Home / Fantasi / Dunia Baru Sagara / 1. Lelaki yang Hampir Mati

Share

Dunia Baru Sagara
Dunia Baru Sagara
Author: Senchaaa

1. Lelaki yang Hampir Mati

Author: Senchaaa
last update Last Updated: 2021-10-14 12:36:12

Halo, semuanya selamat datang di kisah terbaruku. Kali ini aku membawa genre yang sedikit berbeda. Semoga kalian suka ya, jangan lupa kasih bintang 5 dan masukkan ke library kalian, oke? Yuk, langsung aja, enjoyyy ...

***

Hujan turun sangat deras mengaburkan pandangan Saga yang harus berlari secepat mungkin—menjauhi para pengejarnya. Ada sekitar lima pemuda yang memburu Saga, masing-masing dari mereka membawa senjata tajam, ada pula yang memegang kayu berpaku di tangan. Jika kayu itu dipukulkan pada kepala seseorang, sudah pasti ujung paku itu akan menancap dalam bahkan bisa membuat kepala seseorang bocor.

“Woi, berhenti!”

Suara orang-orang itu semakin dekat di telinga Saga, ia tidak boleh tertangkap. Bagaimana pun Saga harus selamat, tidak boleh mati sia-sia di tangan para bajingan berdarah dingin itu. Saga mempercepat larinya—tidak peduli jika saat ini jantungnya nyaris meledak karena kelelahan. Pemuda berusia 17 tahun itu memegangi dadanya, dengan napas memburu Saga menatap jengah pada puluhan anak tangga yang ia temui. Saga sangsi bisa tiba di puncak dengan sisa tenaga yang dia miliki sekarang, tapi sekecil apa pun kesempatan yang ada ia harus bisa memanfaatkannya.

Jatuh bangun lelaki berhidung mancung pemilik kaki jenjang itu menapaki tangga selangkah demi selangkah, kondisi kakinya mengeluarkan banyak darah akibat sayatan benda tajam yang sempat mengenainya tadi. Jika dikumpulkan mungkin sudah ada satu labu darah yang Saga buang secara percuma di sepanjang pelariannya.

Setitik asa Saga genggam, hanya tinggal tiga anak tangga tersisa untuk ia lewati. Harapan selamat semakin besar saat ia melihat ada sebuah rumah di penghujung jalan yang tampak bersinar penuh kehangatan, rumah itu akan menyelamatkannya. Saga tahu siapa-siapa yang ada di dalam sana. Kakinya baru tiba di puncak namun tendangan seseorang pada perutnya berhasil mengirim kembali tubuh Saga ke dasar tangga.

Suara petir menggelegar, tubuh Saga tergeletak lemah mengenai aspal. Serbuan sepatu menyambut kembalinya Saga ke dasar penyiksaan. Ya, orang-orang yang tadi mengejarnya sudah ada di sana. Melingkup tubuh Saga, memamerkan smirk iblis yang siap mengirim ruh Saga ke neraka yang mereka ciptakan.

“Mati lo, Bangsat!”

“Cecunguk sialan! Gara-gara lo rencana kami gagal total!”

“Cupu anjing!”

Buk! Buk! Buk!

Satu persatu tendangan mengenai tubuh Saga dari berbagai arah, sinar kehidupan di matanya direnggut paksa. Habis sudah semua tenaga Saga, jangankan melawan atau mengalahkan orang-orang itu. Sekadar membuka mata saja ia sudah kepayahan.

“Cukup, cepat buang sampah ini ke tempat yang seharusnya,” perintah seseorang yang tampak lebih dominan dari yang lain, sebutlah dia sang bos atau ketua para bajingan itu.

Tidak perlu memerintah dua kali, orang-orang itu mengikuti apa kata ketua mereka. Sebagian membopong tubuh Saga yang sudah tak sadarkan diri dan sisanya segera membersihkan bercak darah yang ada di sana. Memastikan air hujan benar-benar membasuhnya tanpa sisa.

Empat jam berselang, mobil yang ditumpangi orang-orang itu tiba di sebuah jembatan yang tampak sepi. Jelas saja tidak ada satu pun manusia lalu lalang di sana tengah malam begini, dua orang keluar dari mobil sambil membawa tubuh Saga.

“Dia masih hidup, Bos,” lapor orang yang hendak melempar tubuh Saga ke bawah jembatan.

Jembatan itu berada di sebuah kawasan industri yang terkenal cukup angker saat malam hari. Area pinggiran jembatan ditumbuhi pepohonan dan semak belukar, seperti lahan pabrik yang tinggal menunggu waktu sebelum dilakukan pembangunan. Cukup jauh dari pemukiman warga, tempat yang sangat tepat untuk dijadikan pembuangan sampah tak berguna seperti Saga—begitu pikir para bajingan itu.

“Lepas aja, nanti juga dia mati sendiri,” kata sang ketua, para anak buahnya menyanggupi lantas mengambil ancang-ancang sampai akhirnya membiarkan tubuh Saga terjun bebas dari ketinggian sekitar 20 meter.

Para bajingan itu menyaksikan gejolak air keruh saat melahap tubuh Saga, mereka menghela napas lega dan saling melempar senyum kepuasan. Setelahnya, orang-orang itu pun bergegas pergi dari sana. Meninggalkan Saga, si lelaki malang yang terpaksa menjadi korban kebengisan mereka karena telah menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya Saga saksikan.

***

          1 x 24 jam berlalu, seorang wanita paruh baya menangis tersedu di kantor polisi. Ia tidak bisa membendung kesedihan sejak awal menginjakkan kaki di tempat itu. Sang suami sudah berusaha menenangkan namun tangis istrinya kian pecah, mengingat putra semata wayang mereka tak kunjung pulang sejak pamit membeli seblak malam itu.

“Mohon tenang dulu, Bu, coba jelaskan bagaimana kronologi hilangnya putra Ibu, agar memudahkan kami dalam memproses laporan kehilangan ini.”

“Tenang gimana atuh ... Pak, anak saya hilang, sudah satu hari satu malam belum pulang-pulang. Waktu itu dia pamit ke depan buat beli seblak, saya dan suami saya sudah sempat melarang karena melihat tanda-tanda akan turun hujan. Tapi dia enggak mau dengar, malah kekeuh mau pergi, ya sudah kami mengizinkan. Selang lima menit dia pergi tiba-tiba hujan petir turun, kami nunggu Saga karena berpikir dia lagi neduh di tempat seblak. Satu setengah jam berlalu, hujan udah reda tapi dia enggak balik-balik. Suami saya memutuskan buat nyusul ke tempat seblak tapi dia enggak ada di sana, malah tempat seblaknya sudah tutup. Ketika suami saya bertanya pada tukang seblak itu, katanya dia enggak melihat Saga datang membeli seblaknya. Sejak saat itu kami enggak tahu Saga ke mana,” jelas Euis sambil sedikit terisak.

“Benar begitu, Pak?” tanya pak polisi pada Wira—ayah Saga.

“Benar Pak polisi, saya sudah menghubungi semua teman-temannya tapi tidak ada yang tahu di mana Saga. Kata mereka, malam itu Saga tidak menghubungi atau menemui mereka sama sekali.”

“Jam berapa Saga pergi buat beli seblaknya?”

“Sekitar jam sembilan, Pak. Paginya, setelah Saga tidak kunjung pulang saya sempat ke sini buat melapor tapi katanya kasusnya belum bisa diproses karena belum 1x24 jam. Saya mohon bantu temukan anak saya, Pak.”

“Bapak yakin dia tidak mengunjungi saudara atau siapanya mungkin?”

“Yakin sekali, Pak, kami tidak punya saudara di daerah ini. Saudara kami semuanya ada di Ibu Kota.”

“Baik, kalau begitu laporan Bapak dan Ibu akan segera kami proses dan pencarian Saga akan segera dilakukan. Kami akan segera menghubungi Bapak atau Ibu jika ada informasi terbaru.”

“Baik, Pak, terima kasih. Kami sangat menanti kabar baiknya,” ungkap Wira dengan penuh harap.

“Tolong segera ditemukan ya Pak, Saga itu buta arah, dia enggak pernah bisa  mengenali tempat asing hanya dalam sekali lihat. Waktu pertama kali kami pindah ke sini saja, dia beberapa kali nyasar pas mau pulang. Saya takut dia kenapa-napa, Pak.”

“Ibu tenang saja, insha Allah tim kepolisian akan membantu menemukan Sagara.”

***

Berita tentang hilangnya Sagara Wirantama menjadi trending topik khususnya di kalangan siswa-siswi SMA Tribakti. Terhitung sudah satu pekan sejak remaja 17 tahun itu menghilang tanpa kabar, dan tiga hari terakhir berita ini menjadi viral karena banyaknya teman-teman Sagara yang melakukan share informasi tersebut ke berbagai sosial media mereka.

Ada yang ikut bersimpati pada keluarga Sagara, ada pula yang tak acuh, bahkan yang terkesan puas pun banyak. Sagara memang bukan siswa unggulan di sekolahnya, dia bukan tipikal cowok most wanted  yang akan ditangisi banyak gadis jika sosoknya menghilang. Sebaliknya, mungkin kebanyakan teman sekelas Saga justru tidak peduli dengan apa pun yang terjadi pada kawan seperjuangan mereka. Selama ini kehadiran Sagara memang kerap dianggap sebagai beban kelas. Jenis siswa yang selalu tersisih dari pemilihan anggota kelompok karena kinerja otaknya yang lamban dalam menyerap pelajaran. Bisa dibilang, kontribusi Sagara untuk kelasnya nyaris tidak ada sama sekali.

“Men, gimana, udah ada perkembangan tentang proses pencarian Saga?” tanya Tyana, gadis berambut sebahu yang terkenal dengan sifat tomboinya. Tyana ini teman sekelas sekaligus salah satu kawan yang Sagara miliki di SMA Tribakti.

“Belum euy, saya teh kontekan terus sama Ibu Bapaknya tapi katanya belum ada progres apa-apa dari pihak kepolisian juga. Malah dari informasi terbaru, keluarga harus siap-siap seandainya hal yang buruk menimpa Saga. Bener-bener deh kelakuan si Bapak polisi, bukannya nenangin malah bikin orang tambah waswas,” papar Sulaiman yang akrab disapa Omen, satu lagi kawan yang menggenapkan jumlah teman Sagara. Hanya dua orang itu yang bersedia menemani Sagara selama ia menimba ilmu di salah satu SMA paling bergengsi di Kota Kembang ini.

Tyana memejam berat, ia menyugar rambut pendeknya. Gurat ekspresi terlukis jelas di wajah mojang kelahiran Cimahi, tujuh belas tahun lalu itu. Berbagai cara sudah ia lakukan untuk membantu proses pencarian Saga. Bahkan Tyana sampai meminta teman-temannya yang biasa nongkrong di kolong jembatan fly over untuk membantu proses pencarian. Foto Gara ia sebar ke semua orang baik melalui pesan siaran maupun selebaran yang dicetak.

“Lagian ini si Saga kelakuannya ngadi-ngadi bener, dah, ngapain dia nyari seblak malam-malam, mana lagi hujan angin dor dar gelap lagi, diculik kalong wewe kan jadinya.”

“Hush, jangan sembarangan kalau ngomong. Sagara pasti ketemu, kita harus yakin,” tegur Tyana, walaupun pikirannya selalu dihantui hal-hal buruk tentang Sagara tapi gadis ini berusaha yakin bahwa Sagara pasti baik-baik saja. Ia akan kembali ke sisi teman-temannya tak lama lagi, itulah doa dan juga harapan Tyana. Semoga Tuhan mengabulkannya.

“Adududuh, Omen ... Tyana ... kalian ngapain sih masih mikirin si cupu itu? Udahlah, dia mau ngilang atau mau apa kek itu bukan urusan kalian. Malah bagus kalau dia enggak balik lagi, artinya satu sampah di kelas ini jadi ilang. Kalau dia enggak ada, kelas kita kan jadi makin bersih. Enggak bau lagi, iya enggak, guys?”

“Yoiii, ha ha ha.”

“Eh, Wati, jaga bacot lo, ya!” sentak Omen murka, ia sampai berdiri dan siap menghampiri Wati—si ratu gosip kelas IPS 3 yang lambe-nya super lemes.

Naon euy, Men! Wani ka kabogoh aing?!” sahut Badar dari bangku paling belakang, kakinya mengacung naik ke atas meja sementara pantatnya masih menempel di kursi. Ia mengunyah permen karet, bandana merah mengikat kepalanya seperti tren remaja tahun 90-an. Arti dari ucapan Badar itu adalah “apa, Men, berani sama pacar gue?”

“Hajar wae, lah, Dar. Biar kayak si Saga, mampus sekalian!” kompor kawan badar yang menggulung lengan kemeja seragamnya.

“Kuy, kadieu maneh, Men!” sini lo men, itu tantangan dari Badar, ia sudah berdiri tegap sambil meninju-ninju telapak tangannya sendiri.

Omen yang kalah perawakan dari Badar langsung lemas, ia menunduk takut membuat Badar dan kawan-kawan plus Wati tertawa melihatnya.

“Ha ha ha, anjir cupu! Ngeselin banget ada manusia jenis Omen dan Saga di kelas ini, untung si Saga udah mati. Sini, Men, mending lo ikutan mati juga. Biar kelas ini benar-benar bersih dari limbah busuk.”

Brak!

Semua orang yang ada di kelas tersentak jantungnya saat Tyana menggebrak meja dengan sangat keras. Dia keluar dari mejanya, menendang kursi dengan asal sampai kursi itu meluncur lurus dan mengenai tulang kering Badar. Pria berbadan tinggi dan montok itu menjerit ngilu karenanya.

“Sialan! Tyana awas sia!” kata Badar di tengah kesakitannya.

“Sampah kelas ini tuh bukan Saga tapi manusia kayak lo sama si Wati! Orang enggak guna yang Cuma bisa menghardik yang lemah. Kalau lo enggak mau bantu cari, enggak mau ngasih simpati sama temen yang lagi kesusahan lebih baik lo diem. Mulut lo tuh bau bangke, anjing!”

Tangan Badar mengepal, begitu pun dengan Wati yang wajahnya sudah merah padam. Mereka hendak melawan namun seorang guru masuk ke kelas mereka dan penduduk kelas pun akhirnya bergegas mengisi bangkunya masing-masing. Badar menatap tajam Tyana dan Omen, ia mengacungkan  kepalan tangan pada kedua sahabat Saga itu dan dibalas acungan jari tengah oleh Tyana.

***

          Sementara itu, di tempat lain seorang pemuda tampak kebingungan melihat keadaan sekitar yang begitu asing baginya. Ia tak mengenal satu pun orang yang ditemuinya di sepanjang jalan. Pemuda itu ingin kembali ke tempatnya tapi sial karena ia tidak bisa mengingat apa pun tentang dirinya. Beberapa hari lalu, ia ditemukan tak sadarkan diri dengan keadaan mengenaskan di pinggiran kali. Dia baru membuka matanya setelah tiga hari dirawat oleh sang pemulung.

Pemulung itu menanyakan sederet pertanyaan yang hanya bisa ia dengar tanpa bermaksud memberikan jawaban. Bukannya tidak ingin, tapi lelaki ini tidak bisa memahami sebagian dari ucapan penyelamatnya. Karena tidak mengetahui asal usulnya dari mana, akhirnya sang Pemulung menyarankan sebaiknya lelaki itu mengikuti jejaknya untuk bertahan hidup di sana tapi anak itu tidak mau. Dia bersikukuh untuk pergi dan menemukan tempat tinggalnya, sang pemulung tidak bisa menahannya. Ia membiarkan anak itu pergi sendiri tanpa perbekalan. Jangankan untuk memberi anak itu bekal, untuk memenuhi kehidupannya sendiri pun pemulung itu masih kesulitan.

Tanpa arah tujuan, pemuda itu terus membuat kehebohan yang menyebabkan orang-orang sekitar membentak, memarahi, bahkan memakinya. Bagaimana tidak, pemuda ini seperti benar-benar kehilangan kewarasannya. Dia seenaknya berjalan di tengah jalan raya tanpa menengok kanan-kiri. Belasan kendaraan terpaksa berhenti mendadak karena ulah pemuda ini.

Bukannya meminta maaf atau mengatakan hal lain, saat dimarahi sang pemuda hanya diam dan menyimak. Menatap polos pada orang-orang yang menghardik dan mengklaimnya sebagai orang gila. Dia juga pernah dilempari batu oleh anak-anak saat dengan sengaja ia memecahkan bola plastik yang sedang dimainkan anak-anak itu. Dia mengambil dagangan orang sembarangan, diteriaki maling sampai dikejar masa bersamaan. Namun beruntung larinya sangat cepat sehingga pemuda ini bisa terbebas dari amukan massa.

Tinnn!!!

“Woi, kalau mau mati jangan di sini! Ke laut sana!” teriak sopir angkutan umum yang hampir menyenggol tubuh si pemuda saat ia menyeberang sembarangan lagi.

Sang pemuda tak memedulikan amukan sopir angkot itu, dia lanjut berjalan sambil terus mengedarkan pandangannya.

Budak belegug! Dikasih tahu malah ngacir, awas maneh nya!

Pemuda itu mendesah berat, tempat itu sungguh mengerikan untuknya. Sudah berhari-hari ia mendapat umpatan kasar seperti ini. Ingin rasanya dia beristirahat di suatu tempat tanpa mendapat hardikan orang-orang tapi rasanya sulit sekali. Baru ia duduk di pinggiran toko, seseorang silih berganti mengusirnya karena dianggap membuat takut para pelanggan atau sekadar merusak pemandangan.

Di kolong jembatan, akhirnya pemuda itu menemukan satu tempat yang bisa ia gunakan untuk beristirahat. Di sana, dia melihat beberapa anak sedang memainkan alat musik dan asyik bersenandung. Ada juga yang sibuk berteriak menawarkan barang dagangannya. Dirasa cukup aman dan tidak akan ada yang mengusirnya lagi, pemuda itu memberanikan duduk di salah satu kursi bata. Ada tanaman di pinggirnya, pemuda itu iseng menyentuhnya sampai tiba-tiba dadanya tersentak kaget.

“Tuh kan, bener ini kamu, ke mana aja, Ujanggg,” kata seorang pria tua yang mengenakan helm putih dan jaket hitam dan hijau khas pengendara ojek daring.

Pria tua itu terlihat gembira bertemu dengan sang pemuda, dia memegang tangan pemuda itu dengan penuh rasa syukur.

“Pulang kasep, kasian orang tua kamu nyariin. Udah seminggu Ibu kamu enggak berhenti nangis, ayo kita pulang biar Bapak antar.”

Pemuda itu melepaskan tangan si Bapak, menatap tajam dan enggan mengikuti apa yang diinginkan sang pengendara Oring—ojek daring.

“Jang Saga, kenapa? Kamu baik-baik aja kan, sendal kamu ke mana? Kenapa nyeker?”

“Anda siapa?” tanya pemuda yang dikenali sebagai Saga orang pengendara Oring itu.

“Ini mang Asep, tetangga orang tua kamu. Masa kamu lupa?”

“Orang tua saya?” cicit Saga merasa aneh namun jujur hatinya lega mendengar kalimat itu.

“Iya, orang tua kamu nyariin kamu ke mana-mana. Ayo pulang bageur, kasihan Ibu sama Bapak kamu.”

“Bapak tahu di mana rumah saya?”

“Jelas tahu, rumah kamu di pinggir rumah Bapak. Ayo, makanya kita pulang sekarang. Bapak akan antar kamu ke rumah orang tuamu dengan selamat, insha Allah.”

Dengan ekspresi yang masih bingung, Sagara memutuskan untuk mengikuti pengendara Oring itu. Ia belum tahu apa yang terjadi pada dirinya namun yang jelas untuk saat ini Sagara perlu tempat untuk berlindung setelah lolos dari bahaya yang nyaris merenggut nyawanya.

Bersambung

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Kikiw
narasinya padat, mudah di pahami tapi tetep ngasih kesan misterius
goodnovel comment avatar
Fatima Jea
terima kasih sudah singgah hehe
goodnovel comment avatar
KentangKing:)
aku suka gaya penyampaian ceritanya, gak bertele-tele tpi ttp enak dibaca. semangat thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dunia Baru Sagara   2. Dunia Baru Sagara

    Kepulangan Sagara disambut bahagia oleh kedua orang tuanya, mereka sujud syukur—berterima kasih pada Yang Maha Melindungi karena telah menjaga dan menyelamatkan putra mereka dari segala mala bahaya yang mengancamnya di luar sana. Wira berniat memberikan hadiah berupa uang tunai pada Mang Asep—tetangganya namun mang Asep menolak karena katanya ia ikhlas membantu Sagara. Justru mang Asep ikut senang sudah berhasil menemukan Sagara yang digosipkan sudah tak bernyawa. Berita simpang siur yang beredar selama ini tentang anak itu akhirnya berhasil dipatahkan.Berbanding terbalik dengan euforia keluarga Wira, Sagara yang merasa tak mengenali kedua orang tuanya sama sekali malah semakin bingung dengan keadaan yang menimpanya. Dunia yang dihuninya sekarang benar-benar baru, walau pemuda ini belum tahu dari mana ia berasal tetapi hati kecilnya yakin bahwa tempat itu memang bukan tempatnya. Orang tua yang sekarang sedang mengapingnya duduk di kursi bukan orang tuanya. Sagara

    Last Updated : 2021-10-14
  • Dunia Baru Sagara   3. Kembali Ke Sekolah

    Membimbing Sagara beradaptasi dengan tatanan kehidupan di bumi menjadi PR tersendiri bagi Omen dan Tyana. Selama satu minggu penuh mereka rutin mengunjungi kawannya itu sepulang sekolah, untuk mengajarkan berbagai hal yang tidak Sagara ketahui atau tepatnya hal yang lelaki itu lupakan. Tugas ini tidak semudah bayangan mereka karena memori yang terhapus dari kepala Sagara benar-benar parah. Sungguh mengkhawatirkan. Ia sampai kehilangan kemampuan membaca dan menulis, hal itu yang tidak bisa Omen dan Tyana terima dengan nalar sehat mereka.Kedua sahabat itu bahkan sampai googling pertanyaan apakah benar pengidap amnesia bisa kehilangan kemampuan akademis dasar mereka seperti halnya menulis, membaca, dan berhitung. Usai mencari informasi ternyata mereka mendapatkan jawaban dari seorang dokter bernama Talitha Najmillah Sabtiari di situs Alodokter, yang menjelaskan bahwa ingatan pada manusia itu dibedakan menjadi dua di antaranya ada ingatan eksplisit dan ingatan implisit.

    Last Updated : 2021-10-14
  • Dunia Baru Sagara   4. Bertarung Melawan Badar

    Sekeras apa pun Tyana dan Omen berpikir, mereka sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Sagara. Ada apa dengan anak itu, mengapa semua perubahan yang terjadi padanya benar-benar di luar nalar? Sebelum hilang ingatan, Sagara mana berani melawan bahkan menantang Badar. Ditatap dari jauh saja Sagara sudah ciut dan menunduk dalam, lantas kenapa tiba-tiba di jadi seperti ini? “Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus melapor pada ayahku supaya si Badar enggak macam-macam sama kamu nanti, Ga.” “Tidak usah Tya, aku akan baik-baik saja.” “Jangan gila kamu, Saga! Kamu teh lupa ya kalau si Badar orangnya sangat gendeng? Dia bisa membahayakan nyawa kamu kalau kamu menyanggupi untuk bertarung sama dia sepulang sekolah nanti.” “Orang sepertinya memang harus dilawan, jika terus dibiarkan maka dia akan semakin bertindak semena-mena. Menganggap dirinya paling hebat dan merajakan dirinya sendiri, bukankah kamu sendiri sering menjadi korbannya Men?”

    Last Updated : 2021-10-14
  • Dunia Baru Sagara   5. Janji Sagara

    Sagara membuka matanya, mendapati dirinya mengambang di tengah udara. Dia terbelalak, sangat terkejut dengan situasi aneh yang dialaminya saat ini.“D-di mana ini?” tanya Sagara dengan bingung.“Mimpi?” batinnya lagi.Sagara menjatuhkan pandangannya ke bawah, lautan luas terbentang di sana. Terlihat sebuah kapal mewah dengan sejumlah orang berdiri di sana, pemandangan yang begitu familier untuk Sagara.“Serang mereka!”Kerumunan orang dari dua sisi kapal bertemu di tengah, saling beradu pedang dan ada pula yang meluncurkan busur panah. Satu persatu orang-orang itu berjatuhan, terbunuh mengenaskan di tangan lawan. Arah pandang Sagara mengikuti pelarian sosok yang paling mencolok di matanya. Pria itu memegangi dada atas bagian kanan yang mengeluarkan banyak darah, dia berdiri di ujung kapal sambil menatap tajam lawannya. Tidak ada celah untuk menghindar apalagi melarikan diri.“Kau harus mati!” u

    Last Updated : 2021-11-09
  • Dunia Baru Sagara   6. Kembali Lebih Kuat

    “Saga, sebaiknya kita jangan lewat sini,” bisik Omen saat Saga mengajaknya melewati koridor kelas IPS 1. Jalur itu adalah jalan paling cepat menuju lapangan olahraga.“Kata Tya kita harus cepat-cepat ke lapangan, sebentar lagi pelajaran olahraga akan dimulai,” kata Saga mengingatkan.“Saya ngerti kamu takut telat tapi lebih baik kita cari aman saja. Kamu enggak lihat anak-anak IPS 1 lagi berkumpul di luar kelas? Kalau mereka lihat kita sengaja melintas di sana, kita bukan hanya akan telat tapi kemungkinan enggak akan bisa ikutan olahraga sama sekali,” tegas Omen dengan raut khawatir.Saga melihat ke arah depan, pada lima anak laki-laki yang sedang ketawa-ketiwi di jam pelajaran kosong, entah menertawakan apa. Sebenarnya masih ada jalan lain untuk tiba di lapangan olahraga, hanya saja jalannya cukup memutar dan memerlukan waktu yang lebih banyak.“Kamu masih takut sama mereka?”“Jelas saya takut,

    Last Updated : 2021-11-10
  • Dunia Baru Sagara   7. Keanehan di Tribakti

    Saga keluar dari ruang kesiswaan dengan raut masam, dia merasa sedikit keberatan dengan hukuman yang dijatuhkan guru kesiswaan padanya. Saga sudah menjelaskan bahwa akar masalah ini berasal dari Ayus dan kawan-kawan. Ia melawan hanya untuk melindungi diri, sayangnya pihak kesiswaan tak menerima pembelaan itu. Semua yang terlibat pertengkaran di depan kelas IPS 1 tadi wajib dikenakan sanksi untuk memberi efek jera.Hukuman yang Saga dapat adalah membersihkan toilet pria di lantai satu. Toilet yang paling sering digunakan dan paling cepat kotor setiap harinya. Dia memegang alat pel sedangkan Omen sudah siap menyikat wc."Tidak seharusnya kita melakukan ini," keluh Saga, entah mengapa harga dirinya menolak mentah-mentah diperla

    Last Updated : 2021-11-10
  • Dunia Baru Sagara   8. Pangeran Sekolah

    Saga pikir peringatannya sudah cukup keras untuk menekan keberanian Ayus terhadapnya. Ternyata dia keliru, siswa berjiwa preman itu belum kapok dan tidak ingin tunduk begitu saja pada Saga. Ia dan dua teman barunya—bukan korban pukul Saga sebelumnya—mendatangi toilet di lantai satu. Menggebrak pintu sampai membuat Saga dan Omen terkejut.“Ups, sori, gue ngagetin kalian, ya?” kata Ayus dengan wajah tanpa dosa.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Saga maju menghadap Ayus dengan beraninya.“Cuma pengin berkunjung aja dan memeriksa pekerjaan kalian, siapa tahu ada yang mangkir dari hukuman. Kita datang untuk mendisiplinkannya.”“Kalau pun ada yang harus didisiplinkan di sini, maka kamulah orangnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk saling mengunjungi, selesaikan saja hukumanmu sendiri!”“Wah, bener kata lo, Yus, dia emang enggak waras,” celetuk salah seorang kawan Ayus—ters

    Last Updated : 2021-11-11
  • Dunia Baru Sagara   9. Bintang Baru

    Sagara, Omen, dan Tyana sedang dalam perjalanan menuju kelas. Sebentar lagi waktu istirahat tiba, pelajaran olahraga selesai lebih awal karena gurunya ada kepentingan mendadak. Mereka diperbolehkan masuk kelas setelah semua siswa kebagian praktik memasukkan bola ke ring. Ketua kelas yang bertugas mengawasi kegiatan itu. Setelah semuanya berakhir penduduk IPS 3 dipersilakan kembali ke kelas dan tentu saja tidak semua siswa patuh. Kebanyakan dari mereka langsung berpencar ke segala tempat meski bel istirahat belum resmi berkumandang.“Sagara!” panggil seseorang dari arah belakang, lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh.Seorang gadis berlari kecil dan memberikan sebotol minuman jeruk dingin pada Saga, “Buat kamu, pasti capek kan tadi abis dihukum.”Sagara hendak menerima minuman itu namun tangannya terjegal tangan Tyana, “Apa, nih, maksudnya? Kenapa kamu ngasih minuman buat Saga?” tanya Tyana curiga.“Enggak ad

    Last Updated : 2021-11-11

Latest chapter

  • Dunia Baru Sagara   131| Harapan Terakhir

    “Kau marah?” ungkap Gara setelah duduk di samping Larasati yang sedang menatap hamparan laut yang sebelumnya mereka sebrangi demi tiba di tempat ini.“Menurutmu?” ketus Laras.“Aku tahu kau kesal, Laras. Tapi aku tidak bisa mengabaikan orang yang sedang membutuhkan pertolongan kita. Kau tahu, di dunia lamaku, saat aku menghadapi kesulitan, saat aku dirundung oleh bajingan-bajingan gila, tidak banyak yang mengulurkan tangannya untuk membantuku. Kebanyakan dari mereka malah menertawakan dan menghardikku. Aku dipojokkan, mereka menginjak-injak harga diriku tanpa perasaan, seolah aku memang pantas hidup menderita di mana pun aku berada. Kau tahu seberapa frustrasinya aku saat itu?”Laras masih diam, menyimak tanpa niat menoleh pada Gara. Perasaannya sudah mulai tersentuh dengan cerita itu, namun gengsinya menahan Laras untuk tetap bersikap dingin.“Aku kesakitan, aku putus asa, dan benar-benar ingin menyerah. Rasanya seperti ingin mati. Aku bertanya kepada diriku sendiri, dosa apa yang k

  • Dunia Baru Sagara   130| Perdebatan Kecil

    “Perempuan bercadar motif edelweiss dan bermata biru. Hm, bagaimana bisa kita menemukan orang dengan petunjuk seminim itu?” gumam Kumbara sambil mengikuti kedua temannya, melangkah dari satu batu ke batu lainnya.Saat ini mereka tengah menyeberangi sungai yang menjadi pembatas antara kerajaan Purwodadi dengan Giri Asih. Setelah sebelumnya mereka bertiga sempat istirahat untuk shalat zuhur, dan makan perbekalan yang diberikan oleh istri pendekar Karsayasa.“Pasti ada jalan, kau tenang saja,” ungkap Gara.“Aku juga penasaran dengan sosok pendekar Edelweiss. Sehebat apa dia sampai bisa menjadi satu-satunya pendekar wanita terpilih,” tukas Larasati diwarnai dengan raut wajah cemburu.“Sudahlah, ini bukan waktu yang tepat untuk iri dengki, Larasati. Kau juga sudah hebat, syukuri saja apa yang kau miliki saat ini. Jangan pernah bermimpi untuk melampaui orang lain demi ambisimu.”Aliran air di sungai itu cukup tenang, mereka bisa menyeberang dengan santai tanpa takut terbawa arus. Meskipun t

  • Dunia Baru Sagara   129| Edelweiss

    Meja makan menjadi ramai oleh tawa, Gara dan para penghuni kediaman pendekar Karsayasa sedang sarapan. Di ruangan itu terdapat meja panjang dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Istri pendekar Karsayasa sengaja menyiapkan sajian istimewa untuk menjamu para tamunya yang sebentar lagi akan meninggalkan Purwodadi. Waktu singgah Gara di kerajaan itu memang jauh lebih singkat dari dugaan.Di satu sisi dia bersyukur karena dengan begitu ia bisa mempersingkat waktu uji kehebatan. Targetnya adalah menyelesaikan tujuh tahapan uji kehebatan sebelum purnama kedua belas. Setiap hari, pria itu selalu dilanda khawatir—takut upayanya melebihi batas waktu yang ditentukan. Kembali saat semua keraguan dan kewaswasan menyerangnya, Gara terus menerus menggumamkan bahwa tugasnya hanyalah berusaha sebaik mungkin. Perkara hasil, biarkan itu menjadi ketetapan Yang Maha Mengetahui.“Ahh, ini makanan terenak yang aku makan setelah kurang lebih empat hari terombang-ambing di laut lepas,” ungkap Kumbara yang

  • Dunia Baru Sagara   128| Sudah Lulus?

    Baru saja tiba di pulau, Gara disambut oleh sekelompok orang asing bersenjata yang lagi dan lagi membuat ketiganya siaga.“Belum genap satu jam kita melewati badai aneh, sekarang ujian apa lagi ini ya Allah?” tukas Kumbara tak habis pikir.Sesulit ini perjuangan mereka untuk mengantarkan Gara menjadi pendekar terhebat.“Sepertinya mereka penduduk setempat,” kata Larasati memindai penampilan para prajurit yang menghadang mereka.Sebenarnya barisan prajurit itu tidak benar-benar menghadang. Mereka hanya berdiri tegap dengan persenjataan lengkap seraya membentuk pagar seolah tengah menanti kehadiran seseorang.“Kau tahu dari mana?” tanya Gara.“Lihatlah tanda pengenal yang menggantung di masing-masing sabuk mereka. Semuanya menunjukkan lambang kerajaan Purwodadi, bisa dipastikan mereka adalah utusan kerajaan.”Beberapa orang membuka barisan bersamaan dengan bunyi tapak kuda yang kian mendekat. Seorang pria gagah berambut panjang melompat turun dari kuda yang ditungganginya. Pria itu men

  • Dunia Baru Sagara   127| Melawan Monster

    Kemunculan Gara dari pusaran air tak melemahkan amarah monster laut damai. Ia terus memukul-mukul permukaan air melalui tentakel raksasanya. Situasi di sana kacau sekali. Tiba-tiba saja, awan mendung berkumpul membentuk formasi yang menyeramkan. Kilat petir menyambar dan bermunculan di langit gelap. Angin bertiup dengan kecepatan tinggi, menciptakan gulungan ombak besar dan membuat laut bergelombang hebat.Gara baru menyadari keberadaan monster itu, dia pun terkejut karena kini dirinya tengah melayang di udara dengan tameng air yang mengelilinginya. Sungguh di luar nalar, ia merasa seluruh tubuhnya kembali bugar. Persis seperti yang pernah dialaminya ketika melawan pendekar Galasakti sebelumnya.Padahal tadi banyak luka yang diperoleh akibat pertempuran sengitnya dengan panglima Arash. Sagara ingat, dirinya nyaris hilang kesadaran akibat kobaran api yang hampir membakar seluruh tubuhnya. Lantas apa yang terjadi sekarang? Makhluk aneh apa yang ada di depannya itu?

  • Dunia Baru Sagara   126| Badai Tak Terduga

    “Besar juga keberanianmu, pendekar Gara. Kukira kau akan melarikan diri seperti kedua temanmu tadi,” kata Panglima Arash, pria bertopeng yang akhirnya kini mendarat di kapal nelayan.Panglima Arash sengaja melarang pasukannya untuk turun tangan kali ini. Dia ingin head to head, atau menghabisi musuh bebuyutannya ini dengan tangannya sendiri. Kali ini, Arash ingin memastikan bahwa urat nadi pendekar Gara benar-benar terputus dengan tebasan tangannya. Arash sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menghadiahkan penggalan kepala Gara kepada yang mulia Batara. Calon pemimpin Ambarwangi dari fraksi Barat.“Untuk apa aku melarikan diri di saat aku ingin sekali bertemu denganmu, Panglima Arash,” kata Gara berani sekali. Dia juga gamblang menyebutkan nama Arash dan itu cukup membuat sang panglima terkejut.“Rupanya kau sudah tahu siapa aku,” kata Arash mengakui ketelikan Gara kali ini.“Tentu saja, aku

  • Dunia Baru Sagara   125| Aku Tidak Akan Kalah

    Menjelang tengah malam, Gara masih belum memejamkan mata sama sekali. Entah mengapa rasa kantuk serta merta hilang dan tak terasa barang sedikit. Dia sudah berusaha mengubah posisi—menghadap kanan, kiri, telentang, tengkurap. Semua sudah ia coba namun tetap tak mendapat titik nyaman. Dia sendiri tidak mengerti mengapa bisa mengalami hal itu. Di saat semua orang tertidur dengan pulasnya, Gara justru gelisah seorang diri.Merasa upayanya tidur tidak akan berhasil, pemuda itu pun memutuskan keluar ruangan. Lebih baik ia menghirup udara segar di luar, siapa tahu perasaannya bisa membaik. Derap langkah Gara terdengar begitu jelas, bersahutan dengan gemuruh angin dan suara ombak laut. Gara berjalan ke arah dek kapal. Ia berdiri di sana sambil matanya menyusuri sekitar. Pria itu yakin tak ada satu pun yang terjaga selain dirinya. Namun, Gara merasa seseorang tengah memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan.Pria itu menarik napas panjang, kemudian menahannya beberapa d

  • Dunia Baru Sagara   124| Laut Damai?

    “Akhirnya, kita tiba,” kata Larasati bersamaan dengan senyum mengembang.Lega sekali rasanya bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat setelah kurang lebih empat hari mengarungi hamparan laut mega luas dari kerajaan Kentamani ke kerajaan Purwodadi.“Kau tampak bahagia sekali, Laras, bahkan senyummu lebih lebar dibanding ketika aku berhasil mengalahkan pendekar Galasakti. Sejauh yang aku ingat, dalam perjalanan kali ini juga kau jauh lebih tenang,” kata Gara yang berdiri di samping perempuan itu.Mereka berdua sedang berdiri di bagian depan kapal, memandang laut dengan gradasi warna biru dan hijau yang terpadu indah, ditemani refleksi langit yang kini berubah menjelang jingga.“Entahlah, aku hanya menyukai perjalanan kali ini dibanding perjalanan sebelumnya. Apa kau tidak bisa merasakan ketenangan yang dibawa laut ini pada kita?”“Maksudmu?”“Sudah bukan rahasia lagi jika kerajaan Purwodadi terkenal dengan kawasan lautnya yang sangat luas. Selain terkenal dengan kekayaan maritimnya, l

  • Dunia Baru Sagara   123| Ambisi Panglima Arash

    Selepas menemui tuannya, panglima Arash meninggalkan area istana dan berkunjung ke markasnya. Ia meluapkan emosi dengan memanah, puluhan anak panah melesat kencang menembus sasaran yang jauh di depan sana. Tidak ada yang melenceng, semuanya menancap tepat di area merah. Kemampuannya dalam hal ini memang tidak perlu diragukan. Dia sangat mumpuni dalam bertarung, memanah, berkuda, dan merakit senjata tajam. Wajar jika kini dia menyandang gelar sebagai panglima perang yang paling disegani di fraksi barat. Fraksi yang menjadi dalang dari carut marutnya pemerintahan di kerajaan Ambarwangi dan yang telah mencelakai raja Majapati.Saat panglima Arash fokus meluapkan emosi, kedatangan seorang prajurit menghentikan kegiatan itu. Panglima Arash seperti sudah tahu maksud dan tujuan prajurit itu. Ya, memang sebelumnya dirinya yang meminta bawahannya itu untuk menyelidiki sesuatu. Panglima Arash menyimpan peralatan memanahnya, turun dari podium panah dan mengajak bawahannya itu untuk mengobrol di

DMCA.com Protection Status