Julian sibuk di dapur, mengeluarkan beberapa bahan seperti tepung dan yang lainnya untuk membuat kue pai. Saat membuka kulkas, Julian baru sadar jika dia tidak memiliki apel lagi. “Aku harus ke supermarket dulu untuk belanja,” gumamnya. Tiba-tiba, Julian mendengar suara pintu dibuka dari arah depan. Dia segera melangkah, memastikan apakah Nathaniel sudah pulang.
Nathaniel baru melepas mantel dan syalnya saat Julian muncul dari arah dapur. “Nate, kau sudah pulang?” tanya Julian.
Nathaniel menoleh, terdiam, menatap Julian dengan datar. Pikirannya masih penuh dengan banyak hal yang membingungkan, termasuk kebohongan yang mungkin dilakukan oleh Julian selama ini. “Paman, ada yang ingin aku tanyakan—”
Belum selesai Nathaniel bicara, Julian lebih dulu menyela, “Nanti saja, Nate. Aku masih harus ke supermarket untuk membeli apel. Aku berniat membuat pai apel, hari ini ulang tahunmu, kan? Aku akan membuatkan kue favoritmu.”
“Paman, aku bukan anak kecil lagi,
Isabella melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju pusat perbelanjaan. Hari Minggu menjadi waktu yang tepat baginya untuk mengisi stok persediaan kulkas dan barang-barang rumah tangga lainnya. Di perjalanan, Isabella mencoba menghubungi Nathaniel melalui perangkat telepon mobilnya, namun panggilannya tidak kunjung terhubung. Sebenarnya Isabella ingin mengajak Nathaniel untuk berbelanja bersama, jika pemuda itu bersedia. Namun setelah beberapa kali menghubunginya, panggilan Isabella tidak tersambung juga. “Mungkin dia sedang sibuk,” pikir Isabella lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Tetapi tiba-tiba, dia melihat sosok Nathaniel yang berjalan sempoyongan di trotoar. Kedua mata Isabella terbelalak kaget. “Nate?” serunya kebingungan. Isabella segera menghentikan mobilnya, lalu bergegas turun dari mobil. Langkahnya terburu-buru menuju Nathaniel yang masih melangkah gontai di tepi trotoar. “Nate!” Isabella menarik lengan pemuda itu
Senja mulai turun, membawa suasana yang semakin dingin di udara. Nathaniel keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi berwarna putih yang melingkari tubuhnya. Saat melangkah menjauh dari kamar mandi, tatapannya terarah pada Isabella yang sedang mencuci mangkok kotor di wastafel. Yang membuat Nathaniel merasa heran adalah karena Isabella terdiam dan membiarkan air terus mengguyur mangkok di tangannya meski pun sudah bersih, sementara kedua mata gadis itu terlihat menerawang— seolah memikirkan sesuatu. “Isabella, itu sudah bersih,” tegur Nathaniel. Isabella tersentak dan baru menyadari jika dia baru saja tenggelam dalam lamunan. Isabella buru-buru mematikan keran, kemudian meletakkan mangkok di rak. Isabella menoleh pada Nathaniel sembari berusaha tersenyum, “Kau sudah selesai mandi?” Nathaniel mengangguk. Setelah mandi air hangat, wajah pemuda itu terlihat lebih segar— meski Isabella tetap bisa melihat kabut keresahan di matanya. Sebelumnya, Nathaniel
Selama dua hari penuh, Nathaniel dan Isabella sibuk menata dan mendekorasi flat yang baru saja disewa. Mereka berdua bekerja keras, mencoba membuat ruangan tersebut menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk ditinggali. Setelah waktu yang cukup lama berlalu, flat yang disewa Nathaniel sudah tertata rapi dan nyaman. Isabella mengusapkan jari-jarinya di atas permukaan meja kayu yang baru saja mereka letakkan di tengah ruang. “Kurasa ini sudah cukup nyaman,” kata Isabella. “Meski menurutku, tinggal di rumah Elena akan jauh lebih nyaman.” Nathaniel terdiam sejenak, mencerna kata-kata Isabella. “Mungkin kau benar,” kata Nathaniel setelah beberapa saat. “Tapi jika aku tiba-tiba pindah, Elena pasti akan heran dengan apa yang terjadi. Apa kau pikir aku bisa mengatakan yang sebenarnya soal Paman Julian?” Isabella melihat ada kesedihan di mata Nathaniel. Dia tahu bahwa meski Nathaniel kecewa pada Julian, pemuda itu sulit untuk melupakan kedekatannya dengan pria
Nathaniel memasuki flatnya dengan langkah yang cepat, lalu segera menyalakan lampu. Ruangan terasa hening, dan keheningan itu menggetarkan dadanya. Adegan-adegan dari film horor yang baru saja ditonton masih menghantui pikirannya, membuat Nathaniel merasa agak gugup. Dia menyesali keputusannya untuk menonton film horor. Seharusnya tadi dia mengabaikan ledekan Isabella, daripada harus terbayang-bayang wajah-wajah seram yang terpampang di layar. Sekarang, dia meragukan keberaniannya untuk pergi ke kamar mandi jika nanti dia ingin buang air. Dengan napas yang naik turun, Nathaniel memutuskan untuk memasuki kamar barunya yang tidak terlalu besar. Di dalam kamar, hanya ada tempat tidur single dan sebuah lemari kecil yang masih kosong. Semua pakaiannya masih tertinggal di rumah Julian, dan dia masih belum tahu kapan akan mengambilnya. Teringat Julian, sedikit mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang ngerinya adegan-adegan film. Nathaniel duduk di ujung te
Isabella sedang berbelanja di supermarket, mendorong troli di sepanjang lorong-lorong yang dipenuhi dengan berbagai produk. Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah keheningan suasana. Dia menghentikan langkahnya dan segera meraih ponsel yang terletak di saku celananya. Di layar ponselnya, Isabella melihat nama ‘Elena’ memanggil. Isabella tersenyum melihat panggilan dari ibu Nathaniel dan segera menjawab panggilannya. “Halo, bibi,” sambutnya dengan hangat. “Halo, Bella. Apa hari ini kau sedang sibuk?” Suara Elena terdengar lembut di ujung telepon. “Tidak juga, Bibi. Aku sedang belanja kebutuhan dapur,” jawab Isabella sambil melanjutkan langkahnya di antara rak-rak di supermarket. “Ku dengar dari Nate, katanya kau pandai memasak,” ucap Elena, mencoba memulai percakapan. Isabella tersenyum tersipu, “Benarkah Nate yang mengatakannya? Di depanku dia tidak pernah sekali pun memuji masakanku.” “Dia memang seperti itu, kau tidak usah kaget,” j
Nathaniel dan Isabella memasuki flat, langkah mereka bergema di ruang yang sepi. Isabella segera melepas mantel dan syalnya, lalu menggantungnnya pada sandaran kursi. Sedangkan Nathaniel berjalan menuju dapur, berniat untuk membuatkan kopi untuk Isabella.“Aku lapar,” ujar Isabella tiba-tiba.Nathaniel memutar kepalanya untuk kembali menatap gadis itu, lalu mencoba memikirkan opsi terbaik. “Apa sebaiknya kita keluar untuk mencari makanan?” tawarnya.Isabella menyelipkan tangannya ke dalam saku celananya, mengangkat bahu dengan nada ragu. “Kau tidak punya apa pun untuk dimasak?” tanyanya.Nathaniel menggelengkan kepala. “Kau tahu sendiri, aku baru pindah ke sini, terlebih aku sama sekali tidak memiliki skill memasak. Jadi, untuk apa aku menyimpan bahan masakan?” jelasnya.Isabella mendesah kecil, bibirnya melengkung ke bawah. “Bagaimana caramu bisa bertahan jika suatu hari terdampar di h
Isabella merasa lega melihat hubungannya dengan Nathaniel semakin dekat setiap harinya. Pekerjaannya di BelleVue Books juga berjalan lancar. Ia menulis novel dengan begitu mengalir, dan semua itu tentu berkat bantuan dan dukungan dari Nathaniel. Semua tampaknya berjalan baik-baik saja, dan Isabella merasa bahagia dengan arah hidupnya saat ini. Namun, sangat disayangkan karena Isabella terlalu terlena dengan kehidupan yang damai sebelumnya. Hingga dia tidak siap saat melihat guncangan yang ada di hadapannya. Dan saat ini, Isabella tercengang cukup lama saat melihat ponselnya, memerhatikan headline beberapa portal berita dipenuhi dengan kabar tentang keluarga Alexander. Di antara judul-judul yang memenuhi internet, semuanya didominasi oleh informasi tentang Elena Alexander—yang ternyata adalah ibu kandung Nathaniel, bukan kakak Nate seperti yang selama ini diketahui oleh publik. Yang membuat Isabella tercekat adalah banyaknya berita yang melebih-lebihkan dan t
Setelah beberapa hari belalu, Nathaniel memilih untuk mengabaikan segala yang tertulis dan tersebar di internet. Meskipun Elena telah melakukan konferensi pers dan menjelaskan segalanya, media tampaknya tidak puas dan terus menggoreng pembahasan tentang keluarga Alexander. Yang paling menyedihkan dari semua berita di media adalah munculnya foto-foto Nathaniel yang dijebak oleh Jane sebelumnya. Foto-foto itu tidak hanya merusak reputasinya, tetapi juga menggiring persepsi buruk terhadapnya di mata publik. Isabella penasaran siapa sebenarnya yang menyebarkan foto tersebut, mengingat jika Henrik sudah mendekam di tahanan. Isabella semakin gelisah melihat Nathaniel harus menerima hujatan dari netizen setiap hari, sementara dia sendiri merasa tidak bisa berbuat banyak untuk membantu. Yang bisa Isabella lakukan saat ini hanya memberikan Nathaniel lebih banyak perhatian, meyakinkan pemuda itu jika dia tidak sendiri menghadapi semua masalah di hadapannya. Saat ini, Nathaniel
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela