Home / Romansa / Embun Cinta / Anak Baik

Share

Anak Baik

Author: Azka Taslimi
last update Last Updated: 2021-10-20 15:36:53

Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.

Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?

****

Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.

Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan sarapan pagi bersama-sama.

Oh iya, aku lupa. Jika ada dari kalian yang bertanya kepadaku mimpi apa aku semalam, maka aku akan menceritakannya sekarang. Tadi malam, tidak banyak mimpi yang aku lakukan, hanya singkat. Saat aku berada di depan gerbang sekolah, tiba-tiba ada segerombolan orang yang menyerangku, entah apa yang mereka inginkan. Kelompok itu melempariku batu-batu kecil dalam jumlah banyak. aku hanya terkene salah satu batu kecil tersebut, dan aku terbangun. Saat itulah ternyata Mama mengetuk pintu dari luar dengan salah satu peralatan masak. Lucu bukan mimpi yang aku alami?

Selesai sarapan, akhirnya aku berangkat sekolah bersama dengan Papa, seperti biasa. Jalanan yang macet masih menjadi sajian utama dipagi hari. Mungkin agak berbeda jika gubernur Ibu Kota diganti dengan orang yang lebih cerdas, sehingga akan melarang kendaraan melintas dipagi hari. Maka, sukses sudah misi itu dari pada menggembor-gemborkan akan memberantas korupsi tapi dia sendiri malah menjadi tuannya.

Hari ini masih dengan matahari yang sama, langit yang sama, serta dengan perasaan yang sama, entah apa aku menyebut rasa itu. Tapi aku sudah bersepakat dengan Tuhan, bahwa kami akan menyebut rasa itu dengan sebutan ‘cinta’.

Setengah jam berada di dalam mobil, berpacu dengan jalanan ramai Ibu Kota, akhirnya kami sampai juga di depan gerbang sekolah. Disana sudah ramai oleh kendaraan yang akan masuk, para pelajar yang mencangklung tas, serta kendaraan yang menurunkan penumpang.

Aku turun dari atas mobil, menatap kaca depan mobil sejenak, lalu baru melangkah.

“Hati-hati, Nisa!” Kalimat yang seperti aku dengar setiap hari setelah turun dari mobil.

Udara pagi masih pekat menyelimuti, tapi suasana telah cerah dengan sinaran matahari. Anak-anak lelaki terlihat bermain bola basket, latihan passing, dan ada yang hanya melihat dari pinggiran lapangan. Aku tidak kenal mereka keseluruhan. Ada yang aku kenal, dan aku atau mereka sesekali bergantian menyapa.

Aku tidak ikut bergabung dengan teman-temanku yang berada di sekitar lapangan. Langsung menuju kelas, kira-kira lima menit aku telah sampai. Di dalam kelas belum banyak anak yang masuk, termasuk juga Zila. Tidak seperti biasanya dia belum berada di dalam kelas ketika aku masuk. Mungkin dia bangun kesiangan hari ini, dan mungkin juga terjebak macet.

Masih sepi, karena saat ini belum terdengar lonceng berbunyi. Aku melangkah menuju tempat duduk seperti biasa. Ini memang hari yang sama dengan hari-hari yang lalu. Entahlah, aku mengeluarkan novel kesayanganku selama ini dari dalam tas, novel karangan Azka Taslimi, masing tentang cinta yang gila.

Akhirnya Zila datang juga setelah aku menantinya. Sebenarnya aku dak menantinya. Tapi karena biasanya dia berada di sampingku, maka akan terasa ganjil jika dia tidak berada sekarang. Dia berjalan cepat-cepat menuju bangku dimana aku sekarang berada. Banar apa yang aku duga, dia bangun kesiangan kali ini.

“Nisa, kamu sudah sampai?” Dia bertanya setelah duduk di sampingku.

“Dari sebelum Belanda datang aku sudah sampai duluan”, jawabku dengan tidak melihatnya, masih melihat buku yang aku pegang.

“Hari ini memang hari yang buruk. Masak aku harus bangun kesiangan, dan sialnya lagi jalanana macet bukan main”, dia berceloteh sendiri. Tidak sendiri, sebenarnya kalimat untuk ingin dia ungkapkan kepadaku. Dalam hati aku langsung menyahut “Inikan memang sudah kebiasaan lama masyarakat Ibu Kota”.

Lonceng tanda masuk sudah berbunyi, pelajaran pertama dimulai. Matematika.

Pak Roto sudah masuk, dan memulai pelajaran. Rumus-rumus yang membuat jenuh semua murid SMA mulai terpampang di papan tulis. Aku paham pelajaran ini, tapi aku tidak tertarik untuk memperdalamnya. Melihat, menulis, semua tulisan yang ada di papan tulis.

Akhirnya pelajaran pertama dan kedua selesai juga. Lonceng tanda istirahat sudah berbunyi kesekian kalinya sepanjang tahun ini.

Aku melangkah menuju kantin, seperti biasa. Tanpa banyak tanya, Zila mengikutiku dari belakang, lalu menyejajari langkahku setelah sampai di luar kelas. Suasana ramai oleh para pelajar yang ingin melakukan kebebasan ketika istirahat.

Sampai kanti, seperti biasa, memesan dua porsi makanan. Satu soto tidak pakai spesial, dan juga batagor. Ini kesekian kalinya aku berada di kantin ini, dan makan bersama dengan Zila. Jarang sekali kami makan selain di kantin ini, kantinya Bang Ali.

“Apa kabar kamu, Nis … “, Zila memecah keheningan bangku makan kami yang dari tadi tidak ada pembicaraan. Aku lebih banyak hanya melamun.

“Eh, apa maksudmu, Zil … Aku baik-baik saja. Mungkin kamu tuh yang perlu ke dokter”, aku membalas dengan nada jengkel.

“Bukan itu yang aku masuk. Tadi malam aku mendapatkan laporan bahwa kamu kebanyakan melamun sejak dua hari yang lalu. Apakah benar seperti itu?” Aku tidak langsung menjawab, masih bingung dengan pertanyaan Zila. Lalu, tidak lama kemudian baru aku menjawab.

“Laporan? Enak saja aku kebanyakan melamun. Kamu mungkin yang terlalu banyak melamu. Aku? Tidak, aku biasa-biasa saja”. Aku menjawab dengan nada paling jengkel yang ada di dunia, khususnya daerah Asia Tenggara.

Percakapan kami berhenti, pesanan kami telah datang. Dan, sudah waktunya bergantian mengomentari masakan Bang Ali hari ini.

Hari ini kantin tidak seperti hari-hari biasa. Maksudku hari ini terlalu ramai untuk ukuran kantin yang Bang Ali jaga. Meskipun hari-hari yang lalu juga ramai, tapi hari ini ramainya tidak seperti biasa. Ada sebuah badut yang ikut makan disini, atau setidaknya badut itu beraksi, bergaya makan disalah satu meja kantin.

Jaman memang sudah modern. Badut itu terlihat memgang sebuah kamera dengan merk yang sudah terkenal. Entah penghasilan badut itu tambah berapa jika dia membawa kamera tersebut. Sesekali dia bergaya memotret siswa yang sedang lewat. Aku tidak terlalu memerhatikanya, aku terlalu asyik makan makanan yang aku pesan. Biarkan badut itu menjalani pekerjaanya sendiri.

Makanan kami sudah habis disantap. Badut itu juga sudah dari tadi pergi. Sejenak sebelum pergi, badut itu mengunjungi tempat aku dan Zila berada. Sepertinya mengajak salaman. Tanpa ragu Zila mengulurkan tangan terlebih dahulu kepadanya. Aku juga mengikuti langkah tangan Zila, besalaman. Dan, akhirnya kami kembali ke dalam kelas, melanjutkan pelajaran terahir hari ini sebelum pulang.

****

Pulang sekolah, seperti hari-hari yang sudah lalu. Melihat Mama bekerja sendirian di dapur, dan juga menunggu Papa yang belum pulang dari kerja.

Di depan televisi, aku menghabiskan makan siang sendirian. Aku juga tidak begitu memerhatikan layar televisi, hanya sesekali melihat dan kembali mengabaikan.

Mulai saat ini aku harus mulai rajin belajar, karene beberapa hari lagi aku akan menjalani ujian akhir semester. Bonusnya, aku akan pulang kampung, atau aku akan berlibur ke sebuah desa asal mula keluargaku. Sebenarnya aku sering kesana, tapi tidak untuk akhir-akhir ini. aku ingat, terakhir kali aku berkunjung kesana ketika aku masih kelas 1 SMP. Sudah lama sekali. Aku sudah merindukan tempat itu lagi sekarang ini. Entah bagaimana dengan orang tuaku. Mereka rindu atau tidak dengan orang tuanya. Aku juga menyangka mereka rindu pulang kampung.

Selesai makan, acara selanjutnya seperti biasa, tiduran di dalam kamar. Kali ini aku tidak membaca buku, tapi aku membuka hpku terlebih dahulu. Bukan untuk bermain game, tapi aku langsung membuka media sosial. Kalian pasti sudah tahu bukan, apa yang akan aku lakukan?

Aku membuka kembali pesan yang masuk, karena ada beberapa pesan yang masuk. Salah satunya dari Zila, bosan aku melihatnya. Entahlah, aku tidak bisa mengerti dengan baik arti sesungguhnya dari persahabatan.

Aku membaca percakapanku tadi malam dengan Faisal, yang hanya mengucapkan selamat malam. Aku juga membalasnya tadi malam dengan selamat malam kembali. Namun sampai sekarang, akun dia belum aktif juga. Itu artinya, dia juga belum membalas kembali percakapan denganku.

Aku mulai berpikir kemana-mana, menggabungkan dengan artikel-artikel yang aku baca, serta menambahnya dengan gula agar bertambah manis lagi. Salah satunya peristiwa hari ini. Faisal belum aktif akunya sampai saat ini, itu artinya ada Sesutu yang sedang dia kerjakan selain membuka hp. Aku juga menggabungkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Mungkin dia minder dengan jawaban yang aku berikan tadi malam. Atau mudahnya dia tidak siap membaca jawaban yang aku berikan.

Aku tertawa sendirian di dalam kamar membayangkan kemungkinan-kemungkinan tadi. Lalu aku mulai menutup hp, dan membaringkan tubuh. Tidur.

Aku saat ini sudah tertidur pulas di dalam kamar. Apakah kalian mendengar suara dengkuran napasku saat ini? Maka jika mendengar, telinga kalian akan peka.

****

“Apakah kamu sudah tahu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku yang masih melihat layar televisi. Papa sudah pulang kira-kira satu jam yang lalu, makan bersama, lalu berada di depan televisi saat ini dengan Mama.

Aku melihat papa dengan ekspresi bingung. “Emangnya ada apa, Pa?” Aku balas bertanya kepada Papa. Malam ini hanya ditemani dua cangkir kopi, dan satu gelas teh hangat.

“Satu atau dua hari yang lalu ada bencana alam, kota Pacitan”, Papa mulai menjelaskan kepadaku dengan sesekali melihat Mama yang juga terlihat mendengarkan. “Kota itu terkena banjir bandang, dan juga lumpur tebal. Kasihan sekali mereka yang ada di sana. Papa mempunyai rencana untuk membantu mereka”.

Aku tahu itu. Beberapa hari yang lalu aku melihat berita itu dari televisi. Memang kasihan juga orang yang terkena. Tapi, setelah melihat tayangan tersebut hatiku tidak tersentuh sama sekali, atau mungkin aku kurang peka. Lalu, bagaimana jika rakyat Indonesia semua seperti aku yang kurang peka ini? Untung ada Papa yang peka sekali dengan masalah yang dihadapi orang lain.

Malam ini, kami sekeluarga bersepekat untuk mengirimkan bantuang yang berupa uang. Namun tidak semudah yang dibayangkan. Tidak ada jalur yang bisa member kami jalan, dan kami harus berpikir lagi.

“Bagaimana kalau kita menyalurkan bantuan lewat rekening televisi yang aku tahu itu, Pa?” Aku memberikan usul, tentu rekening yang aku lihat dari salah satu televisi dua hari yang lalu.

“Tidak, Nisa. Terlalu besar potongan yang mereka inginkan. Sebagian dari mereka membuka rekening itu hanya sebagai bisinis belaka. Papa tidak setuju dengan usulanmu kali ini, Nisa”. Papa menjelaskan kepadaku dengan tatapam yang menyejukkan.

Aku baru tahu, ternyata ada saja yang harus dipotong dari sebuah bantuan. Kenapa harus dipotong? Alasan mereka yang sangat pasti yaitu sebagai biaya administrasi. Padahal apakah demikian juga alasanya?

Akhirnya, malam itu diakhiri dengan keputusan Papa yang mempunyai keluarga di kota Pacitan. Papa tahu berita banjir ini karena Papa mendengarkanya dari teman, teman yang berasal dari sana, merantau ke Ibu Kota.

Aku salut dengan kepribadian Papa yang selalu ingin membantu orang lain. Suatu saat, aku ingin sekali mendapatkan seseorang yang seperti Papa. Atau setidaknya mempunyai karakter peduli seperti Papa.

Aku beranjak dari ruang tengah, menuju kamar. Papa dan Mama juga sudah meninggalkan tempat kami berkumpul tadi. Papa juga terlihat sangat lelah, ngantuk.

Mata ini belum juga mengantuk. Bermain game? Tidak, saat ini aku tidak ingin bermain game, bosan. Namun aku juga masih memegang hp. Membuka media sosial lagi, ingin mengetahui perkembangan terkini dari seseorang.

Aku langsung membuka gambar pesan, ada beberapa pesan yang masuk. aku tidak membuka semua pesan yang masuk, karena kemungkinan besar isinya aku sudah mengetahuinya. Aku hanya konsentrasi pada salah satu pesan yang masuk. Siapa? Tentunya kalian sudah tahu semua, bukan?

Aku menahan napas, lalu menarik napas dalam-dalam, seperti atlet balap lari akan memulai start. Kalian tidak akan tertawa, bukan? Setelah itu, aku langsung membuka pesan yang aku maksud. Ini adalah kedua kalinya aku akan membaca pesan dari orang yang aku rasa spesial.

Aneh sekali. Pesan itu berisi gambar-gambarku tadi siang di kantin. Aku kembali kelur dari pesan itu, memastikan kalau yang mengirim pesan adalah Faisa. Benar. Yang mengirim pesan adalah Faisal. Aku kembali membuka pesan itu.

Di dalam pesan itu terdapat setidaknya ada sepuluh gambar, atau lebih. Aku yang sedang makan, melamun, berbicara, bahkan aku yang sedang tersenyum dengan Zila ada disana. Aku melihat poto mulai dari yang pertama sampai yang terakhir, mengamatinya. Bukan potoku yang aku bingungkan, tapi adalah bagaimana cara dia mendapatkan poto tersebut.

Aku terus menggeser kebawah layar hp, tidak ada kata-kata yang diikut sertakan. Tidak. Ada beberapa patah kata yang ada dibawah gambar.

“Semoga kamu senang melihatnya, Nisa manis … “.

Aku termangu beberapa saat setelah membaca pesan tersebut. Aneh. Baru pertama kali ada anak laki-laki yang bilang aku manis. Aku bingung juga seperti malam yang lalu. Aku bingung harus membalas apa lagi. Masak aku harus membalas “Aku senang, Faisal manis … “. Tidak, aku tidak akan membalas dengan kalimat itu. Tapi apa? Apakah kalian punya ide cemerlang?

Tuhan, bisakah Kau memberiku ide saat ini umtuk menemukan sebuah kata yang pas? Percuma, Tuhan tidak menjawab. Atau aku yang tidak bisa mendengar jawaban yang Dia berikan.

Akhirnya aku memutuskan menjawab pesan singkat itu dengan kalimat yang sangat singkat pula.

“Iya, terima kasih. Aku senang dengan poto ini”

Hanya itu yang aku kirimkan. Dengan menambah satu emoji kecil setelahnya, gambar kepala berwarna kuning yang sedang tersenyum. Mungkin kalian semua sering menggunakan emoji itu, tapi tidak dengan aku. Baru kali ini aku menggunakan untuk seorang laki-laki.

Aku berpikir sejenak. Oh iya, aku baru mengerti. Mungkin Faisal tadi siang yang berubah menjadi badut. Iya, tidak salah lagi. Tapi segitunya kah dia ingin mendapatakan potoku? Mamang, sampai saat ini aku jarang sekali mengunggah poto di media sosial, tidak seperti kalian yang mengunggah poto setiap hari, walaupun hasil dari editan yang kesekian kalinya. Aku juga merasa belum pernah poto bersama Zila, padahal dia teman dekatku sampai saat ini.

Itu artinya, yang bersalam denganku tadi siang adalah … Aku tersenyum sendiri di dalam kamar, membayangkan kemungkinan-kemunki-nan yang akan terjadi. Aku melihat tangan kanan, lalu meletakkanya di dahi, agar dahiku terkena sisa-sisa sentuhan tadi siang.

Malam semakin sunyi. Tidak ada hewan malam yang berbunyi. Atau setidaknya aku belum pernah mendengar hewan malam sejak aku berada di Ibu Kota. Aku tertidur dengan tangan masih di dahi. Mataku terpejam dengan bekas lamunan masih berada di sasana.

Selamat malam dunia, aku akan menemuimu lagi besok pagi. Aku akan menemuimu dengan cinta yang telah Tuhan berikan kepadaku.

Related chapters

  • Embun Cinta   Menundukkan Kepala

    Pelajaran pertama sudah dimulai sejak tadi. Ibu guru terlihat semangat mengajar di depan papan tulis. Usianya yang sudah menginjak kepala lima tidak mempengaruhi semangatnya. Kali ini pelajaran IPA, atau lebih mengarah kepada Biologi.“Murid-murid, hari ini kita telah belajar tentang tubuh dan organ manusia. Tahukah kalian, berapa harikah manusia bisa bertahan tidak tidur?” Ibu guru memberikan semua murid satu pertanyaan. Aku belum mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Maka aku memperhatikan guru yang sedang bertanya.Semua murid juga terlihat belum mengetahui fakta tentang hal ini. belum ada siswa yang angkat tangan untuk menjawab.“Baiklah, jika kalian semua belum mengetahui fakta ini, Ibu akan dengan senang hati memberikan ilmu tambahan kepada kalian semua. Jadi, menurut sebuah penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli, manusia bisa bertahan tidak tidur selama 14 hari. Juga manusia paling lama mampu bertahan tidak bernapas selama 11 m

    Last Updated : 2021-10-20
  • Embun Cinta   Curhat

    Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, m

    Last Updated : 2021-10-20
  • Embun Cinta   Cinta

    Seperti biasanya, ketika pagi hari aku berangkat sekolah dengan sebelumnya sarapan bersama keluarga. Sungguh sebuah momen yang sebenarnya ingin aku tinggalkan begitu saja, yaitu sarapan dengan keluarga, ada papah dan mama. Mengapa demikian? Sebab jika sarapan bersama dengan mereka berdua, selalu saja ada hal tentang keburukanku yang menjadi sasaran pembicaraan. “Nisa, kamu kok semakin wangi saja dari hari ke hari.” Ujar papa yang menyadari bahwa aku berbau wangi, tidak seperti minggu-minggu sebelumnya. Memang benar, minggu-minggu sebelumnya, sebelum aku mengenal sebuah rasa seperti ini, aku tidak terlalu suka dengan minyak wangi, atau bahkan aku jarang sekali menggunakannya. Aku merasa sudah cukup saja dengan bau wangi yang semerbak dari bajuku, pewangi yang digunakan mama ketika mencucinya. “Mumpung masih punya, pa.” Jawabku ringan sembari meneruskan makan. “Memangnya sebelum ini kamu tidak punya?” sahut mama. Benar apa yang aku sangkakan tad

    Last Updated : 2021-10-20
  • Embun Cinta   Pasar Malam

    Langit cerah, bintang-gemintang nampak di sana. Itulah pemandangan yang aku lihat ketika berada di teras lantai dua rumahku. Tidak ada yang menghalangi mata dari pemandangan tersebut. Namun sayang, malam ini tidak ada rembulan yang biasanya bersinar kekungingan. Rembulan mendapatkan jatah libur sampai beberapa hari ke depan, atau aku saja yang terlalu tidak kuat menunggu datangnya. Bintang-gemintang jauh mengangkasa menunjukkan bahwa dia adalah sang raja, untuk malam ini.Pukul delapan malam, aku tiba-tiba teringat dengan pasar malam, dan hatiku mengatakan bahwa aku harus ke sana. Ah, semoga saja mama mengijinkan aku untuk pergi malam ini. Mumpung waktu belum terlalu malam, akhirnya dengan segera aku meminta ijin kepada mama, juga papa. Mereka berdua tengah asyik mengobrol di depan layar televisi, entah apa yang mereka bincangkan aku tidak tahu. Dan, aku juga tidak ingin mengetahuinya. Palingan, itu adalah pembicaraan tentang masa depan dan urusan pekerjaan.“Pap

    Last Updated : 2021-11-24
  • Embun Cinta   Sulap Yang Membahagiakan

    Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yan

    Last Updated : 2021-11-24
  • Embun Cinta   Benarkah?

    Lima menit sudah aku berada di luar kelas. Benar sekali, seperti yang aku bayangkan, bahwa suasana di luar kelas ketika pelajaran berlangsung akan menjadi semakin nikmat. Angin sepoi-sepoi tertiup dari sudut lapangan, menggerak-gerakkan pepohonan tepian lapangan, lalu mengenai tubuh dan rambutku. Wow, benar-benar udara yang sangat nikmat. Tidak terasa, sudah hampir sepuluh menit aku berada di luar kelas.Ah, sebaiknya sekarang aku masuk. Lagi pula, aku juga sudah tidak terlalu mengantuk. Sekarang, aku lebih siap untuk mengikuti pelajaran, tapi tidak untuk paham. Wkwkw.Tapi sebelum aku masuk, aku melihat ada siswa lain selain diriku yang berada di luar ruang kelas. Lihat! Bukankah itu adalah Adi, pedagang buku yang pada awalnya sangat menyebalkan itu? Iya, aku tidak salah lihat, itu adalah Adi. Akan ke mana dia? Sepertinya dia akan ke kamar mandi. Dan, tentunya dia akan melewati tempatku berdiri sekarang ini. Baiklah, akhirnya aku memelankan langkah, berharap agar dia

    Last Updated : 2021-11-24
  • Embun Cinta   Perhatian

    Entah kenapa tiba-tiba malam ini aku ingin pergi ke pasar malam. Buku apalagi yang akan aku beli? Padahal, komik yang aku beli beberap hari lalu belum aku selesaikan. Ah, entahlah, akhir-akhir ini aku suka sekali tidak jelas. Baiklah, aku akan meminta ijin kepada mama dan papa. Benar, meskipun aku sudah dewasa, tapi kalau masalah ijin keluar rumah, orang tua selalu mewajibkan hal tersebut.Mama dan papa terlihat tengah asyik menonton acara televisi. Pelan-pelan aku berjalan menghampiri mereka. Semoga saja mereka berdua mengijinkanku. “Mah, aku ijin keluar sebentar.” Kataku manja.“Nisa mau ke mana?” papa yang bertanya balik.Lalu, mama menambahi, “Mau ke mana?”Aku menjawab seperti biasanya, “Nisa mau ke pasar malam. Sebentar saja, tidak sampai pukul sepuluh aku sudah pulang.”“Bagaimana ini, ma?” tanya papa kepada mama.Mama tersenyum. Syukurlah, sepertinya papa dan mama mengijinka

    Last Updated : 2021-11-26
  • Embun Cinta   Es Teh Hangat

    Gerimis perlahan-lahan bertambah deras. Aku membantu Adi mengemasi dagangannya. Syukurlah, beberapa saat kemudian, sebelum hujan menderas, buku-buku sudah selesai dimasukkan ke dalam kardus-kardus cokelat. Adi terlihat memanggil pedagang sebelah.“Pak, aku nitip buku-buku ini yah... takut kalau rusak.” Katanya.“Siap...” kata orang itu tanpa beban, orang itu seusia dengan papaku di rumah.Dengan cekatan orang itu mengangkat dua kardus sekaligus, dua lainnya diangkat oleh Adi sendiri. Aman, sekarang buku-buku itu telah aman. Puluhan pedagang lainnya, yang tidak memakai atap kedap air, cepat-cepat meringkasi dagangan mereka. Pulang.“Kak Nisa, ayo ikut aku!” tiba-tiba kata Adi padaku.Aku langsung berjalan setengah berlari mengikuti Adi. Oh, lebar sekali langkah kaki Adi, sehingga aku hampir saja kehilangan jejaknya, saling mendahului dengan orang-orang yang mencari tempat berteduh. Sepertinya Adi juga mengajakku m

    Last Updated : 2021-11-26

Latest chapter

  • Embun Cinta   Kisah Menyedihkan

    Kisah Nisa selalu menjadi menarik ketika manusia menjadi saling membunuh sebabnya. Maka dari itu, jangan sampai berhenti menjadi manusia yang lebih baik. ***Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu.

  • Embun Cinta   Nisa Sakit Hati

    Jika kalian mengira bahwa dimensi ruang itu hanya satu, maka adalah sebuah kesalahan besar. Dimensi tidak terkira jumlahnya, hanya saja kita tidak atau belum mengenalnya. Tahukah kalian bahwa bangsa Jin itu bisa hidup bahkan sampai dua ribu tahun? Tahukah kalian bahwa satu hari pada hari manusia, itu sama dengan satu tahun dalam waktu Jin? Atau, tahukah kalian bahwa di bawah tanah sana ada sebuah bangsa yang telah membodohi manusia bahwa yang membuat gempa adalah pergerakan lempeng? Merekalah yang menjadikan gempa bumi, dan novel ini akan menguak tabir misteri tersebut.***“Apakah semua sudah siap?” tanya Misa selaku ketua rombongan kecil itu.Mereka berkumpul dan berangkat dari rumah Misa, pukul setengah tujuh malam. Mereka menuju sebuah desa yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing. Dika, akan menjadi sopir mobil pribadi ayahnya yang mereka pinjam.Rombongan itu berjumlah empat mahasiswa. Misa, Dika, Aurel, dan Jimat. Sebenarnya nama Jimat bukanlah nama asli, aslinya Rahmat. Nam

  • Embun Cinta   Kenangan

    Malam yang gelap telah tergantikan dengan sinar matahari yang menerangi. Hawa hangat berangsur-angsur kembali menemani setiap tarikan nafas manusia.Malam yang larut itu dilalui Danu dan Permata dengan bersembunyi di balik bongkahan batu besar, semak-semak mengelilinginya. Desa yang mereka berdua lewati tidak menyediakan penginapan, semua pintu telah tertutup ketika mereka mengamati dengan mengendarai kudanya. Tidak ada pintu yang terbuka, mereka berdua memilih untuk bermalam pada tempat yang aman. Batu akan melindungi dari hujan jika sewaktu-waktu turun kembali, semak-semak melindungi dari gangguan hewan ataupun manusia.“Kita lanjutkan perjalanan, Permata!” kata Danu.Perjalanan siang itu sepertinya tidak banyak halangan dan rintangan yang mereka alami. Perjalanan berlangsung lancar, dan nanti sore mereka akan sampai pada sebuah tempat yang menjadi tujuan mereka. Seseorang yang diharapkan bisa membantu melawan pasukan yang telah menawan Diana.Matahari bersinar cukup terang, tapi ti

  • Embun Cinta   Di Dalam Gua

    “Kita harus segera melakukan sesuatu, Rosan!” ujar Karim, dia benar-benar tidak bisa konsentrasi untuk menghadapi para prajurit di depan sana, para prajurit yang bersembunyi di balik bukit juga bebatuan besar.“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Karim. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu para pasukan bangsat itu kehabisan anak panah dan kita bertarung jarak dekat!” sahut Rosan, matanya tidak lepas dari pandangan yang mengarah tajam ke depan, ia sama sekali tidak kehilangan konsentrasi entah bagaimanapun keadaannya.Karim tidak sependapat dengan kakaknya. “Kita tidak bisa hanya menunggu, Rosan. Siapa yang melangkah lebih cepat maka akan sampai terlebih dahulu!”“Percuma berjalan lebih dahulu dan cepat,” Rosan memandang Karim sekejap, lalu kembali menatap ke depan, “jika langkah kita salah!” lanjutnya.Gelengan kepala kecewa dari Karim terdengar, ia benar-benar berbeda sifat dengan Rosan. Rosan lebih tenang dan bersabar menunggu sebuah hal, namun sebaliknya, Karim sama sek

  • Embun Cinta   Pembunuhan

    Tangan kanan Danu mengirimkan pukulan namun dengan mudah Karim menepisnya. Hampir dua belas kali Danu mengirimkan pukulan, dua belas kali tendangan dengan tenaga penuh, sebanyak itu pula Karim menangkisnya. Permata tidak kalah cekatan, dia telah mengirimkan belasan tendangan dan pukulan kuatnya, nihil, tidak ada yang mengenai sasaran.Karim memasang busur panah itu di pundaknya, tanpa merasa bersalah ia tertawa keras-keras, “Hahaha! Kalian bukan lawanku!”Danu bertambah geram, ini bukanlah soal harga diri, tepi lebih dari itu. Ini adalah tentang amanah yang Danu emban dari Rangkasa, menjaga tempat Serat Agung sekarang tengah berada.Tangan mengepal, rahang mengatup kuat, Danu konsentrasi penuh. Permata tidak pernah melihat Danu seperti itu, matanya terpejam dengan sendirinya menyaksikan kengerian itu. “Hati-hati, Danu!” ujar Permata, Danu bergeming.“Haa....” Pukulan Danu mengarah pada wajah Karim.Bug...Sebuah pukulan yang kuat mengenai rahang Karim, dia marah, meringis kesakitan. D

  • Embun Cinta   Hari Yang Sama

    “Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men

  • Embun Cinta   Gadis Cantik

    “Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men

  • Embun Cinta   Malam Penuh Hikmah

    “Permata, aku harus segera menemukan bagaimana cara menangkap perkataan dua naga itu!” kata Danu kepada Permata ketika siang hari, matanya memandang Permata lekat-lekat.“Apakah itu adalah bantuan yang akan diberikan oleh Kosala?” Permata menebak-nebak, dan tebakannya benar.“Benar sekali Permata. Jika aku bisa menerjemahkan apa yang dikatakan dua naga itu, maka kita akan mendapatkan bantuan yang sangat besar!” kata Danu sungguh bersemangat.Permata diam sejenak, diam antara senang sebab mendapatkan bantuan, bingung sebab belum mengetahui bagaimana cara berbicara dengan dua naga. “Berarti apa sekarang yang bisa aku lakukan untukmu, Danu?” tanya Permata dengan senyum mengembang di kedua pipinya, alis terangkat.“Aku juga belum mengerti apa yang harus aku lakukan, Permata. Intinya beberapa hari ini kita akan di sini terlebih dahulu sampai akhirnya aku bisa berbicara dengan dua naga itu!” kata Danu menjawab. Dia juga belum menemukan apa gerangan yang dapat ia lakukan untuk bisa berbicara

  • Embun Cinta   Hamil

    “Danu, ayolah aku inginkanmu malam ini!” Permata merajut, wajahnya dibuat semenawan mungkin.“Tidak, Permata! Aku tidak berani melakukannya!” sahut Danu, ia berusaha memalingkan wajah.Namun Permata tidak membiarkan Danu lepas begitu saja, ia menghadkan kembali wajah Danu padanya. Permata benar-benar kehilangan kendali dalam dirinya, dia menginginkan Danu malam ini.“Aku takut jika kamu akan hamil, Permata!” Danu menjelaskan apa yang membuat dirinya tidak berani.“Tidak akan. Aku akan membuat ramuan yang bisa membuat aku tidak hamil!” jelas Permata.“Tidak, Permata! Itu adalah sebuah perbuatan gila dan akan membahayakan dirimu!” terang Danu.Beberapa saat diam, Permata kembali merayu dan meremas-remas telapak tangan Danu, mengelus-elusnya.“Danu, aku sungguh tidak tahan lagi!” Permata merayu, matanya menyipit, mulutnya dibulatkan agar Danu tergoda.“Gila, kau benar-benar gila, Permata!” Danu kembali mengelak.Permata tidak kehilangan akal, ia merah tangan Danu dan meletakkan di lehern

DMCA.com Protection Status