Pagi hari yang cerah.
Udara masih sangat terasa dingin, sehingga aku masih belum beranjak keluar dari tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 05:30 WIB, terlalu pagi jika aku bangun sekarang. Aku mengembalikan smartphone kesamping tempatku tidur setelah mengetahui jam berapa sekarang.
Namun sayang, tidak bertahan lama aku bisa membaringkan diri di atas tempat tidur, sebab pintu sudah diketuk keras dari luar. Nampaknya Mama sudah bangun, dan sepertinya juga menyuruhku bangun.
“Nisa … Bangun. Sudah siang ini, masih tidur saja.” Benar yang aku duga, pasti Mama kalau jam segini mengetuk pintu.
“Iya ma, sebentar lagi aku juga bangun.”
“NISA, jangan nanti-nanti. Sekarang juga BANGUN. Nanti kalau punya suami mau jadi apa kamu.”
Ini yang selalu menyebalkan dari Mama, setiap kali aku bangun pagi, selalu masa depan, suami, yang Mama bicarakan agar aku segera bangun.
Tapi benar juga, setelah aku pikir-pikir nanti aku mau menjadi apa jika selalu bangun sepagi ini, bukan pagi maksudku, mungkin ini sudah waktu yang cukup siang bagi seorang istri.
Selain itu, aku juga tidak akan pernah menang adu kata dengan Mama, dia jago sekali debat jika membangukan aku tidur.
Aku memutuskan bangun sepagi ini, mungkin hampir setiap hari Mama membangunkan. Tiada kata menyerah demi semangat 45 membangunkanku, kata Mama mungkin.
Matahari sepagi ini juga sudah mulai bersinar, menemani manusia yang mulai melakukan aktivitas. Aku menghampiri jendela kamar, membukanya, agar sinar matahari yang sejuk ini juga menghampiri kamarku.
Aku segera mengambil handuk. Dalam hati aku masih merasa tidak terima dengan pemaksaan ini. “Masak sepagi ini aku harus bangun, mandi lagi, lagi, dan lagi.”
Tapi untungnya, Papa orangnya baik hati, sejak satu tahun yang lalu, dia sudah membelikan keluarga kami mesin yang bisa mengeluarkan air hangat. Entah apa itu namanya, yang penting aku bisa menggunakan.
“Mama masih masak?” Aku melewati dapur tempat Mama memasak, basa-basi bertanya pekerjaan Mama. Sebenarnya aku sudah tahu, tapi dari pada hanya diam, nanti disindir lagi ketika sarapan
“Iya, Nisa. Ini lagi masak, nyiapin sarapan untuk putri Mama yang cantik sekali. Yang baru bangun tidur”. Mama tersenyum ketika mengucapkan kalimat terakhir, dan menengok kearahku dengan penekanan yang sangat jelas.
Tapi tidak masalah, sebenarnya juga aku yang diuntungkan dengan semua ini. Bukankah Mama melakukan semua ini untukku, untuk keluargaku?
Bau makanan yang khas, menusuk hidungku yang baru saja bangun. Sedap, juga menggugah selera. Masakan Mama selalu menjadi masakan yang spesial setiap hari, aku dan Papa akan selalu suka dengan masakan Mama.
****
“Eh putri Mama sudah cantik begini, tidak lagi bauk seperti ketika lewat dapur tadi.” Mama sepagi ini sudah tiga kali membuatku sebal, dan itu masih dengan masalah yang sama.
“Jangan begitu, Ma. Gitu-gitu juga putri kita satu-satunya, meskipun bandel.” Papa juga ikut-ikutan menggodaku, aku juga paham bahasa itu. Bahasa yang lebih halus lagi dibanding menyindir. Jadi itu adalah kakeknya menyindir.
“Nisa, makan yang banyak. Mama kamu pagi ini masak spesial sekali, rugi kamu tidak makan banyak.” Ujar papa ketika ketika mengetahui aku tidak mengambil nasi yang cukup.
“Papa, makan itu jangan banyak-banyak, Nisa kan anak muda, pasti banyak pertimbangan. Siapa tahu dia lagi diet, untuk sese ....”
“Mama bilang apa sih, sudah bangun pagi-pagi malah ditertawakan mulu, di buli mulu.” Aku segera memotong percakapan Mama dengan Papa, sebelum sampai ke mana-mana.
“Iya sudah, Nisa, kamu makan dulu. Setelah itu kita berangkat sekolah sekalian Papa berangkat ke kantor.”
Akhirnya aku bisa makan juga pagi ini, dengan selamat dan sentosa, tanpa ejekan Mama yang selalu menyinggung tentang aku yang bangun siang.
Benar sekali apa yang dikatakan Papa, pagi ini masakan Mama sangat spesial. Mungkin ini resep terbaru, daging ayam tanpa tulang, teksturnya halus, sangat nyaman dilidah.
Tidak terasa, aku menghabiskan sarapan pagi ini satu piring. Porsi yang cukup banyak bagiku. Biasanya aku hanya menghabiskan setengah, tapi pagi ini terasa sangat beda sekali. Tapi, aku harus menghilangkan gengsi terlebih dahulu untuk menambah nasi tadi.
****
Mobil pribadi yang Papa kemudikan telah beranjak dari tempatnya semula.
Setelah berpamitan dengan Mama, aku berangkat sekolah bersama dengan Papa. Sekarang pukul enam lebih sedikit, waktu yang cukup ideal untuk berangkat sekolah. Jarak sekolah dengan rumahku lumayan jauh, butuh waktu setidaknya dua puluh lima menit jika perjalanan tidak normal.
Seperti biasanya, jalanan Ibu Kota yang macet selalu menjadi suguhan utama, seperti juga dengan televisi-televisi, selalu menyiarkan kemacetan ini keseluruh negeri. Setelah itu, ujung-ujungnya, pasti menyalahkan Pemerintah Provinsi yang menjabat. Padahal, apakah benar dia yang bersalah?
“Bagaimana sekolahmu, Nisa?” Papa mengammbil sembarang tema percakapan di dalam mobil pagi ini.
“Baik, baik-baik saja kok, Pa.” jawabku sembari merapikan rambut yang terkena angin yang menutup dahi. “Bagaimana dengan pekerjaan Papa di kantor?” aku bertanya balik kepada Papa.
“Seperti biasa, syukurlah. Lancar-lancar saja sampai saat ini, belum ada masalah yang serius.” Papa menjawab singkat. “Oh iya, Papa lupa. Akhir semester nanti kalau jadi, akan pulang kampong, ke rumah Kakek dan Nenek. Kamu suka, Nisa?”
Aku hanya mengangguk kecil, juga tersenyum manis. Tapi entahlah, senyumku tadi manis atau tidak. Teman-temanku di sekolah bilang, bahwa aku ketika tidak senyum dan senyum sama saja, sama-sama manis. Jadi ke-PD-an aku. Sudah, jangan membahas itu lagi.
Sekarang mataku tengah mengedarkan pandangan pada kanan-kiri mobil. Angkot-angkot Ibu Kota sepertinya tidak pernah sekolah, berhenti sembarangan di pinggir jalan tanpa amit. Mungkin ini yang menjadi penyebab utama kemacetan, hal-hal yang sepele.
Klakson-klakson mobil terdengar memekakkan telinga. Setiap kendaraan sepertinya ingin sampai ke tempat tujuan terlebih dahulu, begitu juga dengan Papa, sesekali memukul-mukul setir mobil agar berbunyi klakson.
Sebentar kemudian… syukurlah, gerbang sekolahku sudah terlihat. Aku segera mengambil tas dari bangku sebelah, lalu memakainya.
“Hati-hati disekolah, Nisa!” Kata-kata yang selalu Papa ucapkan ketika aku akan turun kehalaman sekolah. Aku hanya mengangguk. Sebentar, aku menatap kaca depan mobil, merapikan rambutku dari cermin itu sebentar. Setelah aku merasa sudah cantik, eh, rapi maksudku, aku segera turun dari mobil.
“Selamat pagi, Papa.” Ujarku untuk yang terakhir kalinya.
Aku bergabung dengan pelajar lain yang mulai berdatangan memasuki gerbang utama sekolah. Wajar saja banyak anak yang suka sekolah di sini, sekolah ini namanya begitu besar, terkenal, sehingga banyak yang minat.
Tapi aku sekolah di sini bukan hanya karena terkenal, melainkan ini adalah sekolah satu-satunya yang terdekat dengan rumahku, dan juga satu arah dengan kantor kerja Papa.
“Hai, Nisa. Kebetulan ketemu kamu di sini.” Salah satu temanku, menyapa dari belakang, menyejajari langkahku.
“Hai juga, Zila.” Aku menoleh kepadanya sebentar, lalu melanjutkan perjalanan menuju kelas bersamaan.
“Kamu sudah dengar apa belum berita sekolah terkini?” Aku mengerutkan dahi, demi mendengar pertanyaan Zila yang membingungkan.
“Oh, kamu belum tahu? Bagaimana ini? Apa kata dunia? Gawat, masak anak kelas sebelas belum tahu?” kata Zila sambil memutar-mutarkan kepalanya.
“Kamu bicara apa, sih? Dari tadi nanya mulu tidak juga memberi tahu.” Kataku sebal. Aku berharap setelah keluar dari rumah akan selesai dari rasa sebal karena Mamah. Ah… ternyata sama saja.
“Begini, ini kabar bahagia. Tim sepak bola kelas sebelas akan beruji coba dengan sekolah lain nanti siang.” Kata Zila memberi tahu. Matanya berbinar-binar.
“Apa juga pentingnya untukku? Sejak kapan kamu suka sepak bola?”
Memang, hari-hari terakhir kelas sebelas terlihat sedang mati-matian melakukan latihan. Mungkin ini alasannya, untuk menghadapi laga uji coba dengan sekolah tetangga. Tapi mulai kapan aku suka sepak bola? Rasanya tidak akan pernah aku suka sepak bola. Sejak kapan Zila suka bola pula?
“Ya… setidaknya kita kan bisa memberikan semangat untuk mereka yang bertanding. Aku harap mereka akan menang.” katahya. Aku hanya mengangguk kecil, sebagai pertanda bahwa aku tidak tertarik dengan obrolan pagi ini.
“Omong-omong, kamu sudah sarapan apa belum, Nisa?” Akhirnya Zila mengalihkan percakapan juga. Ini juga bukan sebuah tema percakapan yang menarik.
“Sudah, tadi bareng keluarga di rumah, kamu?” Aku balik bertanya.
“Kamu tuh enak ya, setiap pagi ada yang masakin. Aku, boro-boro dimasakin, bangun tidur orang tua sudah berangkat kerja.” Keluh Zila. Aku hanya mengangkat bahu, pertanda tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku segera masuk ke kelas sebelas. Di sekolah ini ada dua belas ruangan kelas, masing-masing diisi oleh tiga puluh anak. Jadi di sekolah ini jumlah keseluruhan hanya 360 anak, hanya itu, yang bisa mendaftar hanya anak-anak dengan nilai formal tinggi, termasuk aku. Wkwkkw.
Tidak lama setelah masuk kelas, duduk di bangku nomor dua dari belakang, akhirnya lonceng tanda masuk sudah berbunyi. Saatnya menunggu pelajarann pertama, Bahasa Indonesia.
****
“Anak-anak, kalian harus lebih memperbanyak belajar lagi, karena sebentar lagi kalian akan menghadapi ulangan kenaikan kelas. Juga, nasib masa depan kalian akan ditentukan dengan belajar ini …”
Demikian kalimat penutup dari Miss Iren, guru matematika kami, pelajaran kedua pagi ini, setelah pelajaran bahasa Indonesia. Orangnya tinggi, kalau berteriak, dunia niscaya akan runtuh seketika.
Lonceng istirahat terdengar keras, semua pelajar berhamburan keluar kelas.
“Nisa, temani aku yuk, ke kantin. Mau kan?”
Sepertinya sudah menjadi kebiasaan seluruh pelajar, jika waktu istirahat tiba maka waktu akan digunakan untuk ke kantin. Sebenarnya aku mau menolak, tapi demi melihat wajah Zila yang kusut, akhirnya aku segera bangit dari tempat duduk.
“Em… aku mau makan juga.” Kataku pada Zila.
“Katanya kamu sudah maka?” sahut Zila.
“Iya sih, tapi masa aku ke kantin hanya lihat kamu makan, gitu?” Aku menjawab dengan nada sebal.
“Iya juga sih. Tapi hati-hati, jangan sampai kebanyakan, nanti kamu gendut.” Ujarnya.
Siapa juga yang akan makan banyak. Sepertinya Zila juga sama menyebalkannya dengan Papa dan Mama di rumah.
Suasana kantin sekolah yang ramai.
Di kantin ini hanya ada beberapa saja yang berjualan, tidak banyak. Karena sekolah juga memperhitungkan laba yang didapat para penjual. Mereka yang berjualan menyewa tempat kepada sekolah dengan biaya yang tidak murah, maka sekolah juga berkewajiban ikut melancarkan kegiatan mereka di sini.
“Kamu mau makan apa?” Aku bertanya kepada Zila.
“Aku mau makan soto spesial saja, sudah lama aku jarang makan makanan itu di sini. Kamu?”
“Aku makan batagor saja, masih kenyang.”
Dari kejauhan nampak penjaga kantin datang. Aku sudah kenal, dan akrab sekali dengan Bang Ali, penjual salah satu dan langganan kami di sekolah ini.
“Eh neng Zila, Nisa. Mau pesan apa pagi ini?” Tidak salah lagi, para penjual di sini tentunya sudah terlatih untuk ramah kepada setiap pembeli.
“Batagor satu, sama soto spesial satu, bang. Minumnya seperti biasa saja.” Aku yang menjawabnya singkat.
“Omong-omong, kamu sudah tahu apa belum?” Zila sepertinya akan bicara lagi tentang sepak bola tadi pagi.
“Sudah, tadi kan kamu yang cerita kepadaku.” Jawabku dengan nada separuh sebal.
“Bukan itu yang aku maksud.” Sergah Zila.
“Lalu yang mana lagi, tim basket?”
“Bukan, bukan juga. Ini tentang seseorang.” Aku hanya ngerutkan dahi, pertanda belum paham dengan yang dia bicarakan.
“Oke, sambil menunggu pesanan datang, tidak ada salahnya cerita sebentar.” Zila mulai mengatur suara, aku masih biasa-biasa saja.
“Kamu kenal Faisal?”
Aku bingung, kenapa coba dia menanyakan orang itu. Aku tahu, karena dia juga masih satu kelas dengan aku dan juga Zila. “Pastinya kamu tau. Itu, dia yang jago banget main bola voli, yang tinggi seperti artis Korea.” Dia diam sejenak, lalu melanjutkan bicara lagi. “Kamu sadar apa tidak sih, akhir-akhir ini dia sering perhatiin kamu lo, Nisa.” Aku kaget, sekaligus bingung.
“Maksud kamu apa sih, jangan bikin bingung aja deh?” Aku belum paham alur pembicaraan kali ini.
“Oke. Singkatnya begini saja. Itu… dia… FAISAL itu suka sama kamu. Sudah jelas nona Nisa?” jelas Zila dengan nada mengejek.
“Ah… kamu jangan ngaco deh. Mana mungkin dia suka sama aku, kayak tidak ada yang lain saja.” Aku masih menyangkal apa yang dikatakan Zila.
“Terserah kamu, aku hanya memberi tahu temanku saja.” Tegas Zila lagi dengan mengangkat bahunya.
Stop… Pesanan datang.
Akhirnya pesanan kami datang juga, yang membuat percakapan kami terhenti. Hanya satu-dua kata yang terucap ketika kami makan, itu juga bukan tentang seseorang tadi.
Masakan di tempat ini memang cukup enak, berbeda dengan kantin-kantin yang lain. Tapi, satu yang membuat sebal, tentunya penjaga kantinnya yang sok tau. kapan-kapan aku akan ceritakan tentang bang Ali yang soto itu.
Pulang sekolah, siang hari.Aku sudah sampai di rumah, setelah perjalanan setengah jam naik angkutan umum.Mama terlihat sibuk membersihkan peralatan bekas masak di dapur. Inilah pekerjaan Mama setiap hari di rumah, membersihkan rumah, mencuci, serta menunggu kami yang pulang sekolah dan kerja.Makan siang sebenarnya sudah siap di meja dapur, tapi demi melihat Mama yang masih sibuk kerja, aku tidak jadi makan duluan, menunggu Mama selesai.Aku sudah ganti baju, ganti pakaian biasa, dan menggantung seragam sekolah di lemari kamar, dipakai lagi besok.Sambil menunggu Mama selesai mencuci peralatan, entah apa saja namanya yang dicuci Mama selama ini, aku membaca novel di depan Tv yang menyala. Aku sangat suka sekali membaca novel, terutama novel yang sangat kental dengan kisah fiksinya, tentang masa depan bangsa ini yang akan tenggelam.Setelah Mama selesai mencuci, Mama menghampiriku.“Kamu belum makan, Nisa?” Mama bertanya
Setelah sampai di rumah Zila.Rumah Zila biasa-biasa saja, sama seperti dengan rumahku. Terdiri dari dua lantai, dengan pintu menghadap kebarat, rumah itu tampak ramah dengan siapa saja yang mendatanginya. Bunga-bunga dengan aneka jenis ada di halaman rumahnya meski tidak terlalu luas.Teman-temanku sudah sampai semua sebelum aku sampai. Mereka sedang bicara satu dengan yang lainnya.Syukurlah, Zila sepertinya tidak mengingat tentang pembicaraan tadi siang, jadi aku tidak harus khawatir menahan malu jika Zila mengejek. Tapi aku salah, ternyata Zila langsung memulai percakapan dengan tema itu.“Cie … yang lagi mikirin seseorang, sampai datang terlambat.”Zila langsung mulai percakapan itu setelah aku masuk kamarnya. Kami belajar di kamarnya. Cukup luas, jadi tidak perlu belajar di ruang tamu.“Apaan sih. Aku ke sini mau belajar tau, bukan lagi mau debat dengan kamu, Zila.” Aku menjawab dengan sedikit tidak mengh
Pagi hari, seperti biasa, setelah berkali-kali dibangunkan Mama.Kali ini, aku sudah mandi dengan air hangat. Dan sudah memakai seragam sekolah.Seperti biasa, aku dan keluarga berkumpul sebelum malakukan aktivitas masing-masing. Sarapan.“kamu kok nggak seperti biasanya, Nisa?” Mama mulai pembicaraan di meja makan.“Nggak sama bagaimana sih, Ma?” Aku balik bertanya.“Tidak biasanya kan kamu berangkat sekolah memakai parfum sewangi ini? Atau jangan-jangan …,” Mama menolah ke arah Papa, tidak melanjutkan pembicaraan.“Biarin saja, Ma. Nisa kan sudah mulai dewasa. Wajar saja jika dia mulai memperhatikan penampilan. Tidak seperti Mama dulu, yang selalu berpakaian kusut jika berangkat sekolah.” Sahut Papa, sepertinya sedang berpihak kepadaku, tidak membela Mama yang mengejekku.Mama merengut, pertanda bahwa Mama tidak suka diejek seperti itu. Tapi tidak dengan Papa, dia masih tertawa
Pulang sekolah, siang hari.Udara siang terasa panas, tapi tidak dengan suasana hatiku.Benar apa yang dikatan oleh mereka yang ahli dalam sebuah kata hikmah.‘Masalah yang ada di depan kita, atau juga yang di belakang kita itu sangatlah kecil. Tapi masalah yang sangat besar ialah, masalah yang berada dalam diri kita sendiri’.Aku masih di dalam kamar, berdiri di depan cermin yang jernih. Aku memandangi rambutku sejenak, hitam pekat. Setelah itu, aku pergi dari hada-pan cermin.Ganti baju, memakai pakaian biasa sehari-hari.Aku segera turun kebawah. Disana, terlihat Mama sedang membuat minuman. Aku segera menghampiri.“Lagi buat apa, Ma?”“Eh, Nisa. Ini Mama lagi buat kopi spesial. Kamu mau?”Inilah kebiasaan Mama, sama seperti Zila jika di sekolahanku. Mengatakan sesuatu spesial, padahal hanya soto biasa. Dan ini, hanya kopi hitam biasa.Aku hanya mengangguk. Tidak ada salahnya
Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?****Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan s
Pelajaran pertama sudah dimulai sejak tadi. Ibu guru terlihat semangat mengajar di depan papan tulis. Usianya yang sudah menginjak kepala lima tidak mempengaruhi semangatnya. Kali ini pelajaran IPA, atau lebih mengarah kepada Biologi.“Murid-murid, hari ini kita telah belajar tentang tubuh dan organ manusia. Tahukah kalian, berapa harikah manusia bisa bertahan tidak tidur?” Ibu guru memberikan semua murid satu pertanyaan. Aku belum mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Maka aku memperhatikan guru yang sedang bertanya.Semua murid juga terlihat belum mengetahui fakta tentang hal ini. belum ada siswa yang angkat tangan untuk menjawab.“Baiklah, jika kalian semua belum mengetahui fakta ini, Ibu akan dengan senang hati memberikan ilmu tambahan kepada kalian semua. Jadi, menurut sebuah penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli, manusia bisa bertahan tidak tidur selama 14 hari. Juga manusia paling lama mampu bertahan tidak bernapas selama 11 m
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, m
Seperti biasanya, ketika pagi hari aku berangkat sekolah dengan sebelumnya sarapan bersama keluarga. Sungguh sebuah momen yang sebenarnya ingin aku tinggalkan begitu saja, yaitu sarapan dengan keluarga, ada papah dan mama. Mengapa demikian? Sebab jika sarapan bersama dengan mereka berdua, selalu saja ada hal tentang keburukanku yang menjadi sasaran pembicaraan. “Nisa, kamu kok semakin wangi saja dari hari ke hari.” Ujar papa yang menyadari bahwa aku berbau wangi, tidak seperti minggu-minggu sebelumnya. Memang benar, minggu-minggu sebelumnya, sebelum aku mengenal sebuah rasa seperti ini, aku tidak terlalu suka dengan minyak wangi, atau bahkan aku jarang sekali menggunakannya. Aku merasa sudah cukup saja dengan bau wangi yang semerbak dari bajuku, pewangi yang digunakan mama ketika mencucinya. “Mumpung masih punya, pa.” Jawabku ringan sembari meneruskan makan. “Memangnya sebelum ini kamu tidak punya?” sahut mama. Benar apa yang aku sangkakan tad
Kisah Nisa selalu menjadi menarik ketika manusia menjadi saling membunuh sebabnya. Maka dari itu, jangan sampai berhenti menjadi manusia yang lebih baik. ***Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu.
Jika kalian mengira bahwa dimensi ruang itu hanya satu, maka adalah sebuah kesalahan besar. Dimensi tidak terkira jumlahnya, hanya saja kita tidak atau belum mengenalnya. Tahukah kalian bahwa bangsa Jin itu bisa hidup bahkan sampai dua ribu tahun? Tahukah kalian bahwa satu hari pada hari manusia, itu sama dengan satu tahun dalam waktu Jin? Atau, tahukah kalian bahwa di bawah tanah sana ada sebuah bangsa yang telah membodohi manusia bahwa yang membuat gempa adalah pergerakan lempeng? Merekalah yang menjadikan gempa bumi, dan novel ini akan menguak tabir misteri tersebut.***“Apakah semua sudah siap?” tanya Misa selaku ketua rombongan kecil itu.Mereka berkumpul dan berangkat dari rumah Misa, pukul setengah tujuh malam. Mereka menuju sebuah desa yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing. Dika, akan menjadi sopir mobil pribadi ayahnya yang mereka pinjam.Rombongan itu berjumlah empat mahasiswa. Misa, Dika, Aurel, dan Jimat. Sebenarnya nama Jimat bukanlah nama asli, aslinya Rahmat. Nam
Malam yang gelap telah tergantikan dengan sinar matahari yang menerangi. Hawa hangat berangsur-angsur kembali menemani setiap tarikan nafas manusia.Malam yang larut itu dilalui Danu dan Permata dengan bersembunyi di balik bongkahan batu besar, semak-semak mengelilinginya. Desa yang mereka berdua lewati tidak menyediakan penginapan, semua pintu telah tertutup ketika mereka mengamati dengan mengendarai kudanya. Tidak ada pintu yang terbuka, mereka berdua memilih untuk bermalam pada tempat yang aman. Batu akan melindungi dari hujan jika sewaktu-waktu turun kembali, semak-semak melindungi dari gangguan hewan ataupun manusia.“Kita lanjutkan perjalanan, Permata!” kata Danu.Perjalanan siang itu sepertinya tidak banyak halangan dan rintangan yang mereka alami. Perjalanan berlangsung lancar, dan nanti sore mereka akan sampai pada sebuah tempat yang menjadi tujuan mereka. Seseorang yang diharapkan bisa membantu melawan pasukan yang telah menawan Diana.Matahari bersinar cukup terang, tapi ti
“Kita harus segera melakukan sesuatu, Rosan!” ujar Karim, dia benar-benar tidak bisa konsentrasi untuk menghadapi para prajurit di depan sana, para prajurit yang bersembunyi di balik bukit juga bebatuan besar.“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Karim. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu para pasukan bangsat itu kehabisan anak panah dan kita bertarung jarak dekat!” sahut Rosan, matanya tidak lepas dari pandangan yang mengarah tajam ke depan, ia sama sekali tidak kehilangan konsentrasi entah bagaimanapun keadaannya.Karim tidak sependapat dengan kakaknya. “Kita tidak bisa hanya menunggu, Rosan. Siapa yang melangkah lebih cepat maka akan sampai terlebih dahulu!”“Percuma berjalan lebih dahulu dan cepat,” Rosan memandang Karim sekejap, lalu kembali menatap ke depan, “jika langkah kita salah!” lanjutnya.Gelengan kepala kecewa dari Karim terdengar, ia benar-benar berbeda sifat dengan Rosan. Rosan lebih tenang dan bersabar menunggu sebuah hal, namun sebaliknya, Karim sama sek
Tangan kanan Danu mengirimkan pukulan namun dengan mudah Karim menepisnya. Hampir dua belas kali Danu mengirimkan pukulan, dua belas kali tendangan dengan tenaga penuh, sebanyak itu pula Karim menangkisnya. Permata tidak kalah cekatan, dia telah mengirimkan belasan tendangan dan pukulan kuatnya, nihil, tidak ada yang mengenai sasaran.Karim memasang busur panah itu di pundaknya, tanpa merasa bersalah ia tertawa keras-keras, “Hahaha! Kalian bukan lawanku!”Danu bertambah geram, ini bukanlah soal harga diri, tepi lebih dari itu. Ini adalah tentang amanah yang Danu emban dari Rangkasa, menjaga tempat Serat Agung sekarang tengah berada.Tangan mengepal, rahang mengatup kuat, Danu konsentrasi penuh. Permata tidak pernah melihat Danu seperti itu, matanya terpejam dengan sendirinya menyaksikan kengerian itu. “Hati-hati, Danu!” ujar Permata, Danu bergeming.“Haa....” Pukulan Danu mengarah pada wajah Karim.Bug...Sebuah pukulan yang kuat mengenai rahang Karim, dia marah, meringis kesakitan. D
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Permata, aku harus segera menemukan bagaimana cara menangkap perkataan dua naga itu!” kata Danu kepada Permata ketika siang hari, matanya memandang Permata lekat-lekat.“Apakah itu adalah bantuan yang akan diberikan oleh Kosala?” Permata menebak-nebak, dan tebakannya benar.“Benar sekali Permata. Jika aku bisa menerjemahkan apa yang dikatakan dua naga itu, maka kita akan mendapatkan bantuan yang sangat besar!” kata Danu sungguh bersemangat.Permata diam sejenak, diam antara senang sebab mendapatkan bantuan, bingung sebab belum mengetahui bagaimana cara berbicara dengan dua naga. “Berarti apa sekarang yang bisa aku lakukan untukmu, Danu?” tanya Permata dengan senyum mengembang di kedua pipinya, alis terangkat.“Aku juga belum mengerti apa yang harus aku lakukan, Permata. Intinya beberapa hari ini kita akan di sini terlebih dahulu sampai akhirnya aku bisa berbicara dengan dua naga itu!” kata Danu menjawab. Dia juga belum menemukan apa gerangan yang dapat ia lakukan untuk bisa berbicara
“Danu, ayolah aku inginkanmu malam ini!” Permata merajut, wajahnya dibuat semenawan mungkin.“Tidak, Permata! Aku tidak berani melakukannya!” sahut Danu, ia berusaha memalingkan wajah.Namun Permata tidak membiarkan Danu lepas begitu saja, ia menghadkan kembali wajah Danu padanya. Permata benar-benar kehilangan kendali dalam dirinya, dia menginginkan Danu malam ini.“Aku takut jika kamu akan hamil, Permata!” Danu menjelaskan apa yang membuat dirinya tidak berani.“Tidak akan. Aku akan membuat ramuan yang bisa membuat aku tidak hamil!” jelas Permata.“Tidak, Permata! Itu adalah sebuah perbuatan gila dan akan membahayakan dirimu!” terang Danu.Beberapa saat diam, Permata kembali merayu dan meremas-remas telapak tangan Danu, mengelus-elusnya.“Danu, aku sungguh tidak tahan lagi!” Permata merayu, matanya menyipit, mulutnya dibulatkan agar Danu tergoda.“Gila, kau benar-benar gila, Permata!” Danu kembali mengelak.Permata tidak kehilangan akal, ia merah tangan Danu dan meletakkan di lehern