"Nadia!"
Tiba-tiba lampu ruangan menyala terang. Gue yang mengendap-endap sambil menenteng heels, terpaksa berhenti mendadak. Untung rem gue pakem. Celingak-celinguk, mencari pelaku, siapa gerangan yang ngidupin lampu tiba-tiba.
Seperti maling yang ketangkep hansip, gue hanya bisa pasrah dengan tatapan mengiba. Mami sudah berdiri dengan berkacak pinggang di sudut ruangan. Tepatnya di bawah tangga dekat saklar. Kedua matanya melotot dan rahang mengeras. Bibirnya ditekan ke dalam dengan gigi gemelutuk.
"Nadia!" Sekali lagi Mami teriak. Membuat jantung ini seperti petasan meledak. Dag dig dug der menghentak dada. Jangan ditanya pula bagaimana rasanya kuping ini. Berdenging saking kerasnya teriakan Mami. Untung halaman rumah ini cukup luas dan dikelilingi pagar tinggi, sehingga tetangga tidak terganggu dengan suara toa mami, ups. Heran gue, sudah malam gini batrenya masih full aja. Habis makan apa, sih dia. Andai tak takut dikutuk jadi cantik, eh, jadi jelek maksudnya, sudah pasti gue ngibrit ke kamar. Meninggalkan Mami marah-marah sendirian. Sayangnya, tatapan garang Mami membuat nyali gue ciut. Mengkerut kayak cacing ditetesi jeruk purut.
"Jam berapa ini, baru pulang? Cewek bukanya tidur manis di rumah, malah keluyuran kek hansip lagi ronda!"
Buset, Mami gue kalau ngomong suka bener. Nyengir tanpa dosa, gue. Perlahan gue melangkah mendekati mami. Memasang wajah melas supaya dikasihani.
"Maaf, Mami ... Nadia khilaf," ucap gue sambil mengacungkan dua jari. Tak lupa gue pasang wajah seimut mungkin dengan mengedip-ngedipkan mata biar Mami nggak muntah, eh, nggak marah maksudnya. Meski sebenarnya gue sendiri rada jijik memasang ekspresi seperti ini. namun demi keberlangsungan hidup gue, agar fasilitas tetap berjalan, terpaksa sok imut di depam mami.
"Mulai besok, kamu nggak boleh keluar rumah. Semua fasilitas mami cabut!" ucapnya tanpa belas kasihan. Kadang gue berpikir, apa benar gue anak kandung mami. Secara kalau ngomong, mami suka ngegas ke gue. Beda banget sama abang. Yah, mungkin karena abang selalu nurut kata-kata mami juga, sih.
Gue melongo tanpa sadar. Namun segera menarik tangan Mami sebelum pergi. Gue cium tangan Mami yang bau minyak angin berkali-kali, menatapnya dengan tatapan memohon.
"Jangan dong, Mi ... nanti kalau fasilitas Nadia dicabut, gimana kuliahnya? Kan Nadia masih pen pinter, Mi. Ya ... ya ... ya?"
Mami menghembuskan napas lelah. Mungkin sudah menyerah lihat kelakuan gue yang sedikit absurd ini. entah dulu waktu hamil geu, mami ngidam apa sampai anak perempuann satu-satunya bisa bersikap aneh kek gini.
“Emang Mami mau, anak Mami yang cantiknya kek bidadari ini jadi bodoh gegara putus kuliah? Nggak mau, kan? Ya, kan?” Gue memainkan alis naik turun agar mami tak murka lagi.
"Mami dah ngasih banyak kesempatan, tapi kamu selalu bikin Mami kecewa. Bisa cepat tua kalau Mami selalu ngadepin tingkahmu yang pecicilan itu, Nadia. Pokoknya, mulai besok, kamu nggak boleh keluar. Titik!"
Mami berlalu meninggalkan gue yang cengo macam kesambet nenek gayung di sumur tetangga. Kok, gue jadi bergidik sendiri yak? Tanpa sadar gue celingak-celinguk sambil nahan pipis. Jangan-jangan tuh nenek gayung ada di belakang gue lagi. Hiii, ngeri.
Dengan kecepatan cahaya, gue lari terbirit-birit menuju kamar. Tanpa berganti pakaian, langsung nyungsep di bawah selimut dan berlayar ke lautan mimpi. Melupakan rasa kebelet pipis yang tadi sudah sampai ujung.
***
"Nadia, bangun!"
Selimut yang menutupi tubuh gue disingkap hingga kaki. Duh ... ulah siapa sih, masih ngantuk juga.
"Nadia, bangun! Jam berapa sekarang?"
"Bentar lagi, Mi. Ngantuk," ucap gue masih sambil merem. Kutarik lagi selimut gue, tapi kok alot? Seperti ada yang menarik balik? Terpaksa gue buka mata meski masih iyip-iyip. Ternyata mami belum menyerah. Wajah garangnya langsung terlihat saat pertama gue membuka mata. Untung nggak belekan, ups. Astaghfirullah, nggak boleh ngatain orang tua sendiri, kan?
"Cepet mandi, dan ganti baju yang sopan. Mami tunggu lima belas menit harus selesai!"
"Ogah!"
Gue merasakan cubitan kecil di lengan ini. Duh, mami mainnya pakai kekerasan, nih. Nggak asik, ah. Dengan malas, akhirnya gue bangun juga. Dari pada kanjeng Mami makin merepet, mending bangun dan ikuti kemauannya. Siapa tahu fasilitas gue bisa balik lagi. Iya, kan?
"Na--"
"Iya--iya, Mi, Nadia bangun, nih."
Akhirnya gue menyerah saudara. Dengan berat hati menuruti titah kanjeng ratu. Daripada nggak dikasih makan, lebih baik sendiko dawuh saja. Siapa tahu nanti dapat jodoh ganteng. Gue terkikik geli mendapati pikiran konyol barusan.
Gue kan baru 19 tahun lebih, dah mikirin jodoh aja. Amit-amit dah nikah muda. Hilang dong kebebasan gue kalau nikah? Belum lagi harus ngurus bocah, hiii. Gue bergidik ngeri membayangkan hal itu. Seketika dalam otak gue berkelebat bayangan gue dengan keluarga kecil gue sedang jalan-jaan di taman bermain anak-anak.
Seketika gue ketok-ketok kepala ini supaya nggak mikir yang iya-iya. Kayaknya nih otak mulai korslet eh konslet, deh. Gegara mami nih, yang maksa gue bangun pagi-pagi.
Dengan santai gue berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah ada Mami, Papi, Bang Angga dan ... siapa sih, pagi-pagi sudah bertamu? Bodo amat ah, nggak kenal ini.
Dengan cuek gue duduk disamping Abang gue satu-satunya. Semua mata seperti tertuju ke gue. Tapi gue nggak peduli. Yang penting makan. Urusan perut jauh lebih penting dari apapun saat ini. Setelah beberapa saat focus pada makanan masing-masing, mami membuka suara.
"Nadia, kenalin ini tante Sindi dan ini anaknya, Alfin."
Gue tatap sekilas lalu menunduk sambil tersenyum paksa tanda hormat. Setelahnya fokus lagi pada sarapan. Melahap hidangan dengan cepat seperti tak pernah makan seminggu.
"Minggu depan kalian akan menikah."
Makanan yang baru saja gue kunyah menyembur tanpa perintah. Spontan gue tersedak, sehingga membuat gue batuk-batuk. Abang menepuk-nepuk punggung ini, tapi bukannya reda malah makin keselek. Pemuda yang kata Mami akan dijodohkan dengan Nadia yang cantik ini menyodorkan segelas air putih yang langsung gue samber tanpa malu. Baru setelah menyadari siapa yang memberi minum, kedua bola mat ague melotot sempurna.
"Mami bercanda? Nadia masih muda, Mi ... nggak mau nikah dulu pokoknya!"
Sekilas ekor mata ini melirik ekspresi pemuda yang katanya akan dijodohkan sama gue. Datar. Seperti tak memiliki ekspresi sama sekali. Kenapa dia tidak menolak? Karena geram, gue bangkit dan meninggalkan mereka tanpa permisi. Kepala gue tetiba berdenyut memikirkan uacapan Mami. Seorang Nadia menikah di usia belia? Oh, no. Big no!
“Nadia! Dengerin mami dulu! ini semua demi kebaikanmu, Nak,” ucapnya sambil mencekal lengan gue. Terpaksa berhenti dan menatap orang yang gue saying itu meski terkadang menjengkelkan.
“Demi kebaikan Nadia, Mi? Emang Mami tahu kalau dengan menikah secepat ini Nadia bakalan semakin baik?”
“Tentu, dengan menikah, kamu akan belajar bertanggungjawab dan tidak keluyuran lagi.”
“Itu namanya mengekang kebebasan Nadia, Mi. Pokoknya nggak mau, titik!”
"Mi, Nadia nggak mau ... tolonglah, Mi, batalin aja ya?” rayu gue sambil memasang wajah seimut mungkin.Akhir-akhir ini gue semakin akrab dengan ekpresi ini. mau gimana lagi? Hanya ini satu-satunya senjata gue untuk meluluhkan hati mami. Tapi sayangnya, gagal lagi.Hari ini gue terpaksa menuruti keinginan mami menikah dengan pemuda ganteng itu. Padahal gue masih ingin kuliah dan hidup bebas seperti teman-teman. Tapi semalam mami serangan jantung gegara penolakan keras gue. Entah itu serangan jantung beneran atau acting. Yang jelas melihat wajah memohon mami, jiwa malaikat gue meronta. Meski sisi iblis dihati gue meminta untuk kabur saja, tapi gue nggak sampai hati menurutinya. Walau sebadung apa pun gue, tetap takut jadi anak durhaka.Sekali lagi gue mencoba peruntungan. Kali aja mami luluh dan membatalkan pernikahan dadakan ini. Apa kata dunia, seorang Nadia Antania yang cantik bak model ini harus nikah muda? Bisa-bisa gelar
“Kenapa tiba-tiba orang itu bisa ada di kamar? Radar bahaya di otak gue mulai bekerja setelah beberapa detik konslet. Dengan cepat gue menyambar scraf yang tergantung dan gue lilitin di bagian atas tubuh ini.“Merem, Om! Jangan lihat!” teriak gue menggelegar.Jujur gue sedikit gemetar ketakutan. Inni pertama kalinya berada di kamar dengan pria asing dalam kondisi yang nggak banget. Meski sudah resmi jadi sepasang suami istri, tetap saja rasanya sangat memalukan. Gue emang badung dan pecicilan. Tapi selama ini tidak pernah membuuka aurat di depan pria asing. Emang, sih … pakaian gue belum syar’i macam para muslimah yang dipanggil ukhty.“Kenapa emangnya? Biasanya juga dilihat banyak mata, kan?” ucap lelaki yang sayangnya ganteng pakai banget itu sedikit mengejek.“Enak aja, gini-gini gue juga takut dosa tahu, Om. Nggak pernah tuh gue mengumbar aurat di depan laki-laki!” ucap gue percaya diri. Kul
"Terima kasih sudah menemaniku salat.""Hah?"Sepertinya telinga gue ada masalah deh. Dia, lelaki itu berterimakasih? Nggak marah atau mempermalukan gue gitu? Ya Allah, makin malu nih. Mungkin sekarang muka gue sudah memerah."Sebentar lagi subuh. Wudlu lah, kita salat jamaah. Aku belum tahu masjidnya di sini."Seperti terhipnotis. Gue nurut aja apa katanya. Apa gue mulai terpesona sama tuh Om-om? Ah nggak mungkin. Seorang Nadia susah untuk terpesona. Yang ada laki-laki yang terpesona sama Nadia Antania.Selesai subuh, om ganteng, eh abang ganteng--semalam kan dia nggak mau gue panggil om, meminta gue duduk disampingnya. Tentu saja gue menjaga jarak aman. Gue kan takut diapa-apain. Secara dia pria dewasa sedang gue gadis kecil yang masih suci. He he."Nadia. Nanti siang kita pindah. Sekarang kamu persiapkan semua barang-barangmu!""Apa? Pindah? Kemana?"Otak gue tiba-tiba ngeblank. Entah k
"Nadia," gue mendongak mendengar suara lembut itu. Suara yang baru-baru ini mendominasi akal sehat. Ya karena dia, gue terpaksa harus menjadi istri di usia dini. Melupakan cita-cita gue menjadi model."Ayo kita pulang," ucap pria pemilik sepasang lesung pipi ini. Tangannya terulur. Namun gue hanya melihat sekilas lalu kembali membenamkan kepala di sela-sela lutut.Rasanya perut ini sudah melilit. Kaki juga perih akibat berjalan tanpa alas kaki. Darah yang sudah sedikit mengering di kaki ini tak membuat gue merintih. Karena di dalam sana, terdapat luka yang menganga. Melebihi sakitnya kaki ini.Sebuah tangan menyentuh pundak gue yang masih sedikit bergetar. Sungguh, ini bukan gaya gue banget. Menangis di pinggir jalan macam pengemis nggak dapat makan."Ayo Nadia, kita pulang. Kita selesaikan masalah ini di rumah. Jangan seperti anak kecil yang merajuk minta dibelikan mainan baru," ucap pria yang menjadi sumber masalah gue ini. Sudah
Tubuh gue menggigil tiba-tiba. Dari luar terdengar gedoran pintu. Semakin lama semakin keras. Tapi kaki ini sudah seperti jelly. Jangankan untuk melangkah, berdiri saja rasanya tak mampu. Makhluk kecil menjijikkan itu seolah hendak menerkam gue. Meski sudah sering menyugesti diri bahwa makhluk itu tidak menggigit, tapi tetap saja rasa takut tak bisa hilang saat melihatnya. “Tolong, om … tolongin gue!” teriak gue sekali lagi. Tangan ini mencoba untuk menggapai pintu tapi tak mampu karena gemetar. “Nadia, buka pintunya. Nadia!” teriak suami gue dari luar. Kedua mata ini sudah merebak, mengaburkan pandangan yang belum satu jam terbuka karena ketiduran. Makhluk itu seperti menatap tajam ke gue yang ketakutan. Perlahan gue mundur sambil ngesot karena kaki sudah tak mampu lagi berdiri.
Apa-apaan ini, masa gue di suruh masak beginian? Seumur hidup belum pernah masak sayuran aneka macam kayak begini. Gue kan cuma bisa rebus air sama masak mie instan doang, itupun kadang gosong. Cukup lama gue menatap berbagai jenis sayuran itu berharap berubah jadi makanan instan siap goreng. Nyatanya itu cuma khayalan gue yang jauh dari fakta. Terpaksa gue ambil beberapa jenis sayuran dan telur. Memotong sayuran tersebut menjadi lebih kecil. Lalu setelah siap gue kukus semua sayuran jadi satu. Untuk telur, gue ambil 6 biji dan direbus. Yah, begini lebih mudah. Bukankah makanan terbaik itu yang dimasak tanpa minyak? Secara om Alfin kan sudah tua, harus mengurangi minyak biar nggak kolesterol. Hihi, gue terkikik sendiri membayangkan reaksi om Alfin makan masakan super sehat ala Nadia. Sambil menunggu telur dan sayuran matang, gue cuci beras dan menanaknya dalam magic com. Huh, beres. Ternyata semudah ini memasak ya. Gue melompat girang sambil mengepalkan
"Om Alfin?" "Nadia?" Duh, perasaan gue jadi gak enak, nih. Jangan sampai temen-temen gue tahu kami ada hubungan. Bisa hancur nanti reputasi gadis cantik ini. Tanpa aba-aba, gue berbalik dan lari meninggalkan tempat itu. Panggilan lelaki itu sudah tak gue hiraukan lagi. Yang penting saat ini selamat dulu dari pria itu. Kalau nanti dia marah, urusan belakangan. Dengan napas ngos-ngosan, gue terus berlari sampai ke seberang jalan, diikuti temen-temen gue yang tak kalah ngos-ngosan dari gue. Setelah cukup jauh, dan tak terlihat lagi dari lelaki itu, gue berhenti untuk mengatur napas. "Nad, kenapa, sih? Capek tauk lari-larian. Mana gue pakai heels lagi. Tega Lo, Nad," ucap Icha sambil membungkuk menekan lututnya. Gue yang sudah mulai bisa mengatur napas cuma bisa nyengir tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Siapa suruh kalian ngejar gue?" "Lah, kan kita takut Lo kenapa-napa, sebenarnya ada apa, sih? Lihat cowok ganteng kok ke
Tatapan kami beradu. Sesaat gue dan pria ini saling membeku. Mata setajam elang itu menyeret ke dalam pusaran tak berujung hingga membuat gue tersesat di sana. Oh jantung, tak bisakah berdetak biasa saja? Ingat dia itu pria tua yang telah merenggut masa depan gue. Jangan sampai tertipu dengan sikap lemah lembutnya yang mudah berubah seperti bunglon."Nadia," ucapan itu menarik gue dari khayalan tak bertepi. Gue rasakan pipi ini memanas. Pasti sekarang sudah merah seperti tomat. 'Astaga, Nadia, sadar. Dia bukan tipe, Lo,' teriak batin gue tak terima.Sampai di rumah gue langsung ngacir ke kamar. Menghindari lelaki itu supaya nggak diinterogasi. Dia pasti mikir, dari mana gue dapat uang untuk bisa makan di kafe. Bisa habis nanti kalau tahu juga duit belanja habis buat beli HP. Dengan sembunyi-sembunyi, gue mengambil HP baru tadi dan mematikan baterainya. Lalu menyembunyikan di kolong ranjang supaya nggak ketahuan."Lagi ngapain, Nadia?"
Tubuh gue membeku, seolah ada perekat yang membuat gue tak bisa bergerak. Hp itu kembali bergetar. Nama yang sama. Namun bukan panggilan kali ini. Sebuah chat muncul di layar, lalu hilang. Bang Al menatap benda persegi itu lalu beralih ke manik gue. Seakan berkata, bukalah.Dengan tangan gemetar, gue raih HP itu dan membukanya. Pria berjenggot ini mendekatkan kepalanya ikut membaca.From: Rafael[Nadia, aku tahu kamu sudah bahagia sekarang. Sebelum aku memutuskan untuk mengikuti jejakmu dengan menerima perjodohan ini, izinkan aku menyampaikan isi hatiku. Sejak pertama kita bertemu di pantai waktu itu, aku yakin kamulah tulang rusukku yang hilang. Hingga aku menutup mata bahwa kamu menangis seperti itu karena perjodohan. Dan bodohnya aku, berharap kamu bisa berjuang membatalkannya.]Gue menahan napas membaca chat itu. Memejamkan mata mencoba meraba perasaan gue. Namun tak ada getaran sedikit pun di hati ini membaca oengakuannya.[Saat
"Nadia!""Tante!" ucap kami kompak. Bagi Bang Alfin, ini tidak mengejutkan karena dia sudah tahu kisahnya. Namun bagi Mama dan Papa mungkin bingung."Eh, ada Om Bram dan Tante Salma, gimana kabarnya, Om, Tante?" Bang Alfin benar-benar penyelamat gue. Berkat dia, kami bisa keluar dari situasi yang kurang nyaman ini. Kami semua duduk di sofa. Tak ketinggalan ada Kak Ais dan pak Rafael mengekor di belakang mereka."Wah, ada acara apa ini? Kok Alfin mencium bau-bau calon pengantin ya," celetuk suami gue yang diikuti derai tawa semuanya. Ekor mata gue melirik sosok pria yang pernah membuat Bang Alfin cemburu itu. Tampak ia salah tingkah di tempatnya. Sementara Kak Ais, menunduk seolah kotak-kotak marmer lebih menarik dibanding kami semua."Iya, sayang. Sebentar lagi adekmu ini akan menikah dengan nak Rafa. Kamu kan juga sudah lama berteman dengan nak Rafa, jadi nggak perlu kagi pakai acara ta'aruf, ya kan, Pa?" Mama terlihat begitu bahagia menceritakan rencany
Alunan merdu tilawah Bang Alfin samar-samar terdengar di telinga gue. Memaksa keluar dari alam mimpi dan membuka mata ini. Beberapa detik menyesuaikan dengan cahaya, akhinya mata bisa terbuka sempurna.Kaki ini mulai menjejak lantai, namun seketika dingin menjalar ke seluruh tubuh hingga ke tulang belulang. Ingin kembali bergelung di bawah selimut, tapi hati kecil ingin bergabung dengan imam tampan gue.Akhirnya gue mampu melawan dinginnya lantai dan berjalan dengan berjingkat. Setelah berwudlu, gue mendirikan qiyamullail di belakang Bang Alfin yang memelankan suaranya. Menghadap Allah di waktu seperti malam seperti ini, benar-benar menyejukkan jiwa. Hati merasa tenteram dan damai.Baju kesombongan yang membalut diri, gue lucuti di hadapan-Nya. Merendahkan diri dan bersujud pada Dzat yang layak disembah. Dalam doa terbayang dosa-dosa masa lalu yang begitu banyak hingga tak mampu diri ini memikulnya. Buliran air mata luruh bersama penyesalan yang mendalam.
Habis subuh, gue mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Nggak ribet, hanya roti bakar dan dua gelas juz. Sementara Bang Alfin belum pulang dari masjid. Selesai urusan dapur, gue langsung membersihkan rumah. Ya, mulai hari ini gue akan menjalankan tugas sebagai istri.Setelah mendapat banyak pencerahan dari buku yang gue baca, juga dari suami tercinta, gue mengazamkan diri untuk belajar menerima status baru ini. Meski awalnya aneh, tapi rasanya nggak buruk juga. Lagian, harusnya gue bersyukur mendapat suami Bang Alfin yang selalu menjaga gue dari dosa.Orangnya yang sabar dan dewasa, itulah yang mampu membuat gue berubah dari gadis urakan dan pecicilan menjadi wanita shalehah yang didambakan suami. Pipi gue memanas mengingat kejadian semalam. Malam yang begitu panjang. Mengukuhkan cinta kami berdua.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Gegas gue bersiap untuk ke kampus. Di depan lemari, gue sibuk memilih-milih pakaian untuk menutup tubuh gue. Netraku jatuh
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudah standby di parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Bang?"Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, menyebabkan jidat gue y
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudahstandbydi parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Ban
Bang Alfin mengerikan ternyata kalau sedang cemburu. Pribadinya yang kaku berubah jadi lebih garang seperti emak-emak nggak dikasih uang jatah sebulan. Apa pun yang gue katakan tak mampu membuatnya langsung percaya begitu saja.Baru tahu kan rasanya terbakar api cemburu? Ya begitu, Bang rasanya. Sakit. Namun tak berdarah. Ini baru lihat istri disukai pria lain, belum pernah melihat bermesraan atau berduaan di depan matanya sendiri. Bayangkan apa yang gue rasakan saat Abang tiba-tiba membawa perempuan lain ke rumah. Lalu mengabaikan keberadaan gue dan selalu memujinya di depan gue. Apa itu tidak menyakitkan, Bang? Sayangnya semua itu hanya gue katakan dalam hati.Gue tak mau menambah masalah dengan membandingkan dua kasus ini. Terpenting sekarang adalah bagaimana caranya supaya lelaki yang telah berhasil mencuri hati gue ini percaya kalau gue nggak main api seperti apa katanya."Buktikan pada Abang kalau kamu benar-benar nggak ada hubungan sama
Wajah gue pasti semakin merah dengan pujiannya. Ah, Bang Alfin, kenapa baru sekarang sih membuat bunga-bunga di taman hati gue mekar? Kemana saja selama ini? Ah iya. Gue yang terlalu egois. Gue yang salah paham. Dalam hati gue merutuki kebodohan yang selama ini terpelihara.Kebetulan hari ini sedang libur. Bang Alfin mengajak ke kafe yang wajtu itu gue datangi bersama teman-teman. Sesampainya di Kafe, semua karyawan menyapa ramah pria ini. Beberapa ada yang saling sikut melihat kami yang bergandengan."Biasa aja lihatnya. Kami sudah halal, kok," ucap Bang Alfin membuat mata mereka membulat. Mungkin tak percaya pria yang usianya sepantaran mereka mendapat istri belia seperti gue."Loh, ini kan yang waktu itu maksa pengen ketemu pak bos?" Aduh, mati gue. Kalau pria ini sampai keceplosan ngomong sama Bang Alfin, bisa habis gue. Tatapan kami bertemu, gue mendelik memberi kode supaya pria ini tak mengatakannya pada Bang Alfin.
"Eh, maaf, Pak. Saya buru-buru. Permisi," ucap gue langsung meninggalkan Pak Rafael dan ketiga teman gue. Supaya tak terlihat oleh dosen ganteng itu, gue berusaha menyusup di antara para mahasiswa yang berjalan menuju gerbang.Sebelum masuk mobil, sekali lagi gue memastikan mereka tak melihat gue. Secepat kilat gue langsung masuk dan duduk di samping bang Alfin. Gue menekan dada untuk menetralkan degup jantung yang berdentam-dentam ini."Kenapa, sih?""Astaghfirullah, Bang. Bikin kaget aja, deh!"Bang Alfin menatap gue curiga. Matanya menelisik menjadikan jantung ini semakin berdebar."Kamu kenapa, sih? Kayak maling aja ngumpet-ngumpet.""Udah, ah. Jalan yuk, Bang!"Akhirnya mobil melaju meninggalkan kampus. Sepanjang jalan Bang Alfin terus melirik gue. Sementara pikiran gue fokus pada pada kejadian tadi. Hampir saja Pak Rafael tahu kalau gue dijemput."Bang, e