Nathaniel merasakan jika situasi makin tidak wajar, dia menyadari bahwa daerah di sekitarnya makin sepi— terutama karena sudah larut malam. Dengan pertimbangan tersebut, Nathaniel memutuskan untuk menghentikan mobilnya dan menanyakan keadaan kepada Jane.
“Jane, kau yakin tidak tersesat?” tanya Nathaniel dengan wajah penuh kekhawatiran.
Namun, Jane hanya tertawa melihat keresahan Nathaniel. “Tidak sama sekali, Nate. Kita berada di arah yang benar. Baiklah, kurasa kita memang sudah sampai.”
“Kurasa?” Nathaniel mengulangi ucapan Jane yang seolah tidak yakin. Namun Jane mengabaikan keheranan Nathaniel dan malah membuka pintu mobil. “Bantu aku turun,” pintanya.
Nathaniel tak punya pilihan selain mengikuti permintaan gadis tersebut. Ia turun dari mobil dan bergegas melangkah ke arah Jane. Nathaniel segera membantu Jane keluar dari mobil, sementara gadis itu langsung mengalungkan tangan pada bahunya.
N
“Kenapa aku harus panik? Kenapa juga kau terlihat panik? Kau takut sesuatu akan terjadi jika aku menginap di sini?” tanya Isabella dengan senyum nakal.Nathaniel berdeham. “Bisa dibilang begitu.”“Ayolah, Nate. Kau tidak perlu takut, lagipula apa yang kau takutkan? Kalau pun terjadi sesuatu, kau tidak akan dirugikan, jika ada yang hamil, itu akan terjadi padaku, bukan padamu,” Isabella langsung tertawa setelah mengatakan itu.Namun Nathaniel terlihat kesal mendengar candaan tersebut. “Hentikan itu, Isabella. Apa kau pikir anak yang terlahir dari hubungan seks bebas itu ingin dilahirkan? Tidak, Isabella. Dia tidak pernah ingin dilahirkan. Dia adalah pihak yang paling dirugikan, karena dia adalah korban yang sebenarnya.”Isabella terkejut dengan reaksi Nathaniel. Wajahnya seketika berubah sedih. Isabella mengerti kenapa Nathaniel bereaksi seperti itu, karena pemuda itu merupakan 'korban' itu sendiri.Su
Isabella terbangun dari tidurnya karena suara getar ponselnya yang berderit di meja. Menggerutu kesal karena tidur nyamannya terganggu, Isabella memaksa membuka matanya, lalu meraih ponselnya. Dengan mata yang masih mengantuk, Isabella melihat notifikasi pesan masuk dari nomor Henrik. Rasa kantuknya seketika menghilang, digantikan oleh rasa tegang yang mendominasi. Isabella tampak ragu untuk membuka pesan tersebut, ia tahu akan ada berita buruk yang disampaikan oleh Henrik. Namun, Isabella tidak bisa mengabaikan begitu saja jika hal itu berkaitan dengan Nathaniel. Dengan dada yang berdegup kencang, ia akhirnya membuka pesan tersebut.Sesaat setelah pesan terbuka, kedua matanya terbelalak saat melihat foto Nathaniel yang terlihat sedang menindih Jane.“Brengsek!” umpat Isabella, tentu saja umpatan tersebut bukan untuk Nathaniel. Ia tahu betul bahwa foto itu sengaja diatur untuk menjebak Nathaniel. Semalam, pemuda itu sudah menceritakan detail kejadiannya, na
Nathaniel terbangun dari tidurnya saat alarm ponselnya berdering dengan keras. Dengan mata yang masih mengantuk, dia memaksa dirinya untuk membuka kedua matanya. Suara deringan alarm terus mengganggu ketenangannya, memaksa tangannya meraba-raba ponsel yang tergeletak di meja.Setelah berhasil menemukan ponselnya, Nathaniel mematikan fitur alarm. Dia menggeliat singkat, mencoba memaksa dirinya untuk bangkit dari gravitasi yang paling membuatnya nyaman di tempat tidur.Ketika akhirnya dia berhasil bangun dan duduk di tepi ranjang, tatapannya tertuju pada sticky note yang tertempel di meja. Nathaniel segera meraih sticky note tersebut dan membacanya.[Aku tidak tega membangunkanmu, tapi aku harus segera pergi sekarang karenaada kepentingan mendadak. Sampai ketemu nanti. Love you ❤️]Nathaniel mengernyit saat membaca pesan tersebut. “Urusan apa yang begitu mend
“Bagaimana? Kau sudah ambil keputusan? Jangan membuatku menunggu terlalu lama, Sayang,” Henrik memerhatikan Isabella sambil menyunggingkan senyuman licik.“Aku tidak bisa,” jawab Isabella tegas. “Saat ini aku sudah tanda tangan kontrak kerjasama dengan penerbit BelleVue Books, sedangkan Nathaniel adalah editorku. Mustahil aku bisa menjauh darinya.”“Aku tidak peduli itu, aku hanya mau kau menjauh darinya, jika tidak bisa—kau akan melihat berita tentang Nathaniel jadi headline,” ancam Henrik dengan nada tajam.“Jangan berani melakukan itu!!!” tegur Isabella dengan suara gemetar, takut akan konsekuensi dari ancaman tersebut.Henrik tertawa, “Aku tidak akan melakukannya, asal kau menerima persyaratan dariku.”Tanpa berpikir lebih lama, Isabella segera mengangguk menyanggupi persyaratan yang diberikan Henrik. “Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau minta. Tapi kau jug
Selama beberapa hari ini, Isabella benar-benar merasa hidupnya tak berguna. Ia sangat merindukan Nathaniel, terlebih tiap kali ponselnya berdering menandakan ada panggilan atau pesan masuk dari pemuda itu. Isabella merasa tersiksa karena terpaksa tidak meresponsnya. Frustrasi melanda saat dia memikirkan keputusan menjauhi Nathaniel, tapi dia tidak memiliki pilihan lain, yang dia lakukan demi pemuda itu sendiri.Isabella mencoba menenangkan dirinya sendiri meski sulit, beberapa hari dia memutuskan untuk 'hibernasi' di rumah saja. Menghabiskan waktu dengan makan, tidur, menulis, dan buang air sungguh membosankan. “Aku merindukanmu, Nate,” gumam Isabella sambil menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan menerawang. “Aku harap aku segera menemukan solusi untuk mengatasi masalah Henrik, sehingga aku tak perlu menjauhimu lagi.”Saat sedang sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba terdengar suara bel pintu. “Pizzaku sudah datang?” gumamnya. Be
“Benarkah?” Tanya Nathaniel yang entah kenapa jadi kesal saat mendengar ucapan manis, seperti kata rindu atau semacamnya dari orang lain—meski sebenarnya Elena tidak bisa disebut orang lain.“Kenapa bertanya begitu? Kau pikir aku hanya pura-pura merindukanmu? Untuk apa ibumu ini melakukan itu?” gerutu Elena kesal.“Baiklah, maafkan aku,” jawab Nathaniel tidak enak hati. “Nanti akan ku telepon lagi, di luar dingin sekali. Aku mau pesan taksi dulu untuk pulang,” suara Nathaniel agak menggigil.“Kau di luar? Mobilmu mogok lagi?” Tanya Elena cemas.“Iya,” sahut Nathaniel singkat.“Biar ibu yang menjemputmu, kau di mana?” Tanya Elena.Nathaniel terdiam sejenak, merasa mungkin tidak ada salahnya jika menerima perhatian dari Elena— toh dia ibunya, ibu kandungnya. Nathaniel akhirnya menyebut lokasi tempatnya berdiri karena memang kebetulan posisinya tak j
Nathaniel terbangun dari tidurnya, mata kembali terpejam sejenak sebelum membuka perlahan. Tirai motif karakter di kamar sudah terbuka, mungkin Elena yang melakukannya agar sinar matahari yang lembut bisa menyusup masuk. Udara musim dingin masih terasa menusuk tulang, hingga membuatnya malas bangkit dari balutan selimut tebalnya. Namun Nathaniel ingat bahwa hari ini ia harus berangkat ke kantor. Dengan gerakan lambat, ia memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidurnya yang nyaman. Merapikan selimut sejenak, ia kemudian melangkah keluar dari kamar. Di ruang makan, Nathaniel melihat Elena yang sibuk menyiapkan sarapan dibantu oleh seorang pelayan wanita tengah baya. Wajah ibunya terlihat ceria meskipun sibuk. Elena melihat Nathaniel keluar dari kamar dan melangkah ke arahnya. Perempuan itu langsung tersenyum, lalu memberi kode kepada pelayannya untuk meninggalkan mereka berdua, seolah Elena ingin mengobrol lebih intens dengan putranya tanpa adanya orang luar di
Isabella berdiri dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dada, menatap marah pada Henrik yang kini duduk santai di sofa ruang tengahnya.“Ayolah, Bella. Kau tidak seharusnya menunjukkan wajah seperti itu,” kata Henrik sambil menyeringai licik.“Kau tahu jika kau tidak disambut di rumahku,” jawab Isabella dengan ketus. Namun Henrik sama sekali tak terganggu oleh ucapan bernada sinis itu.“Kau makin manis saat marah-marah,” goda Henrik sambil bangkit lalu mendekat pada Isabella. Ia menyentil hidung mancung Isabella dengan santai, membuat Isabella refleks menepis tangan Henrik. Ia jijik pada pria itu, bahkan sentuhan kecil tersebut membuatnya bergidik. “Jangan sembarangan menyentuhku!”“Baiklah, aku akan minta izin setelah ini,” balas Henrik sembari menyeringai.“Sebenarnya apa lagi yang kau mau? Bukankah aku sudah melakukan apa yang kau minta?” Isabella mendengus, tak habis pikir karena Henrik masih saja datang mengganggunya.