Saga pikir peringatannya sudah cukup keras untuk menekan keberanian Ayus terhadapnya. Ternyata dia keliru, siswa berjiwa preman itu belum kapok dan tidak ingin tunduk begitu saja pada Saga. Ia dan dua teman barunya—bukan korban pukul Saga sebelumnya—mendatangi toilet di lantai satu. Menggebrak pintu sampai membuat Saga dan Omen terkejut.
“Ups, sori, gue ngagetin kalian, ya?” kata Ayus dengan wajah tanpa dosa.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Saga maju menghadap Ayus dengan beraninya.
“Cuma pengin berkunjung aja dan memeriksa pekerjaan kalian, siapa tahu ada yang mangkir dari hukuman. Kita datang untuk mendisiplinkannya.”
“Kalau pun ada yang harus didisiplinkan di sini, maka kamulah orangnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk saling mengunjungi, selesaikan saja hukumanmu sendiri!”
“Wah, bener kata lo, Yus, dia emang enggak waras,” celetuk salah seorang kawan Ayus—tersenyum sinis pada Saga.
“Makanya gue minta bantuan sama kalian buat menyadarkan siapa dia dan di mana posisinya sekarang. Gue muak lihat gayanya yang udah mulai sengak Cuma gara-gara berhasil nonjok muka gue.”
Dua teman Ayus kali ini terlihat lebih kuat dari teman-teman yang sebelumnya. Saga tidak gentar sekali pun orang-orang itu terus mengintimidasi dan memprovokasinya. Dia berdiri tegap sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Sikap yang terlalu santai untuk orang yang sedang menghadapi bahaya.
“Gue mulai kesel, Yus,” ujar teman Ayus maju satu langkah.
“Kasih paham aja langsung, jangan ditahan-tahan. Satu gigi copot kayaknya seru, tuh,” ungkap Ayus diiringi seringaian.
Orang itu bersiap menyerang Saga, kerah baju Saga sudah dicengkeram erat, tinjunya melayang di udara sampai tiba-tiba ....
“Sudah kuduga kalian di sini,” kata seorang siswa bersuara tegas, semua orang menoleh ke arahnya.
Ayus dan dua temannya mendesis berat, mereka terlihat tidak senang melihat kehadiran siswa itu.
“Enggak usah ikut campur, ini bukan urusan lo!” tukas Ayus sinis.
“Aku juga tidak minat ikut campur urusan kalian, kedatanganku ke sini hanya ingin menginformasikan bahwa hukuman Sagara dan Omen berubah. Mereka disuruh lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali. Sebagai gantinya, kalian bertiga yang membersihkan toilet ini.”
“Jangan mengada-ada, gue tahu ini akal-akalan lo buat bantuin mereka, kan?”
Orang itu segera mengeluarkan ponsel, memutar pesan suara yang dikirim guru kesiswaan padanya. Isi pesan suara itu persis seperti yang disampaikan siswa itu.
“Sudah cukup jelas bukan?” ungkap siswa itu dingin membuat Ayus dan kawannya tak berkutik, aura siswa itu sangat kuat sampai membuat Ayus pasrah saja menerima perintahnya. “Sagara, Omen, sebaiknya kalian cepat ke lapangan sebelum hukuman kalian semakin diperbanyak.”
“Ah, iya, Dam, terima kasih. Yuk, Ga, buruan!” ajak Omen cepat-cepat menarik tangan Sagara yang masih penasaran dengan sosok siswa yang disegani Ayus dan kawan-kawan itu.
Ia tak sempat bertanya karena siswa itu langsung pergi setelah memastikan Omen dan Sagara keluar dari toilet.
***
Kedua sahabat itu baru lari lima keliling dari total sepuluh yang diperintahkan. Omen terengah-engah dan mengeluh kelelahan sejak awal sesi lari. Peluhnya bercucuran, ingin segera menyelesaikan hukuman ini, mau meledak rasanya jantung anak itu. Namun ia juga tidak bisa berhenti begitu saja karena ada anak OSIS yang mengawasi pergerakan mereka.
“Huh ... huh ... enggak kuat lagi saya, Ga, mau meninggoy rasanya, hhh.”
“Sedikit lagi, Men, ayo semangat!” kata Saga tidak terlihat lelah sama sekali, napasnya juga masih normal seperti orang sedang berjalan.
Di tempat yang sama namun di sisi berbeda, Tyana sedang memperhatikan kedua sahabatnya menjalani hukuman. Ia masih mengikuti pelajaran olahraga sehingga tidak bisa menghampiri atau sekadar menanyakan alasan kedua temannya dihukum.
“Mereka dihukum gara-gara ketahuan berkelahi sama Ayus dkk, Tya,” kata seorang gadis yang berdiri di samping Tyana sambil menunggu giliran untuk memasukkan bola basket ke dalam ring.
“Hah, berkelahi? Kamu tahu dari mana?”
“Aku dengar dari Wati dan Wati tahu dari temannya yang ada di kelas IPS 1. Tadi Saga mau lewat ke depan kelas mereka tapi malah diusilin sama Ayus. Akhirnya mereka bertengkar, ada videonya kok. Nanti kamu lihat aja, Saga keren banget pas melawan Ayus dkk.”
“Mereka memang enggak bisa dibiarkan berdua, selalu saja kena masalah pas aku enggak ada,” keluh Tyana, gadis yang di sisinya hanya tersenyum tipis.
“Kamu kayak guardian angel buat mereka, Tya.”
Tyana menoleh, “Guardian angel?” cicit gadis tomboi itu dengan alis terangkat satu.
“Iya, kamu pelindung terbaik Saga dan Omen. Aku bersyukur ada orang kayak kamu di kelas kita. Sebenarnya aku juga keberatan sama sikap teman-teman di kelas yang selalu merundung Omen dan Saga hanya karena mereka murid beasiswa. Aku selalu ingin menolong mereka tapi kamu tahu sendiri seburuk apa dampak yang akan aku terima kalau aku nekat nolongin mereka. Aku enggak punya keberanian sebesar kamu. Begitu pun dengan teman-teman yang lain, masih banyak yang peduli sama Saga dan Omen sebenarnya, Cuma mereka takut dan enggak punya pilihan selain diam. Aku bukan mau memberikan pembelaan atau pura-pura baik, Cuma memang begitu adanya, Tya. Aku ingin kamu tahu kalau bukan Cuma kamu yang ada di pihak Saga dan Omen.”
“Aku paham, Din, kamu enggak salah. Aku juga enggak benci semua orang di kelas kita. Cuma geram aja sama para perundung sialan itu! Kapan sih sekolah kita bisa bebas dari makhluk-makhluk kayak gitu?”
“Susah sih, soalnya kasus bullying ini juga udah turun menurun dari senior sebelum kita, ya. Jadi agak mustahil buat membasminya sampai ke akar, pasti selalu ada regenerasi dari tahun ke tahunnya.”
“Emang, itu juga yang bikin aku muak sekolah di sini. Kalau bukan karena Papa dan dua orang bodoh itu, aku udah lama keluar dari sini.”
Dinda tersenyum lagi, “Aku harap kamu tetap bertahan sampai akhir, Tribakti butuh orang-orang kayak kamu dan kak Damian yang berani membela kaum lemah. Tahu enggak, tadi juga Saga sama Omen hampir dipukulin lagi di toilet sama Ayus. Untung ada kak Damian yang nolongin mereka dan nyuruh Saga sama Omen lari ke sini.”
“Oh, ya?” kaget Tyana.
“Huum, aku tahu dari Wati juga.”
Tyana termenung, ia menoleh lagi pada dua sahabatnya, setelah itu lamunannya buyar ketika sang guru memanggil untuk praktik basket.
Kembali pada Sagara dan Omen, mereka baru saja menyelesaikan putaran ke sepuluh. Saat ini keduanya duduk selonjor di pinggir lapangan sambil meneduh dan mengembalikan energi yang terkuras habis saat lari. Omen tampak begitu tersiksa sedangkan Saga melihatnya sambil tersenyum tipis. Tiba-tiba laki-laki itu mengingat sesuatu, ada yang ingin dia tanyakan pada Omen.
“Men, laki-laki tadi siapa?”
“Yang mana? Hhh ... huh ... hhh.”
“Yang tadi menolong kita.”
“Oh, itu kak Damian.”
“Siapa dia, kenapa Ayus dan teman-temannya terlihat takut sama dia?”
“Dia senior kita, anak kelas XII IPA-1 sekaligus ketua OSIS SMA Tribakti.”
“Ketua OSIS?” cicit Saga bingung lagi dengan istilah itu.
Omen mendesah, ia yang awalnya berbaring mengubah posisi menjadi duduk dan menghadap kawannya itu.
“Kebangetan amat ini penyakit amnesiamu, Ga, semua hal kamu lupain. Apa perlu saya kasih kamus bahasa Indonesia 100 miliar biar kamu paham semua kosa kata yang ada?”
“Boleh, nanti aku baca setiap hari biar enggak banyak bertanya hal dasar sama kamu.”
Omen memejam berat, tak menyangka Sagara akan menanggapi serius candaannya. Ia memegang tengkuknya yang terasa berat itu sebagai wujud rasa frustrasi.
“Bener-bener ya si Saga! Bikin emosi jiwa, astagfirullah ...,” Omen mengatur emosinya sejenak lalu lanjut bercerita, “OSIS itu semacam organisasi siswa dalam sekolah, tugasnya mengelola kegiatan siswa dengan tujuan pengembangan dan pembinaan siswa gitu. semua kegiatan di sekolah yang berhubungan sama siswa diatur tuh sama OSIS, mereka juga tangan kanan guru-guru dalam mengawasi kita.”
“Oh, apa organisasi itu sangat penting di sekolah ini?”
“Bisa dibilang begitu, soalnya kebanyakan kegiatan penting di sekolah pasti melibatkan OSIS dan menjadi ujung tombak citra sekolah gitu, loh.”
“Apa semua siswa takut pada organisasi itu?”
“Tidak semua tapi rata-rata anggota OSIS sangat disegani apalagi kepengurusan yang sekarang, di bawah kepemimpinan kak Damian OSIS Tribakti maju banget. Prestasinya nomor wahid, dah!”
“Itu artinya hanya orang-orang terpilih yang bisa masuk organisasi itu?”
“Yap, betul sekali! Jadi setiap tahun itu selalu ada pergantian kepengurusan, kan, nah diadakanlah perekrutan anggota OSIS yang cukup panjang proses seleksinya. Banyak banget tes yang diujikan sampai puncaknya kita ikut pelantikan dan baru bisa dianggap sah menjadi anggota OSIS.”
“Harusnya kita ikut organisasi itu supaya orang-orang enggak merendahkan kita lagi, Men,” celetuk Saga otomatis membuat pikiran Omen kosong, beberapa detik lelaki itu hanya menatap kawannya sambil mengerjap beberapa kali.
“Orang amnesia bisa berubah jadi idiotkah?” gumam Omen bertanya pada dirinya sendiri.
“Hah, kamu bilang apa?”
“Enggak, saya enggak ngomong apa-apa. Saya juga enggak denger apa-apa, budek saya mah, asli.”
“Sepertinya hanya itu satu-satunya solusi agar kita bisa dianggap ada di sekolah ini, Men. Supaya orang-orang memperhitungkan keberadaan kita dan tidak lagi memandang kita sebelah mata.”
“Makan yuk, Ga, lapar banget kayaknya cacing-cacing di perutmu, tuh!”
Omen tidak mau menanggapi kegilaan kawannya, sumpah bisa-bisa dia yang gila kalau meladeni Sagara yang sedang melantur.
“Aku serius, Men, bagaimana caranya masuk ke organisasi itu? Aku ingin menjadi sekuat laki-laki tadi.”
“Kamu? Mau menjadi seperti kak Damian?”
“Ya, aku pasti bisa melakukannya.”
Ini lelucon paling konyol yang pernah Omen dengar, terlalu lucu sampai ia tidak sanggup untuk menertawakannya. Dalam hati Omen miris melihat keadaan sahabatnya, sepertinya tekanan psikologis Sagara benar-benar parah.
“Gini, Ga, gini. Saya akui kemampuan bela diri dan pertahananmu sekarang sudah meningkat dibanding dulu. Tapi please, jangan terlena dengan semua itu. Walau amnesia saya yakin kamu masih bisa berpikir dengan jernih. Kita enggak pinter tapi waras itu wajib, kalau kamu mau jadi seperti kak Damian itu bagai pungguk merindukan bulan. Tahu enggak artinya apa?”
“Apa?”
“Mustahil! Kamu membayangkan sesuatu yang enggak mungkin kamu gapai, itu artinya!”
“Tidak ada yang mustahil di dunia ini.”
“Tentu ada, kemustahilan bagi orang rendah seperti kita itu sangat banyak, Ga.”
“Kita tidak rendah, Men, kita setara dengan mereka,” tegas Sagara penuh keyakinan.
“Iya deh iya, terserah kamu, Ga, bodo amat! Yang penting saya udah ngasih tahu.”
“Aku serius, apa yang harus kulakukan agar bisa menjadi seperti Damian?”
“Hush! Yang sopan kalau manggil senior, kedengeran orang bisa kena masalah lagi kita.”
“Jawab pertanyaanku, Men!” desak Saga tidak peduli dengan peringatan Omen.
“Jadilah pangeran sekolah kalau kamu mau seperti kak Damian.”
“Pangeran sekolah?”
“Ya, pangeran sekolah. Unggul di akademis, aktif di organisasi, populer di lingkungan sosial, penampilan kece badai, dompet tebal, dan disayang para petinggi sekolah. Sanggup kamu melakukannya?”
Sagara, Omen, dan Tyana sedang dalam perjalanan menuju kelas. Sebentar lagi waktu istirahat tiba, pelajaran olahraga selesai lebih awal karena gurunya ada kepentingan mendadak. Mereka diperbolehkan masuk kelas setelah semua siswa kebagian praktik memasukkan bola ke ring. Ketua kelas yang bertugas mengawasi kegiatan itu. Setelah semuanya berakhir penduduk IPS 3 dipersilakan kembali ke kelas dan tentu saja tidak semua siswa patuh. Kebanyakan dari mereka langsung berpencar ke segala tempat meski bel istirahat belum resmi berkumandang.“Sagara!” panggil seseorang dari arah belakang, lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh.Seorang gadis berlari kecil dan memberikan sebotol minuman jeruk dingin pada Saga, “Buat kamu, pasti capek kan tadi abis dihukum.”Sagara hendak menerima minuman itu namun tangannya terjegal tangan Tyana, “Apa, nih, maksudnya? Kenapa kamu ngasih minuman buat Saga?” tanya Tyana curiga.“Enggak ad
Tujuan kepala sekolah menghimpun anak-anak kelas XI adalah untuk mengumumkan bahwa SMA Tribakti akan mengadakan acara Open House untuk pertama kalinya. Berita ini mengejutkan mengingat sejak awal berdiri SMA Tribakti tidak pernah mengadakan Open House untuk menarik minat orang tua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana. Tanpa promosi saja sudah banyak yang berbondong-bondong datang ke Tribakti, begitu pikir siswa-siswanya. Mereka menganggap acara ini tidak begitu penting tapi keputusan lembaga sudah ditetapkan dan tak ada yang bisa menggugat apalagi mencegahnya. Pengumuman kepala sekolah perihal open house tidak berlangsung lama, mungkin hanya setengah jam. Kemudian forum diambil alih oleh anggota OSIS yang mengumumkan masa pendaftaran rekrutmen OSIS sudah dimulai sejak hari ini. "Saga mending kamu pikir-pikir lagi deh tentang keputusan kamu ini," ujar Tyana mengingatkan, mereka sudah akrab lagi dan melupakan perang dingin singkat yang sempat
“Yang lurus Saga, yang lurus, arahkan bolanya tepat ke tengah ring!” Omen berteriak emosi sambil memungut bola yang memantul jauh meninggalkan area lapangan. “Coba sekali lagi, Ga, fokus ke ringnya. Posisi badan dan kaki juga mesti bener, nah tangan kiri kamu di bawah terus nanti dorong pakai tangan kanan. Pantulkan bolanya ke papan dulu dengan kecepatan yang pas biar bola bisa langsung mengarah ke ring,” tutur Tyana melatih dengan sabar, gadis tomboi ini pernah ikut klub bola basket saat di SMP dulu, sedikit banyak dia masih mengingat teknik dasarnya. Saga mencoba mendrible bola sekali lagi, dia melempar bola itu sesuai instruksi Tyana, sayangnya si bundar tak kunjung menjebol ring. “Arghh ... mampus! Udah mampus aja, kamu, Saga!” teriak Omen frustrasi, sudah dua jam mereka berlatih di lapang outdoor yang ada di kawasan tempat tinggal Sagara. Mereka sempat meminta izin pada pihak desa untuk berlatih di sana dan petugas desa mengizinkan. “Kal
Saga kembali ke rumah tepat waktu sesuai kesepakatannya dengan Wira. Begitu tiba di halaman depan, orang tuanya tampak kebingungan seperti tengah mencari sesuatu. Bukan hanya mereka saja, tapi mang Asep—tukang ojek yang waktu itu menolong Sagara—juga terlihat sibuk mencari seseorang bernama Ningsih. “Ada apa, Bu?” tanya Saga usai mencium tangan Euis. “Ningsih hilang, ibu dan bapak sedang membantu mang Asep mencarinya.” “Ningsih itu siapa?” “Dia anak perempuan mang Asep, kondisinya sedikit berbeda dengan kita. Mang Asep sudah mencari ke mana-mana tapi Ningsih tak kunjung ketemu. Ibu khawatir dia mengilang kayak kamu waktu itu, mungkin nyasar jauh karena selama ini Ningsih enggak pernah ke mana-mana,” jelas Euis detail sekali. “Ningsih juga tidak bisa bicara, hal itu pasti akan mempersulitnya untuk menemukan jalan pulang,” tambah Wira. “Seperti apa sosok Ningsih? Apa ada gambarnya biar aku bantu mencari,” tawar Sagara ingin balas budi pa
“Wah, enggak bisa bicara euy, mantep nih, enggak akan ketahuan siapa-siapa, ha ha ha.” “Mantap sih, Cuma kurang seru juga nanti enggak ada desahan yang ahh-aduhai, ha ha ha.” “Neng geulis mau ke mana malam-malam sendirian, main sama akang aja, yuk, mau enggak? Dijamin seru, kok.” Gadis 16 tahun itu menggeleng, wajahnya pucat pasi karena ketakutan. Ia mundur dan berusaha untuk berteriak tapi tak sedikit pun suara keluar meski ia sudah berusaha keras. Ningsih menangis, sekujur tubuhnya bergetar, terus mundur guna menghindari sentuhan nakal para berandal yang menjegal langkahnya saat mencari jalan pulang. “Asyiknya main di mana ya? Masa di gang sempit kumuh kayak gini, kasihan si Neng geulisnya, nanti kotor bajunya. Terus kulit putihnya juga bakal kena lumpur atau batu, sayang banget pokoknya kalau lecet.” Berandal itu mencolek dagu Ningsih yang langsung dihempas kasar oleh Ningsih sebagai bentuk perlawanan. Ia tidak sudi disentuh berandal kotor
Janji permen karet yang semalam dibuat Sagara dan Ningsih sudah terpenuhi. Kini Sagara lebih percaya diri dengan penampilannya, tak ia sangka Ningsih begitu pandai memotong rambut. Modelnya pun begitu kekinian dan terlihat sangat cocok untuk Sagara, kedua orang tua lelaki itu memuji putranya sangat tampan dan mengucapkan terima kasih pada Ningsih. Usai menyelesaikan tugasnya, Ningsih langsung pamit pulang. Dia mencium tangan kedua orang tua Saga dengan sopan. Saga melakukan hal yang sama, ia bersiap untuk berangkat sekolah. Namun, sebelum pergi, kucing yang semalam dibawa pulang olehnya berlari dan menghadang langkah Sagara.“Aku berangkat sekolah dulu, kamu diamlah di sini dengan tenang dan jangan membuat keributan,” pesan Sagara setelah ia jongkok dan mengelus kepala si Kucing.“Jangan sombong Sagara,” kata si Kucing membuat satu alis Sagara terangkat.Rasa penasaran Saga meronta-ronta, ingin tahu maksud ucapan si Kucing yang tiba-tiba
Taruhan yang disepakati Saga dan anak IPA tadi pagi menambah daya tarik penduduk Tribakti untuk menonton pertandingan basket. Terbukti, sore ini, setelah kegiatan belajar mengajar usai ara siswa berbondong-bondong memenuhi pinggir lapangan basket. Seolah ada pertandingan internasional yang sebentar lagi akan digelar.Para pendukung Marchel sudah meneriakkan namanya dengan heboh. Semakin menggila teriakan mereka ketika dua pemain yang akan bertanding head to head memasuki lapangan. Seorang wasit masuk bersama mereka, melempar koin untuk menentukan bola akan dikuasai lebih dahulu oleh siapa.Koin menunjukkan sisi gambar, yang berarti Marchellah pemegang bola pertama. Peluit wasit dibunyikan, bola dilempar dan permainan pun dimulai. Sorak sorai semakin nyaring terdengar—meramaikan."Marchel! Marchel! Marchel! Ayooo Marchel, kalahkan si Sampah cupu!""Go Marchel go Marchel go!"Euforia pendukung Marchel bukan main hebohnya. Memb
“Tyana minggir dong, kita mau ketemu Saga!” “Iya, resek banget sih jadi orang, sok ngatur banget emang situ siapa? Larang-larang kita ketemu Sagara.” Mata Tyana membeliak, ia berkacak pinggang di depan kelasnya dan menatap satu persatu siswi yang menutupi akses keluar dari kelasnya. “Lo semua pada gila? Gue nyuruh kalian minggir karena anak-anak kelas gue pada enggak bisa keluar gara-gara kalian.” “Salah kamu sendiri yang menghalangi kami ketemu, Saga, coba kalau dari tadi diizinin, pasti kerumunannya enggak akan sebanyak ini.” Ingin rasanya Tyana berteriak sekarang, kalau saja Damian tidak muncul mungkin orang-orang itu sudah kena semprot Tyana. “Sagara mana?” tanya Damian, belum sempat Tyana menjawab, orang yang ditanyakan sudah muncul dari belakang gadis itu. “Saya di sini, ada apa?” balas Saga langsung menghadap Damian dengan berani. “Saya sudah dengar kemenangan kamu saat melawan Marchel kemarin sore. Sesuai kesepa
“Kau marah?” ungkap Gara setelah duduk di samping Larasati yang sedang menatap hamparan laut yang sebelumnya mereka sebrangi demi tiba di tempat ini.“Menurutmu?” ketus Laras.“Aku tahu kau kesal, Laras. Tapi aku tidak bisa mengabaikan orang yang sedang membutuhkan pertolongan kita. Kau tahu, di dunia lamaku, saat aku menghadapi kesulitan, saat aku dirundung oleh bajingan-bajingan gila, tidak banyak yang mengulurkan tangannya untuk membantuku. Kebanyakan dari mereka malah menertawakan dan menghardikku. Aku dipojokkan, mereka menginjak-injak harga diriku tanpa perasaan, seolah aku memang pantas hidup menderita di mana pun aku berada. Kau tahu seberapa frustrasinya aku saat itu?”Laras masih diam, menyimak tanpa niat menoleh pada Gara. Perasaannya sudah mulai tersentuh dengan cerita itu, namun gengsinya menahan Laras untuk tetap bersikap dingin.“Aku kesakitan, aku putus asa, dan benar-benar ingin menyerah. Rasanya seperti ingin mati. Aku bertanya kepada diriku sendiri, dosa apa yang k
“Perempuan bercadar motif edelweiss dan bermata biru. Hm, bagaimana bisa kita menemukan orang dengan petunjuk seminim itu?” gumam Kumbara sambil mengikuti kedua temannya, melangkah dari satu batu ke batu lainnya.Saat ini mereka tengah menyeberangi sungai yang menjadi pembatas antara kerajaan Purwodadi dengan Giri Asih. Setelah sebelumnya mereka bertiga sempat istirahat untuk shalat zuhur, dan makan perbekalan yang diberikan oleh istri pendekar Karsayasa.“Pasti ada jalan, kau tenang saja,” ungkap Gara.“Aku juga penasaran dengan sosok pendekar Edelweiss. Sehebat apa dia sampai bisa menjadi satu-satunya pendekar wanita terpilih,” tukas Larasati diwarnai dengan raut wajah cemburu.“Sudahlah, ini bukan waktu yang tepat untuk iri dengki, Larasati. Kau juga sudah hebat, syukuri saja apa yang kau miliki saat ini. Jangan pernah bermimpi untuk melampaui orang lain demi ambisimu.”Aliran air di sungai itu cukup tenang, mereka bisa menyeberang dengan santai tanpa takut terbawa arus. Meskipun t
Meja makan menjadi ramai oleh tawa, Gara dan para penghuni kediaman pendekar Karsayasa sedang sarapan. Di ruangan itu terdapat meja panjang dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Istri pendekar Karsayasa sengaja menyiapkan sajian istimewa untuk menjamu para tamunya yang sebentar lagi akan meninggalkan Purwodadi. Waktu singgah Gara di kerajaan itu memang jauh lebih singkat dari dugaan.Di satu sisi dia bersyukur karena dengan begitu ia bisa mempersingkat waktu uji kehebatan. Targetnya adalah menyelesaikan tujuh tahapan uji kehebatan sebelum purnama kedua belas. Setiap hari, pria itu selalu dilanda khawatir—takut upayanya melebihi batas waktu yang ditentukan. Kembali saat semua keraguan dan kewaswasan menyerangnya, Gara terus menerus menggumamkan bahwa tugasnya hanyalah berusaha sebaik mungkin. Perkara hasil, biarkan itu menjadi ketetapan Yang Maha Mengetahui.“Ahh, ini makanan terenak yang aku makan setelah kurang lebih empat hari terombang-ambing di laut lepas,” ungkap Kumbara yang
Baru saja tiba di pulau, Gara disambut oleh sekelompok orang asing bersenjata yang lagi dan lagi membuat ketiganya siaga.“Belum genap satu jam kita melewati badai aneh, sekarang ujian apa lagi ini ya Allah?” tukas Kumbara tak habis pikir.Sesulit ini perjuangan mereka untuk mengantarkan Gara menjadi pendekar terhebat.“Sepertinya mereka penduduk setempat,” kata Larasati memindai penampilan para prajurit yang menghadang mereka.Sebenarnya barisan prajurit itu tidak benar-benar menghadang. Mereka hanya berdiri tegap dengan persenjataan lengkap seraya membentuk pagar seolah tengah menanti kehadiran seseorang.“Kau tahu dari mana?” tanya Gara.“Lihatlah tanda pengenal yang menggantung di masing-masing sabuk mereka. Semuanya menunjukkan lambang kerajaan Purwodadi, bisa dipastikan mereka adalah utusan kerajaan.”Beberapa orang membuka barisan bersamaan dengan bunyi tapak kuda yang kian mendekat. Seorang pria gagah berambut panjang melompat turun dari kuda yang ditungganginya. Pria itu men
Kemunculan Gara dari pusaran air tak melemahkan amarah monster laut damai. Ia terus memukul-mukul permukaan air melalui tentakel raksasanya. Situasi di sana kacau sekali. Tiba-tiba saja, awan mendung berkumpul membentuk formasi yang menyeramkan. Kilat petir menyambar dan bermunculan di langit gelap. Angin bertiup dengan kecepatan tinggi, menciptakan gulungan ombak besar dan membuat laut bergelombang hebat.Gara baru menyadari keberadaan monster itu, dia pun terkejut karena kini dirinya tengah melayang di udara dengan tameng air yang mengelilinginya. Sungguh di luar nalar, ia merasa seluruh tubuhnya kembali bugar. Persis seperti yang pernah dialaminya ketika melawan pendekar Galasakti sebelumnya.Padahal tadi banyak luka yang diperoleh akibat pertempuran sengitnya dengan panglima Arash. Sagara ingat, dirinya nyaris hilang kesadaran akibat kobaran api yang hampir membakar seluruh tubuhnya. Lantas apa yang terjadi sekarang? Makhluk aneh apa yang ada di depannya itu?
“Besar juga keberanianmu, pendekar Gara. Kukira kau akan melarikan diri seperti kedua temanmu tadi,” kata Panglima Arash, pria bertopeng yang akhirnya kini mendarat di kapal nelayan.Panglima Arash sengaja melarang pasukannya untuk turun tangan kali ini. Dia ingin head to head, atau menghabisi musuh bebuyutannya ini dengan tangannya sendiri. Kali ini, Arash ingin memastikan bahwa urat nadi pendekar Gara benar-benar terputus dengan tebasan tangannya. Arash sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menghadiahkan penggalan kepala Gara kepada yang mulia Batara. Calon pemimpin Ambarwangi dari fraksi Barat.“Untuk apa aku melarikan diri di saat aku ingin sekali bertemu denganmu, Panglima Arash,” kata Gara berani sekali. Dia juga gamblang menyebutkan nama Arash dan itu cukup membuat sang panglima terkejut.“Rupanya kau sudah tahu siapa aku,” kata Arash mengakui ketelikan Gara kali ini.“Tentu saja, aku
Menjelang tengah malam, Gara masih belum memejamkan mata sama sekali. Entah mengapa rasa kantuk serta merta hilang dan tak terasa barang sedikit. Dia sudah berusaha mengubah posisi—menghadap kanan, kiri, telentang, tengkurap. Semua sudah ia coba namun tetap tak mendapat titik nyaman. Dia sendiri tidak mengerti mengapa bisa mengalami hal itu. Di saat semua orang tertidur dengan pulasnya, Gara justru gelisah seorang diri.Merasa upayanya tidur tidak akan berhasil, pemuda itu pun memutuskan keluar ruangan. Lebih baik ia menghirup udara segar di luar, siapa tahu perasaannya bisa membaik. Derap langkah Gara terdengar begitu jelas, bersahutan dengan gemuruh angin dan suara ombak laut. Gara berjalan ke arah dek kapal. Ia berdiri di sana sambil matanya menyusuri sekitar. Pria itu yakin tak ada satu pun yang terjaga selain dirinya. Namun, Gara merasa seseorang tengah memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan.Pria itu menarik napas panjang, kemudian menahannya beberapa d
“Akhirnya, kita tiba,” kata Larasati bersamaan dengan senyum mengembang.Lega sekali rasanya bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat setelah kurang lebih empat hari mengarungi hamparan laut mega luas dari kerajaan Kentamani ke kerajaan Purwodadi.“Kau tampak bahagia sekali, Laras, bahkan senyummu lebih lebar dibanding ketika aku berhasil mengalahkan pendekar Galasakti. Sejauh yang aku ingat, dalam perjalanan kali ini juga kau jauh lebih tenang,” kata Gara yang berdiri di samping perempuan itu.Mereka berdua sedang berdiri di bagian depan kapal, memandang laut dengan gradasi warna biru dan hijau yang terpadu indah, ditemani refleksi langit yang kini berubah menjelang jingga.“Entahlah, aku hanya menyukai perjalanan kali ini dibanding perjalanan sebelumnya. Apa kau tidak bisa merasakan ketenangan yang dibawa laut ini pada kita?”“Maksudmu?”“Sudah bukan rahasia lagi jika kerajaan Purwodadi terkenal dengan kawasan lautnya yang sangat luas. Selain terkenal dengan kekayaan maritimnya, l
Selepas menemui tuannya, panglima Arash meninggalkan area istana dan berkunjung ke markasnya. Ia meluapkan emosi dengan memanah, puluhan anak panah melesat kencang menembus sasaran yang jauh di depan sana. Tidak ada yang melenceng, semuanya menancap tepat di area merah. Kemampuannya dalam hal ini memang tidak perlu diragukan. Dia sangat mumpuni dalam bertarung, memanah, berkuda, dan merakit senjata tajam. Wajar jika kini dia menyandang gelar sebagai panglima perang yang paling disegani di fraksi barat. Fraksi yang menjadi dalang dari carut marutnya pemerintahan di kerajaan Ambarwangi dan yang telah mencelakai raja Majapati.Saat panglima Arash fokus meluapkan emosi, kedatangan seorang prajurit menghentikan kegiatan itu. Panglima Arash seperti sudah tahu maksud dan tujuan prajurit itu. Ya, memang sebelumnya dirinya yang meminta bawahannya itu untuk menyelidiki sesuatu. Panglima Arash menyimpan peralatan memanahnya, turun dari podium panah dan mengajak bawahannya itu untuk mengobrol di