Sleb!Satu anak panah berhasil mendarat tepat sasaran, menancap kuat pada buah apel yang kini tergeletak mengenaskan di atas tanah beralas rumput kering.“Wahh ... hebat! Kau berhasil Gara, kecepatan dan ketepatan anak panahmu benar-benar sempurna,” seloroh Kumbara takjub dengan kemampuan memanah Sagara.Larasati menghampiri dua pria itu dengan senyum kepuasan, “Bagus Gara, keahlianmu memanahmu semakin matang. Sepertinya kau sudah siap untuk menghadapi tahap berikutnya.”Sagara mengernyit, “Tahapan apa lagi Larasati? Bukannya aku sudah menguasai ilmu memanah dan pedang sesuai dengan syarat awal? Itu artinya aku siap pergi ke hutan larangan sekarang.”“Ohooo ... tidak semudah itu kawan!” kata Kumbara sebelum Larasati menjelaskan, “Sebelum pergi ke hutan larangan dan menjalankan misi, kau harus menghadapi satu ujian lagi. Karena sekarang ilmu pedang, memanah, dan bertarungmu sudah mumpuni kini saatnya untukmu mengaplikasikan semua ilmu itu terlebih dahulu.”“Mengaplikasikan bagaimana ma
Di kaki bukit Sawer terdapat sebuah danau yang tampak indah saat senja datang. Permukaan airnya yang tenang berkilauan tatkala sapuan sinar surya menerpa. Memantulkan cahaya keperakan yang bisa membuat siapa saja terkesima saat melihatnya. Ya, Bukit Sawer memang seindah itu saat siang hari. Menyihir setiap mata dan hati untuk diam di sana lebih lama dan menikmati nuansa negeri Kentamani yang damai. Bukit Sawer merupakan kawasan perbatasan antara kerajaan Ambarwangi dengan Kentamani.Gara sempat menyaksikan keindahan sempurna yang sesuai dengan apa yang Kumbara dan Larasati gambarkan padanya melalui cerita sepanjang perjalanan ke sana. Awalnya pemuda itu merasa bahwa perjalanannya tidak begitu buruk, dia benar-benar diajak ke tempat indah yang sebelumnya belum pernah Gara kunjungi—baik di dunia saat ini atau dunia sebelumnya.Sayangnya, ketakjuban itu tak berlangsung lama. Gara, Kumbara, dan Larasati tiba di bukit Sawer tepat ketika senja datang. Keindahan yang disaksikan hanya berlang
Krekk ... krekk ...Suara ranting kering terinjak kian terdengar nyaring seiring dengan malam yang semakin larut. Suara jangkrik dan erangan hewan pengerat lain menemani langkah ketiga pemuda yang saat ini sudah tiba di pusat Lembah Sawer. Pepohonan menjulang mengelilingi tempat itu, semak belukar tersapu angin menimbulkan gemerisik yang sukses membuat Gara olahraga jantung sepanjang waktu.Pemuda itu semakin dilanda gusar usai mendengar cerita menyeramkan tentang Lembah Sawer ini beberapa saat lalu. Sejak tadi, matanya terus bergerak gelisah memperhatikan sekitar. Takut-takut ada hewan buas atau sosok menyeramkan yang tiba-tiba muncul untuk mencabik tubuhnya hingga menjadi beberapa bagian. Oh, membayangkannya saja Gara sudah ingin mengompol di celana.“Kita istirahat sebentar di sini, bagaimana kalian setuju?” usul Kumbara mulai lelah, kantuk sudah bergelayutan di matanya.Ini menjelang tengah malam, tampaknya waktu perjalanan mereka agak molor dari perkiraan awal.“Kita harus sudah
Sret!“Ah!” ringis Gara yang tiba-tiba mendapat luka sayatan di tangannya. Bayangan itu pelakunya, kejadian tersebut berlangsung dalam hitungan detik hingga tidak sempat dihadang.Darah mengucur dari tangan kanan Gara, Kumbara dan Larasati panik, “Kau baik-baik saja, Gara?” tanya Larasati.“Aku tak apa,” jawab Gara lalu dia melihat gerakan bayangan hitam yang sangat cepat dari arah belakang Larasati, “Laras awas!” teriak Laras, gadis itu berbalik dan langsung melesatkan satu anak panahnya dengan tepat sasaran. Bayangan yang hendak menyerangnya buyar bersama angin.Dari sana, bayangan-bayangan lain pun masif menyerang ketiga pemuda itu. Larasati, Gara, dan Kumbara kini aktif melawan para bayangan hitam. Tanpa memedulikan kucuran darah yang masih mengucur segara dari pergelangan tangan, Gara menumpas musuh secara membabi buta. Seketika pria itu lupa akan segala rasa takut yang sebelumnya dirasa, yang ada di kepala Gara saat ini adalah bagaimana caranya agar mereka bisa mengalahkan para
Pusat bayangan itu masih terbang tepat di depan Gara, kian lama ukurannya kian bertambah. Menghitamkan langit yang semula terang karena sinaran purnama yang menyepuhnya. Pusat bayangan setan itu seakan sedang menunjukkan pada Gara sehebat apa kemampuannya dan kondisi macam apa yang sedang pria itu hadapi.Agaknya pemilik bayangan setan ini murka pada Gara dan teman-temannya. Mereka cukup kuat untuk dikalahkan, hingga proses pengambilan jantung untuk ritual berlangsung alot. Selama ini bayangan setan tidak pernah kepayahan dalam mencari tumbal. Hanya dalam sekali serang maka para manusia bisa berjatuhan dengan kondisi tak berjantung.Makhluk inilah yang sebenarnya menjadikan lembah Sawer menjadi tempat angker yang terlarang untuk dilewati saat malam hari. Apalagi di waktu bulan purnama. Manusia memang makhluk paling keji, dia bisa menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuannya. Tidak peduli jika itu merugikan orang lain bahkan sampai merenggut nyawa orang.“Menyerahlah manusia, k
Bisa selamat dari ancaman berbahaya bayangan setan seperti sebuah anugerah bagi Gara, Larasati, dan Kumbara. Mereka nyaris membusuk tanpa diketahui di zona merah Lembah Sawer kalau saja Gara tidak berhasil menghancurkan pusat bayangan setan. Semalam, tak berapa lama setelah Gara berhasil mengalahkan pusat bayangan setan, Larasati dan Kumbara menghampirinya. Mereka memberikan pujian besar atas kehebatan Gara mengalahkan makhluk menyeramkan itu.Jujur saja, Larasati dan Kumbara sempat meremehkan Gara dalam perjalanan uji kehebatan ini. namun sepertinya, sekarang mereka harus belajar menaruh kepercayaan penuh pada Sagara. Meskipun sering mengeluh dan rewel, anak ini menyimpan kekuatan misterius. Memang tidak salah guru Mada memilih anak ini. Dia pasti tahu bahwa Sagara adalah anak yang berpotensi.Dan tentu saja Larasati dan Kumbara juga harus meyakini rencana takdir. Bukan tanpa alasan Tuhan membuat jiwa pendekar Gara dan Sagara Wirantama tertukar. Pasti ada tujuan di ba
Di dalam kedai, Larasati memilih meja makan tepat di selasar, selain masih kosong, area itu juga sangat strategis jika ingin menikmati pemandangan pasar Kentamani. Melihat orang hilir mudik melakukan transaksi ternyata lumayan menyenangkan. Mungkin ini juga salah satu dampak karena Larasati sudah cukup lama tidak belanja di pasar Ambarwangi. Ah, semua hal menyenangkan yang terjadi di tempat itu selalu membawa kenangan indah Ambarwangi di masa lalu. Ini sungguh menyesakkan.“Pesanan datang, selamat menikmati,” ungkap bibi penjaga kedai usai menyajikan sebakul nasi dan seekor ayam bakar disertai lalapan di atas meja.Kumbara menelan air liurnya melihat ayam bakar berwarna kecokelatan yang benar-benar menggugah selera. Belum lagi aroma sedap yang menguap, membuat pria itu semakin ngiler. Setelah baca doa yang dipimpin Gara, ketiga orang itu pun mulai menikmati makanan mereka. Tampak jelas jika ketiganya memang sudah lama tidak makan enak dengan tenang. Kumbara
Gara, Larasati, dan Kumbara sudah berada di tempat pertarungan. Mereka sedang dalam antrean untuk mendaftarkan Sagara sebagai peserta uji kehebatan. Sepanjang penantian kurang lebih 15 menit itu, Larasati sama sekali tidak buka suara. Wajahnya terus ditekuk, dia tampak masih kesal gara-gara kejadian di kedai makan tadi. Kumbara sudah berusaha menghiburnya dengan melayangkan berbagai lelucon. Nihil, tak ada satu pun lelucon pria itu yang bisa mengembalikan suasana hati Larasati yang telanjur amburadul. “Laras serem ya Bar, kalau sedang cemberut begitu,” bisik Gara pada Kumbara yang kebetulan berdiri di sampingnya sedangkan Larasati berada di tepat di depan mereka. “Beuh, jangan ditanya, Gar. Asal kau tahu Larasati ini kalau sudah ngamuk, banteng pun takut padanya.” “Hah, serius?” Kumbara memejam jengkel, kadang dia sebal kalau Gara sedang polos setengah oon begini. “Itu perumpamaan, Gara. Tapi serius deh kalau Larasati ngamuk itu seram sekali.