Pulang sekolah, siang hari.
Udara siang terasa panas, tapi tidak dengan suasana hatiku.
Benar apa yang dikatan oleh mereka yang ahli dalam sebuah kata hikmah.
‘Masalah yang ada di depan kita, atau juga yang di belakang kita itu sangatlah kecil. Tapi masalah yang sangat besar ialah, masalah yang berada dalam diri kita sendiri’.
Aku masih di dalam kamar, berdiri di depan cermin yang jernih. Aku memandangi rambutku sejenak, hitam pekat. Setelah itu, aku pergi dari hada-pan cermin.
Ganti baju, memakai pakaian biasa sehari-hari.
Aku segera turun kebawah. Disana, terlihat Mama sedang membuat minuman. Aku segera menghampiri.
“Lagi buat apa, Ma?”
“Eh, Nisa. Ini Mama lagi buat kopi spesial. Kamu mau?”
Inilah kebiasaan Mama, sama seperti Zila jika di sekolahanku. Mengatakan sesuatu spesial, padahal hanya soto biasa. Dan ini, hanya kopi hitam biasa.
Aku hanya mengangguk. Tidak ada salahnya mencoba menikmati kopi hangat spesial. Hal lain, aku sebelum ini jarang sekali minum kopi. Biasanya hanya jika hari minggu, bersama dengan Papa dan Mama di depan rumah, sambil menikmati sejuknya pagi.
“Kamu makan saja dulu, Nisa. Mama sudah makan tadi, lapar sekali tadi”, Mama menengok kearahku dengan raut wajah cengengesan. Tidak usah disuruh lagi, aku langsung menuju tempat piring, dan segera mengambil makan siang.
Seperti biasa, Mama selalu memasak masakan yang sangat spesial setiap hari. Seperti hari ini, Mama masak sayur kangkung khas Jepang, padahal banyak kan resep kangkung dari Indonesia?
Setelah selesai makan, sepertinya kopi yang dibuat Mama sudah selesai. Giliranku mencoba minuman spesial siang ini.
****
Libur semester tinggal beberapa minggu lagi, tepanya dua minggu.
Aku tidak memikirkan soal liburan semester itu. Tapi, jauh yang lebih aku pikirkan adalah soal suasana hatiku ini.
Sejak tadi siang, tepatnya setelah mendengar percakapan Zila dengan Faisal, rasanya ada rasa baru yang masuk kedalam hatiku.
Meskipun tidak bercakap langsung dengannya, tapi dengan melihat satu senyuman dari wajahnya ketika memandangku, itu semua sudah cukup.
Itu artinya, buku yang aku baca selama ini menunjukkan kebenaran tentang tanda-tanda yang pertama. Aku terlihat sangat salah tingkah. Mungkin jika aku sedang sendirian, ketika Faisal pergi, aku akan lupa membayar makanan yang sudah aku pesan tadi, karena bahagia mungkin.
Ini adalah gejala kehidupan yang baru aku alami selama ini, belum pernah aku merasakan perasaan ini sebelumnya. Karena mungkin aku terlalu polos.
Waktu untuk siang ini masih panjang. Dan, aku juga tidak punya kegiatan lain selain tidur. Tidak, aku tidak akan tidur dulu siang ini. Aku mengambil hp yang dari tadi berada disebelahku. Mulai aku membuka menu, kembali lagi ke layar depan, serta membuka menu kembali (Pasti kalian sering kan kalau bingung mau ngapain). Akhirya, aku menemukan aplikasi yang pas. Dari dulu, sejak aku kecil aku sangat suka dengan game, salah satunya game peperangan dengan menggunakan tembak.
Dulu, sampai saat ini juga, bermain game selalu menjadi teman yang baik setelah bosan membaca, atau menonton televisi.
Aku mulai memainkan salah satu game tembak-tembakan terbaik. Tegang, sepertinya game ini selalu membuat begitu. Jengkel, jika tidak sengaja terkene tembakan lawan, padahal sudah merasa menghindar dan aman dari musuh. Tapi, asyiknya bermain itu disini. Jika menang terus-menerus maka akan menjadi membosankan pula.
Tidak bertahan lama aku bermain hp, karena sering sekali mati. Dan tentu saja, itu membuat aku menjadi sangat jengkel. Mungkin jengkelnya lebih tinggi dari pada mengetahui mantan punya pacar lagi. Tapi aku belum tahu. karena punya mantanpun aku tidak pernah.
Bukan apa alasanku tidak mempunyai pacar atau seperti yang teman-teman katakan, pasangan hidup, bukan karena aku belum mendapat seseorang yang tepat, melainkan aku terlalu minder. Tidak berani mendekati orang yang aku suka. Sebenarnya, aku pernah suka dengan salah satu siswa waktu aku masih kelas satu SMA. Tapi juga seperti kebiasaan lama, aku terlebih dahulu minder melihat seseorang yang aku sukai.
****
Manusia begitu bodoh, sehingga mudah sekali terbujuk oleh syetan. Bahkan tidak jarang, manusia memasuki sebuah lembah dosa bukan karena dorongan syetan, tidak lebih karena karakter manusia yang sudah menjadi pendosa. Kadang kala syetan merasa bosan membujuk manusia, karena manusia sudah berjalan menuju sebuah dosa tanpa bujuk rayunya.
Maka, dari sini kita dapat menyimpulkan. Bahwasanya manusia buruk bukan karena seratus persen pengaruh syetan. Memang awalnya dia sangat berperan mengangkat manusia munuju tempat yang sangat hina. Namun ketika manusia sudah menikmati perjalanan itu, maka kebanyakan syetan akan mengundurkan diri dan mencari mangsa yang baru. Memang, beginilah kehidupan.
****
Bangun tidur, sore hari.
Aku baru bangun dari tidur siang ketika waktu menunjukkan pukul lima sore. Aku segera mandi, dan berganti pakaian. Perlu kalian ketahui. Aku bukanlah cewek yang suka berdandan seperti kebanyakan yang lain. Aku lebih suka berpenampilan apa adanya, bukan ada apanya. Memang, meskipun teman-teman bilang aku itu manis (Jadi kePDan deh), tapi aku tidak mengakui kemanisan itu untuk diriku sendiri. Karena apa? Kemanisan itu bukan diukur dari materi luar, tapi manis itu harus bersumber dari hati yang paling dalam.
Sudahlah, aku tidak ingin seperti santri yang setiap hari berbicara tentang filosofi kehidupan. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.
Mama terlihat masih sibuk lagi menyiapkan makan malam untuk keluarga nanti. Aku memutuskan untuk membantunya. Jarang sekali aku membantu Mama, apa lagi tentang urusan memasak.
“Selamat sore, Mama. Adakah yang bisa saya bantu?” Aku mendatangi Mama di dapur, yang sedang menghaluskan apalah itu, aku tidak mengetahuinya. Kalau dilihat dari baunya, eh, maksudku warnanya, sepertinya Mama sedang menghaluskan bawang merah dan juga putih.
“Kamu kemana saja baru nongol, Nisa? Daari tadi Mama membutuhkan bantuan malah tidak ada petugas yang datang”, aku bengong sejenak, lalu menatap Mama kembali. Emangnya sejak kapan ada petugas yang bekerja membantu Ibu rumah tangga masak?
“Eh, maksudnya apa, Mah? Mamah ingin mencari pembantu?” Tanyaku menyelidiki apa yang sedang dikatakan Mama.
“Tidak. Kamu bisa kan menggoreng tempe? Nah itu saja yang akan kamu bantu sore ini”, Mama telah memberikanku tugas pertama sore ini. baiklah, kalau hanya menggoreng tempe maka aku akan bisa melakukannya.
Segera aku mengambil tempe dari dalam kulkas yang tadi ditunjukkan Mama. Setelah itu, aku membuka tempe yang terbungkus rapat oleh plastik, memotong kecil-kecil seperti biasanya Mama menyajikan tempe yang sudah matang di meja makan.
Setelah itu, aku segera menuangkan minyak goring kedalam wajan yang sudah disiapkan di atas kompor. Ternyata yang dihaluskan Mama tadi adalah bumbu yang digunakan untuk menggoreng tempe, dicelupkan terlebih dahulu sebelum dimasukkan kedalam minyak goreng.
Baiklah teman-teman semua. Walaupun aku katanya cantik, tapi aku suka membantu Mama masak, walaupun bari sekali ini. Atau setidaknya aku lupa kapan terakhir kali membatu Mama memasak. Maka aku memberikan saran kepada teman-teman semua yang masih tidak suka memasak, mulai hari ini kita harus suka memasak, dan juga membantu orang tua tentunya.
Bau harus keluar dari dalam minyak tanah. Aku sangat menyukai aroma ini. Dulu, waktu aku masih kecil, aku sangat suka sekali menemani Mama yang sedang masak, terutama yang sedang menggoreng tempe. Setiap kali sudah matang, maka aku akan mendekatinya, dan mencicipinya sampai habis.
Tidak, terasa, hari sudah mulai malam. Saat ini menunjukkan pukul setengah delapan malam. Sebentar lagi Papa akan pulang dari kantor.
Disetiap makan malam yang kami lakukan, pasti akan menghadirkan kesan tersendiri bagi keluarga. Mungkin mala mini juga akan menghadirkan momen spesial yang berbeda dengan hari-hari yang sudah lewat.
Dari depan rumah, tepatnya dari tepi jalan terdengar suara mobil merapat. Tidak salah lagi, pasti itu Papa. Terdengar suara gerbang rumah didorong, terbuka agar mobil Papa bisa memasuki halaman rumah.
Benar saja. Tidak lama setelah gerbang tadi dibuka, Papa terlihat berjalan gontai membuka dan memasuki pintu rumah, dengan membawa tas kerja yang setiap hari Papa bawa.
“Selamat malam, Mama, Nisa! Maaf Papa baru bisa pulang sekarang”, seperti biasa, Papa selalu mengucapkan kalimat maaf setelah pulang, dan melihat aku dan Mama sudah berada dimeja makan.
Mama segera menyambutnya, membawakan tasnya. Setelah itu, Papa terlihat menyandarkan diri dikursi depan televisi. Dia mencopot sepatu, lalu sembarangan melemparkan sepatu itu kesudut ruanngan. Papa melangkah ke kamar. Seperti biasa. Dia akan berganti pakaian terlebih dahulu, setelah itu bari bergabung bersama kami di meja makan.
Tidak lama setelah masuk kamar, Papa sudah keluar kembali dengan berpakaian biasa. Dan segera bergabung pula dengan kami.
“Wah, kelihatannya Mama masak spesial malam ini”, Papa mulai memecah keheningan malam, yang sejak tadi aku dan Mama tidak tertarik untuk membicarakan suatu hal. Aku langsung menjawab perkataan Papa.
“Iya ini, Pah. Mama malam ini masak masakan spesial. Apalagi yang itu, Pa, tempe paling nikmat yang akan Papa makan dalam seumur hidup”, aku menunjuk tempe yang tadi aku goreng. Mama langsung menyergah.
“Jangan percaya, Pa. Tadi yang menggoreng itu Nisa. Lihat saja warnanya sudah sangat gelap”
“Enak saja Mama bilang. Tadi Nisa itu menggoreng dengan penuh penghayatan, makanya wajar saja kalau warnanya menjadi begitu”, aku menunjuk kembali tempe yang sebenarnya memang sedikit gosong. Tapi tidak apalah, itu sudah resiko menjadi tukang masak pemula.
Papa terlihat mengulurkan tangannya, mengambil satu potong tempe. Papa terlihat menikmati tempe tadi.
“Emmm …. Benar, Ma. Nisa memang jago membuat filosofi kehidupan dengan tempe ini”, angkat bicara Papa setelah menghabiskan. Lalu melanjutkan kembali.
“Dengan tempe ini, Papa bisa merasakan pahitnya kehidupan. Rasanya sama persis dengan tempe ini, ada pahitnya juga”. Aku langsung tahu apa yang sebenarnya dikatakan Papa. Bahwa sebenarya tempe yang aku goreng rasanya pahit, karena terlalu lama mengendap di wajan.
Benar sekali. Meskipun sederhana, tapi makan malam kami akan selalu menghadirkan kesan yang berbeda.
Dari sini aku juga banyak belajar. Bahwa semua hal itu harus ada ilmunya, dan jika kita akan melakukan hal itu maka kita harus terlebih dahulu mempunyai ilmunya. Walaupun kelihatanya sepele, namun jika tidak mempunyai ilmunya, maka jadinya akan gosong seperti tempe tadi. Dari sini aku juga bisa belajar. Sepahit apapun tempe yang aku goreng, maka masih ada rasa gurih yang tersisa, atau setidaknya kandungan gizinya. Begitupun dengan manusia, walaupun sangat menyebalkan, maka pasti masih ada kebaikan yang bisa kita ambil darinya.
Setelah Papa mencicipi tempa, akhirnya kamipun mulai makan malam bersama. Sebuah kebahagiaan akan lahir dari kebersamaan. Tadi belum tentu kebersamaan akan selalu menghasilkan kebahagiaan. Inilah hidup. Filosofi tentang satu potong tempe.
“Ma … Mama sudah menyiapkan perjalanan kita semua atau belum?” Papa memulai pembicaraan lagi setelah selesai makan, tepatnya dengan menikmati minuman yang sudah disediakan Mama.
“Belum, Pa. Memangnya kita akan berlibur kemana? Bandung atau Surabaya?” Mama membalas pertanyaan Papa tadi. Aku juga mengikuti pembicaraan malam ini.
“Mama belum tahu, ya? Kan liburan ini kita akan berkunjung ke desa”, aku melihat Mama yang masih penasaran.
“Oh, jadi kalian sepakat tidak memberi tahu Mama dahulu?” raut wajah Mama terlihat menyelidik.
Aku hanya tertawa setelah mendengarkan kata-kata dari Mama.
Lokasi desa yang akan kami kunjungi lumayan jauh, yaitu perjalanan satu hari satu malam. Lokasinya di Jawa Timur, tepatnya kota Nganjuk. Pernahkah teman-teman semua mendengar nama kota itu? Salah satu kota besar yang berada di Jatim.
****
Malam yang sunyi, aku tergeletak sendirian di dalam kamar. Malam ini begitu sunyi. Mungkin sesunyi hati manusia yang tidak pernah diambah yang namanya cinta. Itulah gambaran singkat tentang mala mini. Tidak, gambaran itu juga sedang menggamabarkan suasana hatiku yang belum terambah cinta sampai detik ini.
Cinta selalu dan akan membuat manusia lupa akan segalanya. Dengan cinta manusia mampu bahagia. Namun juga atas nama cinta, tidak sesikit pula manusia yang gila. Ini memang sudah jalan yang aku hadapi, membuat diri ini sepi dari cinta.
Aku memegang hp, lalu menyalakannya, memasukkan pola kunci yang telah terpasang. Beberapa kali gagal karena aku tidak sepenuhnya konsentrasi kepada hp. Ada seseorang yang lebih membuat hatiku konsentrasi padanya. Entahlah, sejak dua hari yang lalu aku merasa ada yang aneh terjadi dalam keseharianku. Aku biasanya yang sangat suka sekali bermain game, hanya bisa bertahan beberapa menit dan meninggalkanya.
Aku mulai menggunakan hp itu. Pertama, yang aku tuju ialah salah satu sosmed paling digemari remaja sekarang. Tidak, bukan hanya remaja, namun juga ibu-ibu yang tidak kalah eksis. Terlihat ada beberapa pemberitahuan yang masuh, dan ada juga beberapa tulisan angka merah yang menandakan ada pesan masuk. Aku tidak langsung membuka pesan itu, tidak tertarik. Yang aku tuju adalah ruang pencarian teman. Disana aku mengetikkan nama seseorang. Tentunya kalian semua sudah tahu bukan? Iya, yang aku tulis adalah namanya, Faisal.
Hp segera menampakkan informasi yang aku minta. Disana, terpampang foto dia yang sedang memakai seragam, bersama dengan kelurganya mungkin, dengan latar belakang sebuah rumah yang biasa-biasa saja. Mungkin dia juga berasal dari keluarga yang bahagia.
Aku segera menggeser layar hp kebawah, melihat foto-fotonya yang lain. Diantara sekian banyak foto, hanya beberapa yang menggambarkan dia sedang sendirian. Maka aku langsung mengetunya, memperbesar, dan memandangnya.
Hanya satu foto yang membuat aku tertahan sampai beberapa menit. Bahkan, selama ini aku terlalu cuek dengan unggahan orang lain, sehingga aku baru merasa serius melihat unggahan ini.
Aku tersenyum sendirian di dalam kamar, masih memandang foto itu. Entah kenapa hatiku begitu bahagia, laksana bumi yang bergesekan dengan meteor, maka atmosfer akan mengeluarkan nyala api yang indah. Atau juga seperti hamparan salju di kutub utara. Berbaring di atas salju, dengan melihat indahnya aurora yang menari-nari di atas langit, yang tidak akan pernah kita jumpai di Ibu Kota.
Malam semakin menghilangkan banyak suara yang terjadi. Seperti cinta yang menghilangkan separuh kesadaran manusia. Cinta tidak salah, tapi yang menyalah gunakan adalah manusia sendiri.
Akhirnya aku sudah mulai bosan juga melihat foto itu. Sebenarnya tidak bosan, lebih karena aku sudah mulai mengantuk. Aku membuka tab pesan. Disana ada tiga pesan yang tadi aku abaikan. Salah satunya dari sahabat setiaku, Zila.
“Hai, Nisa. Jangan banyak-banyak melamun, ya! Jangan sampai kemasukan Om Jin …”
Seperti biasa, dia selalu menggodaku dalam segala hal beberapa hari ini. aku tidak membalas pesan itu, hanya membacanya. Aku membuka lagi pasan yang dibawahnya. Pesan itu juga tidak menarik untuk lama-lama aku baca, juga dari temanku di sekolah. Masih ada satu yang belum aku baca.
“Selamat malam, Nisa!”
Aurora kembali menari-nari dalam kepalaku setelah aku membaca pesan singkat itu. Tidak salah lagi, mungkin ini yang dikatakan oleh filsuf Yunani, dan dia memberikan nama benda itu dengan sebutan cinta. Tidak terlihat, namun begitu menyiksa. Tidak berwarna, tapi membutakan mata. Tidak berasa, tapi sesekali akan membuat orang menjadi gila.
Inilah pengalamanku pertama kali mendapat pesan singkat dari orang yang aku dambakan. Meteor tidak ada apa-apanya dibanding dengan sinar yang masuk kedalam hati ini. Aku melihat pesan itu lebih dalam lagi, mendekatkan layar hp ke mata. Pesan itu masuk sekitar satu setengah jam yang lalu. Aku mengeluh untuk dua hal. Satu, kenapa aku tidak membuka hp sejak makan malam tadi, atau aku menunda makan malam. Dua, karena aku bingung, bagaimana cara membalas pesan ini. bukan cara mengirimnya yang aku tidak bisa, tapi tentang kata apa yang akan aku tuliskan. Dia terlihat tidak aktif. Aku khawatir. Jangan-jangan dia sudah terlalu lama menunggu jawaban, dan menyerah karena aku tidak sedang aktif.
“Malam juga, Faisal”.
Dalam hatiku aku berkata demikian.
****
Ruangan ini sepi, tidak banyak pasukan lawan yang berjaga disini. Aku sudah tidak dapat lagi berbuat apapun. Disini, Hanya ada pasukanku yang masih hidup, dan beberapa pasukan lawan yang berjaga-jaga, bergantian dari ruangan satu ke ruangan yang lainnya.
Suasana pertempuran sudah hilang, digantikan dengan suasana sepi yang menyeka setiap bagian ruangan. Hanya satu yang masih bisa aku lakukan, yaitu menunggu. Iya, menunggu adalah langkah terbaik sekaligus langkah terakhir yang tersisa. Mungkin beberapa jam lagi pasukan bantuan akan datang setelah menerima nada darurat dari alat yang aku jatuhkan tadi.
Hidup ini memang sangat aneh bin ajaib. Sekitar lima hari yang lalu aku mengalahkan pasukan pemberontak yang membuat kacau negeri ini. tapi sekarang? Sekarang aku hanya terdiam dengan tangan dan kaki diikat. Scenario Tuhan nmemang sangat indah. Tidak akan pernah ada manusia yang jenuh dengan petualangan hidup ini. sebenarnya, apakah yang akan kita cari dari perjalanan ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah menjadikan seluruh hidup ini mengarah kepada Tuhan. Niscaya Tuhan akan mengubah skenarionya agar lebih baik untuk manusia.
Akhirnya aku memilih untuk istirahat sejenak sembari menunggu bantuan datang. Walaupun tangan dan kaki diikat, aku masih bisa memejamkan mata, tidak lebih karena lelah.
Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?****Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan s
Pelajaran pertama sudah dimulai sejak tadi. Ibu guru terlihat semangat mengajar di depan papan tulis. Usianya yang sudah menginjak kepala lima tidak mempengaruhi semangatnya. Kali ini pelajaran IPA, atau lebih mengarah kepada Biologi.“Murid-murid, hari ini kita telah belajar tentang tubuh dan organ manusia. Tahukah kalian, berapa harikah manusia bisa bertahan tidak tidur?” Ibu guru memberikan semua murid satu pertanyaan. Aku belum mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Maka aku memperhatikan guru yang sedang bertanya.Semua murid juga terlihat belum mengetahui fakta tentang hal ini. belum ada siswa yang angkat tangan untuk menjawab.“Baiklah, jika kalian semua belum mengetahui fakta ini, Ibu akan dengan senang hati memberikan ilmu tambahan kepada kalian semua. Jadi, menurut sebuah penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli, manusia bisa bertahan tidak tidur selama 14 hari. Juga manusia paling lama mampu bertahan tidak bernapas selama 11 m
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, m
Seperti biasanya, ketika pagi hari aku berangkat sekolah dengan sebelumnya sarapan bersama keluarga. Sungguh sebuah momen yang sebenarnya ingin aku tinggalkan begitu saja, yaitu sarapan dengan keluarga, ada papah dan mama. Mengapa demikian? Sebab jika sarapan bersama dengan mereka berdua, selalu saja ada hal tentang keburukanku yang menjadi sasaran pembicaraan. “Nisa, kamu kok semakin wangi saja dari hari ke hari.” Ujar papa yang menyadari bahwa aku berbau wangi, tidak seperti minggu-minggu sebelumnya. Memang benar, minggu-minggu sebelumnya, sebelum aku mengenal sebuah rasa seperti ini, aku tidak terlalu suka dengan minyak wangi, atau bahkan aku jarang sekali menggunakannya. Aku merasa sudah cukup saja dengan bau wangi yang semerbak dari bajuku, pewangi yang digunakan mama ketika mencucinya. “Mumpung masih punya, pa.” Jawabku ringan sembari meneruskan makan. “Memangnya sebelum ini kamu tidak punya?” sahut mama. Benar apa yang aku sangkakan tad
Langit cerah, bintang-gemintang nampak di sana. Itulah pemandangan yang aku lihat ketika berada di teras lantai dua rumahku. Tidak ada yang menghalangi mata dari pemandangan tersebut. Namun sayang, malam ini tidak ada rembulan yang biasanya bersinar kekungingan. Rembulan mendapatkan jatah libur sampai beberapa hari ke depan, atau aku saja yang terlalu tidak kuat menunggu datangnya. Bintang-gemintang jauh mengangkasa menunjukkan bahwa dia adalah sang raja, untuk malam ini.Pukul delapan malam, aku tiba-tiba teringat dengan pasar malam, dan hatiku mengatakan bahwa aku harus ke sana. Ah, semoga saja mama mengijinkan aku untuk pergi malam ini. Mumpung waktu belum terlalu malam, akhirnya dengan segera aku meminta ijin kepada mama, juga papa. Mereka berdua tengah asyik mengobrol di depan layar televisi, entah apa yang mereka bincangkan aku tidak tahu. Dan, aku juga tidak ingin mengetahuinya. Palingan, itu adalah pembicaraan tentang masa depan dan urusan pekerjaan.“Pap
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yan
Lima menit sudah aku berada di luar kelas. Benar sekali, seperti yang aku bayangkan, bahwa suasana di luar kelas ketika pelajaran berlangsung akan menjadi semakin nikmat. Angin sepoi-sepoi tertiup dari sudut lapangan, menggerak-gerakkan pepohonan tepian lapangan, lalu mengenai tubuh dan rambutku. Wow, benar-benar udara yang sangat nikmat. Tidak terasa, sudah hampir sepuluh menit aku berada di luar kelas.Ah, sebaiknya sekarang aku masuk. Lagi pula, aku juga sudah tidak terlalu mengantuk. Sekarang, aku lebih siap untuk mengikuti pelajaran, tapi tidak untuk paham. Wkwkw.Tapi sebelum aku masuk, aku melihat ada siswa lain selain diriku yang berada di luar ruang kelas. Lihat! Bukankah itu adalah Adi, pedagang buku yang pada awalnya sangat menyebalkan itu? Iya, aku tidak salah lihat, itu adalah Adi. Akan ke mana dia? Sepertinya dia akan ke kamar mandi. Dan, tentunya dia akan melewati tempatku berdiri sekarang ini. Baiklah, akhirnya aku memelankan langkah, berharap agar dia
Entah kenapa tiba-tiba malam ini aku ingin pergi ke pasar malam. Buku apalagi yang akan aku beli? Padahal, komik yang aku beli beberap hari lalu belum aku selesaikan. Ah, entahlah, akhir-akhir ini aku suka sekali tidak jelas. Baiklah, aku akan meminta ijin kepada mama dan papa. Benar, meskipun aku sudah dewasa, tapi kalau masalah ijin keluar rumah, orang tua selalu mewajibkan hal tersebut.Mama dan papa terlihat tengah asyik menonton acara televisi. Pelan-pelan aku berjalan menghampiri mereka. Semoga saja mereka berdua mengijinkanku. “Mah, aku ijin keluar sebentar.” Kataku manja.“Nisa mau ke mana?” papa yang bertanya balik.Lalu, mama menambahi, “Mau ke mana?”Aku menjawab seperti biasanya, “Nisa mau ke pasar malam. Sebentar saja, tidak sampai pukul sepuluh aku sudah pulang.”“Bagaimana ini, ma?” tanya papa kepada mama.Mama tersenyum. Syukurlah, sepertinya papa dan mama mengijinka
Kisah Nisa selalu menjadi menarik ketika manusia menjadi saling membunuh sebabnya. Maka dari itu, jangan sampai berhenti menjadi manusia yang lebih baik. ***Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu.
Jika kalian mengira bahwa dimensi ruang itu hanya satu, maka adalah sebuah kesalahan besar. Dimensi tidak terkira jumlahnya, hanya saja kita tidak atau belum mengenalnya. Tahukah kalian bahwa bangsa Jin itu bisa hidup bahkan sampai dua ribu tahun? Tahukah kalian bahwa satu hari pada hari manusia, itu sama dengan satu tahun dalam waktu Jin? Atau, tahukah kalian bahwa di bawah tanah sana ada sebuah bangsa yang telah membodohi manusia bahwa yang membuat gempa adalah pergerakan lempeng? Merekalah yang menjadikan gempa bumi, dan novel ini akan menguak tabir misteri tersebut.***“Apakah semua sudah siap?” tanya Misa selaku ketua rombongan kecil itu.Mereka berkumpul dan berangkat dari rumah Misa, pukul setengah tujuh malam. Mereka menuju sebuah desa yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing. Dika, akan menjadi sopir mobil pribadi ayahnya yang mereka pinjam.Rombongan itu berjumlah empat mahasiswa. Misa, Dika, Aurel, dan Jimat. Sebenarnya nama Jimat bukanlah nama asli, aslinya Rahmat. Nam
Malam yang gelap telah tergantikan dengan sinar matahari yang menerangi. Hawa hangat berangsur-angsur kembali menemani setiap tarikan nafas manusia.Malam yang larut itu dilalui Danu dan Permata dengan bersembunyi di balik bongkahan batu besar, semak-semak mengelilinginya. Desa yang mereka berdua lewati tidak menyediakan penginapan, semua pintu telah tertutup ketika mereka mengamati dengan mengendarai kudanya. Tidak ada pintu yang terbuka, mereka berdua memilih untuk bermalam pada tempat yang aman. Batu akan melindungi dari hujan jika sewaktu-waktu turun kembali, semak-semak melindungi dari gangguan hewan ataupun manusia.“Kita lanjutkan perjalanan, Permata!” kata Danu.Perjalanan siang itu sepertinya tidak banyak halangan dan rintangan yang mereka alami. Perjalanan berlangsung lancar, dan nanti sore mereka akan sampai pada sebuah tempat yang menjadi tujuan mereka. Seseorang yang diharapkan bisa membantu melawan pasukan yang telah menawan Diana.Matahari bersinar cukup terang, tapi ti
“Kita harus segera melakukan sesuatu, Rosan!” ujar Karim, dia benar-benar tidak bisa konsentrasi untuk menghadapi para prajurit di depan sana, para prajurit yang bersembunyi di balik bukit juga bebatuan besar.“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Karim. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu para pasukan bangsat itu kehabisan anak panah dan kita bertarung jarak dekat!” sahut Rosan, matanya tidak lepas dari pandangan yang mengarah tajam ke depan, ia sama sekali tidak kehilangan konsentrasi entah bagaimanapun keadaannya.Karim tidak sependapat dengan kakaknya. “Kita tidak bisa hanya menunggu, Rosan. Siapa yang melangkah lebih cepat maka akan sampai terlebih dahulu!”“Percuma berjalan lebih dahulu dan cepat,” Rosan memandang Karim sekejap, lalu kembali menatap ke depan, “jika langkah kita salah!” lanjutnya.Gelengan kepala kecewa dari Karim terdengar, ia benar-benar berbeda sifat dengan Rosan. Rosan lebih tenang dan bersabar menunggu sebuah hal, namun sebaliknya, Karim sama sek
Tangan kanan Danu mengirimkan pukulan namun dengan mudah Karim menepisnya. Hampir dua belas kali Danu mengirimkan pukulan, dua belas kali tendangan dengan tenaga penuh, sebanyak itu pula Karim menangkisnya. Permata tidak kalah cekatan, dia telah mengirimkan belasan tendangan dan pukulan kuatnya, nihil, tidak ada yang mengenai sasaran.Karim memasang busur panah itu di pundaknya, tanpa merasa bersalah ia tertawa keras-keras, “Hahaha! Kalian bukan lawanku!”Danu bertambah geram, ini bukanlah soal harga diri, tepi lebih dari itu. Ini adalah tentang amanah yang Danu emban dari Rangkasa, menjaga tempat Serat Agung sekarang tengah berada.Tangan mengepal, rahang mengatup kuat, Danu konsentrasi penuh. Permata tidak pernah melihat Danu seperti itu, matanya terpejam dengan sendirinya menyaksikan kengerian itu. “Hati-hati, Danu!” ujar Permata, Danu bergeming.“Haa....” Pukulan Danu mengarah pada wajah Karim.Bug...Sebuah pukulan yang kuat mengenai rahang Karim, dia marah, meringis kesakitan. D
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Permata, aku harus segera menemukan bagaimana cara menangkap perkataan dua naga itu!” kata Danu kepada Permata ketika siang hari, matanya memandang Permata lekat-lekat.“Apakah itu adalah bantuan yang akan diberikan oleh Kosala?” Permata menebak-nebak, dan tebakannya benar.“Benar sekali Permata. Jika aku bisa menerjemahkan apa yang dikatakan dua naga itu, maka kita akan mendapatkan bantuan yang sangat besar!” kata Danu sungguh bersemangat.Permata diam sejenak, diam antara senang sebab mendapatkan bantuan, bingung sebab belum mengetahui bagaimana cara berbicara dengan dua naga. “Berarti apa sekarang yang bisa aku lakukan untukmu, Danu?” tanya Permata dengan senyum mengembang di kedua pipinya, alis terangkat.“Aku juga belum mengerti apa yang harus aku lakukan, Permata. Intinya beberapa hari ini kita akan di sini terlebih dahulu sampai akhirnya aku bisa berbicara dengan dua naga itu!” kata Danu menjawab. Dia juga belum menemukan apa gerangan yang dapat ia lakukan untuk bisa berbicara
“Danu, ayolah aku inginkanmu malam ini!” Permata merajut, wajahnya dibuat semenawan mungkin.“Tidak, Permata! Aku tidak berani melakukannya!” sahut Danu, ia berusaha memalingkan wajah.Namun Permata tidak membiarkan Danu lepas begitu saja, ia menghadkan kembali wajah Danu padanya. Permata benar-benar kehilangan kendali dalam dirinya, dia menginginkan Danu malam ini.“Aku takut jika kamu akan hamil, Permata!” Danu menjelaskan apa yang membuat dirinya tidak berani.“Tidak akan. Aku akan membuat ramuan yang bisa membuat aku tidak hamil!” jelas Permata.“Tidak, Permata! Itu adalah sebuah perbuatan gila dan akan membahayakan dirimu!” terang Danu.Beberapa saat diam, Permata kembali merayu dan meremas-remas telapak tangan Danu, mengelus-elusnya.“Danu, aku sungguh tidak tahan lagi!” Permata merayu, matanya menyipit, mulutnya dibulatkan agar Danu tergoda.“Gila, kau benar-benar gila, Permata!” Danu kembali mengelak.Permata tidak kehilangan akal, ia merah tangan Danu dan meletakkan di lehern