Pagi itu, udara di sekitar istana terasa lebih berat dari biasanya. Setelah berbulan-bulan bekerja tanpa henti untuk membangun dunia yang lebih baik, Rainer merasakan bahwa perubahan yang ia impikan tidak datang tanpa tantangan. Di balik kegembiraan rakyat, di balik janji-janji perubahan yang mengalir deras, masih ada mereka yang merasa terancam. Bangsawan yang berhasil bertahan, meskipun sebagian besar menerima amnesti, mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakpuasan. Mereka yang dulu berkuasa merasa kehilangan pijakan mereka, dan kini mereka mengandalkan cara lama untuk mendapatkan kembali posisi mereka.Di ruang pertemuan istana, Rainer duduk di ujung meja panjang, menatap peta dunia yang tersebar di depannya. Elyse berdiri di sampingnya, tangan terlipat di dada, wajahnya penuh perhitungan. “Mereka mulai bergerak, Rainer,” kata Elyse, suaranya tenang meski matanya tajam. “Kelompok-kelompok ini tidak hanya diam, mereka mulai menggalang dukungan secara diam-diam.”Rainer menghela napas d
Ketegangan memenuhi aula besar istana saat para pemimpin pemberontak berkumpul di sekeliling meja panjang. Wajah-wajah mereka penuh kewaspadaan dan kegelisahan. Rainer duduk di tengah, menatap sekeliling dengan tatapan tajam, mencoba membaca ekspresi mereka. Di sisinya, Elyse berdiri dengan tangan terlipat, waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan.Laporan tentang kelompok bangsawan yang melarikan diri semakin mencemaskan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan adanya pengkhianatan di dalam kelompok mereka sendiri. Salah satu mantan sekutu Rainer, seorang pemimpin pemberontak yang dulu bertarung bersamanya, kini diduga memiliki hubungan dengan kelompok tersebut.“Sebagian besar wilayah sudah mulai menerima pemerintahan baru,” kata Rainer, suaranya tegas. “Tapi ada beberapa di antara kita yang merasa tidak puas, merasa bahwa perubahan ini tidak cukup cepat atau tidak sesuai dengan harapan mereka.”Seorang pria tua dengan janggut putih mengangguk. “Kami telah bertarung
Malam itu, Rainer berdiri di depan jendela kamarnya di istana, menatap cahaya kota yang berpendar di kejauhan. Pikirannya masih dipenuhi pertemuannya dengan Lucian. Pria itu mungkin belum sepenuhnya berkhianat, tetapi kata-katanya menunjukkan bahwa perpecahan dalam kelompok mereka semakin nyata.Elyse duduk di kursi di belakangnya, menggulung peta di atas meja. "Lucian masih ragu," katanya akhirnya. "Tapi kita tidak bisa mengandalkan keraguannya. Jika dia benar-benar berbalik melawan kita, kita harus bersiap."Rainer mengangguk. "Aku tahu. Aku hanya berharap dia cukup cerdas untuk melihat jalan yang benar. Jika dia tetap bersikeras bahwa membalas dendam adalah satu-satunya pilihan, maka kita tidak punya banyak waktu sebelum dia bertindak."Suasana di ruangan itu terasa berat. Di satu sisi, mereka baru saja mulai membangun dunia baru, tetapi di sisi lain, ancaman dari dalam semakin menguat."Ada kabar dari utara," lanjut Elyse. "Mata-mata kita melaporkan bahwa beberapa bangsawan yang m
Malam itu, udara di istana terasa lebih berat dari biasanya. Rainer duduk di ruang strategi, menelusuri setiap detail peta yang terbentang di hadapannya. Ia tahu bahwa waktu semakin menipis. Jika musuh bergerak lebih cepat dari yang diperkirakan, mereka bisa kehilangan kesempatan untuk menggagalkan pemberontakan sebelum berkembang menjadi perang besar.Elyse berdiri di sampingnya, tatapannya serius. “Kita harus membuat keputusan segera. Jika kita menunggu lebih lama, kita mungkin akan kehilangan kesempatan untuk bertindak lebih dulu.”Rainer mengetuk ujung jarinya di peta. “Aku sudah memikirkan berbagai skenario, dan tidak ada satu pun yang tanpa risiko. Lucian masih ragu, tapi kelompok bangsawan bayaran di utara sudah mengambil keputusan mereka. Mereka akan menyerang, dan jika Lucian tidak cepat memihak kita, dia akan ikut dihancurkan.”Elyse menghela napas. “Kita tidak bisa menunggu dia membuat keputusan. Jika kita membiarkannya sendiri, kemungkinan besar dia akan jatuh ke tangan mer
Fajar merekah dengan sinar keemasan, tetapi medan perang masih diselimuti kabut sisa pertarungan semalam. Mayat-mayat berserakan, darah mengering di tanah, dan asap tipis membubung dari reruntuhan benteng yang sempat terbakar. Pasukan Rainer berhasil mempertahankan posisi mereka, tetapi kemenangan ini belum cukup untuk memberi mereka keunggulan mutlak.Di atas bukit kecil yang menghadap ke medan pertempuran, Rainer berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya tajam, menelusuri sisa-sisa pasukan yang masih hidup. Lucian berdiri di sampingnya, tubuhnya penuh luka ringan, tetapi sorot matanya lebih tegas daripada sebelumnya."Kita harus segera bergerak," ujar Elyse, yang baru kembali setelah menginspeksi korban luka. "Pasukan bangsawan bayaran mungkin mundur untuk sementara, tetapi mereka pasti akan kembali dengan bala bantuan lebih besar."Rainer mengangguk. "Kita tak bisa bertahan di sini terlalu lama. Ini bukan benteng utama, dan jika kita terjebak, kita akan dihancurkan tanpa a
Udara dingin menggigit kulit saat Rainer, Elyse, dan Lucian melaju dengan cepat meninggalkan Vardenhall. Dokumen yang mereka curi dari rumah dagang Durnhart berisi informasi berharga—bukti aliran dana dari para pedagang dan bangsawan yang membiayai pasukan bayaran yang selama ini menjadi duri dalam daging.Di atas bukit yang menghadap ke jalan utama, Rainer menarik napas dalam. Matanya menatap cakrawala, memikirkan langkah berikutnya. Dengan informasi ini, ia tidak hanya bisa menghentikan aliran dana musuh, tetapi juga menjatuhkan mereka dari dalam.Elyse mendekat, melihat ekspresi berpikir Rainer. "Apa yang ada di pikiranmu?"Rainer mengangkat salah satu dokumen dan menunjukkannya pada Elyse. "Lihat ini. Sebagian besar dana mereka berasal dari keluarga Durnhart, tetapi ada juga sumber lain. Bangsawan dari timur, pedagang senjata dari selatan... semua ikut terlibat."Lucian, yang berdiri di samping kuda mereka, bersedekap. "Jadi kita harus menyerang mereka satu per satu?"Rainer mengg
Malam beranjak semakin larut, namun di dalam tenda utama perkemahan rahasia mereka, cahaya lentera masih menyala terang. Rainer berdiri di depan meja kayu yang dipenuhi dokumen dan peta, matanya meneliti pergerakan terakhir musuh yang semakin kacau.Elyse duduk di kursi di seberangnya, tangannya menopang dagu. “Dengan perpecahan di antara mereka, kita telah mengambil langkah besar. Tapi apa langkah berikutnya?”Rainer menarik napas dalam sebelum menjawab. “Kita harus memastikan bahwa perpecahan ini berlanjut. Kekacauan ini memberi kita keuntungan, tetapi jika mereka menyadari bahwa mereka telah dipermainkan, mereka bisa saja bersatu kembali melawan kita.”Lucian yang bersandar di sudut ruangan menimpali, “Jadi kita harus memastikan mereka tidak pernah mendapat kesempatan untuk menyusun kembali kekuatan mereka.”Rainer mengangguk. “Tepat. Saat ini, mereka sedang dalam keadaan panik, saling mencurigai. Yang kita perlukan adalah pukulan terakhir yang memastikan mereka tidak bisa lagi ber
Rainer duduk di dalam tenda pertemuan yang diterangi cahaya lentera, menatap surat yang baru saja tiba dari ibu kota. Di tangannya, gulungan perkamen bersegel resmi dari Lord Durnhart, seorang bangsawan yang kini berada di ujung tanduk.Elyse berdiri di sampingnya, membaca isi surat itu dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Jadi dia akhirnya menyerah.”Lucian yang bersandar di dekat tiang tenda terkekeh. “Tidak terlalu mengejutkan. Setelah semua yang kita lakukan, hanya masalah waktu sebelum dia menyadari bahwa dia tak punya pilihan lain.”Rainer menghela napas pelan, matanya masih tertuju pada surat itu. Permintaan gencatan senjata ini menandai akhir dari dominasi para bangsawan yang selama ini berkuasa. Namun, meski kemenangan tampak sudah di depan mata, ada sesuatu yang masih mengganjal dalam pikirannya.“Kita tidak bisa menerima pertemuan ini begitu saja,” katanya akhirnya.Elyse mengerutkan kening. “Kau pikir ini jebakan?”“Tidak,” jawab Rainer sambil menggulung kembali surat itu.
Darah menetes dari luka di bahu Rainer, jatuh ke lantai batu katedral yang dingin.Ia menekan lukanya dengan tangan kiri, mencoba menahan rasa sakit yang berdenyut. Elyse berdiri di sampingnya, napasnya memburu. Di depan mereka, lorong-lorong panjang Katedral Ravenheim membentang seperti labirin, diterangi cahaya lilin yang berkelap-kelip."Ini jebakan," bisik Elyse.Rainer mengangguk pelan. "Tapi kita tidak punya pilihan lain selain terus maju."Langkah kaki terdengar di belakang mereka. Suara itu berirama, terukur. Bukan lari, bukan terburu-buru. Seperti seseorang yang tahu pasti bahwa buruannya tidak akan bisa kabur.Elyse menggenggam belatinya erat. "Kita tidak bisa bertarung dalam kondisi seperti ini.""Kita tidak akan bertarung." Rainer menarik napas dalam. "Kita akan mengalahkan mereka sebelum pedang diayunkan."Elyse menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik. Aku percaya padamu."Mereka bergerak lebih dalam ke dalam katedral, menjauh dari suara langkah kaki yang semakin dekat
Denting langkah mereka bergema di lorong sempit yang menuju ke dalam Benteng Ardentia.Udara di dalam terasa lebih dingin dibandingkan di luar. Cahaya obor yang berkedip-kedip di sepanjang dinding batu menciptakan bayangan yang bergerak seperti sosok-sosok hantu. Rainer dan Elyse berjalan pelan, memastikan setiap langkah mereka tidak menimbulkan suara berlebihan.Di depan, lorong bercabang menjadi dua.Elyse menoleh ke arah Rainer. "Ke mana?" bisiknya.Rainer mengamati ukiran kecil di sudut tembok. Sebuah tanda, samar tapi jelas bagi yang tahu cara membacanya. Itu adalah simbol navigasi kuno yang digunakan oleh para arsitek istana di masa lalu."Ke kanan," katanya pelan.Mereka bergerak mengikuti lorong itu, mendekati jantung benteng tempat arsip rahasia Ordo Maledicta kemungkinan besar disimpan.Di pusat Benteng Ardentia, sebuah ruangan tersembunyi menyimpan dokumen yang telah ada selama berabad-abad.Rainer menempelkan telinganya ke pintu kayu besar di hadapannya. Tidak ada suara da
Gema pertempuran masih tersisa di udara, meski keheningan kini menyelimuti gua bawah tanah.Rainer berdiri di tengah ruangan, napasnya sedikit berat. Jejak sihir yang baru saja ia gunakan masih berkilauan di lantai, menghilang sedikit demi sedikit seperti embun yang menguap. Di sekelilingnya, tubuh-tubuh penyihir bertopeng telah lenyap, terbakar oleh kekuatan ritual pemurnian yang ia ciptakan.Elyse mengamati simbol-simbol kuno yang terpahat di dinding gua. Matanya menyipit. "Ini bukan sekadar tempat pertemuan biasa, Rainer. Tempat ini… lebih tua dari yang kita duga."Rainer melangkah mendekat, menyentuh salah satu ukiran di dinding. Goresan-goresan itu bukan hanya sekadar tulisan sihir biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang terasa seperti bagian dari sebuah teka-teki yang lebih besar."Lambang ini…" Rainer bergumam. "Aku pernah melihatnya sebelumnya."Elyse menoleh. "Di mana?""Di perpustakaan bawah tanah di Akademi Arcadia," jawab Rainer, suaranya penuh pertimbangan. "Itu
Suara ledakan menggema di dalam gua bawah tanah.Rainer mundur selangkah saat debu berhamburan di udara. Cahaya biru dari perangkap sihir yang ia aktifkan membentuk pola rumit di tanah, mengurung sosok bertopeng emas dalam lingkaran bercahaya.Namun, bukannya panik, sosok itu justru tertawa pelan. “Kau cukup cerdas. Tapi apakah kau benar-benar berpikir perangkap seperti ini cukup untuk menahan kami?”Rainer tak menjawab. Matanya menyipit, memerhatikan pergerakan lawannya. Terlalu tenang. Ini bukan sekadar penyihir biasa.Elyse bergerak cepat ke sisinya, belatinya sudah siap. “Kita habisi dia sekarang.”Namun sebelum mereka bisa bergerak, kabut semakin menebal. Udara berubah berat, seolah ada sesuatu yang menarik energi dari sekitar mereka.Sosok itu mengangkat tangannya. “Jika kau ingin menantang kami, maka bersiaplah menghadapi kekuatan yang telah menjaga dunia ini selama berabad-abad.”Rainer hanya tersenyum kecil. “Sudah kuduga.”Dengan satu gerakan tangan, lingkaran sihir di lanta
Di dalam aula yang penuh dengan kemewahan, Rainer tetap menjaga ekspresi tenangnya saat Duke Marquez menatapnya dengan tajam. Elyse, yang berdiri di sampingnya, tetap siaga, tangannya hampir selalu berada di dekat belatinya, bersiap menghadapi kemungkinan ancaman.Duke Marquez tersenyum tipis, meski matanya penuh dengan ketegangan. “Kita bisa saling menguntungkan, Rainer. Kau ingin meruntuhkan sistem ini, bukan? Aku bisa membantumu.”Rainer menyilangkan tangannya di depan dada. “Setelah kau mengirim pembunuh untuk membunuhku? Itu cara yang aneh untuk mengundang kerja sama.”Duke Marquez tertawa kecil. “Kau lebih cerdas dari yang kukira. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku perlu tahu seberapa besar ancaman yang kau bawa.”Elyse menatapnya tajam. “Dan sekarang kau takut?”Duke Marquez menghela napas. “Aku realistis. Apa yang kau lakukan terhadap kota perdaganganku—itu adalah pukulan yang menghancurkan. Aku kehilangan kendali atas para pedagangku. Sekutuku mulai meragukanku. Jika aku
Langit di atas desa yang hancur mulai memudar menjadi merah keemasan saat matahari terbit. Rainer berdiri di tengah reruntuhan, memandangi tubuh para pembunuh yang dikirim untuk menghabisinya. Simbol keluarga Duke Marquez di salah satu tubuh mereka menjadi bukti tak terbantahkan bahwa serangan ini bukan kebetulan.Elyse berjalan mendekat, matanya tajam menatap luka di lengannya yang masih mengeluarkan sedikit darah. “Kita tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja, Rainer.”Rainer mengangguk. “Tentu saja tidak. Tapi kita juga tidak bisa menyerang balik tanpa perhitungan. Jika kita gegabah, kita bisa kehilangan legitimasi yang telah kita bangun.”Lord Gaillard, yang telah menyusul mereka bersama pasukan tambahan, menatap mayat-mayat di tanah dengan ekspresi serius. “Jika Duke Marquez benar-benar di balik ini, berarti dia sudah siap untuk mengumumkan permusuhan terbuka.”Rainer tersenyum tipis, tetapi matanya dingin. “Belum. Jika dia benar-benar siap, dia tidak akan mengirim tentara
Setelah pertemuan besar di istana, ketegangan yang semula menggantung di udara mulai berubah menjadi rasa penasaran dan perhitungan. Beberapa bangsawan tampak mulai mempertimbangkan tawaran Rainer, sementara yang lain masih bersikeras mempertahankan sistem lama. Namun, yang paling berbahaya bukanlah mereka yang berbicara secara terang-terangan—melainkan mereka yang tetap diam.Di dalam ruang pribadinya, Rainer duduk di hadapan Elyse dan Lord Gaillard, mengamati laporan-laporan terbaru dari para mata-matanya.“Ada pergerakan mencurigakan dari kubu Duke Marquez,” ujar Elyse, menunjuk ke sebuah dokumen di meja. “Mereka mengadakan pertemuan rahasia dengan beberapa bangsawan yang tidak menghadiri pertemuan kita.”Rainer mengangguk pelan, ekspresinya tetap tenang. “Sudah kuduga. Mereka yang terlalu diam justru yang paling harus kita waspadai.”Lord Gaillard menatap peta kerajaan. “Sepertinya mereka tidak akan langsung melawan kita secara terbuka. Tapi jika mereka berhasil membentuk aliansi
Setelah kejatuhan Duke Alvaric, suasana di istana mulai berubah. Para bangsawan yang sebelumnya merasa aman di balik status mereka kini mulai berhati-hati. Kekuatan Rainer sudah terbukti tidak hanya dalam kecerdasannya, tetapi juga dalam cara ia menggulingkan musuhnya tanpa mengangkat pedang sendiri.Namun, Rainer tahu ini hanyalah awal.Di ruang pertemuan rahasia, ia duduk bersama Elyse, Lord Gaillard, dan beberapa sekutu terdekatnya. Di depan mereka terbentang peta kerajaan dengan berbagai wilayah yang menandakan pengaruh para bangsawan.“Kejatuhan Alvaric menciptakan kekosongan kekuasaan,” Rainer memulai. “Beberapa bangsawan akan mencoba mengisi tempatnya, dan yang lainnya akan menunggu dalam bayang-bayang, mencari kesempatan untuk menyerang kita.”Lord Gaillard mengangguk. “Beberapa dari mereka mungkin mulai membentuk aliansi untuk melawan kita.”Elyse menambahkan, “Tapi kita bisa menggunakan ini untuk keuntungan kita. Jika kita bisa mendekati beberapa bangsawan sebelum mereka ber
Rainer berdiri di balkon istananya, menatap langit malam yang berhiaskan bintang-bintang. Angin malam yang dingin berhembus pelan, tetapi pikirannya jauh lebih dingin.Veltan telah tersingkir, tetapi kata-katanya sebelum diseret keluar masih terngiang di benaknya. "Aku hanya mengikuti perintah..."Jika Veltan hanyalah boneka, maka siapa dalang sebenarnya?Elyse berjalan mendekat, membawa segelas anggur. “Kau tampak lebih murung dari biasanya.”Rainer menerima gelas itu dan menyesapnya sedikit sebelum berkata, “Veltan hanya permulaan. Masih ada sosok yang lebih besar di balik semua ini.”Elyse menyandarkan punggungnya ke pagar balkon. “Aku setuju. Kita harus mencari tahu siapa yang menarik tali di balik layar.”Rainer mengangguk. “Aku ingin tahu siapa saja yang menjalin hubungan dengan Veltan sebelum semua ini terjadi. Jika kita bisa menemukan pola, kita mungkin bisa menemukan dalangnya.”Elyse tersenyum tipis. “Kau sudah punya sesuatu dalam pikiran?”Rainer menatap gelasnya sejenak se