"Terima kasih sudah menemaniku salat."
"Hah?"
Sepertinya telinga gue ada masalah deh. Dia, lelaki itu berterimakasih? Nggak marah atau mempermalukan gue gitu? Ya Allah, makin malu nih. Mungkin sekarang muka gue sudah memerah.
"Sebentar lagi subuh. Wudlu lah, kita salat jamaah. Aku belum tahu masjidnya di sini."
Seperti terhipnotis. Gue nurut aja apa katanya. Apa gue mulai terpesona sama tuh Om-om? Ah nggak mungkin. Seorang Nadia susah untuk terpesona. Yang ada laki-laki yang terpesona sama Nadia Antania.
Selesai subuh, om ganteng, eh abang ganteng--semalam kan dia nggak mau gue panggil om, meminta gue duduk disampingnya. Tentu saja gue menjaga jarak aman. Gue kan takut diapa-apain. Secara dia pria dewasa sedang gue gadis kecil yang masih suci. He he.
"Nadia. Nanti siang kita pindah. Sekarang kamu persiapkan semua barang-barangmu!"
"Apa? Pindah? Kemana?"
Otak gue tiba-tiba ngeblank. Entah kenapa sejak berdua dengan abang ini otak gue jadi sedikit lemot. Padahal aslinya kan gue pinter. Pinter beralasan tapi.
"Ke rumah kita."
"Kita? Emang kapan kita beli rum--," gue menepuk mulut ini. Kenapa nih mulut nggak bisa direm sih? Tentu saja dia yang beli. Secara dia kan yang punya duit. Duh, pasti makin hancur nih citra gue di depan pria ini.
Lelaki itu hanya memandang gue sekilas. Tak ada senyum atau ekspresi apa pun. Apa dia mulai ilfeel sama gue? Ah bodo amat. Kalau dia ilfeel berarti gue bisa lepas kan dari pernikahan konyol ini? Tapi ... masa gue jadi janda di usia muda? Hii ... gue bergidik ngeri membayangkan status janda muda melekat pada diri ini. Tentu saja gue nggak mau terikat pernikahan ini. Tapi menyandang status janda juga tak lebih baik dari pada menjadi istri. Ah, kenapa hidup gue jadi susah begini sih?
"Kenapa geleng-geleng, nggak mau pindah?"
Ya ampun, gue kira dia nggak memperhatikan. Apa sih maunya nih orang.
"Em ... Om, eh, Bang! Boleh pinjem KTP-nya nggak?"
"Hah?" Kali ini dia yang ngantian melongo. Bibirnya sedikit terbuka dan menutup lagi. Persis seperti ikan lohan.
"Pinjem KTP!" Ulang gue sekali lagi sambil menadahkan tangan ke hadapannya. Dia yang tampak kebingungan akhirnya bangkit dan mengambil dompetnya. Mengambil benda pipih berisi biodata itu, lalu memberikannya padaku.
'Alfin Muhammad Irham', gumam gue. Mataku terbelalak saat melihat tanggal lahirnya. Jadi kita terpaut 10 tahun? OMG, lemes gue tiba-tiba. Jadi bener gue dinikahin sama om-om. Mami, tega banget ngumpanin anak kesayangan mami pada laki-laki tua ini.
"Berapa?"
"Berapa apanya?"
"Berapa hutang mami gue sama lo?"
"Utang? Utang apa?" Lelaki yang ternyata bernama Alfin itu makin bingung dengan pertanyaan gue. Tinggal jawab aja kenapa harus muter-muter kek gangsingan gini sih. Dia ini beneran nggak paham atau hanya pura-pura nggak tahu?
"Ck. Mami punya utang banyak kan sama om, makanya gue dijadikan penebus utang dengan menikahi Om?"
Tawa laki-laki itu langsung meledak. Matanya menyipit dengan lesung pipi yang tampak nyata di kedua pipinya. Untuk sesaat gue terhipnotis oleh pria itu. Ini pertama kalinya gue lihat dia tertawa. Tingkat kegantengannya meroket 100%.
"Kebanyakan baca novel kamu, Nadia," ucapnya di sela-sela derai tawa. Sesekali ia menyusut kedua sudut matanya yang berair akibat tertawa. Tampaknya bahagia sekali pria ini. Maksudnya apa coba?
Gue cemberut melihatnya tak berhenti tertawa. Meski suaranya tak sekeras tawa gue yang membahana, tapi tetap saja bikin keki. Gue kan tanya serius. Emang gue kelihatan bercanda gitu?
"Maksudnya apa, sih?" Gue mulai jengkel. Kalau saja tak takut diapa-apain, sudah gue timpuk pakai bantal nih orang.
"Mami nggak punya utang apa pun, Nadia," ucapnya masih sambil memegang perutnya. "Kita menikah karena memang jodoh."
"Apa? Jadi cuma gitu doang? Emang nggak ada yang mau sama om ya, sampai harus nikah sama gadis belia macam Nadia ini?"
Tiba-tiba hening. Ekspresi lelaki berlesung pipi ini kembali datar macam papan cucian. Heran gue, cepet banget berubahnya tuh ekspresi. Emang gue salah ngomong lagi?
"Nadia Antania, dengerin abang. Kita ini sudah dijodohkan sejak kamu masih bayi. Keluarga kita sudah sepakat untuk menikahkan kita kalau kamu sudah dewasa. Jadi kita jalani saja takdir ini, oke?"
Hah? Dijodohkan? Jadi mami bohongin gue? Bukan karena gue kepergok pulang malam waktu itu? Astaghfirullah, kenapa gue bisa ketipu dengan acting mami, sih. Awas aja nanti, gue demo sama mami.
Dengan gerakan tiba-tiba, gue bangun dan berjalan menuju pintu. Gue harus selesaikan masalah ini secepatnya. Enak saja putri yang cantik jelita ini jadi korban perjodohan. Mami macam apa yang rela menjodohkan anaknya dari orok?
"Mami!" Napas gue kembang kempis. Dada ini rasanya ingin meledak mengingat ucapan suami dadakan gue.
"Ada apa, sayang ... ini masih pagi. Kenapa teriak-teriak kaya di hutan begitu?"
"Nadia mau menuntut keadilan, Mi!"
"Apa? Keadilan apa sih, maksud kamu, Nak?"
"Kenapa Mami bohong sama Nadia? Kenapa, Mi? Nadia belum mau nikah. Nadia masih mau sekolah. Tapi Mami maksa dengan alasan Nadia susah diatur. Mami bohong, kan?"
Kedua mata gue sudah memanas. Ada yang ingin mendesak keluar, tapi gue tahan. Jangan sampai Nadia yang tegar dan bandel terlihat menyedihkan di mata orang-orang ini. Bang Rizal ikut nembrung mendengar suara gue yang menggelegar. Begitu pula papu yang masih pakai sarung ikut keluar.
"Maafin Mami, Sayang. Kalau nggak gini, pasti kamu nggak mau menikah."
"Tapi kenapa, Mi? Kenapa harus Nadia? Dan kenapa Nadia nggak tahu apa-apa soal perjodohan ini? Nadia jadi seperti orang bodoh, tahu nggak?"
Gue berlari meninggalkan semua orang yang tiba-tiba membisu. Tanpa menoleh lagi, gue pergi dengan derai tangis ini. Pertama kalinya gue menangis karena sedih. Ya, gue merasa tertipu dengan semua orang. Tanpa sadar gue sudah jauh meninggalkan rumah. Rasanya ngos-ngosan.
Celingak-celinguk gue mencari sesuatu yang bisa menghilangkan dahaga ini. Hanya ada satu warung yang sudah buka. Tentu saja, sekarang baru jam setengah enam pagi. Namun saat hendak membeli minuman, ternyata gue nggak bawa uang sepeser pun. Terpaksa gue berjalan lagi tanpa tujuan. Biarkan saja semua orang kebingungan mencari. Yang penting gue bisa pergi jauh-jauh dari rumah itu.
Gue meringis merasakan perih di kaki. Ya ampun, bahkan gue lupa nggak pakai sandal. Ya Allah, harus kemana gue pergi? Dalam tertatih gue terus berjalan tak tentu arah. Menangisi nasib yang tiba-tiba tak bersahabat ini. Ah, itu kan rumah Jeni.
Tanpa pikir panjang, gue langsung mengetuk pintu rumah Jeni, sahabat gue. Namun sudah tiga kali mengetuk, tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam.
"Cari siapa, Nak?" tiba-tiba seorang satpam bertanya.
"Jeni. Apa Jeni ada di rumah?"
"Wah, Non Jeni pergi liburan dari kemarin, Nak. Ada pesan?"
Tubuh gue langsung melorot ke lantai. Bagiamana ini? Air mata ini sudah jatuh membanjiri pipi. Dengan tubuh lunglai gue beranjak pergi. Lalu duduk termenung di bawah pohon sambil menyembunyikan kepala di atas lutut.
Ya Allah, gue lapar. Tapi gue juga sedih. Kenapa nasib gue begini amat ya Allah. Kenapa semua orang jahat sama Nadia yang cantik ini. Gue menangis dalam tawa. Cukup lama gue menangisi nasib ini. Masa depan gue hancur gara-gara perjodohan aneh ini.
"Nadia," suara lembut seseorang membuat gue mendongak.
"Nadia," gue mendongak mendengar suara lembut itu. Suara yang baru-baru ini mendominasi akal sehat. Ya karena dia, gue terpaksa harus menjadi istri di usia dini. Melupakan cita-cita gue menjadi model."Ayo kita pulang," ucap pria pemilik sepasang lesung pipi ini. Tangannya terulur. Namun gue hanya melihat sekilas lalu kembali membenamkan kepala di sela-sela lutut.Rasanya perut ini sudah melilit. Kaki juga perih akibat berjalan tanpa alas kaki. Darah yang sudah sedikit mengering di kaki ini tak membuat gue merintih. Karena di dalam sana, terdapat luka yang menganga. Melebihi sakitnya kaki ini.Sebuah tangan menyentuh pundak gue yang masih sedikit bergetar. Sungguh, ini bukan gaya gue banget. Menangis di pinggir jalan macam pengemis nggak dapat makan."Ayo Nadia, kita pulang. Kita selesaikan masalah ini di rumah. Jangan seperti anak kecil yang merajuk minta dibelikan mainan baru," ucap pria yang menjadi sumber masalah gue ini. Sudah
Tubuh gue menggigil tiba-tiba. Dari luar terdengar gedoran pintu. Semakin lama semakin keras. Tapi kaki ini sudah seperti jelly. Jangankan untuk melangkah, berdiri saja rasanya tak mampu. Makhluk kecil menjijikkan itu seolah hendak menerkam gue. Meski sudah sering menyugesti diri bahwa makhluk itu tidak menggigit, tapi tetap saja rasa takut tak bisa hilang saat melihatnya. “Tolong, om … tolongin gue!” teriak gue sekali lagi. Tangan ini mencoba untuk menggapai pintu tapi tak mampu karena gemetar. “Nadia, buka pintunya. Nadia!” teriak suami gue dari luar. Kedua mata ini sudah merebak, mengaburkan pandangan yang belum satu jam terbuka karena ketiduran. Makhluk itu seperti menatap tajam ke gue yang ketakutan. Perlahan gue mundur sambil ngesot karena kaki sudah tak mampu lagi berdiri.
Apa-apaan ini, masa gue di suruh masak beginian? Seumur hidup belum pernah masak sayuran aneka macam kayak begini. Gue kan cuma bisa rebus air sama masak mie instan doang, itupun kadang gosong. Cukup lama gue menatap berbagai jenis sayuran itu berharap berubah jadi makanan instan siap goreng. Nyatanya itu cuma khayalan gue yang jauh dari fakta. Terpaksa gue ambil beberapa jenis sayuran dan telur. Memotong sayuran tersebut menjadi lebih kecil. Lalu setelah siap gue kukus semua sayuran jadi satu. Untuk telur, gue ambil 6 biji dan direbus. Yah, begini lebih mudah. Bukankah makanan terbaik itu yang dimasak tanpa minyak? Secara om Alfin kan sudah tua, harus mengurangi minyak biar nggak kolesterol. Hihi, gue terkikik sendiri membayangkan reaksi om Alfin makan masakan super sehat ala Nadia. Sambil menunggu telur dan sayuran matang, gue cuci beras dan menanaknya dalam magic com. Huh, beres. Ternyata semudah ini memasak ya. Gue melompat girang sambil mengepalkan
"Om Alfin?" "Nadia?" Duh, perasaan gue jadi gak enak, nih. Jangan sampai temen-temen gue tahu kami ada hubungan. Bisa hancur nanti reputasi gadis cantik ini. Tanpa aba-aba, gue berbalik dan lari meninggalkan tempat itu. Panggilan lelaki itu sudah tak gue hiraukan lagi. Yang penting saat ini selamat dulu dari pria itu. Kalau nanti dia marah, urusan belakangan. Dengan napas ngos-ngosan, gue terus berlari sampai ke seberang jalan, diikuti temen-temen gue yang tak kalah ngos-ngosan dari gue. Setelah cukup jauh, dan tak terlihat lagi dari lelaki itu, gue berhenti untuk mengatur napas. "Nad, kenapa, sih? Capek tauk lari-larian. Mana gue pakai heels lagi. Tega Lo, Nad," ucap Icha sambil membungkuk menekan lututnya. Gue yang sudah mulai bisa mengatur napas cuma bisa nyengir tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Siapa suruh kalian ngejar gue?" "Lah, kan kita takut Lo kenapa-napa, sebenarnya ada apa, sih? Lihat cowok ganteng kok ke
Tatapan kami beradu. Sesaat gue dan pria ini saling membeku. Mata setajam elang itu menyeret ke dalam pusaran tak berujung hingga membuat gue tersesat di sana. Oh jantung, tak bisakah berdetak biasa saja? Ingat dia itu pria tua yang telah merenggut masa depan gue. Jangan sampai tertipu dengan sikap lemah lembutnya yang mudah berubah seperti bunglon."Nadia," ucapan itu menarik gue dari khayalan tak bertepi. Gue rasakan pipi ini memanas. Pasti sekarang sudah merah seperti tomat. 'Astaga, Nadia, sadar. Dia bukan tipe, Lo,' teriak batin gue tak terima.Sampai di rumah gue langsung ngacir ke kamar. Menghindari lelaki itu supaya nggak diinterogasi. Dia pasti mikir, dari mana gue dapat uang untuk bisa makan di kafe. Bisa habis nanti kalau tahu juga duit belanja habis buat beli HP. Dengan sembunyi-sembunyi, gue mengambil HP baru tadi dan mematikan baterainya. Lalu menyembunyikan di kolong ranjang supaya nggak ketahuan."Lagi ngapain, Nadia?"
Tubuh gue membeku. Wanita cantik itu tampak anggun dan dewasa dengan hijab syar'i yang menutup tubuhnya. Bang Alfin sama sekali tak melihat gue. Dia sibuk menurunkan koper besar yang mungkin milik wanita ini.Dada gue bergemuruh. Siapa wanita ini, sampai membawa koper sebesar itu? Bahkan tak hanya satu. Tiga koper besar sudah turun semua. Apa dia akan tinggal di sini selamanya? Bukankah bang Alfin sangat menjaga interaksi dengan wanita?Ah, sepertinya rencana gue untuk berbaikan dan menerima pernikahan ini harus gagal karena wanita asing ini. Tatapan mereka beradu. Senyumnya saling merekah, seperti ada hubungan khusus di antara mereka. Meski gue belum pernah jatuh cinta, tapi gue nggak bodoh-bodoh amat untuk bisa mengartikan tatapan saling memuja itu. Sial, kenapa hati gue seperti ditusuk-tusuk?"Sudah pulang, Bang?" sapa gue lembut. Lebih tepatnya gue buat lembut. Saat hendak meraih tangan yang biasanya dia sodorkan itu
Tanpa melihat siapa pemiliknya, sapu tangan biru itu gue sambar lalu menggunakannya untuk mengusap air mata dan ingus yang membuat sesak napas. Setelahnya gue kembalikan pada yang empunya, dan kembali menatap ombak.Tanpa izin, pemilik sapu tangan itu duduk dengan santai di sebelah gue. Masih diam. Dia mengikuti arah pandang gue. Kami duduk termenung tanpa saling menyapa. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Mungkin dari kejauhan kami tampak seperti sepasang kekasih yang sedang pacaran. Sambil menikmati ombak yang bergulung-gulung silih berganti."Pilihanmu sudah tepat dengan mendatangi tempat ini," gue menoleh pada sumber suara. Dia lagi ngomong sama gue? Oon, sama siapa lagi, di sini hanya ada kami berdua. Nggak mungkin 'kan dia bicara sama makhluk astral yang nggak bisa gue lihat?"Terkadang, suasana hati yang galau membutuhkan tempat untuk meluapkan tanpa gangguan. Dan di sini tempat yang sangat cocok untuk itu." Pandangannya beralih
Gue mulai waspada. Kenop pintu itu terus berputar. Suara kunci berbunyi, membuat dada ini berdegub kencang. Siapa lagi yang pegang kunci kamar ini selain gue dan lelaki tak peka itu. Sebelum pelakunya masuk, gue langsung berbaring memungggungi pintu dan menutup tubuh dengan selimut hingga ke pundak. Harap-harap cemas menanti apa yang akan terjadi setelah ini.Pintu terbuka, jantung gue memompa darah lebih cepat. Pura-pura tidur adalah hal terbaik yang bisa gue lakuin saat ini. Kasur sebelah tidur gue bergerak, seperti ada orang yang duduk di sana. Namun gue tetap merem dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Hitungan mundur dari 10 gue rapalkan dalam hati. Tepat pada hitungan ke tiga, seseorang yang gue yakin itu suami gue berbaring di belakang gue. Napasnya terdengar kasar. Seperti sedang berusaha mengeluarkan beban berat dari dadanya.Tubuh gue menegang saat sebuah tangan melingkar di perut gue. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyelusup dalam dada.&n
Tubuh gue membeku, seolah ada perekat yang membuat gue tak bisa bergerak. Hp itu kembali bergetar. Nama yang sama. Namun bukan panggilan kali ini. Sebuah chat muncul di layar, lalu hilang. Bang Al menatap benda persegi itu lalu beralih ke manik gue. Seakan berkata, bukalah.Dengan tangan gemetar, gue raih HP itu dan membukanya. Pria berjenggot ini mendekatkan kepalanya ikut membaca.From: Rafael[Nadia, aku tahu kamu sudah bahagia sekarang. Sebelum aku memutuskan untuk mengikuti jejakmu dengan menerima perjodohan ini, izinkan aku menyampaikan isi hatiku. Sejak pertama kita bertemu di pantai waktu itu, aku yakin kamulah tulang rusukku yang hilang. Hingga aku menutup mata bahwa kamu menangis seperti itu karena perjodohan. Dan bodohnya aku, berharap kamu bisa berjuang membatalkannya.]Gue menahan napas membaca chat itu. Memejamkan mata mencoba meraba perasaan gue. Namun tak ada getaran sedikit pun di hati ini membaca oengakuannya.[Saat
"Nadia!""Tante!" ucap kami kompak. Bagi Bang Alfin, ini tidak mengejutkan karena dia sudah tahu kisahnya. Namun bagi Mama dan Papa mungkin bingung."Eh, ada Om Bram dan Tante Salma, gimana kabarnya, Om, Tante?" Bang Alfin benar-benar penyelamat gue. Berkat dia, kami bisa keluar dari situasi yang kurang nyaman ini. Kami semua duduk di sofa. Tak ketinggalan ada Kak Ais dan pak Rafael mengekor di belakang mereka."Wah, ada acara apa ini? Kok Alfin mencium bau-bau calon pengantin ya," celetuk suami gue yang diikuti derai tawa semuanya. Ekor mata gue melirik sosok pria yang pernah membuat Bang Alfin cemburu itu. Tampak ia salah tingkah di tempatnya. Sementara Kak Ais, menunduk seolah kotak-kotak marmer lebih menarik dibanding kami semua."Iya, sayang. Sebentar lagi adekmu ini akan menikah dengan nak Rafa. Kamu kan juga sudah lama berteman dengan nak Rafa, jadi nggak perlu kagi pakai acara ta'aruf, ya kan, Pa?" Mama terlihat begitu bahagia menceritakan rencany
Alunan merdu tilawah Bang Alfin samar-samar terdengar di telinga gue. Memaksa keluar dari alam mimpi dan membuka mata ini. Beberapa detik menyesuaikan dengan cahaya, akhinya mata bisa terbuka sempurna.Kaki ini mulai menjejak lantai, namun seketika dingin menjalar ke seluruh tubuh hingga ke tulang belulang. Ingin kembali bergelung di bawah selimut, tapi hati kecil ingin bergabung dengan imam tampan gue.Akhirnya gue mampu melawan dinginnya lantai dan berjalan dengan berjingkat. Setelah berwudlu, gue mendirikan qiyamullail di belakang Bang Alfin yang memelankan suaranya. Menghadap Allah di waktu seperti malam seperti ini, benar-benar menyejukkan jiwa. Hati merasa tenteram dan damai.Baju kesombongan yang membalut diri, gue lucuti di hadapan-Nya. Merendahkan diri dan bersujud pada Dzat yang layak disembah. Dalam doa terbayang dosa-dosa masa lalu yang begitu banyak hingga tak mampu diri ini memikulnya. Buliran air mata luruh bersama penyesalan yang mendalam.
Habis subuh, gue mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Nggak ribet, hanya roti bakar dan dua gelas juz. Sementara Bang Alfin belum pulang dari masjid. Selesai urusan dapur, gue langsung membersihkan rumah. Ya, mulai hari ini gue akan menjalankan tugas sebagai istri.Setelah mendapat banyak pencerahan dari buku yang gue baca, juga dari suami tercinta, gue mengazamkan diri untuk belajar menerima status baru ini. Meski awalnya aneh, tapi rasanya nggak buruk juga. Lagian, harusnya gue bersyukur mendapat suami Bang Alfin yang selalu menjaga gue dari dosa.Orangnya yang sabar dan dewasa, itulah yang mampu membuat gue berubah dari gadis urakan dan pecicilan menjadi wanita shalehah yang didambakan suami. Pipi gue memanas mengingat kejadian semalam. Malam yang begitu panjang. Mengukuhkan cinta kami berdua.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Gegas gue bersiap untuk ke kampus. Di depan lemari, gue sibuk memilih-milih pakaian untuk menutup tubuh gue. Netraku jatuh
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudah standby di parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Bang?"Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, menyebabkan jidat gue y
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudahstandbydi parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Ban
Bang Alfin mengerikan ternyata kalau sedang cemburu. Pribadinya yang kaku berubah jadi lebih garang seperti emak-emak nggak dikasih uang jatah sebulan. Apa pun yang gue katakan tak mampu membuatnya langsung percaya begitu saja.Baru tahu kan rasanya terbakar api cemburu? Ya begitu, Bang rasanya. Sakit. Namun tak berdarah. Ini baru lihat istri disukai pria lain, belum pernah melihat bermesraan atau berduaan di depan matanya sendiri. Bayangkan apa yang gue rasakan saat Abang tiba-tiba membawa perempuan lain ke rumah. Lalu mengabaikan keberadaan gue dan selalu memujinya di depan gue. Apa itu tidak menyakitkan, Bang? Sayangnya semua itu hanya gue katakan dalam hati.Gue tak mau menambah masalah dengan membandingkan dua kasus ini. Terpenting sekarang adalah bagaimana caranya supaya lelaki yang telah berhasil mencuri hati gue ini percaya kalau gue nggak main api seperti apa katanya."Buktikan pada Abang kalau kamu benar-benar nggak ada hubungan sama
Wajah gue pasti semakin merah dengan pujiannya. Ah, Bang Alfin, kenapa baru sekarang sih membuat bunga-bunga di taman hati gue mekar? Kemana saja selama ini? Ah iya. Gue yang terlalu egois. Gue yang salah paham. Dalam hati gue merutuki kebodohan yang selama ini terpelihara.Kebetulan hari ini sedang libur. Bang Alfin mengajak ke kafe yang wajtu itu gue datangi bersama teman-teman. Sesampainya di Kafe, semua karyawan menyapa ramah pria ini. Beberapa ada yang saling sikut melihat kami yang bergandengan."Biasa aja lihatnya. Kami sudah halal, kok," ucap Bang Alfin membuat mata mereka membulat. Mungkin tak percaya pria yang usianya sepantaran mereka mendapat istri belia seperti gue."Loh, ini kan yang waktu itu maksa pengen ketemu pak bos?" Aduh, mati gue. Kalau pria ini sampai keceplosan ngomong sama Bang Alfin, bisa habis gue. Tatapan kami bertemu, gue mendelik memberi kode supaya pria ini tak mengatakannya pada Bang Alfin.
"Eh, maaf, Pak. Saya buru-buru. Permisi," ucap gue langsung meninggalkan Pak Rafael dan ketiga teman gue. Supaya tak terlihat oleh dosen ganteng itu, gue berusaha menyusup di antara para mahasiswa yang berjalan menuju gerbang.Sebelum masuk mobil, sekali lagi gue memastikan mereka tak melihat gue. Secepat kilat gue langsung masuk dan duduk di samping bang Alfin. Gue menekan dada untuk menetralkan degup jantung yang berdentam-dentam ini."Kenapa, sih?""Astaghfirullah, Bang. Bikin kaget aja, deh!"Bang Alfin menatap gue curiga. Matanya menelisik menjadikan jantung ini semakin berdebar."Kamu kenapa, sih? Kayak maling aja ngumpet-ngumpet.""Udah, ah. Jalan yuk, Bang!"Akhirnya mobil melaju meninggalkan kampus. Sepanjang jalan Bang Alfin terus melirik gue. Sementara pikiran gue fokus pada pada kejadian tadi. Hampir saja Pak Rafael tahu kalau gue dijemput."Bang, e