"Om Alfin?"
"Nadia?"
Duh, perasaan gue jadi gak enak, nih. Jangan sampai temen-temen gue tahu kami ada hubungan. Bisa hancur nanti reputasi gadis cantik ini. Tanpa aba-aba, gue berbalik dan lari meninggalkan tempat itu. Panggilan lelaki itu sudah tak gue hiraukan lagi. Yang penting saat ini selamat dulu dari pria itu. Kalau nanti dia marah, urusan belakangan.
Dengan napas ngos-ngosan, gue terus berlari sampai ke seberang jalan, diikuti temen-temen gue yang tak kalah ngos-ngosan dari gue. Setelah cukup jauh, dan tak terlihat lagi dari lelaki itu, gue berhenti untuk mengatur napas.
"Nad, kenapa, sih? Capek tauk lari-larian. Mana gue pakai heels lagi. Tega Lo, Nad," ucap Icha sambil membungkuk menekan lututnya. Gue yang sudah mulai bisa mengatur napas cuma bisa nyengir tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Siapa suruh kalian ngejar gue?"
"Lah, kan kita takut Lo kenapa-napa, sebenarnya ada apa, sih? Lihat cowok ganteng kok ke
Terimakasih yang masih setia menunggu kelanjutannya
Tatapan kami beradu. Sesaat gue dan pria ini saling membeku. Mata setajam elang itu menyeret ke dalam pusaran tak berujung hingga membuat gue tersesat di sana. Oh jantung, tak bisakah berdetak biasa saja? Ingat dia itu pria tua yang telah merenggut masa depan gue. Jangan sampai tertipu dengan sikap lemah lembutnya yang mudah berubah seperti bunglon."Nadia," ucapan itu menarik gue dari khayalan tak bertepi. Gue rasakan pipi ini memanas. Pasti sekarang sudah merah seperti tomat. 'Astaga, Nadia, sadar. Dia bukan tipe, Lo,' teriak batin gue tak terima.Sampai di rumah gue langsung ngacir ke kamar. Menghindari lelaki itu supaya nggak diinterogasi. Dia pasti mikir, dari mana gue dapat uang untuk bisa makan di kafe. Bisa habis nanti kalau tahu juga duit belanja habis buat beli HP. Dengan sembunyi-sembunyi, gue mengambil HP baru tadi dan mematikan baterainya. Lalu menyembunyikan di kolong ranjang supaya nggak ketahuan."Lagi ngapain, Nadia?"
Tubuh gue membeku. Wanita cantik itu tampak anggun dan dewasa dengan hijab syar'i yang menutup tubuhnya. Bang Alfin sama sekali tak melihat gue. Dia sibuk menurunkan koper besar yang mungkin milik wanita ini.Dada gue bergemuruh. Siapa wanita ini, sampai membawa koper sebesar itu? Bahkan tak hanya satu. Tiga koper besar sudah turun semua. Apa dia akan tinggal di sini selamanya? Bukankah bang Alfin sangat menjaga interaksi dengan wanita?Ah, sepertinya rencana gue untuk berbaikan dan menerima pernikahan ini harus gagal karena wanita asing ini. Tatapan mereka beradu. Senyumnya saling merekah, seperti ada hubungan khusus di antara mereka. Meski gue belum pernah jatuh cinta, tapi gue nggak bodoh-bodoh amat untuk bisa mengartikan tatapan saling memuja itu. Sial, kenapa hati gue seperti ditusuk-tusuk?"Sudah pulang, Bang?" sapa gue lembut. Lebih tepatnya gue buat lembut. Saat hendak meraih tangan yang biasanya dia sodorkan itu
Tanpa melihat siapa pemiliknya, sapu tangan biru itu gue sambar lalu menggunakannya untuk mengusap air mata dan ingus yang membuat sesak napas. Setelahnya gue kembalikan pada yang empunya, dan kembali menatap ombak.Tanpa izin, pemilik sapu tangan itu duduk dengan santai di sebelah gue. Masih diam. Dia mengikuti arah pandang gue. Kami duduk termenung tanpa saling menyapa. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Mungkin dari kejauhan kami tampak seperti sepasang kekasih yang sedang pacaran. Sambil menikmati ombak yang bergulung-gulung silih berganti."Pilihanmu sudah tepat dengan mendatangi tempat ini," gue menoleh pada sumber suara. Dia lagi ngomong sama gue? Oon, sama siapa lagi, di sini hanya ada kami berdua. Nggak mungkin 'kan dia bicara sama makhluk astral yang nggak bisa gue lihat?"Terkadang, suasana hati yang galau membutuhkan tempat untuk meluapkan tanpa gangguan. Dan di sini tempat yang sangat cocok untuk itu." Pandangannya beralih
Gue mulai waspada. Kenop pintu itu terus berputar. Suara kunci berbunyi, membuat dada ini berdegub kencang. Siapa lagi yang pegang kunci kamar ini selain gue dan lelaki tak peka itu. Sebelum pelakunya masuk, gue langsung berbaring memungggungi pintu dan menutup tubuh dengan selimut hingga ke pundak. Harap-harap cemas menanti apa yang akan terjadi setelah ini.Pintu terbuka, jantung gue memompa darah lebih cepat. Pura-pura tidur adalah hal terbaik yang bisa gue lakuin saat ini. Kasur sebelah tidur gue bergerak, seperti ada orang yang duduk di sana. Namun gue tetap merem dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Hitungan mundur dari 10 gue rapalkan dalam hati. Tepat pada hitungan ke tiga, seseorang yang gue yakin itu suami gue berbaring di belakang gue. Napasnya terdengar kasar. Seperti sedang berusaha mengeluarkan beban berat dari dadanya.Tubuh gue menegang saat sebuah tangan melingkar di perut gue. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyelusup dalam dada.&n
"Nadia, Kamu nggak dengar saya?" Kalimat yang keluar dari pria berstatus suami itu hanya gue anggap angin lalu. Walaupun dalam hati ada sebenarnya ada kembang api yang meldak-ledak. Gue menoleh sebentar, mengangguk lalu pergi. Langkah kaki kali ini terasa lebih ringan di banding sebelumnya. Sepanjang jalan senyum gue terus mengembang. Entah apa yang merasuki gue, hingga rasanya seperti melayang. Padahal cuma ditanya begitu doang. Sepertinya otak gue perlu dicuci bersih deh, supaya tidak selalu terjajah oleh bayangan lelaki tua itu. Rafael sudah menunggu di taman sambil memainkan HP, hingga tak menyadari kedatangan gue. "Sorry, nunggunya kelamaan ya?" Ia menoleh dan tersenyum memamerkan gigi-giginya yang rapi. "Nggak, kok. Nih, gue punya novel baru," ucapnya sambil menyodorkan paper bag. Mata gue membulat. Menerima pemberian pria ganteng ini dengan senyum merekah. 'Rezeki cewek cantik ini. Nggak boleh disia-siain,' bisik batin
Menyadari posisi kami yang berbahaya buat jantung dan hati gue, serta merta gue mencoba bangkit. Namun ternyata gue kalah cepat. Pria itu membalik posisi hingga gue berada di bawahnya. Jarak wajah kami tinggal beberapa centi saja hingga deru nafasnya yang beraroma mint begitu terasa. Ini berbahaya, jantung gue bisa lepas jika terus seperti ini. Serta merta gue mencoba melepaskan diri dengan meronta."Jangan bergerak kalau kamu nggak mau membangkitkan singa tidur!"Gue tetap berontak. Berusaha lepas dari situasi yang mmebuat spot jantung ini. Bisa meledak lama-lama jantung gue kalau terus-terusan dalam posisi ini."Nadia, apa kamu sengaja memancing saya?""Apa?" Napas gue tersengal. Gue langsung bangun dari mimpi aneh itu. Huh, untung cuma mimpi. Habis mandi bergelung dalam selimut membuat mata makin berat. Nggak peduli lagi dengan pria yang masih duduk di sofa itu. Tak tahu apakah setelahnya dia keluar dan menghabiskan malam bersama wanita
"Ada apa, Nad? Siapa yang telepon?" tanya Icha ikutan panik. Gue hanya bergeming dengan tatapan kosong."Nad," panggil Chika menyadarkan gue."Mami, mami gue masuk rumah sakit," lirih gue. Air mata sudah luruh tanpa diminta. Bayangan mami tergolek di ranjang rumah sakit berputar-putar di kepala."Tenang, Nad. Jangan panik, oke? Sekarang tenangkan diri Lo, kita ke rumah sakit sama-sama."Gue hanya bisa mengangguk dan pasrah ketika teman-teman membawa gue ke zebuah mobil di parkiran. Lalu mobil melaju dengan cepat menuju rumah sakit.Gue berlari menyusuri koridor rumah sakit sambil telepon bang Rizal. Menanyakan letak kamar rawat mami. Kaki ini berhenti tepat di depan pintu kamar yang disebutkan bang Rizal. Sebelum masuk, gue mengintip dari jendela. Mami terbaring di sana dengan bang Rizal dan papi di sampingnya."Mi," Gue melangkah perlahan. Hati ini rasanya seperti tercabik-cabik melihat perempuan yang tel
Pria itu tersenyum lebar, seolah baru saja mendapat kabar bahagia. Sungguh melihatnya tak merasa bersalah sedikit pun, membuat hati ini makin tercabik-cabik. Andai tak takut durhaka, sudah gue cakar-cakar mukanya yang ganteng itu. Biar jelek sekalian. Ketiga sahabat gue menyaksikan pertengkaran ini dengan antusias. Chika berkali-kali terlihat menata rambutnya yang dimodel churly. Dasar teman nggak ada akhlak. Bukannya bantuin malah keganjenan. Entah apa lagi yang diucapkan pria itu. Fokus gue teralih pada tiga cewek jomlo yang sayangnya sahabat gue itu. Tangan ini tiba-tiba ditarik oleh bang Alfin. Lalu gue diseret menjauh dari tempat itu. "Lepasin, bang!" Gue berusaha melepaskan diri dari cekalan pria itu. Namun dia bergeming. Langkahnya terus mengayun menjauh dari keramaian. Hingga kami sampai di sebuah taman yang sepi. Hanya ada satu dua orang duduk-duduk di sini. Menghela napas lelah, akhirnya gue pasrah. Menunggu apa yang akan dikatakan
Tubuh gue membeku, seolah ada perekat yang membuat gue tak bisa bergerak. Hp itu kembali bergetar. Nama yang sama. Namun bukan panggilan kali ini. Sebuah chat muncul di layar, lalu hilang. Bang Al menatap benda persegi itu lalu beralih ke manik gue. Seakan berkata, bukalah.Dengan tangan gemetar, gue raih HP itu dan membukanya. Pria berjenggot ini mendekatkan kepalanya ikut membaca.From: Rafael[Nadia, aku tahu kamu sudah bahagia sekarang. Sebelum aku memutuskan untuk mengikuti jejakmu dengan menerima perjodohan ini, izinkan aku menyampaikan isi hatiku. Sejak pertama kita bertemu di pantai waktu itu, aku yakin kamulah tulang rusukku yang hilang. Hingga aku menutup mata bahwa kamu menangis seperti itu karena perjodohan. Dan bodohnya aku, berharap kamu bisa berjuang membatalkannya.]Gue menahan napas membaca chat itu. Memejamkan mata mencoba meraba perasaan gue. Namun tak ada getaran sedikit pun di hati ini membaca oengakuannya.[Saat
"Nadia!""Tante!" ucap kami kompak. Bagi Bang Alfin, ini tidak mengejutkan karena dia sudah tahu kisahnya. Namun bagi Mama dan Papa mungkin bingung."Eh, ada Om Bram dan Tante Salma, gimana kabarnya, Om, Tante?" Bang Alfin benar-benar penyelamat gue. Berkat dia, kami bisa keluar dari situasi yang kurang nyaman ini. Kami semua duduk di sofa. Tak ketinggalan ada Kak Ais dan pak Rafael mengekor di belakang mereka."Wah, ada acara apa ini? Kok Alfin mencium bau-bau calon pengantin ya," celetuk suami gue yang diikuti derai tawa semuanya. Ekor mata gue melirik sosok pria yang pernah membuat Bang Alfin cemburu itu. Tampak ia salah tingkah di tempatnya. Sementara Kak Ais, menunduk seolah kotak-kotak marmer lebih menarik dibanding kami semua."Iya, sayang. Sebentar lagi adekmu ini akan menikah dengan nak Rafa. Kamu kan juga sudah lama berteman dengan nak Rafa, jadi nggak perlu kagi pakai acara ta'aruf, ya kan, Pa?" Mama terlihat begitu bahagia menceritakan rencany
Alunan merdu tilawah Bang Alfin samar-samar terdengar di telinga gue. Memaksa keluar dari alam mimpi dan membuka mata ini. Beberapa detik menyesuaikan dengan cahaya, akhinya mata bisa terbuka sempurna.Kaki ini mulai menjejak lantai, namun seketika dingin menjalar ke seluruh tubuh hingga ke tulang belulang. Ingin kembali bergelung di bawah selimut, tapi hati kecil ingin bergabung dengan imam tampan gue.Akhirnya gue mampu melawan dinginnya lantai dan berjalan dengan berjingkat. Setelah berwudlu, gue mendirikan qiyamullail di belakang Bang Alfin yang memelankan suaranya. Menghadap Allah di waktu seperti malam seperti ini, benar-benar menyejukkan jiwa. Hati merasa tenteram dan damai.Baju kesombongan yang membalut diri, gue lucuti di hadapan-Nya. Merendahkan diri dan bersujud pada Dzat yang layak disembah. Dalam doa terbayang dosa-dosa masa lalu yang begitu banyak hingga tak mampu diri ini memikulnya. Buliran air mata luruh bersama penyesalan yang mendalam.
Habis subuh, gue mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Nggak ribet, hanya roti bakar dan dua gelas juz. Sementara Bang Alfin belum pulang dari masjid. Selesai urusan dapur, gue langsung membersihkan rumah. Ya, mulai hari ini gue akan menjalankan tugas sebagai istri.Setelah mendapat banyak pencerahan dari buku yang gue baca, juga dari suami tercinta, gue mengazamkan diri untuk belajar menerima status baru ini. Meski awalnya aneh, tapi rasanya nggak buruk juga. Lagian, harusnya gue bersyukur mendapat suami Bang Alfin yang selalu menjaga gue dari dosa.Orangnya yang sabar dan dewasa, itulah yang mampu membuat gue berubah dari gadis urakan dan pecicilan menjadi wanita shalehah yang didambakan suami. Pipi gue memanas mengingat kejadian semalam. Malam yang begitu panjang. Mengukuhkan cinta kami berdua.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Gegas gue bersiap untuk ke kampus. Di depan lemari, gue sibuk memilih-milih pakaian untuk menutup tubuh gue. Netraku jatuh
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudah standby di parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Bang?"Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, menyebabkan jidat gue y
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudahstandbydi parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Ban
Bang Alfin mengerikan ternyata kalau sedang cemburu. Pribadinya yang kaku berubah jadi lebih garang seperti emak-emak nggak dikasih uang jatah sebulan. Apa pun yang gue katakan tak mampu membuatnya langsung percaya begitu saja.Baru tahu kan rasanya terbakar api cemburu? Ya begitu, Bang rasanya. Sakit. Namun tak berdarah. Ini baru lihat istri disukai pria lain, belum pernah melihat bermesraan atau berduaan di depan matanya sendiri. Bayangkan apa yang gue rasakan saat Abang tiba-tiba membawa perempuan lain ke rumah. Lalu mengabaikan keberadaan gue dan selalu memujinya di depan gue. Apa itu tidak menyakitkan, Bang? Sayangnya semua itu hanya gue katakan dalam hati.Gue tak mau menambah masalah dengan membandingkan dua kasus ini. Terpenting sekarang adalah bagaimana caranya supaya lelaki yang telah berhasil mencuri hati gue ini percaya kalau gue nggak main api seperti apa katanya."Buktikan pada Abang kalau kamu benar-benar nggak ada hubungan sama
Wajah gue pasti semakin merah dengan pujiannya. Ah, Bang Alfin, kenapa baru sekarang sih membuat bunga-bunga di taman hati gue mekar? Kemana saja selama ini? Ah iya. Gue yang terlalu egois. Gue yang salah paham. Dalam hati gue merutuki kebodohan yang selama ini terpelihara.Kebetulan hari ini sedang libur. Bang Alfin mengajak ke kafe yang wajtu itu gue datangi bersama teman-teman. Sesampainya di Kafe, semua karyawan menyapa ramah pria ini. Beberapa ada yang saling sikut melihat kami yang bergandengan."Biasa aja lihatnya. Kami sudah halal, kok," ucap Bang Alfin membuat mata mereka membulat. Mungkin tak percaya pria yang usianya sepantaran mereka mendapat istri belia seperti gue."Loh, ini kan yang waktu itu maksa pengen ketemu pak bos?" Aduh, mati gue. Kalau pria ini sampai keceplosan ngomong sama Bang Alfin, bisa habis gue. Tatapan kami bertemu, gue mendelik memberi kode supaya pria ini tak mengatakannya pada Bang Alfin.
"Eh, maaf, Pak. Saya buru-buru. Permisi," ucap gue langsung meninggalkan Pak Rafael dan ketiga teman gue. Supaya tak terlihat oleh dosen ganteng itu, gue berusaha menyusup di antara para mahasiswa yang berjalan menuju gerbang.Sebelum masuk mobil, sekali lagi gue memastikan mereka tak melihat gue. Secepat kilat gue langsung masuk dan duduk di samping bang Alfin. Gue menekan dada untuk menetralkan degup jantung yang berdentam-dentam ini."Kenapa, sih?""Astaghfirullah, Bang. Bikin kaget aja, deh!"Bang Alfin menatap gue curiga. Matanya menelisik menjadikan jantung ini semakin berdebar."Kamu kenapa, sih? Kayak maling aja ngumpet-ngumpet.""Udah, ah. Jalan yuk, Bang!"Akhirnya mobil melaju meninggalkan kampus. Sepanjang jalan Bang Alfin terus melirik gue. Sementara pikiran gue fokus pada pada kejadian tadi. Hampir saja Pak Rafael tahu kalau gue dijemput."Bang, e