Setelah selesai makan dan istirahat sebentar, Larasati dan Kumbara benar-benar melakukan niatan mereka untuk bercerita sejujurnya pada Sagara. Ketiga orang itu masih duduk di atas dipan, bersila melingkari alat makan yang isinya sudah tandas berpindah ke perut Sagara. Larasati yang paling vokal dalam momen ini, dia menjelaskan asal-usul dan alasan mengapa raga pendekar Gara bisa terbaring koma selama seratus hari. Sagara terkejut bukan main, ia masih enggan percaya bahwa dunia yang dihuninya saat ini bukan dunia tempat dia tinggal. Rasanya tidak masuk akal saja, bagaimana mungkin dia bisa terdampar hingga lintas dimensi?Semua cerita yang disampaikan Larasati dan Kumbara tidak ada yang bisa diterima akal sehatnya. Namun jika Sagara berpikir lagi, tempat ini memang sungguh aneh. Karena tidak kunjung percaya cerita Larasati, Kumbara sampai berinisiatif untuk mengajak Sagara jalan-jalan keliling desa. Namun Larasati melarangnya karena merasa Sagara belum siap untuk berkeliaran di luar. A
“Lebarkan lagi kakimu, Gara! Sudah kubilang pasang kuda-kuda yang benar agar tumpuan tubuhmu kokoh!” teriak Kumbara setengah geram karena Gara benar-benar lamban saat menerima pelajaran darinya. “Aku tidak bisa! Mau berapa kali pun kau mengajariku, aku tetap tidak akan mampu untuk menjadi pendekar Gara yang sangat hebat itu! Di duniaku ... aku tidak pernah berlatih silat atau jenis bela diri lainnya. Aku ini seorang pecundang di sekolah!” balas Gara terpancing emosi karena sejak tadi dia sudah ingin menyerah namun Kumbara dan Larasati terus mendesaknya. “Selamban-lambannya pecundang, dia pasti bisa mempelajari dasar bela diri dengan mudah. Kau benar-benar menguji kesabaranku. Bukalah sedikit pikiranmu! Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri. Banyak nyawa yang sedang dipertaruhkan saat ini. Sampai kapan kau akan terus mengeluh dan menyangkal takdir, hah?!” sentak Kumbara sengit. Kumbara yang biasanya senang bercanda dan selalu tampil riang kini mulai menunjukkan emosi yang agak melua
Usai melaksanakan ibadah shalat Zuhur berjamaah, Sagara diminta untuk menemui guru Mada. Tidak banyak yang dikatakan laki-laki tua itu, dia hanya menyuruh Sagara untuk ikut jalan-jalan dengan Larasati. Kumbara tidak diikutsertakan karena guru Mada tahu, muridnya yang satu itu masih sangat marah pada Sagara. Perlu waktu untuk mendamaikan ketegangan di antara mereka berdua. Jadilah saat ini yang jalan-jalan mengelilingi desa dekat padepokan hanya Sagara dan Larasati.Tidak banyak percakapan yang terjalin di antara mereka, Larasati hanya membiarkan Sagara melihat kondisi desa yang dipenuhi oleh orang-orang yang bercecer hampir di sepanjang perjalanan. Mereka seperti sedang melakukan ritual yang entah dengan tujuan apa, Sagara tidak mengerti. Sebagian menyembah batu, pohon, bahkan ada yang melakukan persembahan pada langit dan matahari. Jelas itu pemandangan yang sangat tabu dan salah, bagaimana bisa ada orang yang menyembah sesuatu selain Tuhan? Sagara seperti kilas balik pada pelajaran
Seumur hidupnya, Sagara terbilang jarang melakukan olahraga berat. Namun di sini, pemuda itu ditempa untuk melakukan berbagai proses latihan yang luar biasa menguras tenaga. Niatnya yang sempat diremehkan Kumbara menjadi pemicu Sagara untuk berlatih lebih keras dari hari ke hari. Akan Sagara buktikan bahwa ia dilahirkan ke muka bumi ini bukan sekadar untuk menjadi pecundang yang mudah dirundung. Terhitung tujuh hari sudah berlalu sejak perbincangan dalam antara Sagara dan Larasati. Selama itu pula berbagai pelatihan dasar sudah Sagara dapatkan. Ia yang semula sama sekali tidak kuat latihan fisik dengan kumbara, kini mulai menunjukkan kemajuan yang bisa dibilang pesat. Kumbara terkejut tentu saja, dia sempat meragukan kesungguhan Sagara untuk mengemban misi ini. namun, ketika melihatnya sekarang, pandangan Kumbara sedikit berubah haluan. Ia mulai suka pada semangat anak remaja yang terperangkap dalam tubuh karibnya. Begitu menggebu-gebu, penuh ambisi, dan tekat yang sangat kuat. Setia
Sleb!Satu anak panah berhasil mendarat tepat sasaran, menancap kuat pada buah apel yang kini tergeletak mengenaskan di atas tanah beralas rumput kering.“Wahh ... hebat! Kau berhasil Gara, kecepatan dan ketepatan anak panahmu benar-benar sempurna,” seloroh Kumbara takjub dengan kemampuan memanah Sagara.Larasati menghampiri dua pria itu dengan senyum kepuasan, “Bagus Gara, keahlianmu memanahmu semakin matang. Sepertinya kau sudah siap untuk menghadapi tahap berikutnya.”Sagara mengernyit, “Tahapan apa lagi Larasati? Bukannya aku sudah menguasai ilmu memanah dan pedang sesuai dengan syarat awal? Itu artinya aku siap pergi ke hutan larangan sekarang.”“Ohooo ... tidak semudah itu kawan!” kata Kumbara sebelum Larasati menjelaskan, “Sebelum pergi ke hutan larangan dan menjalankan misi, kau harus menghadapi satu ujian lagi. Karena sekarang ilmu pedang, memanah, dan bertarungmu sudah mumpuni kini saatnya untukmu mengaplikasikan semua ilmu itu terlebih dahulu.”“Mengaplikasikan bagaimana ma
Di kaki bukit Sawer terdapat sebuah danau yang tampak indah saat senja datang. Permukaan airnya yang tenang berkilauan tatkala sapuan sinar surya menerpa. Memantulkan cahaya keperakan yang bisa membuat siapa saja terkesima saat melihatnya. Ya, Bukit Sawer memang seindah itu saat siang hari. Menyihir setiap mata dan hati untuk diam di sana lebih lama dan menikmati nuansa negeri Kentamani yang damai. Bukit Sawer merupakan kawasan perbatasan antara kerajaan Ambarwangi dengan Kentamani.Gara sempat menyaksikan keindahan sempurna yang sesuai dengan apa yang Kumbara dan Larasati gambarkan padanya melalui cerita sepanjang perjalanan ke sana. Awalnya pemuda itu merasa bahwa perjalanannya tidak begitu buruk, dia benar-benar diajak ke tempat indah yang sebelumnya belum pernah Gara kunjungi—baik di dunia saat ini atau dunia sebelumnya.Sayangnya, ketakjuban itu tak berlangsung lama. Gara, Kumbara, dan Larasati tiba di bukit Sawer tepat ketika senja datang. Keindahan yang disaksikan hanya berlang
Krekk ... krekk ...Suara ranting kering terinjak kian terdengar nyaring seiring dengan malam yang semakin larut. Suara jangkrik dan erangan hewan pengerat lain menemani langkah ketiga pemuda yang saat ini sudah tiba di pusat Lembah Sawer. Pepohonan menjulang mengelilingi tempat itu, semak belukar tersapu angin menimbulkan gemerisik yang sukses membuat Gara olahraga jantung sepanjang waktu.Pemuda itu semakin dilanda gusar usai mendengar cerita menyeramkan tentang Lembah Sawer ini beberapa saat lalu. Sejak tadi, matanya terus bergerak gelisah memperhatikan sekitar. Takut-takut ada hewan buas atau sosok menyeramkan yang tiba-tiba muncul untuk mencabik tubuhnya hingga menjadi beberapa bagian. Oh, membayangkannya saja Gara sudah ingin mengompol di celana.“Kita istirahat sebentar di sini, bagaimana kalian setuju?” usul Kumbara mulai lelah, kantuk sudah bergelayutan di matanya.Ini menjelang tengah malam, tampaknya waktu perjalanan mereka agak molor dari perkiraan awal.“Kita harus sudah
Sret!“Ah!” ringis Gara yang tiba-tiba mendapat luka sayatan di tangannya. Bayangan itu pelakunya, kejadian tersebut berlangsung dalam hitungan detik hingga tidak sempat dihadang.Darah mengucur dari tangan kanan Gara, Kumbara dan Larasati panik, “Kau baik-baik saja, Gara?” tanya Larasati.“Aku tak apa,” jawab Gara lalu dia melihat gerakan bayangan hitam yang sangat cepat dari arah belakang Larasati, “Laras awas!” teriak Laras, gadis itu berbalik dan langsung melesatkan satu anak panahnya dengan tepat sasaran. Bayangan yang hendak menyerangnya buyar bersama angin.Dari sana, bayangan-bayangan lain pun masif menyerang ketiga pemuda itu. Larasati, Gara, dan Kumbara kini aktif melawan para bayangan hitam. Tanpa memedulikan kucuran darah yang masih mengucur segara dari pergelangan tangan, Gara menumpas musuh secara membabi buta. Seketika pria itu lupa akan segala rasa takut yang sebelumnya dirasa, yang ada di kepala Gara saat ini adalah bagaimana caranya agar mereka bisa mengalahkan para