“Mana Esme?” tanya Susan dari dalam dapur.
Catherine memutar bola matanya saat mendengar pertanyaan Susan dan membayangkan di mana diri Esme semalam. Tentu saja sepupunya itu pastilah tidur di tempat Dave. Ah, sudahlah. Dia sudah dewasa sekarang. Akan tetapi, Catherine tidak mengatakan itu semua pada Susan. Biarlah itu menjadi rahasianya bersama Esme saja.
Catherine tersenyum, sambil menggeleng, dan hendak menutup pintu toko saat sebuah tangan menahan pintu itu.
“Hei, Catherine! Bisa kau panggilkan Esme? Ada yang ingin kubicarakan dengannya,” kata sosok yang tangannya sedang menahan pintu.
Kini Catherine mengernyit melihat si penanya itu. Dia pun spontan bertanya balik, “Esme? Bukankah dia semalaman di tempatmu, Dave?”
“Di tempatku?” tanya Dave dengan raut terheran-heran. “Mengapa kau bisa berpikiran jika dia ada di tempatku semalam? Apa semalam dia keluar dan tidak pulang?”
“Kita sedang di laut lepas, Sayang. Siapa yang akan mendengar teriakanmu?”Esme shock mendengarnya. Sangat shock.Dengan mengeluarkan rasa frustrasinya, Esme berteriak kencang, “KAU JAHANAAAAAAAM!!!”“Hahahaha!” tawa Nicky kembali menggelegar. Dia membuka kemeja merah maroon yang dipakainya dan melemparnya asal. Dia juga mulai membuka kancing celananya dan membiarkan kain itu teronggok di kakinya.Setelahnya, dia mendekati ranjang dan merangkak naik.Esme semakin panic. Dia berteriak sembari menendang-nendang. Akan tetapi, kakinya terikat sehingga dia hanya bergerak seperti ikan yang menggelepar-gelepar. “Jangan mendekat! Kau sialan! Jangan sentuh aku!!!”Nicky sudah tiba di atas tubuh Esme. Sepasang mata cantik itu membelalak lebar menatap Nicky yang hanya berjarak dua puluh sentimeter di
Nicky semakin marah. Dia menampar Esme lagi.“Hentikan!” seru Darren pada akhirnya. Dia tak tahan melihat Esme ditampar bertubi-tubi.“Kenapa hentikan? Kalian mau bermain cinta di depanku, hah?! Rasakan ini!”Dengan sekali gerakan, Nicky mengangkat tubuh Esme yang tangan dan kakinya terikat. Dia mengangkat dan membawanya hingga ke pagar dek kapal.Darren spontan berteriak, “Hentikan! Esmeeeeee!”Dan kedua tangan Nicky sudah melemparkan tubuh Esme ke dalam air.Byuuuurr!!Semua yang ada di sana terpelongo melihat kekejaman Nicky yang benar-benar melemparkan tubuh Esme yang terikat ke dalam air. Setega itu.Hanya Darren yang tak menunggu sedetik pun. Dia langsung bangun, melemparkan tali yang mengikat tangannya sedari tadi, dan melompati pagar dek kapal menuju air, menuju Esme. Sudah sedari saat tanganny akan diikat, Darren berusaha menahan kedua tangannya agar saat dia diikat terdapat celah ya
Trak. Trak. Trak.Dave memainkan jemarinya di atas meja, mengetuk-ngetuk dengan segala rasa resah di dalam dadanya.“Kau yakin dia ke pasar?” tanyanya lagi pada Catherine dan Susan. Kedua gadis itu juga akhirnya ikutan resah.Sudah 2 jam berlalu dan Esme masih belum muncul. Sudah beberapa kali Dave menelpon ponselnya, tetapi tidak aktif. Telah beberapa kalimat dia bisikkan untuk menenangkan dirinya sendiri, tapi tak kunjung berhasil. Esme tak juga pulang dan menampakkan dirinya di sini.Lalu, ke mana dia?“Ck! Ke mana dia, ya? Kalau hanya ke pasar, kenapa selama ini? Dan kenapa pula ponsel tidak aktif. Dasar aneh!” Catherine mencela Esme dengan raut wajah kesal. Terlebih lagi dalam satu jam toko sudah harus dibuka. Bagaiaman dia bisa menjalankan toko seorang diri jika selama ini dia hanya bertugas sebagai kasir dan hanya bermain ponsel di saat-saat tak ada pelanggan yang perlu membayar?Cartherine menghe
Saat Darren menarik tubuh Esme masuk ke dalam pelukannya saja Esme sudah membelalak lebar. Isak tangisnya tertahan di tenggorokannya akibat terkejut dengan apa yang dilakukan Darren padanya. Dan sekarang, pria itu malah mencari wajahnya dan menempelkan bibirnya di bibir Esme. Kehangatan merambat dan menggetarkan hati Esme, juga pembuluh darahnya.Denyut nadinya berdetak semakin kencang. Jantungnya berdegup semakin tak karuan menerima kehangatan dan kelembutan bibir Darren. Dan saat bibir itu bergerak melumat bibirnya, Esme hanya mampu memejamkan kedua matanya dan ikut menyecap apa yang diberikan Darren.Mereka berdua saling menyecap, melumat, dan saling membelai dengan tautan lidah dan bibir mereka. Terlebih lagi Darren, dia memperdalam ciumannya dan membuat Esme hanya mampu menerima tanpa mengelak sedikitpun. Bahkan saat pintu ruang rawat ESme diketuk, pertautan mereka terlepas dengan napas kedua nya yang saling memburu, berusaha mengisi paru mereka deng
“Ini kamarnya. Silakan,” kata perawat yang menunjukkan ruangan tempat Esme dirawat.Pintu dibukanya, dan tampaklah Esme yang sedang berbaring dengan lengan diinfus.“Esme!” seru Dave dan Enrique bersamaan. Mereka langsung mengerumuni Esme yang terbaring. “Kau tidak apa-apa?”“Aku tidak apa-apa. Aku baik,” jawab Esme sembari tersenyum dan berusaha untuk duduk.Enrique langsung menahannya, “Ah, biar saja, kau berbaring saja. Aku tidak mau kau kesakitan.”Esme tersenyum. “Tidak sakit. Tidak lagi.”“Tadi sakit?” tanya Dave dengan menatap Esme tanpa kedip. Dia duduk di kursi di samping ranjang Esme.Gadis itu menatap kursi itu, kemudian menatap Dave. Darren duduk di kursi itu, tadi. Namun sekarang, Dave yang duduk di sana. Apakah ini berarti kehadiran Darren memang tidak akan nyata di hidupnya?“Hei, Esme. Kenapa kau bisa sampai dic
Brakk!!! Inspektur Paul Warmer melempar buku tebal di tangannya ke atas meja. Ditatapnya semua agent yang hadir di hadapannya saat ini dengan garang. “Bagaimana mungkin kapal yang digunakannya untuk menculik itu tidak ada isi sama sekali?!” tanyanya dengan kemarahan yang menyembur-nyembur. Pria itu teramat kesal. Di saat target mereka akhirnya bisa tertangkap, ternyata tidak ada bukti yang bisa memberatkan target untuk dihukum sesuai kejahatan bisnisnya. Semua Agent terdiam, termasuk Darren. Darren sendiri merasa kecewa dengan apa yang mereka temui di sana. Tidak ada bukti satu pun yang bisa menjerat Nicky atas bisnis prostitusi di bawah umur yang dipraktekkannya. Penyelamatannya pada Esme hanya akan menjerat pria itu atas upaya penculikan dan pemerkosaan. Itu saja! Akan tetapi, sangat salah rasanya jika Darren merasa kecewa. Baginya, keselamatan Esme lebih berarti dari apapun juga. Dia tidak akan menukarnya dengan kesempatan menangkap
“Kau sudah mau pulang?” tanya Darren pada Esme setelah Catherine memilih angkat kaki dari ruangan itu.“Apa sudah boleh?” Esme balik bertanya. Kedua mata gadis itu yang sangat cantik terlihat semakin cantik karena berbinar-binar. Terlebih lagi ada rona merah yang merekah samar di kedua pipinya, membuat gadis itu terlihat begitu menggemaskan.Esme adalah gadis pertama yang mampu membuat Darren berpikir seperti ini. Selama ini, baginya setiap wanita adalah sama. Maka dari itu, tak ada yang istimewa di matanya. Sampai dia melihat Esme yang begitu polos, begitu apa adanya. Kepolosan yang rapuh sekaligus menggemaskan. Perasaan heroic dalam diri Darren begitu menggebu jika sudah menghadapi kepolosan Esme.Dengan menyunggingkan senyum yang samar, Darren berkata lagi, “Boleh. Asalkan kau bersamaku.”Rona merah itu merekah lagi di pipi Esme, membuatnya semakin bersinar, semakin cantik, dan semakin menggemaskan. Dar
“Aku akan selalu melindungimu,” bisik Darren lembut. “Selalu.”Seiring bisikan lembut Darren padanya, kecupan lembut nan hangat hadir di bibir Esme. Meski gadis itu tak sempat memperkirakannya sebelumnya, Esme menikmatinya. Kedua matanya terpejam seraya syaraf-syaraf bibirnya menikmati lumatan bibir Darren yang begitu membuai.Mereka tak lagi mengingat di mana mereka berada saat ini. Dan saat akhirnya bibir mereka kembali berpisah, hanya tinggal tatapan lembut yang saling mengikat mereka satu sama lain. ***“Kau yakin kau yang memasaknya?” tanya Esme seraya meletakkan bahan-bahan mentah hasil belanjaan mereka di kitchen table apartemen Darren.Selepas berbelanja bahan-bahan mentah tadi, Darren mengundangnya singgah dan makan di apartemennya. Esme yang tadinya ragu-ragu. Tetapi, Darren mengin
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me