Apartemen Romy ....
Terlihat Salsa yang gelisah menunggu kepulangan Romy. Pikirannya semakin tidak tenang. Ponsel Romy tiba-tiba tidak aktif. Tak seperti biasanya.
"Kamu ke mana, Mas?" bisik Salsa kebingungan.
Dia semakin cemas dan resah.
"A-pa dia bersama Amelia? A-pa--"
Salsa tak sanggup menyelesaikan kalimatnya yang terputus. Berulang kali dia menggeleng. Seakan ingin mengingkari apa yang dia pikirkan saat ini.
"Jangan! Enggak mungkin. Ini pasti enggak mungkin terjadi. Aku enggak yakin kalau Mas Romy saat ini bersama Amelia."
Dia terus berjalan mondar mandir mengelilingi seluruh ruangan. Suara hentakan kaki Salsa sampai terdengar.
"Huuuuhhh! Mas Romy kamu di mana? Masa aku tanyakan Tante sih? Yang ada Mas Romy akan marah dan menjauhi aku lagi."
Saat dalam keresahan hati yang tak menentu. Terdengar bunyi bel berbunyi. Membuat hati Salsa berdetak tak karuan. Langkahnya terburu-buru menuju pintu
Pesan WA itu membuat dada Salsa bergemuruh. Jantungnya berdebar-debar. Dengan dagu yang berkerut-kerut menahan gejolak di dada."Kamuuu ...."Suara Salsa tertahan. Dia mengulang lagi membaca pesan itu. Menatap cukup lama layar ponsel Romy."Ada apa di hari jumat?"Salsa semakin gelisah. Dia tak menyangka kalau antara Amelia dan Romy masih berlanjut. Bukannya dulu dia pernah mendapatkan pesan dari Salsa?Dadanya semakin bergemuruh oleh api cemburu. Kali ini Salsa benar-benar kesal dan gedrma pada Amelia. Hanya dua kali tekan di layar. Pesan itu sudah terhapus dari ponsel Romy."Maafkan aku, Mas. Aku tak ingin kau ada hubungan lagi dengan wanita itu. Apa pun alasannya."Kembali dia menuju kamar Romy. Dia sudah berdiri di depan pintu dengan tersenyum lembut."Apa Mas Romy ingin sesuatu?"Dia hanya menggeleng. Lalu membereskan piring dan gelas kotor dari kamar Romy."Salsa!"Panggilan itu membuat langkah Raisa
Sengaja Salsa menjerit lirih. Seakan memberi kesan kalau mereka saat ini sedang melampiaskan hasrat yang terpendam."Tanteee! Taaan ...?"Hening dan sunyi. Saat Salsa melihat ponsel Romy. Ternyata masih belum dimatikan."Tante cari Mas Romy?"Seketika terdengar telepon yang ditutup.Tut tut tut!"Aku akan kirimkan vidio ini buat dia."Hanya sekali tekan, vidio sudah terkirim. Dan langsung centang biru.""Hemmm, sudah dibaca ternyata. Rasakan Tante sakitnya rasa cemburu itu. Dan itu aku rasakan sejak lama."Senyum dingin mengembang di wajah Salsa."Maaf bila akhirnya aku menjadi sejahat ini!"_Rumah Amelia_Dadanya berdebar kencang. Saat menyaksikan video itu. Dia tahu benar bahwa laki-laki yang berada di sebelah Salsa memang benar Romy."Apalagi yang perlu dibuktikan? Semua ini sudah sangat jelas, Romy. Sangat jelas sekali!"Tak terasa bulir bening itu akhirnya membasah
Hancur? Iya. Untuk yang kedua kalinya Amelia rasakan. Luruh sudah segala rasa dan asa yang tersemat dalam palung hati terdalam.Dia hanya bisa duduk termangu. Tak ingin menyesali nasib dan takdir untuknya. Namun dirinya bukanlah seseorang yang sempurna. Yang mampu menahan segala kesedihan dengan ketegaran hati.Amelia pun hanya seorang wanita yang bisa lemah. Kala hatinya terluka. Dia pun bisa sakit dan menangis.Sejak ini dia ingin melupakan semua tentang Romy. Tak ingin sedikit pun untuk mengingat. Apalagi sampai mengulang rasa cinta yang selalu menyakitkan untuknya.{Aku hanya wanita biasa yang bisa terluka dan sakit, Rom. Tolong jangan pernah temui aku lagi. Apa pun yang pernah terjadi antara kita. Sebuah kesalahan besar. Kita manusia yang dewasa dan bisa saling mengerti. Jangan pernah berusaha untuk mencari diriku. Karena aku akan terus bersembunyi dari kamu. Cukup luka ini kau torehkan untukku dan juga Dita. Mungkin untukku aku akan cepat pulih,
Sejenak Romy merasakan tanah yang dia pijak berputar. Tubuhnya seketika oleng. Dia sampai terduduk di dalam mobil cukup lama."Di mana kamu, Mel? Di manaaaa?"Hampir satu jam lamanya Romy berdiam di dalam mobil. Pandangan mata terus mengarah pada rumah Amelia yang kosong."Aku tak bisa terima ini Amelia! Kau sangat kejam membuat aku seperti ini! Teganya kamu!"Berulang kali Romy terus memukul setir mobil. Dia kembali mencoba menelepon Amelia.Tut tut tut!"Aaaaarhhh! Kamu kenapa sih, Mel? Kenapaaaaa?" teriak Romy yang putus asa.Dia sudah tak tau lagi harus berbuat apa dengan semua ini. Hatinya benar-benar hancur. Tak pernah dia merasa putus asa sampai seperti ini."Kenapa kau pergi meninggalkan aku, Mel. Apa salah aku?"Romy benar-benar terpukul. Cinta yang selama ini dia pertahankan, musnah. Kandas seketika."Kenapa juga aku bisa membiarkan tanpa kabar padanya? Enggak biasanya aku seperti ini. Ada apa dengan aku
Bruaaakkk!Terdengar suara pintu yang dibanting keras. Buru-buru Salsa menghampiri. Dai tak menyangka jika Romy sudah datang dan pintu rumah lupa belum dia kunci sepertinya.Tampak ragu Salsa saat ingin menyusul ke dalam kamar. Sejenak dia terdiam dengan napas yang tertahan. Lalu dia mengurungkan niat untuk mengetuk pintu. Salsa lebih memilih menuju dapur."Sebaiknya aku buatkan es sirup aja," ucapnya lirih.Salsa bergegas membawa secangkir gelas menuju kamar Romy.Tok tok tok!"Mas Romy! Aku buatkan minuman nih."Tetap tak ada jawaban yang terdengar. Salsa pun memberanikan diri untuk menarik handle pintu kamar Romy. Lalu melangkah lambat menghampiri Romy."Mas Romy kenapa? Ehhhh ... ini aku buatkan es sirup."Salsa menyodorkan pada Romy, yang hanya melirik sekilas."Bisa enggak, kamu jangan ganggu aku!""Maksud Mas apa? Apa aku ada salah?"Salsa pun duduk di sebelahnya. Romy menoleh dan menata
"Adrian, terima kasih untuk semuanya. Kamu orang yang selalu hadir pertama kali setiap aku membutuhkan seseorang.""Mungkin kita memang berjodoh?"Amelia memukul lengan kokoh Adrian pelan."Apa pun keadaannya, makasih. Kamu lakukan semua ini penuh ketulusan buat aku.""Kalau aku tidak tulus, bagaimana?""Entahlah. Bagiku, kamu terlihat tulus dan aku tak peduli selebihnya alasan kamu."Senyum Adrian mengembang lebar. Baru kali ini dia mendapatkan jawaban yang menurut dia terdengar indah di telinganya."Rumah ini lama kosong, Mel. Hanya Pak Sadi dan istrinya yang menempati, karena buat bersih-bersih. Tapi setidaknya kamu nyaman di sini. Kalau enggak biar kita cari lagi rumah yang lain."Amelia menahan lengan Adrian. Keduanya terhenti dengan posisi saling berhadapan."Ada yang salah, Mel?"Dia tak menjawab pertanyaan Adrian. Amelia berjinjit tinggi dengan kedua tangan yang berpegangan pada lengan kokoh Adrian.
"Ta-tapi, Adrian. Aku ini terlalu banyak masalah dalam hidupku. Aku ini tak pantas membebani dirimu dengan semua keluh kesahku. Dan lagi aku sudah terbiasa sendiri. Iya ... sendiri.""Bukankah hidup ini memang dipenuhi oleh masalah, Mel?"Amelia tak bisa berkata-kata. Selain menatap wajah tampan Adrian, yang saat ini di matanya, terlihat begitu teduh dan penuh wibawa."Kenapa? Terpesona denganku lagi?"Sontak kalimat itu membuat Amelia tergelak. Baginya Adrian selalu mampu membuat hatinya kembali cerah dan bersemangat. Serasa dirinya hidup kembali."Kenapa senyum-senyum sendiri?""Enggak apa-apa," jawab Amelia tersenyum."Kamu nyaman di kota ini?""Sangat nyaman, Adrian. Enggak jauh dari Surabaya dan Malang. Pas di tengah."Adrian mengulurkan tangannya pada Amelia."Ayo!""Ke-ke mana?""Cari makan, Mel.""Yuk, ahh. Aku juga lapar nih."Mereka segera menuju teras depan. Pak Sadi da
Cintaku belum tentu cintanya. Rinduku pun belum tentu juga rindunya.Cinta pun bagai ruang dan waktu, yang bisa dalam sekejap menghilang. Melupakan diriku, mungkin juga dirimu.Mungkin cinta harus teruji dengan perpisahan. Sedang bagiku cinta tak perlu diuji. Karena cinta sendiri sebuah kenyamanan yang memberikan kebahagiaan. Bukan untuk merasakan kesendirian yang tak bertepi. Atau juga merasa tersiksa oleh penantian yang tak kunjung datang.Bagiku semua itu bukan CINTA!Cinta ketulusan hati memperebutkan dan mempertahankan sampai kapan pun. Bahkan saat maut taruhannya. Itu cinta menurutku. Tak saling menyakiti dan tersakiti.Saat perasaan nyaman itu terselami, hingga kau tak ingin berpisah dengannya. Ikutilah kata hatimu. Mungkin itulah cintamu yang sebenarnya!_OOO_Saat dua hati yang harusnya bertemu. Kehendak takdir Illahi berkata lain. Saat Romy memasuki rumah makan itu. Di saat yang sama,
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."