Pertempuran di luar markas besar Duke Valen semakin memanas. Rainer, Elyse, dan seluruh pasukan aliansi telah berhasil mendekati benteng utama, namun mereka tahu bahwa ini hanya permulaan dari sebuah pertempuran besar yang akan menguji ketahanan fisik dan mental mereka. Sihir kuno yang dilancarkan oleh "Kekasih Kegelapan" telah menyebabkan kekacauan di antara barisan pasukan mereka. Rainer menatap medan perang dengan cermat, matanya tajam dan pikirannya bekerja cepat, merancang strategi yang akan membawa mereka meraih kemenangan.“Elyse, Garret,” serunya di tengah hiruk-pikuk pertempuran. “Kita perlu menghancurkan kekuatan utama mereka. Tanpa itu, kita tidak akan bisa mengalahkan mereka. Aku akan memimpin serangan ke jantung markas mereka. Aku yakin ada titik lemah di sana.”Elyse mengangguk dengan penuh keyakinan. "Kami akan mengikuti kamu. Kita tidak bisa mundur sekarang, Rainer. Ini adalah kesempatan kita untuk mengubah dunia."Dengan komando yang tegas, Rainer dan kelompok utamany
Pertempuran melawan Duke Valen telah memasuki tahap akhir, namun tekanan terus meningkat. Kristal sihir kuno, kini retak setelah serangan Rainer, memancarkan energi liar yang membuat atmosfer medan perang semakin kacau. Getaran magis terasa hingga ke jantung benteng, membuat dinding-dindingnya berderak seperti hendak runtuh.Elyse menatap kristal yang perlahan-lahan runtuh dengan raut cemas. "Rainer, jika kita tidak menghentikan energi ini, bukan hanya mereka, tapi kita semua juga akan musnah!"Rainer mengangguk cepat, matanya terfokus pada Duke Valen yang berdiri di depan mereka, tampak tak tergoyahkan meskipun situasi mulai memburuk. "Aku tahu, tapi kita harus mengalahkannya dulu. Selama dia masih berdiri, energi itu tidak akan berhenti."Di luar benteng, pasukan aliansi berjuang keras menembus barisan pertahanan terakhir. Pemimpin pasukan, Garret, memimpin kelompoknya dengan keahlian dan keberanian yang luar biasa. Anak buahnya terus berjuang meskipun banyak yang mulai kelelahan. T
Benteng yang pernah menjadi simbol tirani Duke Valen kini berdiri sebagai reruntuhan. Asap tipis naik dari puing-puing yang masih hangat, menyisakan bau batu yang terbakar dan energi sihir yang tersisa. Pasukan aliansi berkumpul di sekitar reruntuhan, wajah mereka campuran antara kelegaan, kemenangan, dan ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya.Di tengah puing-puing itu, Rainer duduk di atas pecahan batu, wajahnya pucat dan tubuhnya tampak lemah. Elyse berdiri di sampingnya, terus memegang tangan Rainer, memastikan dia tetap sadar. Di sekeliling mereka, pemimpin-pemimpin aliansi lainnya mulai berkumpul.Garret adalah yang pertama berbicara. "Kita berhasil mengalahkan Duke Valen, tapi ini baru satu langkah. Kabar tentang kehancuran benteng ini pasti akan sampai ke telinga kerajaan. Mereka tidak akan tinggal diam."Rainer mengangguk pelan, mencoba bangkit meskipun tubuhnya jelas belum sepenuhnya pulih. "Itu yang kuharapkan," katanya dengan suara pelan tapi tegas. "Kerajaan pas
Pagi yang dingin menyelimuti perkemahan aliansi di dekat benteng yang telah runtuh. Kabut tipis melayang di atas padang rumput yang menjadi saksi pertarungan besar. Suara langkah kaki dan dentingan logam memenuhi udara saat para prajurit memperkuat posisi mereka. Benteng darurat mulai berdiri, menandai awal dari markas baru mereka.Rainer, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, berdiri di tengah pusat komando. Matanya menelusuri peta besar di depannya, mencermati setiap detail tentang wilayah sekitar dan rute potensial yang bisa digunakan untuk pergerakan pasukan atau logistik. Elyse berdiri di sisinya, memegang sebuah gulungan catatan berisi laporan dari utusan yang baru saja kembali."Kabar baik," kata Elyse sambil membuka gulungan itu. "Tiga desa di utara telah setuju untuk bergabung dengan kita. Mereka tidak memiliki banyak pasukan, tetapi mereka siap menyuplai bahan makanan dan peralatan."Rainer mengangguk, wajahnya serius. "Itu awal yang bagus, tapi kita membutuhkan lebih dari
Matahari baru saja terbit, menyinari Akademi Evernith, sebuah institusi bergengsi tempat bangsawan muda belajar tentang sihir, taktik perang, dan administrasi kerajaan. Rainer, dengan identitas barunya sebagai seorang siswa dari wilayah terpencil, melangkah memasuki gerbang akademi.Berdiri di depan aula megah, Rainer tidak bisa menahan kekagumannya. Pilar-pilar besar yang menjulang, ukiran simbol-simbol sihir kuno, dan atmosfer yang terasa penuh dengan energi magis membuatnya sadar bahwa tempat ini adalah jantung intelektual kerajaan. Namun, ia juga tahu bahwa keberadaannya di sini adalah ancaman besar bagi status quo."Semua ini hanyalah topeng," gumamnya pelan. "Pendidikan yang diberikan di sini hanyalah alat untuk melanggengkan kekuasaan mereka."Elyse, yang kini menyamar sebagai pelayan pribadi Rainer, berdiri di sampingnya. Dengan suara rendah, ia berkata, "Kau harus berhati-hati, Rainer. Mereka akan mengawasimu."Rainer mengangguk. "Aku tahu. Tapi inilah tempat di mana kita bis
Hari-hari berlalu dengan cepat di Akademi Evernith, tempat pendidikan tidak hanya menjadi ajang belajar teori, tetapi juga permainan politik yang rumit. Bagi Rainer, setiap kelas, setiap interaksi, dan setiap langkah di koridor megah ini adalah bagian dari permainan besar yang sedang ia rancang.Setelah duel melawan Victor, posisi Rainer mulai berubah. Beberapa siswa mulai memandangnya dengan hormat, sementara yang lain, terutama dari kalangan bangsawan, menganggapnya ancaman. Namun, Rainer tetap tenang. Ia tahu bahwa untuk bertahan di dunia ini, ia tidak bisa hanya mengandalkan kemenangan kecil. Ia membutuhkan aliansi.Suatu sore, ketika matahari hampir tenggelam, Rainer dipanggil oleh salah satu instruktur senior, Profesor Calder, ke ruangannya. Calder adalah seorang pria tua dengan rambut memutih dan mata tajam yang seolah bisa menembus pikiran seseorang."Rainer, kau adalah siswa yang menarik," ucap Calder, menyilangkan tangan di meja kayu besar yang dipenuhi buku."Terima kasih,
Rainer tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan sampai pada titik di mana setiap langkah kecilnya membawa dampak besar. Bergabung dengan "Tangan Bayangan" bukan hanya sebuah keputusan besar, tetapi sebuah titik balik. Kini, ia bukan lagi hanya seorang siswa cerdas dengan mimpi besar—ia adalah bagian dari gerakan yang berupaya mengguncang tatanan lama.Malam itu, dalam pertemuan rahasia di bawah reruntuhan tua yang tersembunyi di bawah Akademi Evernith, Rainer duduk di antara anggota inti Tangan Bayangan. Kael berdiri di depan, memandang setiap orang dengan sorot mata penuh tekad."Kita tahu apa yang kita hadapi," ucap Kael. "Bangsawan mengontrol segalanya—pendidikan, sihir, bahkan hukum. Tapi mereka melupakan satu hal: kekuatan pikiran dan keinginan untuk perubahan."Liora, yang duduk di samping Rainer, mengangguk pelan. "Namun, perubahan bukan hanya soal menyerang sistem. Kita butuh strategi untuk menggoyahkan mereka tanpa mengorbankan terlalu banyak pihak."Rainer mengambil kes
Rainer menyadari bahwa setelah debat publik, hidupnya berubah drastis. Ia tidak lagi menjadi siswa biasa yang bisa bergerak tanpa diperhatikan. Mata-mata Victor dan beberapa bangsawan lainnya terus mengawasi, sementara Dewan Akademi mulai memberlakukan aturan baru untuk memperketat kebebasan berekspresi.Namun, di tengah tekanan itu, Rainer justru merasa semangat juang semakin berkobar. Ia tahu bahwa inilah saatnya untuk menggandakan usahanya. Bersama Elyse, Liora, dan Tangan Bayangan, ia menyusun langkah-langkah strategis yang lebih tajam.Malam itu, di sebuah ruang rahasia di bawah reruntuhan kuil tua dekat Akademi, Rainer berdiri di depan anggota Tangan Bayangan. Di hadapannya ada peta besar yang menunjukkan wilayah-wilayah di bawah pengaruh para bangsawan. Ia menunjuk ke sebuah titik tertentu yang berada di dekat Distrik Selatan."Wilayah ini," ucapnya, "adalah salah satu pusat penyimpanan bahan baku sihir yang dikendalikan oleh keluarga bangsawan Evarion. Mereka menggunakan bahan
Langit masih gelap ketika suara derap langkah tergesa-gesa menggema di lorong-lorong benteng. Salah satu mata-mata yang ditugaskan Rainer untuk menyusup ke ibu kota Vildoria baru saja kembali, napasnya tersengal seolah ia telah berlari sepanjang malam.Rainer menunggu di ruang taktik, tangannya terlipat di depan dada, sementara Elyse dan Marcus berdiri di sampingnya."Ada berita?" tanya Rainer tanpa basa-basi.Mata-mata itu mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah gulungan perkamen yang tampak lusuh dan berdebu."Ada pergerakan di dalam ibu kota Vildoria, tapi bukan hanya dari pihak kerajaan," lapor mata-mata itu. "Kelompok yang disebut 'Tangan Hitam' mulai bergerak, dan mereka bukan sekadar bayangan.""Tangan Hitam?" Elyse mengulang nama itu dengan alis berkerut.Rainer mengambil perkamen itu, membuka isinya, dan membaca dengan saksama."Mereka adalah kelompok yang bergerak di belakang layar," jelas mata-mata itu. "Mereka bukan bagian da
Malam di benteng utama terasa lebih hening dari biasanya. Meskipun pasukan Rainer telah meraih kemenangan besar melawan pasukan Vildoria, ia tahu bahwa kemenangan ini bukanlah akhir. Vildoria bukan satu-satunya ancaman yang harus ia hadapi.Di dalam ruang strateginya, Rainer menatap peta yang terbentang di atas meja. Di sekelilingnya, Elyse, Marcus, dan beberapa komandan utama berdiri menunggu arahannya."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Marcus, matanya menatap Rainer dengan penuh harapan."Kita tidak bisa hanya bertahan," jawab Rainer. "Jika kita hanya menunggu serangan selanjutnya, cepat atau lambat mereka akan menemukan cara untuk menjatuhkan kita. Kita harus bergerak lebih dulu."Elyse mengangguk. "Kau ingin menyerang mereka langsung?""Bukan serangan langsung," kata Rainer sambil menggeser bidak-bidak di peta. "Kita akan melemahkan mereka dari dalam."Para komandan saling berpandangan, mencoba memahami maksud Rainer.
Malam setelah kemenangan di perbatasan barat, Rainer berdiri di dalam tendanya, menatap peta yang dipenuhi tanda-tanda strategis. Di satu sisi, ia merasa puas karena berhasil mengalahkan Lionel Drakos tanpa kehilangan terlalu banyak pasukan. Namun, jauh di dalam benaknya, ia tahu bahwa perang ini belum berakhir.Elyse masuk ke dalam tenda, membawa segulung laporan terbaru. "Kabar dari utara," katanya dengan suara tegang. "Gerakan militer mulai terlihat di perbatasan kerajaan Vildoria."Rainer mengangkat alisnya. "Vildoria akhirnya bergerak?""Sepertinya begitu," jawab Elyse. "Mereka mungkin melihat kelemahan kita setelah perang ini dan berpikir bahwa ini saat yang tepat untuk menyerang."Marcus, yang baru saja memasuki tenda, mendengus. "Mereka salah besar. Justru setelah kemenangan ini, moral pasukan kita sedang berada di puncaknya. Jika mereka berpikir kita lemah, mereka akan menyesalinya."Rainer berpikir sejenak. "Kita harus mengonfirmasi niat
Malam masih gelap saat beberapa bayangan bergerak cepat di gang-gang ibu kota Vildoria. Lima sosok berpakaian gelap, masing-masing dengan simbol kecil berbentuk mata di pergelangan tangan mereka, menyelinap melalui lorong-lorong sempit menuju sebuah gudang tua yang tersembunyi di antara bangunan usang.Di dalam, beberapa pria dan wanita bertopeng sudah berkumpul di sekitar meja panjang, peta dan dokumen tersebar di atasnya. Mereka adalah anggota Tangan Hitam—organisasi rahasia yang beroperasi di balik layar, mengendalikan informasi dan kekuatan dengan cara yang hanya mereka yang berkepentingan bisa pahami.Seorang pria bertopeng duduk di tengah, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme yang lambat. "Rainer mulai bergerak," katanya dengan suara tenang namun tajam.Salah satu anggota lain mengangguk. "Ya, dan dia sudah mengetahui keberadaan kita. Tidak lama lagi dia akan mencari cara untuk menghancurkan kita dari dalam."Pria bertopeng itu menghela napas. "Maka kita harus bergerak lebih
Malam berhembus dingin saat Rainer berdiri di atas menara pengawas, menatap ke arah selatan. Dalam kegelapan, titik-titik api kecil terlihat di kejauhan—kemah pasukan yang mulai berkumpul di wilayah perbatasan. Jika laporan itu benar, seseorang dari keturunan keluarga kerajaan lama sedang membangun kekuatan di sana.Elyse melangkah mendekat, mantel tebal melilit tubuhnya. "Kau tampak gelisah."Rainer tersenyum tipis. "Gelisah bukan kata yang tepat. Lebih ke... mengantisipasi."Elyse bersandar di pagar batu. "Jika benar ada keturunan kerajaan lama yang tersisa, itu bisa menjadi masalah besar. Rakyat yang masih setia pada monarki pasti akan berkumpul di bawah panji mereka.""Dan itulah yang membuat ini menarik," Rainer menjawab. "Orang-orang selalu mencari simbol. Jika seseorang bisa meyakinkan mereka bahwa kerajaan lama bisa bangkit kembali, maka kita akan menghadapi perang yang lebih besar dari sebelumnya."Marcus datang membawa sebotol anggur, wajahnya tetap santai meskipun situasi s
Langit di atas wilayah barat masih dipenuhi asap, sisa dari pertempuran yang baru saja berakhir. Kastil milik Count Reinhardt kini berdiri dalam kehancuran, simbol kejatuhan para bangsawan yang menolak tunduk pada perubahan.Di dalam ruang pertemuan yang dulu penuh dengan kemewahan, kini hanya ada aroma debu dan darah. Rainer berdiri di tengah ruangan, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah barat telah mereka taklukkan, tetapi peperangan belum selesai.Elyse masuk ke ruangan, wajahnya tenang namun penuh ketegasan. “Beberapa pasukan kita masih sibuk mengamankan desa-desa sekitar. Sebagian besar rakyat di sini tidak berani melawan, tetapi ada kelompok kecil yang masih setia pada Reinhardt.”Rainer mengangguk. “Itu sudah kuduga. Reinhardt mungkin sudah tiada, tapi jejaknya masih ada dalam pikiran orang-orang yang dulu hidup di bawah perlindungannya.”Marcus, yang duduk di sudut ruangan dengan cangkir anggur di tangannya, mendengus. “Orang-orang bodoh. Mereka tidak sadar
Rainer berdiri di puncak menara istana, menatap ke kejauhan. Kota yang dulunya diperintah dengan tangan besi oleh Duke Alistair kini dalam transisi menuju era baru. Cahaya fajar mulai menyinari bangunan-bangunan yang masih dipenuhi bekas pertempuran. Jalanan yang tadinya berlumuran darah perlahan dibersihkan, meski bau asap dan kematian masih terasa.Di bawahnya, rakyat berkumpul di alun-alun utama, menunggu pengumuman berikutnya.Elyse melangkah mendekat. “Mereka menunggu pidatomu.”Rainer mengangguk, tetapi matanya tetap tertuju ke kejauhan. “Perjuangan ini belum berakhir. Kota ini masih bisa jatuh ke dalam kekacauan jika kita tidak segera bertindak.”Elyse menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku tahu. Tapi untuk saat ini, kita telah memberi mereka harapan.”Rainer akhirnya mengalihkan pandangannya ke Elyse. Dalam beberapa bulan terakhir, gadis itu telah menjadi orang yang paling ia percaya. Dengan kecerdasan dan tekadnya, Elyse selalu menjadi suara rasional yang menyeimbangkan pemi
Suara ledakan menggema di seluruh kota. Api berkobar di beberapa sudut distrik, dan jeritan pertempuran bercampur dengan dentingan senjata yang saling beradu. Kekacauan telah mencapai puncaknya—tanda bahwa rencana Rainer berjalan sesuai yang diharapkan.Di dalam istana Duke Alistair, sang penguasa berdiri dengan pedang terhunus. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi amarah dan kegelisahan. Di hadapannya, Rainer berdiri tenang, sementara Elyse dan Marcus bersiaga di sisinya.“Aku sudah memperhitungkan segalanya, Alistair,” kata Rainer dengan nada datar. “Hari ini, kekuasaanmu berakhir.”Alistair menyipitkan mata. “Kau pikir hanya dengan beberapa pemberontak rendahan bisa menjatuhkanku?”Senyum tipis tersungging di bibir Rainer. Ia tidak menjawab, tetapi menatap keluar jendela, melihat pasukan perlawanan yang semakin mendekati istana.“Kota ini bukan milikmu lagi,” lanjut Rainer. “Setengah pasukanmu sudah pergi ke timur. Para bangsa
Malam terus berlanjut, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang beristirahat dengan tenang. Rainer menatap peta di depannya, memperhitungkan langkah-langkah berikutnya. Dengan informasi yang mereka peroleh, ia tahu bahwa inilah saatnya untuk bergerak.Kelompok perlawanan di distrik pelabuhan akan menjadi kunci. Jika mereka bisa meyakinkan mereka untuk bekerja sama, kota ini akan memiliki kekuatan yang cukup untuk mengguncang rezim Duke Alistair.Elyse menatap Rainer dengan penuh perhatian. "Kapan kita akan menemui mereka?""Besok malam," jawab Rainer. "Kita harus berhati-hati. Jika mereka terlalu takut atau ada mata-mata di dalamnya, kita bisa dalam bahaya."Marcus, yang duduk di sudut ruangan, menyeringai. "Itu sebabnya aku akan pergi lebih dulu untuk memastikan tempatnya aman. Aku bisa bergerak tanpa terdeteksi."Rainer mengangguk. "Lakukan. Dan jika ada yang mencurigakan, mundur. Kita tidak bisa mengambil risiko kehilanganmu."Marcus berdiri. "Serahkan padaku."Keesokan malamnya,