Pada saat-saat seperti inilah aku berusaha mengingat-ingat koleksi buku Bree dalam raknya di lantai dua. Seharusnya jika Max memberikan sumbangsihnya, koleksi itu akan mencakup bidang bangunan juga. Siapa yang tahu mereka memiliki buku tentang sejarah arsitektur? Sehingga aku tidak harus mencari referensi di seluk-beluk internet melalui layar komputer dalam waktu relatif lama.
Hyunji akan membayari buku-bukuku seandainya dia tahu aku membutuhkannya. Tapi aku tidak berniat memorotinya.
Aku merogoh ke dalam tas dan mengambil handphone-ku yang bergetar. "Vic?"
"Kau di mana?"
"Salah satu bilik tugas di perpustakaan. Aku membuat makalah Sejarah Arsitektur."
"Mulia sekali. Tapi kau begitu mudah ditebak, tahu? Seseorang menunggumu di pintu keluar."
"Siap-"
"Lihat sendiri."
Reaksi Victor ketika kusapa pagi tadi sangat mengharukan
Bree memelototi peralatan gambar di meja kerjaku. Seri pensil H dan B, set rotring, gulungan kertas berbagai ukuran dan jenis, dan set penggaris diambilnya satu persatu. Kalau belum mengangkat peralatan itu tepat di depan matanya untuk mengagumi semuanya seakan-akan tidak ada pria yang lebih layak untuk dikagumi alih-alih peralatan gambar, Bree belum mau meletakkannya kembali.Itu masih seperempatnya. Tiga perempat sisanya menumpuk di rumah sewaan Hyunji."Aku punya set obeng di kamarku," katanya, serius memilah-milah kode pensil yang tepat sementara dia berkali-kali mencoreti halaman belakang jurnal tanpa garis bersampul kartonku di meja. "Tapi melihat set-set lain yang jauh berbeda fungsinya dari milikku membuatku antusias."Kayak dia tidak baru bangkit dari depresinya saja. Secara fisik wajahnya belum bugar, tapi ekspresi dan ketulusan menjahit longkop itu, membuatnya tampak seperti baru.
Ruang tengah lantai satu menjadi tempat pesta teh yang ramah ketika kami tiba. Aku nyaris melonjak ketika melihat Jake dan Victor menjadi salah satu penikmat teh berbau seperti cengkeh dan mentol itu. Sepertinya mobil mereka tidak ada di parkiran. Tapi aku memang tidak memperhatikan sekeliling parkiran.Mereka tersenyum. Semua orang di sana. Semuanya. Bukankah sebuah keajaiban menemukan mereka semua memikirkan hal yang sama lalu memutuskan untuk melakukan hal yang sama juga?Agaknya mereka tahu apa yang terjadi, yang telah menjadi kesepakatan di antara aku dan Bree, sehingga mereka memakluminya. Kami melewati ruang di antara TV dan kamar Max sambil tersenyum, sedikit membungkuk, dan melambaikan tangan.Junko, Jake, Victor, Sandra, dan Hans mengucapkan selamat malam pada kami. Mendekati tangga, aroma samar-samar teh kalah telak oleh aroma serbuk kopi yang sangat kuat. Bree juga menciumnya sehingga dia terdiam di anak ta
Janji ditepati. Pukul lima pagi aku dibangunkan oleh sentuhan bertekanan lemah dari telapak tangan yang hangat dan sedikit kapalan. Bree duduk di tepi kasurnya dan tersenyum padaku. Setengah bagian vertikal di tubuhnya tampak menyala oleh cahaya lampu teras sementara bagian yang lain ditimpa bayangan gorden yang ditutupnya seperempat bagian agar mataku tidak silau.Perasaan hangat dan haru menyelimutiku saat melihat gorden menghalangi pandanganku terhadap ruang tengah. Biasanya aku berada di luar sana, tersekat oleh gorden itu, tanpa bisa melihat ke dalamnya. Kini sebaliknya, gorden itu menutupi tubuhku yang sedang tertidur di baliknya.Aku tidak tahu apakah salah satu ketololanku termasuk payah dalam mengepak barang. Di rumah tadi malam, sudah berkali-kali aku mendaftarkan peralatan mandi apa yang kiranya kuperlukan selain sikat dan pasta gigi. Dan, ya Tuhan, aku tidak membawa handuk.Jadi Bree meminjamkanku salah sat
Motor yang digunakannya untuk menjemputku sudah beda lagi. Kata Bree, motor matik besar berwarna kelabu yang percis seperti milikku itu dipinjamkan teman sekelasnya di kampus. "Kita bawa motorku saja, oke? Kembalikan motor ini pada temanmu." Aku memberi saran.Bree tiba-tiba tertawa. "Sumpah, Thomas, bagaimana bisa aku tidak kepikiran?"Kami berkendara dengan rute kampusku-rumahku-kampus Bree dan akhirnya menuju lokasi pembangunan rumah tinggal Hyunji di Canggu. Para tukang beristirahat sejak pukul lima sore, tapi Max sudah menunggu di sana karena Bree memberitahunya kami akan datang.Sebenarnya aku menyadarinya. Saat sedang berkeliling untuk memeriksa plafon baki di kedua kamar tidur, Bree dan Max berjalan mengikutiku dengan langkah superlambat dan mereka berjuang keras untuk berbisik. Memang berhasil. Tapi setiap kali berbisik, Max malah kedengaran seperti bersiul sehingga setiap kali dia melakukannya, aku akan menol
Aku menepuk bahu Yuda saat melewatinya tapi menunduk untuk menghindari Bree. Mereka menghampiri meja sementara aku dan Junko meluncur ke kulkas. Di meja bar, Sandra duduk menyendok puding dalam tank top korduroi yang agak ketat untuk tubuh montoknya dan celana kain hitam panjang berujung longgar. Rambutnya diikat ke atas kepala sampai berbentuk seperti sarung tinju. Dalam beberapa aspek, caranya menyampaikan kesan diri melalui pakaian begitu mirip dengan Junko. Belum pernah sekali pun aku melihat Sandra tampil agak berantakan seperti Bree.Saat melihatku, dia mengangkat sendok dan menunjukku. "Waktunya kami menanyaimu sesuatu." Dia melirik ke tangga sejenak sebelum berdeham dan tersenyum. "Coba jelaskan garis besarnya saja. Kenapa dia membawa cowok lain pulang ke rumah?"Jaminan Bree tentang keluarganya tidak akan pernah mempertanyakan sebabku menginap di rumahnya kelihatannya hanya berlaku saat aku berada di sekitarnya. Mereka
Pukul empat dini hari, Bree kalah oleh alarm yang telah kusetel sebelum tidur. Pantas semalam dia tidak menutup pintu kamar tamu, aku menemukannya terlelap di sofa dengan tangan disilangkan di atas perut, ujung kaki saling terkait, dan pegangan sofa dijadikannya bantal. Aku masuk kembali ke kamar tamu untuk mengambil selimut dan dengan kehati-hatian yang menakjubkan membentangkan selimut itu di dadanya. Lalu aku berjinjit ke dapur, meminimalisir tumbukan dan segala jenis bunyi keletak ketika memasak empat potong uitsmijter berbahan roti gandum, telur, daging asap, dan oregano yang kutemukan di kulkasnya.Ada kotak susu bubuk vanila-karamel di kulkasnya. Kuseduh susu itu dan kusajikan bersama uitsmijter di meja sofa. Dua kali aku melihatnya tertidur dan dia selalu senyaman kerbau dalam mimpi-mimpinya. Aku kembali ke kamar tamu untuk mengambil ransel dan melanjutkan tugas gambarku dalam keheningan. Lampu di sini padam, jadi aku menyalakan
Tapi Bree adalah Bree, yang tak peduli berapa kali pun kubilang jangan menyusul, malah melakukannya.Masih ada bangku kayu yang kosong di sisi dinding dekat gerbang. Dari keramaian obrolan para pengunjung Pict(k)/(t), aku berhasil menepi untuk menyesapi rasa tembakau. Bebanku tidak terangkat seluruhnya, tapi terasa lebih ringan. Pada isapan keempat, Bree membuka pintu. Tatapan kami membeku di udara. Dalam waktu sesingkat itu, aku kepingin memilikinya untuk diriku sendiri dan melupakan fakta bahwa di mana pun Kenny kini berada, Bree masih sangat mencintainya.Bahkan sejak bertemu dengannya, aku menyadari bahwa May di kepalaku mulai jadi arogan sehingga membuatku semakin terkesan pada Bree dan bahkan lebih mengharapkannya daripada May.Pernah kubilang, aku adalah May. May adalah aku. Kami orang yang sama.Rasanya tidak lagi. May tidak pernah memaki apalagi menghina.Apa la
Aku memasukkan kunci duplikat rumah sewaan Hyunji ke lubang kunci dan memutarnya. Hyunji telah terlelap dalam gaun piyama hitam bermotif mawar merah. Dia tampak seperti versi Putri Tidur tercantik yang pernah kulihat. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan kembali ke ranjang membawa minyak kayu putih. Dengan lembut kusentuh lengan Hyunji. Dia terjaga, tapi belum mengatakan apa pun."Perutmu sakit?""Aku…" kata suara paraunya. Dalam kondisi normal, suara Hyunji memang serak, tapi setiap kali bangun tidur, seraknya seolah-olah beriak ganas. Dia mengerjap-ngerjap dan mundur sampai punggungnya menyentuh papan sandaran kasur yang empuk. "Tadi pagi bergabung dalam penelitian dosenku dulu di daerah pesisir Karangasem. Sepertinya perutku kembung oleh angin pantai.""Usapkan di perutmu. Akan kuusapkan di bagian bawah punggungmu."Hyunji memaksakan diri untuk berserdawa, tapi belum berhasil j
Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada
Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie
Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika
Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun
"Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata
Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam
Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel
"Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.
Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu