Sagara membuka matanya, mendapati dirinya mengambang di tengah udara. Dia terbelalak, sangat terkejut dengan situasi aneh yang dialaminya saat ini.
“D-di mana ini?” tanya Sagara dengan bingung.
“Mimpi?” batinnya lagi.
Sagara menjatuhkan pandangannya ke bawah, lautan luas terbentang di sana. Terlihat sebuah kapal mewah dengan sejumlah orang berdiri di sana, pemandangan yang begitu familier untuk Sagara.
“Serang mereka!”
Kerumunan orang dari dua sisi kapal bertemu di tengah, saling beradu pedang dan ada pula yang meluncurkan busur panah. Satu persatu orang-orang itu berjatuhan, terbunuh mengenaskan di tangan lawan. Arah pandang Sagara mengikuti pelarian sosok yang paling mencolok di matanya. Pria itu memegangi dada atas bagian kanan yang mengeluarkan banyak darah, dia berdiri di ujung kapal sambil menatap tajam lawannya. Tidak ada celah untuk menghindar apalagi melarikan diri.
“Kau harus mati!” ucap pria bertopeng langsung mengarahkan pedang ke arah pria incarannya dan ....
Byur!
“Tidak!” pekik Sagara dari atas sana.
Pria tadi jatuh ke dasar laut, tubuhnya terlahap gelombang dan tak ada tanda-tanda bahwa ia selamat. Sagara yang menyaksikan itu tiba-tiba merasakan sesak yang luar biasa. Saga yang semula berdiri mendadak kehilangan kekuatannya. Ia terduduk lemas sambil memegangi dada, “Arggh, kenapa ini sakit sekali? apa yang terjadi?” gumam Sagara seperti tidak rela melihat pria tadi jatuh ke dasar laut.
Sagara berusaha bangkit, dia berbalik dan menemukan sosok pria bertopeng ada di belakangnya, pria itu menyeringai kejam. Ia angkat pedangnya kembali dan sreeet!
“Arghh!” pekik Sagara lagi sambil membuka matanya.
Pria itu mengedarkan pandangan ke sekitar dan dia menemukan pemandangan kamar berukuran sedang yang didominasi warna putih.
“Bayangan apa itu? Kenapa dadaku sakit sekali melihat orang itu jatuh ke laut?” gumam Sagara sambil mengatur napas yang tak beraturan.
Dia termenung cukup lama memikirkan mimpi aneh yang terasa sangat nyata bagi Sagara. Dalam kesunyian pikirannya, derap langkah terdengar jelas mendekat ke arahnya, pintu kamar terbuka dan Euis masuk dengan ekspresi panik.
“Ada apa, Nak? Kenapa kamu teriak, di mana yang sakit?” Euis duduk di bibir ranjang sambil memeriksa kondisi putranya.
Saga berusaha untuk duduk, dia sedikit mengerang merasakan ngilu di kepala bagian belakang.
“Aku tidak apa-apa Bu,” jawab Saga menenangkan, ia membentuk senyuman tipis.
Meski belum merasakan ikatan batin dengan perempuan di hadapannya ini, Saga bisa tahu bahwa Euis memang sosok ibu yang baik. Dia penyayang dan begitu memedulikan Saga.
“Terus kenapa kamu teriak, apa kepala kamu sakit sekali? Perlu ibu panggilkan dokter?”
“Enggak usah Bu, aku baik-baik saja.”
Euis membawa Saga ke pelukannya, memeluk sang putra dengan hangat sambil terisak pelan. Wanita itu ingin menahan tangisan agar tidak tercurah namun ia tidak bisa. Mendengar penjelasan Omen dan Tyana tentang apa yang menimpa putranya selama di sekolah membuat Euis perih. Dia merasa gagal menjadi orang tua.
“Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang ini sama ibu, Nak? Kenapa kamu merahasiakan semuanya dari ibu dan bapak?”
“Maksud Ibu?” Saga menyoal usai pelukan sang ibu terurai.
“Omen dan Tyana sudah menceritakan semuanya sama ibu dan bapak, kata mereka kamu selalu dirundung oleh teman-temanmu di SMA Tribakti. Bahkan sejak tahun pertama, harusnya kamu cerita tentang ini sama ibu, Nak. Kamu tidak perlu bertahan di sana hanya demi membanggakan kami. Kamu selalu menjadi kebanggaan ibu dan bapak kapan pun, jadi mulai sekarang kamu boleh menyerah. Masih banyak sekolah yang lebih bagus dari Tribakti, kamu pindah sekolah saja.”
Kebenaran ini terungkap begitu saja ketika Omen dan Tyana menghubungi kedua orang tua Sagara ke rumah sakit. Dokter yang memeriksa Sagara menjelaskan bahwa anak itu terluka parah karena pukulan benda tajam yang disengaja. Sagara mendapat jahitan yang cukup banyak di bagian belakang kepala. Wira dan Euis merasa aneh kenapa putranya bisa mendapat luka seperti itu, apalagi ketika Omen dan Tyana menjelaskan bahwa Saga terlibat perkelahian dengan gangster sekolah. Rasanya sulit dipercaya dan tidak masuk akal saja. Pasalnya selama ini Saga selalu bercerita bahwa kehidupan sekolahnya baik-baik saja dan dia punya banyak teman di sana.
“Maafin ibu dan bapak yang tidak peka sama kondisi kamu selama ini, harusnya kami tahu sejak awal bahwa kamu tidak seharusnya sekolah di tempat terkutuk itu. Kami akan segera mengurus surat kepindahanmu, kalau perlu kita tuntut pihak sekolahnya karena telah lalai membiarkan aksi bullying dilakukan para siswanya.”
Sagara meraih kedua tangan Euis lalu menggenggamnya hangat, dengan tenang ia berujar, “Aku tidak apa-apa, Bu, kalian tidak perlu melakukan itu hanya untuk menjagaku. Pihak sekolah bukan lawan kita dan sebenarnya itu juga bukan salah mereka.”
“Bagaimana mungkin ini bukan salah mereka? Jelas-jelas pihak sekolah lalai karena membiarkanmu dirundung oleh siswa-siswa tak berperasaan di sana, hati ibu sakit mendengar kamu selalu dikucilkan dan direndahkan. Lingkungan itu sangat tidak sehat, bagaimana bisa kamu menahannya selama ini, Saga? Ibu saja tidak sanggup membayangkan hari-harimu yang seperti neraka, hiks, hati ibu perih, Nak. Sakit!” emosi Euis meluap, ia marah, sedih, dan kesal dalam satu waktu.
“Ibu, dengar aku,” kata Saga sambil meminta Euis untuk menyimak ucapan dan menatap matanya, Saga mungkin tidak ingat bahwa dia pernah dilahirkan dari rahim perempuan ini. Namun, dia janji, tidak akan membiarkan perempuan ini menangisi kondisi putranya lagi. Ya, Saga tidak akan pernah membiarkan itu.
“Mulai sekarang Ibu dan Bapak tidak perlu mencemaskanku. Kejadian seperti ini atau hal-hal buruk lain yang pernah terjadi tidak akan kembali menimpaku. Aku akan bertahan di sekolah itu sampai akhir. Aku akan membuat orang-orang jahat itu membayar mahal setiap tangisan yang ibu curahkan. Itu janjiku, Bu, janji Sagara jadi tolong ... aku mohon pada Ibu dan Bapak untuk tetap membiarkanku sekolah di sana. Aku akan baik-baik saja,” ucap Saga dengan penuh keyakinan, senyumnya tulus dan tatapan matanya memancarkan kesungguhan.
“Apa ibu bisa percaya kata-katamu ini, Nak?”
“Tentu, Ibu harus mempercayainya. Ibu harus yakin bahwa putra Ibu bisa menghadapi orang-orang jahat itu, dengan begitu aku akan mendapat kekuatan lebih untuk melawan mereka.”
Euis menatap putranya lama, ia segera menghapus jejak air mata di pipi lantas menggenggam erat jemari putranya. “Jangan terluka lagi, Ibu mohon,” pinta Euis dengan suara dalam, harapan yang menyimpan doa paling tulus.
“Iya, aku tidak akan terluka lagi, Bu, aku janji.”
***
“Sagaaa, hiks hiks, ya Allah ... gimana ini, kamu baik-baik aja, kan, Ga? Enggak ada yang luka lagi selain kepala, kan? Mana lagi amnesia ditambah kepala bocor, jahitannya banyak banget pula. Miris banget sih hidup kamu,” heboh Omen ketika masuk ke kamar Sagara bersama Tyana.
Saga dirawat di rumah sakit memang tidak begitu lama, karena selain kebocoran di kepala, kondisi fisik lelaki itu terbilang cukup baik. Ia pingsan selama proses penjahitan lukanya, dokter memberi beberapa obat dan setelahnya. Dia menginap semalam di sana dan baru pulang keesokan harinya. Saga baru sadar tadi pagi setelah mengalami mimpi aneh yang sampai sekarang masih membuatnya penasaran. Saat sedang sibuk memikirkan mimpi itu, Omen dan Tyana datang dengan kehebohan seperti biasanya.
“Gimana kondisi kamu, Ga?” tanya Tyana mengesampingkan reaksi Omen yang banyak drama dan terkesan berlebihan.
“Jauh lebih baik, Tya.”
“Emang sialan itu si Badar, katanya mau head to head tapi malah manggil rombongan. Tahu gitu aku ikut sama kamu kemarin. Dia mesti dikasih pelajaran, awas aja!” geram Tyana sambil meninju-ninju telapak tangannya.
“Udahlah, biarin aja, namanya juga pecundang, beraninya Cuma keroyokan,” balas Gara santai sambil membenarkan posisi duduknya, dia meminta satu bantal lagi pada Omen agar ia bisa bersandar dengan lebih nyaman.
“Terlepas dari kekalahan kamu kemarin, Ga, saya kaget kamu berani menerima tantangan dia. Tadi dia enggak masuk sekolah, loh, banyak yang bilang dia babak belur juga. Itu artinya kamu ngasih perlawanan yang setimpal, kan? Keren.”
Omen yang tadi meraung sedih kini sudah bersemangat dan antusias membahas pertarungan Sagara dan Badar. Banyak hal yang membuatnya penasaran, bagaimana cara Sagara melawan Badar? Dari mana dia mendapat kemampuan bela diri? Apa alasan selama ini dia pura-pura tidak bisa berkelahi? Ah, tak terhitung pokoknya.
“Aku juga heran tentang itu, Ga, apa mungkin selama ini kamu memang jago berkelahi tapi pura-pura enggak bisa apa-apa? Kamu bikin Badar babak belur bakal jadi trending topik terpanas kalau berita ini disebarkan,” seru Tyana yang sudah gemas ingin bertemu Badar dan menambah satu luka memar di mata siswa nakal itu.
“Gimana kalau kita sebarin aja beritanya sekarang biar semua penduduk Tribakti tahu kalau Sagara yang sekarang bukan Sagara lemah yang bisa mereka tindas lagi. setuju enggak, Tya?” saran Omen menggebu-gebu, dia sudah siap mengeluarkan ponselnya.
“Aku gimana Sagara aja, kamu setuju menyebarkan berita itu, Ga?”
“Enggak, buat apa juga mengumumkan hal semacam itu. Lagi pula aku belum benar-benar mengalahkan Badar, aku pingsan dan kepalaku sampai bocor karena dia. Itu memalukan,” tolak Saga keras, dia tidak butuh publikasi apa pun tentang kemampuannya. Dia hanya ingin membalas orang yang sudah melukai Sagara, itu misi utamanya.
“Pipi Badar kena tonjok kamu juga sangat memalukan buat dia, Ga. Itu tamparan keras banget buat harga dirinya, saya yakin kok sekarang dia pasti sedang mengutuk diri dan terheran-heran sama perubahan sikap kamu. Sagara yang awalnya bermental kerupuk tiba-tiba berubah menjadi sosok tangguh yang berani nantangin dia. Gila, saya enggak bohong, itu kegilaan terhebat kamu tahun ini selain mengaku suka pada Mona. Takjub saya tuh, Ga.”
Tyana melayangkan tatapan sinis setelah mendengar nama Mona disebut, “Bisa enggak sih enggak usah bawa-bawa Mona. Kita lagi bahas Badar sekarang, fokus aja sama itu!” keras, menyentak, ucapan Tyana barusan.
Saga dan Omen saling pandang, mereka bergeming beberapa saat lalu Sagara berdeham memecah ketegangan.
“Gimana tadi di sekolah aman, kan? Teman-teman Badar enggak gangguin kamu, Tya?” tanya Saga dan kekesalan Tyana langsung meluap.
“Enggak kok, kamu tenang aja. Cuma aku curiga si Badar bakal membalas aksi kamu kemarin, Ga. Dia enggak akan menerima kekalahannya dengan mudah. Manusia egois dan sok kayak dia mana mungkin mau ngaku kalah. Apalagi kemarin dia koar-koar di hadapan anak-anak sekelas bakal ngabisin kamu.”
“Nah, itu dia masalah barunya, bukan hal mustahil kalau nanti si monster Badar bakal manggil gangster yang lebih banyak lagi buat nyerang kamu, Ga. Mesti waspada nih mulai sekarang,” tambah Omen ikut waswas, khawatir juga nantinya dia akan jadi sasaran kemarahan Badar dan kawan-kawan.
“Ya, aku juga sudah menduga hal itu akan terjadi, tapi kita lihat saja nanti. Siapa yang akan kalah dan menjadi pecundang sejati. Aku anggap situasi sekarang seri karena kami sama-sama terluka.”
Prok! Prok! Prok!
Omen tepuk tangan keras sambil berteriak “Woah!” dengan semangat dan berapi-api.
“Sagara Wirantama, I love you full! Saya enggak tahu kenapa kamu jadi kayak gini Cuma alhamdulillah, saya bersyukur banget dengan keberanian kamu ini, Saga. Mau nangis lagi kan jadinya kalau ingat gimana penderitaanmu selama ini.”
Saga terkekeh lucu melihat tingkah Omen, anak itu memang aneh dan memiliki banyak sisi yang membuat Saga terkaget-kaget saat mengetahuinya.
“Ah, iya Saga, aku tadi sempat bicara sama Ibu kamu, katanya dia sempat mau memindahkan kamu ke sekolah lain, ya?” ujar Tyana memotong euforia Omen.
“Mm, iya, Ibu sangat khawatir dengan kondisiku tapi aku sudah menjelaskan bahwa aku akan baik-baik saja mulai sekarang.”
“Maaf ya, aku udah mengingkari janji buat enggak cerita masalah bullying yang kamu alami ke orang tua kamu. Kemarin aku benar-benar panik dan bingung, lihat ibu dan bapak kamu menangis khawatir bikin aku marah banget sama keadaan, aku nekat cerita sama mereka supaya kamu enggak menanggung beban ini sendiri lagi. Meski aku dan Omen selalu ada buat teman cerita kamu, tapi akan lebih baik kalau orang tua kamu juga tahu tentang masalah bullying itu,” papar Tyana menyesal.
“Tidak apa-apa, semuanya juga sudah terjadi, mungkin memang sudah saatnya mereka tahu apa yang menimpa putranya selama ini. Aku kasihan pada mereka, berulang kali mendapat cobaan sulit hanya karena kelemahan Sagara,” jelas Saga dengan tatapan lurus.
“Kamu berkata seolah-olah sedang membicarakan orang lain,” heran Omen, “Tapi sudahlah, yang terpenting sekarang Saga kembali dengan lebih kuat. Mari buktikan pada semua orang bahwa Sagara bukan lagi sampah tak berguna di SMA Tribakti. Kasih mereka pelajaran yang keras biar bisa lebih menghargai keberadaan orang lagi. kita hancurkan orang-orang sialan itu sampai ke akarnya, MERDEKA!” orasi Omen meniru orang-orang yang sedang berdemo.
Masalah wacana dia memang jagonya, tapi kalau disuruh beraksi, ah sudah jangan ditanya. Dia tidak bisa diharapkan. Sambil terus mengatakan merdeka, Omen melangkah mundur dan keluar dari kamar itu, dia kebelet pipis tapi masih sempat-sempatnya berorasi.
“Kawanmu emang gendeng, Ga,” ejek Tyana sambil memasang ekspresi geli.
Saga terkekeh, “Dia lucu.”
“Lucu tapi payah, tadi dia dijahilin sama anak IPS 1 malah diem aja. Sekarang ngebacotnya jago banget,” kesal Tyana.
Sagara terdiam sejenak, “Siapa yang jahilin Omen?”
“Ada pokoknya, udah langganan jahilin Omen. Emang enggak separah si Badar sih ngejahilinnya Cuma tetap aja, aku kesel lihatnya. Gimana kalau tadi aku enggak lewat ke area belakang, mungkin si Omen bakal sampai malam dikunciin di gudang. Hhh, semua orang di Tribakti emang sialan! Ngeselin! Capek aku lihat tingkah mereka.”
“Pasti berat banget ya?”
“Hm, apanya yang berat?” satu alis Tyana terangkat.
“Jadi kamu yang harus melindungi dua kawan lemah sepertiku dan Omen. Kamu pasti capek banget. Seharusnya kamu jangan berteman dengan orang seperti kami.”
“Ngomong apa sih kamu, Ga, aku enggak capek temenan sama kalian. Aku Cuma capek lihat tingkah anak-anak sok berkuasa itu. Heran aja sama jalan pikiran mereka, kok bisa sampai hati merundung anak orang separah itu. Hatinya disimpan di mana coba?”
“Mungkin mereka enggak punya hati.”
“Ah, benar! Selain enggak punya hati, mereka juga enggak punya otak!”
Saga tersenyum melihat emosi Tyana yang meluap-luap saat bicara, “Tugas kamu melindungi kami udah selsai, Tya. Mulai sekarang kamu bisa sedikit lebih tenang.”
“Eh, maksudnya?” Sagara membalas kebingungan Tyana dengan senyuman tipis yang sulit ditafsirkan. Saga benar-benar berubah, begitu pikir Tyana.
“Saga, sebaiknya kita jangan lewat sini,” bisik Omen saat Saga mengajaknya melewati koridor kelas IPS 1. Jalur itu adalah jalan paling cepat menuju lapangan olahraga.“Kata Tya kita harus cepat-cepat ke lapangan, sebentar lagi pelajaran olahraga akan dimulai,” kata Saga mengingatkan.“Saya ngerti kamu takut telat tapi lebih baik kita cari aman saja. Kamu enggak lihat anak-anak IPS 1 lagi berkumpul di luar kelas? Kalau mereka lihat kita sengaja melintas di sana, kita bukan hanya akan telat tapi kemungkinan enggak akan bisa ikutan olahraga sama sekali,” tegas Omen dengan raut khawatir.Saga melihat ke arah depan, pada lima anak laki-laki yang sedang ketawa-ketiwi di jam pelajaran kosong, entah menertawakan apa. Sebenarnya masih ada jalan lain untuk tiba di lapangan olahraga, hanya saja jalannya cukup memutar dan memerlukan waktu yang lebih banyak.“Kamu masih takut sama mereka?”“Jelas saya takut,
Saga keluar dari ruang kesiswaan dengan raut masam, dia merasa sedikit keberatan dengan hukuman yang dijatuhkan guru kesiswaan padanya. Saga sudah menjelaskan bahwa akar masalah ini berasal dari Ayus dan kawan-kawan. Ia melawan hanya untuk melindungi diri, sayangnya pihak kesiswaan tak menerima pembelaan itu. Semua yang terlibat pertengkaran di depan kelas IPS 1 tadi wajib dikenakan sanksi untuk memberi efek jera.Hukuman yang Saga dapat adalah membersihkan toilet pria di lantai satu. Toilet yang paling sering digunakan dan paling cepat kotor setiap harinya. Dia memegang alat pel sedangkan Omen sudah siap menyikat wc."Tidak seharusnya kita melakukan ini," keluh Saga, entah mengapa harga dirinya menolak mentah-mentah diperla
Saga pikir peringatannya sudah cukup keras untuk menekan keberanian Ayus terhadapnya. Ternyata dia keliru, siswa berjiwa preman itu belum kapok dan tidak ingin tunduk begitu saja pada Saga. Ia dan dua teman barunya—bukan korban pukul Saga sebelumnya—mendatangi toilet di lantai satu. Menggebrak pintu sampai membuat Saga dan Omen terkejut.“Ups, sori, gue ngagetin kalian, ya?” kata Ayus dengan wajah tanpa dosa.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Saga maju menghadap Ayus dengan beraninya.“Cuma pengin berkunjung aja dan memeriksa pekerjaan kalian, siapa tahu ada yang mangkir dari hukuman. Kita datang untuk mendisiplinkannya.”“Kalau pun ada yang harus didisiplinkan di sini, maka kamulah orangnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk saling mengunjungi, selesaikan saja hukumanmu sendiri!”“Wah, bener kata lo, Yus, dia emang enggak waras,” celetuk salah seorang kawan Ayus—ters
Sagara, Omen, dan Tyana sedang dalam perjalanan menuju kelas. Sebentar lagi waktu istirahat tiba, pelajaran olahraga selesai lebih awal karena gurunya ada kepentingan mendadak. Mereka diperbolehkan masuk kelas setelah semua siswa kebagian praktik memasukkan bola ke ring. Ketua kelas yang bertugas mengawasi kegiatan itu. Setelah semuanya berakhir penduduk IPS 3 dipersilakan kembali ke kelas dan tentu saja tidak semua siswa patuh. Kebanyakan dari mereka langsung berpencar ke segala tempat meski bel istirahat belum resmi berkumandang.“Sagara!” panggil seseorang dari arah belakang, lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh.Seorang gadis berlari kecil dan memberikan sebotol minuman jeruk dingin pada Saga, “Buat kamu, pasti capek kan tadi abis dihukum.”Sagara hendak menerima minuman itu namun tangannya terjegal tangan Tyana, “Apa, nih, maksudnya? Kenapa kamu ngasih minuman buat Saga?” tanya Tyana curiga.“Enggak ad
Tujuan kepala sekolah menghimpun anak-anak kelas XI adalah untuk mengumumkan bahwa SMA Tribakti akan mengadakan acara Open House untuk pertama kalinya. Berita ini mengejutkan mengingat sejak awal berdiri SMA Tribakti tidak pernah mengadakan Open House untuk menarik minat orang tua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana. Tanpa promosi saja sudah banyak yang berbondong-bondong datang ke Tribakti, begitu pikir siswa-siswanya. Mereka menganggap acara ini tidak begitu penting tapi keputusan lembaga sudah ditetapkan dan tak ada yang bisa menggugat apalagi mencegahnya. Pengumuman kepala sekolah perihal open house tidak berlangsung lama, mungkin hanya setengah jam. Kemudian forum diambil alih oleh anggota OSIS yang mengumumkan masa pendaftaran rekrutmen OSIS sudah dimulai sejak hari ini. "Saga mending kamu pikir-pikir lagi deh tentang keputusan kamu ini," ujar Tyana mengingatkan, mereka sudah akrab lagi dan melupakan perang dingin singkat yang sempat
“Yang lurus Saga, yang lurus, arahkan bolanya tepat ke tengah ring!” Omen berteriak emosi sambil memungut bola yang memantul jauh meninggalkan area lapangan. “Coba sekali lagi, Ga, fokus ke ringnya. Posisi badan dan kaki juga mesti bener, nah tangan kiri kamu di bawah terus nanti dorong pakai tangan kanan. Pantulkan bolanya ke papan dulu dengan kecepatan yang pas biar bola bisa langsung mengarah ke ring,” tutur Tyana melatih dengan sabar, gadis tomboi ini pernah ikut klub bola basket saat di SMP dulu, sedikit banyak dia masih mengingat teknik dasarnya. Saga mencoba mendrible bola sekali lagi, dia melempar bola itu sesuai instruksi Tyana, sayangnya si bundar tak kunjung menjebol ring. “Arghh ... mampus! Udah mampus aja, kamu, Saga!” teriak Omen frustrasi, sudah dua jam mereka berlatih di lapang outdoor yang ada di kawasan tempat tinggal Sagara. Mereka sempat meminta izin pada pihak desa untuk berlatih di sana dan petugas desa mengizinkan. “Kal
Saga kembali ke rumah tepat waktu sesuai kesepakatannya dengan Wira. Begitu tiba di halaman depan, orang tuanya tampak kebingungan seperti tengah mencari sesuatu. Bukan hanya mereka saja, tapi mang Asep—tukang ojek yang waktu itu menolong Sagara—juga terlihat sibuk mencari seseorang bernama Ningsih. “Ada apa, Bu?” tanya Saga usai mencium tangan Euis. “Ningsih hilang, ibu dan bapak sedang membantu mang Asep mencarinya.” “Ningsih itu siapa?” “Dia anak perempuan mang Asep, kondisinya sedikit berbeda dengan kita. Mang Asep sudah mencari ke mana-mana tapi Ningsih tak kunjung ketemu. Ibu khawatir dia mengilang kayak kamu waktu itu, mungkin nyasar jauh karena selama ini Ningsih enggak pernah ke mana-mana,” jelas Euis detail sekali. “Ningsih juga tidak bisa bicara, hal itu pasti akan mempersulitnya untuk menemukan jalan pulang,” tambah Wira. “Seperti apa sosok Ningsih? Apa ada gambarnya biar aku bantu mencari,” tawar Sagara ingin balas budi pa
“Wah, enggak bisa bicara euy, mantep nih, enggak akan ketahuan siapa-siapa, ha ha ha.” “Mantap sih, Cuma kurang seru juga nanti enggak ada desahan yang ahh-aduhai, ha ha ha.” “Neng geulis mau ke mana malam-malam sendirian, main sama akang aja, yuk, mau enggak? Dijamin seru, kok.” Gadis 16 tahun itu menggeleng, wajahnya pucat pasi karena ketakutan. Ia mundur dan berusaha untuk berteriak tapi tak sedikit pun suara keluar meski ia sudah berusaha keras. Ningsih menangis, sekujur tubuhnya bergetar, terus mundur guna menghindari sentuhan nakal para berandal yang menjegal langkahnya saat mencari jalan pulang. “Asyiknya main di mana ya? Masa di gang sempit kumuh kayak gini, kasihan si Neng geulisnya, nanti kotor bajunya. Terus kulit putihnya juga bakal kena lumpur atau batu, sayang banget pokoknya kalau lecet.” Berandal itu mencolek dagu Ningsih yang langsung dihempas kasar oleh Ningsih sebagai bentuk perlawanan. Ia tidak sudi disentuh berandal kotor
“Kau marah?” ungkap Gara setelah duduk di samping Larasati yang sedang menatap hamparan laut yang sebelumnya mereka sebrangi demi tiba di tempat ini.“Menurutmu?” ketus Laras.“Aku tahu kau kesal, Laras. Tapi aku tidak bisa mengabaikan orang yang sedang membutuhkan pertolongan kita. Kau tahu, di dunia lamaku, saat aku menghadapi kesulitan, saat aku dirundung oleh bajingan-bajingan gila, tidak banyak yang mengulurkan tangannya untuk membantuku. Kebanyakan dari mereka malah menertawakan dan menghardikku. Aku dipojokkan, mereka menginjak-injak harga diriku tanpa perasaan, seolah aku memang pantas hidup menderita di mana pun aku berada. Kau tahu seberapa frustrasinya aku saat itu?”Laras masih diam, menyimak tanpa niat menoleh pada Gara. Perasaannya sudah mulai tersentuh dengan cerita itu, namun gengsinya menahan Laras untuk tetap bersikap dingin.“Aku kesakitan, aku putus asa, dan benar-benar ingin menyerah. Rasanya seperti ingin mati. Aku bertanya kepada diriku sendiri, dosa apa yang k
“Perempuan bercadar motif edelweiss dan bermata biru. Hm, bagaimana bisa kita menemukan orang dengan petunjuk seminim itu?” gumam Kumbara sambil mengikuti kedua temannya, melangkah dari satu batu ke batu lainnya.Saat ini mereka tengah menyeberangi sungai yang menjadi pembatas antara kerajaan Purwodadi dengan Giri Asih. Setelah sebelumnya mereka bertiga sempat istirahat untuk shalat zuhur, dan makan perbekalan yang diberikan oleh istri pendekar Karsayasa.“Pasti ada jalan, kau tenang saja,” ungkap Gara.“Aku juga penasaran dengan sosok pendekar Edelweiss. Sehebat apa dia sampai bisa menjadi satu-satunya pendekar wanita terpilih,” tukas Larasati diwarnai dengan raut wajah cemburu.“Sudahlah, ini bukan waktu yang tepat untuk iri dengki, Larasati. Kau juga sudah hebat, syukuri saja apa yang kau miliki saat ini. Jangan pernah bermimpi untuk melampaui orang lain demi ambisimu.”Aliran air di sungai itu cukup tenang, mereka bisa menyeberang dengan santai tanpa takut terbawa arus. Meskipun t
Meja makan menjadi ramai oleh tawa, Gara dan para penghuni kediaman pendekar Karsayasa sedang sarapan. Di ruangan itu terdapat meja panjang dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Istri pendekar Karsayasa sengaja menyiapkan sajian istimewa untuk menjamu para tamunya yang sebentar lagi akan meninggalkan Purwodadi. Waktu singgah Gara di kerajaan itu memang jauh lebih singkat dari dugaan.Di satu sisi dia bersyukur karena dengan begitu ia bisa mempersingkat waktu uji kehebatan. Targetnya adalah menyelesaikan tujuh tahapan uji kehebatan sebelum purnama kedua belas. Setiap hari, pria itu selalu dilanda khawatir—takut upayanya melebihi batas waktu yang ditentukan. Kembali saat semua keraguan dan kewaswasan menyerangnya, Gara terus menerus menggumamkan bahwa tugasnya hanyalah berusaha sebaik mungkin. Perkara hasil, biarkan itu menjadi ketetapan Yang Maha Mengetahui.“Ahh, ini makanan terenak yang aku makan setelah kurang lebih empat hari terombang-ambing di laut lepas,” ungkap Kumbara yang
Baru saja tiba di pulau, Gara disambut oleh sekelompok orang asing bersenjata yang lagi dan lagi membuat ketiganya siaga.“Belum genap satu jam kita melewati badai aneh, sekarang ujian apa lagi ini ya Allah?” tukas Kumbara tak habis pikir.Sesulit ini perjuangan mereka untuk mengantarkan Gara menjadi pendekar terhebat.“Sepertinya mereka penduduk setempat,” kata Larasati memindai penampilan para prajurit yang menghadang mereka.Sebenarnya barisan prajurit itu tidak benar-benar menghadang. Mereka hanya berdiri tegap dengan persenjataan lengkap seraya membentuk pagar seolah tengah menanti kehadiran seseorang.“Kau tahu dari mana?” tanya Gara.“Lihatlah tanda pengenal yang menggantung di masing-masing sabuk mereka. Semuanya menunjukkan lambang kerajaan Purwodadi, bisa dipastikan mereka adalah utusan kerajaan.”Beberapa orang membuka barisan bersamaan dengan bunyi tapak kuda yang kian mendekat. Seorang pria gagah berambut panjang melompat turun dari kuda yang ditungganginya. Pria itu men
Kemunculan Gara dari pusaran air tak melemahkan amarah monster laut damai. Ia terus memukul-mukul permukaan air melalui tentakel raksasanya. Situasi di sana kacau sekali. Tiba-tiba saja, awan mendung berkumpul membentuk formasi yang menyeramkan. Kilat petir menyambar dan bermunculan di langit gelap. Angin bertiup dengan kecepatan tinggi, menciptakan gulungan ombak besar dan membuat laut bergelombang hebat.Gara baru menyadari keberadaan monster itu, dia pun terkejut karena kini dirinya tengah melayang di udara dengan tameng air yang mengelilinginya. Sungguh di luar nalar, ia merasa seluruh tubuhnya kembali bugar. Persis seperti yang pernah dialaminya ketika melawan pendekar Galasakti sebelumnya.Padahal tadi banyak luka yang diperoleh akibat pertempuran sengitnya dengan panglima Arash. Sagara ingat, dirinya nyaris hilang kesadaran akibat kobaran api yang hampir membakar seluruh tubuhnya. Lantas apa yang terjadi sekarang? Makhluk aneh apa yang ada di depannya itu?
“Besar juga keberanianmu, pendekar Gara. Kukira kau akan melarikan diri seperti kedua temanmu tadi,” kata Panglima Arash, pria bertopeng yang akhirnya kini mendarat di kapal nelayan.Panglima Arash sengaja melarang pasukannya untuk turun tangan kali ini. Dia ingin head to head, atau menghabisi musuh bebuyutannya ini dengan tangannya sendiri. Kali ini, Arash ingin memastikan bahwa urat nadi pendekar Gara benar-benar terputus dengan tebasan tangannya. Arash sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menghadiahkan penggalan kepala Gara kepada yang mulia Batara. Calon pemimpin Ambarwangi dari fraksi Barat.“Untuk apa aku melarikan diri di saat aku ingin sekali bertemu denganmu, Panglima Arash,” kata Gara berani sekali. Dia juga gamblang menyebutkan nama Arash dan itu cukup membuat sang panglima terkejut.“Rupanya kau sudah tahu siapa aku,” kata Arash mengakui ketelikan Gara kali ini.“Tentu saja, aku
Menjelang tengah malam, Gara masih belum memejamkan mata sama sekali. Entah mengapa rasa kantuk serta merta hilang dan tak terasa barang sedikit. Dia sudah berusaha mengubah posisi—menghadap kanan, kiri, telentang, tengkurap. Semua sudah ia coba namun tetap tak mendapat titik nyaman. Dia sendiri tidak mengerti mengapa bisa mengalami hal itu. Di saat semua orang tertidur dengan pulasnya, Gara justru gelisah seorang diri.Merasa upayanya tidur tidak akan berhasil, pemuda itu pun memutuskan keluar ruangan. Lebih baik ia menghirup udara segar di luar, siapa tahu perasaannya bisa membaik. Derap langkah Gara terdengar begitu jelas, bersahutan dengan gemuruh angin dan suara ombak laut. Gara berjalan ke arah dek kapal. Ia berdiri di sana sambil matanya menyusuri sekitar. Pria itu yakin tak ada satu pun yang terjaga selain dirinya. Namun, Gara merasa seseorang tengah memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan.Pria itu menarik napas panjang, kemudian menahannya beberapa d
“Akhirnya, kita tiba,” kata Larasati bersamaan dengan senyum mengembang.Lega sekali rasanya bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat setelah kurang lebih empat hari mengarungi hamparan laut mega luas dari kerajaan Kentamani ke kerajaan Purwodadi.“Kau tampak bahagia sekali, Laras, bahkan senyummu lebih lebar dibanding ketika aku berhasil mengalahkan pendekar Galasakti. Sejauh yang aku ingat, dalam perjalanan kali ini juga kau jauh lebih tenang,” kata Gara yang berdiri di samping perempuan itu.Mereka berdua sedang berdiri di bagian depan kapal, memandang laut dengan gradasi warna biru dan hijau yang terpadu indah, ditemani refleksi langit yang kini berubah menjelang jingga.“Entahlah, aku hanya menyukai perjalanan kali ini dibanding perjalanan sebelumnya. Apa kau tidak bisa merasakan ketenangan yang dibawa laut ini pada kita?”“Maksudmu?”“Sudah bukan rahasia lagi jika kerajaan Purwodadi terkenal dengan kawasan lautnya yang sangat luas. Selain terkenal dengan kekayaan maritimnya, l
Selepas menemui tuannya, panglima Arash meninggalkan area istana dan berkunjung ke markasnya. Ia meluapkan emosi dengan memanah, puluhan anak panah melesat kencang menembus sasaran yang jauh di depan sana. Tidak ada yang melenceng, semuanya menancap tepat di area merah. Kemampuannya dalam hal ini memang tidak perlu diragukan. Dia sangat mumpuni dalam bertarung, memanah, berkuda, dan merakit senjata tajam. Wajar jika kini dia menyandang gelar sebagai panglima perang yang paling disegani di fraksi barat. Fraksi yang menjadi dalang dari carut marutnya pemerintahan di kerajaan Ambarwangi dan yang telah mencelakai raja Majapati.Saat panglima Arash fokus meluapkan emosi, kedatangan seorang prajurit menghentikan kegiatan itu. Panglima Arash seperti sudah tahu maksud dan tujuan prajurit itu. Ya, memang sebelumnya dirinya yang meminta bawahannya itu untuk menyelidiki sesuatu. Panglima Arash menyimpan peralatan memanahnya, turun dari podium panah dan mengajak bawahannya itu untuk mengobrol di