Aku memasukkan kunci duplikat rumah sewaan Hyunji ke lubang kunci dan memutarnya. Hyunji telah terlelap dalam gaun piyama hitam bermotif mawar merah. Dia tampak seperti versi Putri Tidur tercantik yang pernah kulihat. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan kembali ke ranjang membawa minyak kayu putih. Dengan lembut kusentuh lengan Hyunji. Dia terjaga, tapi belum mengatakan apa pun.
"Perutmu sakit?"
"Aku…" kata suara paraunya. Dalam kondisi normal, suara Hyunji memang serak, tapi setiap kali bangun tidur, seraknya seolah-olah beriak ganas. Dia mengerjap-ngerjap dan mundur sampai punggungnya menyentuh papan sandaran kasur yang empuk. "Tadi pagi bergabung dalam penelitian dosenku dulu di daerah pesisir Karangasem. Sepertinya perutku kembung oleh angin pantai."
"Usapkan di perutmu. Akan kuusapkan di bagian bawah punggungmu."
Hyunji memaksakan diri untuk berserdawa, tapi belum berhasil j
Terbiasa begadang untuk menikmati jahe hangat, mata sipit Mama digelayuti kulit hitam yang mengendur. Satu-satunya yang dapat membuatnya berhenti begadang beberapa waktu adalah saat seseorang mengomentari penuaannya. Barusan aku mengomentari matanya kelihatan sedikit keriput karena berkantung dan Mama yang syok langsung mengaduh dan melayangkan protes tidak setuju padaku. Tapi akhirnya Mama menyerah dan menunduk dengan lemas, disertai janji lirih tak akan begadang lagi. Bagus. Setidaknya Mama akan berhenti begadang selama selang waktu tertentu sampai tak tahan lagi untuk tidak menderita insomnia.Papa tidak kelihatan karena baru akan pulang dari kantor logistik sejam lagi. Saat ini pukul tiga sore di Lisse tapi Mama sudah menutup pintu serta semua jendela rapat-rapat sebab walaupun sebenarnya suhu rata-rata musim gugur bulan Oktober hanya 14°C—aku bilang hanya, karena 14°C tidak sedrastis 3°C atau bahkan 0°C—bagi Mama
Untuk pertama kalinya Bree menghubungiku pada sore di hari Selasa, tepat dua menit sebelum aku masuk ke rumah Pak Hendra, dosenku yang mengajar Perancangan Tapak. Aku datang berempat dengan Jake, Victor, dan Yuda. Mereka kusuruh berangkat duluan naik mobil Jake sementara aku menyusul dengan motorku. Kami sengaja meminta waktu Pak Hendra di luar jam perkuliahan untuk menjelaskan lebih lanjut tentang konsep analisa tapak karena tenggat pengumpulan tugas besar sudah semakin dekat. Dan aku ingin melewati liburan semester ganjil tanpa dibayangi kelas-kelas gagal.Jadi aku telat masuk ke dalam rumah Pak Hendra karena harus berbicara sebentar dengan Bree. Konsep analisa tapak memang penting, tapi Bree? Menolak Bree itu tindakan sekaligus keputusan tolol."Anak cowok," kalau dia yang memanggilku seperti itu terus menerus, dijamin lama-lama aku akan menyukai ide jongen. Aku berdeham. "Aku telah menyusun lima ratus kalimat prioritas yang
Pintu kamar Edy takkan pernah terbuka kecuali jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, tak peduli di hari kerja atau libur. Dan dia terbukti tak pernah betah bersantai di rumahnya pada sore di hari-hari libur. Aku mengetuk pintunya pada pukul satu siang, setelah menemani Hyunji berbelanja sepatu baru di butik yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah membuat janji (bukan Lilac Anak Mama).Lama Edy tidak membukanya, membuat pikiranku bebas berkelana membandingkan Bree dengan Hyunji dan betapa aku sadar bahwa kualitas manusia tidak boleh dibanding-bandingkan. Selalu ada daftar kelebihan untuk menambal compang-camping kelemahan. Tapi masalahnya, mereka berdua benar-benar wanita yang loyal. Bedanya, aku tidak harus membayar ganti pada Hyunji tapi aku masih harus membayar ganti pada Bree. Bukan karena aku lebih nyaman bersama Hyunji, melainkan karena adik Bree adalah teman sepermainanku. Dan aku tidak ingin terlihat seperti sedang memoroti kakaknya.
"Oh ya, Thomas, bisakah kita bicara sebentar?" Max tiba-tiba bangkit dari tidur ayamnya."Tidak bisa," jawab Bree. "Aku harus menunjukkan progres karya listrikku padanya.""Kalau begitu setelah itu.""Dia milikku malam ini.""Aku tidak salah dengar?" Philip tergelak. "Kau belum mencoba riesling dan spätburgunder kami, ya? Paman Hans menyembunyikannya di kamar Gesa. Kalian punya alasan untuk menyelinap pergi dari sini.""Scheiße!"kata Max dengan wajah datar. "Kenapa kau mendukungnya?""Siapa yang tidak ingin mendukungnya?"Bree menepuk tangan karena kegirangan dan melayangkan tinju pada Philip. Max menggeram frutasi di antara mereka. "Kenapa kalian berdua tidak ikut kami saja menemui teman-teman di teras depan sana?" Max mengulurkan tangan pada Philip. "Ayo!"Seperti kembar identik, merek
Daftar lima ratus kata prioritas yang Bree susun sudah rampung diterjemahkan ke bahasa Belanda. Sepanjang jalan menuju toko pakaian, Bree membaca ulang setiap kalimat di handphone-nya keras-keras dan memintaku untuk mengoreksi pengucapan yang salah. Kami tidak membeli pakaian renang khusus, terutama Bree, yang menyangkal segala ide yang berhubungan dengan berenang setengah telanjang di kolam renang hotel. Pertama-tama, kami harus pergi membeli pakaian murah untuk berenang agar pakaian panjang kami tidak basah.Berenang adalah olahraga kesukaan Bree. Berenanglah yang membuatnya dapat membentuk massa otot yang bagus dan juga jadi setinggi ini. Dia meliuk-liuk seperti cacing, mengibaskan kakinya ke kanan dan kiri dengan elastis seperti para duyung, dan mengapung menghadap langit seperti papan gabus. Keantusiasannya hampir membuatku tidak menyesali ketantrumanku kemarin kalau pada akhirnya aku bisa melihat Bree berenang dengan gembira seperti bocah
Ruangan di rumahku cenderung tidak berbau karena aku dan Edy tidak membeli pengharum ruangan, tidak memelihara hewan, tidak memiliki lilin aromaterapi berwarna pink, tidak merawat mesin espresso dan grinder biji kopi, dan juga tidak pernah memasak puding berbau buah-buahan. Paling-paling kamarku membangkitkan nostalgia yang kuat tentang hawa pegunungan karena bau jamur dari tumpukan pakaian yang belum sempat kubawa ke penatu."Bolehkah aku membawa baju kotor sekalian? Aku bakal menaruhnya di penatu.""Jeep Max sanggup mengangkut kulkas, jadi, ya, pasti bisa mengangkut baju kotor juga."Aku berjongkok pelan-pelan, berusaha untuk tidak memicu rasa ngilu di perutku. Untung bukan Victor yang meninjuku. Dia hanya menahan serangan orang dan memanfaatkannya untul membalikkan keadaan, seperti yang dia lakukan padaku di vila Sylvia setelah kejadian Lia. Tapi sejauh ini aku tidak pernah mendengar cerit
Pintu kembali terbuka dan Bree tiba-tiba merebut rokokku, mematikannya di batu andesit, mengangkat tubuhku ke kamarnya, menutup pintunya, lalu berteriak, "MAAFKAN AKU, THOMAS!" Aku menoleh ke luar, pada Victor dan Jake yang memelotot dengan takjub ke arah kami. "Turunkan aku. Bisakah mereka mendengarmu?" "Aku berteriak. Jadi, ya, mereka mungkin mendengarku. Dan, mereka juga bisa melihatmu." "Turunkan aku!" tuntutku. "Maafkan aku dulu. Dan aku akan menurunkanmu." Aku mendorong bahunya dan menendang-nendang untuk mencapai tanah, tapi Bree bergerak seperti sedang menari untuk menyeimbangkan tubuhnya. Pelukannya semakin erat. Akhirnya aku tertawa. "Bree, Ya Tuhan, turunkan aku! Terakhir kali aku merengek, Apollo 11 baru saja mendarat di bulan." "Berdasarkan keahlianku dalam membaca penanggalan, misi itu baru terjadi empat puluh delapan tahun yan
Konter kafetaria di kampusku tutup pukul tiga sore setelah menghabiskan stock paket makan siang mereka. Tapi banyak mahasiswa yang menggunakan meja-meja panjang kafetaria untuk mengerjakan tugas atau sekadar nongkrong massal. Apalagi teman-teman sejurusanku yang berjumlah tujuh puluh tujuh orang dalam satu angkatan. Kami membutuhkan tempat yang luas untuk bercengkerama dan kafetaria adalah salah satu pilihan terbaik selain halaman berumput di tengah-tengah gedung Fakultas Teknik.Bree menungguku di tangga aula kafetaria, merasa sungkan menginterupsi segerombolan anak Arsitektur yang kelihatan butuh tidur tapi tertawa-tawa begitu lantang. Segagah apa pun dirinya, Bree tetaplah seorang perempuan yang pasti merasa malu menjadi pusat perhatian para laki-laki asing.Dia menghela napas dan mengumpulkannya di dalam dada selama mungkin sebelum mengembuskannya. "Hanya ada sebelas perempuan di antara delapan puluh mahasiswa Aeronotika da
Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada
Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie
Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika
Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun
"Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata
Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam
Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel
"Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.
Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu