya. Dia menimang bayi yang belum genap berumur sebulan itu di dekat jendela kamar. Binar bahagia terlihat di wajahnya yang segar karena habis mandi. Sedangkan dari kamar mandi terdengar Jingga membersihkan diri."Mas, kok digendong bersamaan, sih!" tegur Jingga saat keluar dan kaget mendapati sang suami menggendong si kembar. Membuat wanita itu was-was."Mas bisa!" jawab Fariq sambil tersenyum."Nanti jatuh gimana? Aduh, sini!" Jingga meletakkan handuk basahnya begitu saja di sandaran kursi. Kemudian mengambil Farel dari lengan kiri papanya dan menidurkan di ranjang mereka. Dia langsung teringat dua malam yang lalu, saat Farras hampir terjatuh dari pangkuan Fariq karena suaminya itu ketiduran ket
Yuda keluar kamar dengan pakaian rapi. Hem warna biru dengan lengan digulung hingga ke siku dan celana jeans warna yang sama. Pria itu berpandangan sejenak dengan sang ibu yang tampak cemas. "Aku akan pulang cepat, Bu."Bu Yekti hanya mengangguk. Meski perasaannya tidak rela dan masih sakit atas peristiwa bertahun yang lalu, tapi mau tak mau semua ini harus dijalani.Setelah berpamitan dan mencium tangan Bu Yekti, ayah dan anak itu berangkat ke Jombang. Kenapa harus mereka yang ke Jombang? Kenapa tidak Mahika dan keluarganya saja yang datang? Sebab Yuda sendiri yang menghendaki seperti ini. Dia tidak ingin para warga tahu pertemuan mereka yang akan kembali menjadi buah bibir di antara para tetangga. Yuda tidak ingin menambah beban pikiran ibunya, terlebih ia masih sangat berharap kalau Aisyah akan memberikan kesempatan padanya untuk bersama lagi.Jelita banyak bertanya dan bercerita sepanjang tol Kertosono-Jombang. Membuat perjalanan mereka tidak terasa sunyi. Gadis kecil itu dengan a
Beberapa pengunjung rumah makan di rest area tol Jombang-Nganjuk memperhatikan Yuda dan Jelita yang sedang makan bakso. Gadis kecil nan cantik itu menarik perhatian karena makan sambil bercerita sangat riang dengan ayahnya.Kehadiran mereka tanpa seorang wanita yang menemani menjadikan Yuda dikagumi beberapa pengunjung perempuan. Begitu telatennya seorang ayah, sendirian mengajak sang anak perjalanan jauh dan melayani putrinya dengan sabar. Apalagi anaknya masih kecil."Yah, tadi Tante May bilang kalau kapan-kapan akan mengajak Jelita menginap di rumahnya!""Terus ... Lita jawab apa?""Lita nggak mau kalau sendirian. Lita bilang kalau Ayah boleh ikut, Lita mau. Kalau Ayah nggak ikut, Lita juga nggak mau."Yuda tersenyum pada gadis kecilnya yang begitu polos. Sambil menunggu Jelita selesai makan, Yuda melihat ponselnya. Terbaca story dari Mahika yang menuliskan kekecewaannya. Ada ucapan sindirian yang tentu ditujukan padanya. Namun Yuda hanya membaca tanpa berniat untuk menanggapi. Sa
Bu Aziz tergesa-gesa menghampiri Nency yang sedang muntah di kamar mandi. Wanita itu masuk dan memijit tengkuk putrinya. Hingga Nency selesai memuntahkan isi perutnya kemudian keluar dengan tubuh lemas dan wajah pucat.Wanita anggun itu membimbing anaknya untuk duduk di sofa ruang keluarga. Pagi tadi Roy mengantarkan Nency ke rumahnya karena hari ini Roy sibuk mengurus administrasi di kampus sekalian mengurusi bengkel.Minyak kayu putih dibalurkan Bu Aziz di sekitar leher dan dada Nency."Tiga mingguan lagi kamu resepsi, lho, Cy. Kira-kira kamu kuat nggak duduk di pelaminan?""Insyaallah, Ma.""Tamu undangan papamu banyak banget. Belum lagi undangan teman-temanmu sama Roy. Kalau kamu ngasih tahu sejak awal, kan kita bisa menundanya."Nency tersenyum. "Aku saja juga baru tahu, Ma. Kupikir telat haid seperti biasanya."Bu Aziz berdiri untuk mengambilkan buah mangga dan apel yang baru saja dikupaskan oleh ART-nya."Kakakmu lagi ada masalah sama suaminya. Tadi malam dia telepon mama," kat
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su