Samiah duduk terpekur. Membiarkan kain bersih yang baru diambilnya dari jemuran. Tumpang tindih dari kaos kaki hingga topi. Menggunung. Ruwet seperti pikiran Samiah. Ia menyesal telah membentak cucu kesayangannya. Wanita tua itu hanya tak ingin dikasihani. Ia merasa masih mampu. Menghidupi keluarganya dengan tangannya sendiri.
Lebih dari dua puluh tahun Samiah berjualan sayur mayur di pasar. Agung anak lelakinya selalu setia menemani. Tenaganya kuat. Orang-orang di pasar senang memakai jasa Agung. Sebagai kuli panggul yang rajin bekerja."Seharusnya, aku tak sekeras itu, pada Farhan! Oh, dasar anak malang," rutuk Samiah sambil mengusap baju seragam sekolah cucunya.Tangannya mulai melipat satu persatu gunungan kain bersih itu. Jika tidak disentuh, entah kapan baju-baju itu bisa menginap dalam lemari. Bisa masuk angin teronggok seharian di balai. Kini, gunungan kain telah berubah. Tampak rapi tumpukan baju yang sudah dilipat. Siap untuk disimpan di lemari masing-masing."Nyai! tadi saya lihat Farhan. Hosh ... hosh ... dikerubungi orang-orang berbaju hitam," lapor Asep. Ia adalah tetangga sebelah rumah Samiah.Samiah panik. Apa yang terjadi pada cucunya? Gegas ia meminta Asep untuk mengantar. Ia ingin melihat secara langsung di mana Farhan berada.***Wajah Farhan memerah. Memikul beban pada tangan kanannya. Peluh di dahi mulai menetes."Tanganku kebas, kau harus memegang erat tanganku. Kau mengerti?" ucap Farhan sambil menatap Bara.
Bara menjawab dengan kedipan mata. Keringat pun mulai berlolosan keluar dari pori-pori tangan. Membuat tapak tangan jadi basah. Licin.Wosh.
Angin bertiup kencang. Helaian rambut yang menutupi dahi Bara tersibak. Sepasang manik jernih milik Bara menatap tajam ke atas. Memandang penuh harap pada Farhan. Ia ingin selamat.
"Ka—mu, bisa, na—naik?" Farhan berucap patah-patah, nafasnya memburu. Ngos-ngosan.Bara tersenyum aneh menatap wajah Farhan. Sejurus tadi ia merasa pasrah. Hingga telinganya menangkap suara langkah."Cepat Selamatkan Tuan Muda!" seru seseorang memberi komando.HAP.Tangan Bara berhasil ditangkap.Tepat saat kunciannya melemah karena lelah. Licin karena basah.Dua anak muda itu berhasil selamat.Kondisi Bara langsung dicek. Pertolongan pertama segera diberikan. Lain dengan Farhan, ia dibiarkan sendiri. Telentang menatap langit lepas. Anak itu mulai merasakan kembali tangannya. Karena tadi sempat mati rasa.Farhan melirik Bara. Ia bersyukur teman barunya selamat. Pertemuan pertama dengan Bara begitu berkesan. Farhan lega, meski tangannya sedikit cedera."Tuan, Tuan Muda Bara sudah ditemukan," kata salah seorang berpakaian hitam melapor."Baik, Tuan," Orang sama masih berbicara lewat HT-nya.Tak berselang lama, Handoko tiba bersama dua pengawalnya."Jagoan, are you, okay?" tanya Han dengan nada lembut pada Bara."I am okay, Ayah," jawab Bara sambil mengacungkan jari jempolnya. Mereka berdua berpelukan."Segeralah kembali ke Vila, ibumu begitu khawatir," kata Han lagi.Sang tuan memberi isyarat. Meminta mereka lekas membawa Bara kembali pulang.Salah seorang pengawal, membisikkan sesuatu kepada Handoko. Han tampak mengangguk lalu berjalan menghampiri Farhan.Farhan tidak lagi telentang. Ia duduk. Tadi pemuda itu sempat melihat saat Bara dan Han berpelukan. Farhan membatin 'Andai saja ayahku seperti dia, aku pasti sangat bangga.'Han berjongkok di hadapan Farhan."Siapa namamu?" tanyanya dengan nada sedikit tinggi.PLAK.Belum sempat Farhan menjawab, sebuah tamparan mendarat di pipinya.
"Itu balasan yang pantas untukmu. Seorang anak miskin yang hampir mencelakai anak saya."
Farhan terkejut. Ia tak menyangka, perlakuan ayah Bara sekasar ini."Maafkan saya, Om," ucap Farhan. Ia tak membela diri. "Ck, ck, ck, dia memanggilku apa, barusan?" Han menoleh pada pengawal di sebelah kanannya."Panggil, Tuan! dasar bocah kampung, bodoh," hardik sang pengawal sambil menatap wajah Farhan.Farhan jadi gondok. Seketika simpatinya langsung lenyap. Hilang tak berbekas. Ia malah ingin meludah tepat di wajah Tuan Besar. Pemuda itu berusaha menahan gejolak emosinya."Kamu harus sadar, di mana tempatmu! Apa pantas kau bergaul dengan tuan muda kami, Hah?" ucap Han pada anak itu.Farhan mengepalkan tangannya yang terletak di tanah. Buku jarinya tampak mengeras."Iya, Tuan, saya mengerti," ucap Farhan dengan suara tertahan.Han mengeluarkan dompet dari saku jasnya. Mengambil berlembar- lembar uang warna merah."Ambilah, untuk mengobati lukamu." Mengibas di depan muka Farhan. Tak menunggu tangan Farhan terulur. Sang Tuan sudah menjatuhkan kertas-kertas berharga itu. Sebagian malah terbang sebelum sempat menyentuh tanah. Terbawa hembusan angin di tepi sungai.***Tyana menyambut kedatangan Bara di halaman. Sebuah mobil memasuki gerbang lalu berhenti di muka pintu. Seorang pria nampak turun lalu membuka pintu tengah. Sosok Bara menyembul, keluar dari mobil. Ia berlari ke arah sang ibu."Ibuuu," pekiknya kencang. Ibu dan anak itu saling memeluk."Kenapa kamu pergi tanpa pamit? Kamu tahu, betapa khawatirnya ibumu ini!" ucap Tyana sambil memindai sang putra. Melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki."Aku sungguh senang hari ini, Bu," ucap Bara dengan mata berbinar."Apa kau bilang, anak nakal? Setelah membuat ibu khawatir. Kamu malah bekata amat senang." Tyana mencubit pelan perut buah hatinya."Ha ha ha, bukan begitu, maksudku ibu. Hari ini aku punya teman baru. Dan temanku itu yang telah menyelamatkan nyawaku," cerocos Bara antusias."Sungguh? Apakah ibu harus memberinya sebuah hadiah?" kata Tyana menanggapi penuturan sang anak.Wanita itu mengerlingkan satu matanya. "Kamu juga akan dapat hadiah nanti di rumah. Karena sudah berani mengelabui ibu."
Bara kaget, mulutnya menganga. Reflek tangannya bergerak langsung menutup mulut.
***
Farhan memunguti uang satu demi satu. Selembar uang terhempas. Mengenai rok, lalu jatuh ke sandal seorang wanita. Itu adalah lembar terakhir uang yang disebar sang konglomerat. Farhan mengambilnya. Lalu mendongak, menatap wajah pemilik sandal di depannya.TES.Air menetes tepat saat Farhan mendongak. Ia menatap wanita di hadapannya dengan rasa yang entah.***Samiah tak bisa menahan haru. Air matanya tak bisa dibendung. Melihat baju cucunya kotor terkena tanah. Pipi kirinya bahkan tmpak lebih merah. Dengan mata kepalanya sendiri, Samiah melihat Farhan jatuh bangun. Menggapai lembaran kertas berharga yang terbang tertiup angin."Hiks, Farhan, nenek minta maaf," isak si wanita. Ia masih berdiri di posisinya tadi. Tak berani mendekat apalagi mendekap."Kamu, gak pa pa, kan, Jang?" tanya Asep yang memandu Samiah hingga menemukan Farhan."Iya, Mang. Aku gak apa apa, kok." Farhan menjawab pertanyaan Asep."Ya sudah, ayo kita pulang, Cu. Nanti ayahmu bingung kalau di rumah tidak menemukan orang," ucap Samiah sambil mengulurkan tangan. Mengajak Farhan bangkit kemudian pulang ke rumah.Samiah mengingat peristiwa tadi pagi di pasar. Seorang preman mendatangi kiosnya."Bu, apakah kau akan menikahkan anak lela
Satu orang tampak terkapar di tanah. Kokom menutup mukanya sambil menangis. Di sebelahnya duduk seorang lelaki sedang memukul kepalanya sendiri. Samiah mendekat, ke arah anaknya. Tak percaya pada apa yang dilihatnya. "Agung! Sadarlah, ini ibu. Ibu ada di sini." Samiah mengambil tangan Agung. Ia letakkan di dadanya. Beberapa orang yang tadi mengikuti Samiah berlari. Langsung mengecek keadaan satu pria yang lainnya. "Kita harus membawanya ke rumah sakit. Cepat! Telepon ambulan, sebelum semua terlambat." Farhan meremas rambut di atas kepalanya. Bingung tak tahu harus berbuat apa. "Kak Farhan, apa ayah akan baik-baik saja?" tanya anak perempuan Kokom. "Menurut kamu bagaimana? Ini terjadi karena dia membela kamu dan wanita itu!" seru Farhan sambil menunjuk ke arah Kokom. "Kakak, hiks ... hiks ...." Isak si gadis kecil. "Diamlah! Dan satu lagi, jangan panggil aku 'kakak'. Aku bukan kakak kamu! Dasar kerikil kecil." an
Ayuni menghentikan laju taksi tepat di pintu gerbang utama. Setelah mengonfirmasi identitas, seorang petugas keamanan mempersilakan menunggu. Tak lama buggy car datang menjemput Ayuni. Mobil berdaya aki yang ramah lingkungan."Silakan, naik, Nona Ayuni. Nyonya, sudah menunggu di dalam," ucap si pengemudi. Seorang wanita yang terbilang muda dengan sopan menyilakan Ayuni. Rindangnya pepohonan dan semerbak wangi bunga memanjakan indera penciuman Ayuni. Duduk dalam mobil tanpa kaca, mengingatkan Ayuni saat menemani Han bermain golf, dahulu kala.Ssstt.Buggy car berhenti. Wanita muda tadi menunjuk tempat di mana Nyonya besar sudah menunggu."Silakan Nona berjalan ke arah selatan. Ada sebuah gazebo dengan atap biru. Di sana Nyonya Tyana sudah menunggu," ucap si pelayan sambil menunjukkan jalan, disertai gerak tangan."Baik, terima kasih. Mari," balas Ayuni sambil tersenyum.Ayuni melangkahkan kaki. Berjalan melewati jalanan berpaving. Dari sini p
Tergopoh Agung saat membukakan pintu untuk kedua anaknya."Kau kenapa? Anaknya Kokom? Mana yang sakit?" tanya Agung khawatir.Farhan pun bergegas berangkat ke sekolah lagi. Kali ini dengan buku PR di tangannya."Ayah, apa kau akan terus memanggilku dengan 'Anaknya Kokom?" tanya si gadis menatap ayah barunya."Lalu, siapa nama kamu?" tanya Agung sambil menyatukan dua jari jempol lalu memisahkanya. Ia melakukan gerakan yang sama berulang kali."Kata ibu, aku akan punya nama setelah Ayah dan Ibu menikah. Lalu, aku juga bisa bersekolah. Aku ingin memakai seragam sekolah seperti Kak Farhan. Ia tampak tampan saat memakainya. Aku juga pasti cantik saat memakai seragam sekolah. Iya, kan, Yah?" Si gadis cilik berkata panjang lebar. Untuk sesaat ia lupa merasakan kakinya yang terkilir."Ya, ya, ya. Farhan anak tampan. Farhan anak tampan dan kamu cantik. Kamu cantik. Kamu Cantik," ucap Agung."Jadi nama aku Cantika, Yah?" tanya si gadis cilik.
"Ck." Farhan mencebik pelan. Ia heran kenapa terlahir dalam keluarga seperti ini. Nenek yang cerewet. Ayah yang sering membuatnya malu. Adik baru yang menyebalkan. Ibu baru yang sok peduli. Begitulah lintasan pikiran dalam kepala Farhan."Farhan! Apa yang kau lakukan. Duduk dengan benar. Makanlah apa yang ada di hadapanmu. Tanpa tapi, tanpa keluhan. Kita beruntung, setiap hari selai ada nasi dan temannya. Di luar sana masih banyak orang yang kelaparan," hardik Samiah. Tanpa tahu apa yang berkecamuk dalam pikiran sang cucu.Farhan menjejali mulutnya dengan nasi. Berharap piring di depannya cepat kosong, tak perlu banyak mengunyah. Baginya yang penting bisa langsung tertelan. Pantang bagi Farhan untuk menyisakan makanan yang sudah ada di piring. Pemuda itu mengambil segelas air. Menggontor makanan yang tersangkut di tenggorokan.Piring sudah bersih hanya menyisakan kepala ikan lele dan durinya. Farhan melirik anggota kelua
Apa Ayah tidak terlalu keras padanya?" kata Tyana lembut."Dia sudah mendapat timbal balik yang sesuai. Jangan pernah percaya sepenuhnya pada siapa pun. Percayalah hanya pada dirimu sendiri." Adi Wilaga memberi peringatan pada sang putri."Baiklah, Ayah," balas sang putri. Ayah dan anak itu lalu mengenang tentang mendiang ibu Tyana. Istri Adi Wilaga yang telah berpulang ke haribaan Ilahi."Ayah, merindukan ibumu. Sangat rindu. Ayah ingin meminta maaf padanya," lirih Adi Wilaga.Mengingat sang istri membuat nafasnya mulai tersengal. Oksigen yang keluar masuk dibantu alat itu terganggu."Sudah, Ayah, jika mengingatnya membuatmu sakit, lebih baik melupakannya saja. Ayah harus semangat untuk sembuh. Sehat kembali seperti dulu." Wanita itu mendorong kursi roda. Dari taman bunga menuju ke dalam rumah.Beberapa orang tampak mengawasi dari jauh. Tyana memberi k
"Apa aku bebas memilih, Bu? Ke mana saja, terserah pada Bara?" tanya Bara mencari kepastian."Iya. Jika itu menjadikan kamu lebih serius dalam sekolah kamu ke depannya." Tyana menatap wajah putra semata wayangnya itu.Bara yang ditatap lalu tersenyum. Kulit putih bersihnya bersemu merah saat terkena cahaya matahari sore itu. Mereka memang mengobrol sambil berkeliling rumah menaiki Buggy Car. Aneka satwa dan tumbuhan yang hidup di komplek kediaman Adi Wilaga menjadi pemandangan sambil mengobrol santai antara ibu dan anak tersebut."Aku ingin liburan ke Villa kita di Puncak. He he, boleh kan, Bu? Pasti boleh, laaah," ucap Bara sambil mengerlingkan satu matanya."Kau yakin dengan pilihanmu?" tanya Tyana memastikan.CTEKK.Bara menjentikkan jarinya. Jari jempol dan jari tengah saling beradu."Iya, Ibuku yang paling cantik sedunia. Aku yakin," jawabnya mantap."Hmmm ... akan tetapi, ibu tidak mau sampai kamu main kabur-kab
DRRRRRTSatu pesan diterima. Tyana menggulirkan layar gawai ke atas. Membuka kunci dengan memindai wajah. Tyana melihat pesan yang baru masuk tadi. Raut wajah cantiknya mendadak berubah. Senyum indah yang terukir diwajahnya, lenyap. Berganti dengan sendu. Ia meneteskan bulir air dari kedua kelopak matanya."Ibu!" panggil Bara sambil melambaikan tangan.Gegas Tyana mengusap pipi mulusnya dengan tapak tangan. Ia lalu membalas lambaian tangan sang putra semata wayangnya.Sebuah pesan dari orang kepercayaan di Jakarta. Ia harus bergegas pulang."Sayang, kemarilah!" kata Tyana sedikit berteriak. Ia melambaikan tangan dari kursi tempatnya duduk. Dari tengah kolam Bara berenang cepat ke tepian."Apa Ibuuu? Aku baru sebentar," balas sang Putra saat langkah kakinya semakin dekat."Kemarilah, duduk. Ibu hendak bicara," kata Tyana pelan. Wanita itu juga memberi kode pada pelayanan untuk memberikan handuk pada Bara.Bara mengikuti peri
Handoko yang sudah terlanjur basah berjalan bersisian dengan Bara. Mereka melewati jalan berbatu koral sikat yang disusun membentuk mozaik indah. Sampai di pintu samping masuk ke dalam rumah, Bara berlari kecil meninggalkan ayah dan ibunya yang berjalan di belakang."Saya mandi dulu, ya, Yah!" seru Bara.Handoko mengangguk sambil mengacungkan jempol kanannya. Tyana menepuk pundak suaminya, lalu berkata, "Kamu juga harus lekas mandi, Sayang. Bajumu basah."Usai mandi ada hal yang ditunggu oleh mereka; Bara yang penasaran dengan hadiah dari ayahnya; Tyana yang ingin bicara dengan Adi Wilaga, dan Handoko yang ketar ketir kenapa mertuanya tiba-tiba memanggil pengacara ke rumah.Bara masih mengusap rambut basahnya setelah keramas saat Handoko masuk ke dalam kamarnya."Rupanya mandimu lama juga, Jagoan!" seru Handoko mendekati Bara."Rasanya cuma sebentar, kok, Yah." Bara meleta
Sebuah saung yang dikelilingi kolam ikan menjadi tempat makan sore bagi pasangan Handoko dan Tyana. Mereka duduk bersebelahan sambil memandang puluhan ikan mas yang berenang."Tumben, kamu mengajak aku makan di sini, Sayang," kata Tyana sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing warna putih merk ternama."Sudah lama kita tidak makan nasi liwet. Dulu, tiap kali berhasil menyelesaikan ujian emak selalu memasakkannya untukku."Pramusaji meletakkan sebakul nasi liwet, ikan bakar, sambel terasi dan lalapan. Dua minuman sudah tersaji sebelumnya di meja. Satu gelas jus melon milik Tyana dan sebutir kelapa muda kepunyaan Handoko."Oh, begitu. Selamat, ya," ucap Tyana sembari menyedot jus melon ya. Nada suaranya terdengar sedikit ketus. Bagaimana pun wanita itu merasa tidak enak hati pada ayahnya, Tuan Besar Adi Wilaga. Beberapa waktu yang lalu sang ayah pernah mengutarakan maksud hatinya. Namun, Tyana memilih memberi kepercayaan pada suaminya."T
Sebuah mobil jenis MVP warna hitam melaju cepat, membelah jalan tol Jagorawi. Di dalamnya berisi tiga orang penumpang. Pak Wahono berbincang dengan si pengemudi di kursi depan. Sementara kursi di tengah yang dibatasi kaca tampak seorang bocah sedang bermain game di tab. Berulang kali Lexus LM itu menyalip truk, bus, dan kendaraan lain yang melaju pada hari Minggu pagi. Seberapa cepat mobil itu melaju tetap terasa nyaman, meski begitu keselamatan berkendara tetap menjadi poin utama. Sekali saja ketahuan ugal-ugalan maka dengan mudahnya Nyonya Tyana memecat sang pengemudi.Setelah menang tiga kali dan kalah dua kali dalam permainannya, Bara pun tiba di kediaman kakek dan orang tuanya. Pintu gerbang otomatis terbuka begitu melihat mobil si empunya rumah datang. Dari gerbang ke pintu utama berjarak tiga ratus meter, mobil pun berhenti tepat di muka teras. Bara membuka pintu mobilnya sendiri. Ia bergegas naik ke lantai atas. Ruang istirahat sang kakek tepat berada di depan lift. N
Tirai warna kuning gading tertutup otomatis saat beranjak malam. Penerangan di kamar utama tempat Tuan Besar Adi Wilaga berbaring berganti sepenuhnya dengan lampu yang menempel di atas plafon. Pria akhir enam puluhan itu mengenakan baju piyama warna biru tua. Selang oksigen menempel pada hidung jambu miliknya. Alat medis terpasang pada dada dan jari telunjuknya. Layar monitor yang terpampang di sisi kiri ranjang memantau kinerja organ vital sang pasien. Terbata ia berkata pada putri semata wayangnya, Listyana."Di ma—na cu—cu—ku?" tanya Adi Wilaga dengan nafas terputus-putus."Bara sedang tidak di rumah, Ayah. Apa ayah lupa, dia sedang berlibur di vila kita di Puncak." Tyana menjawab dengan lembut sambil mengusap punggung tangan sang ayah."A—ku ingin meli—hat—nya," Tuan besar menatap anaknya, "AW Corp. milik Bara. Harus dija—ga—""Iya Ayah, Tyana tahu,
Bunyi ketukan langkah dari sepatu Ayuni makin lirih terdengar di telinga Farhan. Wanita itu benar-benar pergi tanpa sepatah kata pun ia ucapkan pada Farhan. Foto Ayuni masih tersimpan dalam dompet lusuh milik neneknya. Farhan tak mungkin salah mengingat karena foto itu masih tampak sama dengan wanita yang baru saja datang dan pergi itu. Ia yakin dialah bibinya, anak perempuan dari sang nenek. Ayuni si kembang desa yang digembar-gemborkan warga kampung bahwa pernah hamil tanpa suami."Berantakan sekali di sini!" ucap Samiah dengan nada keras. Wanita itu sengaja meninggiky suaranya guna menyamarkan hatinya yang bergejolak. Satu sisi ia merasa lega karena anak perempuannya baik-baik saja. Sisi yang lain ia merasa sedih juga penasaran. Kenapa tadi Ayuni sempat ngotot ingin membawa bayinya pergi, bahkan sampai membuat Samiah emosi. Akan tetapi dengan tiba-tiba ia malah berpamitan, tanpa sempat makan sesuap nasi dari rumah masa kecilnya."Iy
Satu kalimat dari Farhan hampir saja membuat Cantika dan Bara terkecoh."Kamu siapa? Aku tidak mengenalmu, Bara," ucap Bara menirukan perkataan Farhan sebelumnya, "Kau baru saja menyebut namaku, haha haha ha."Cantika masih diam menunggu reaksi sang kakak, sementara Bara tertawa terpingkal sambil memegangi perutnya."Dia temanku dari kota." Farhan memberi tahu Cantika lewat lirikan mata dan kalimat penjelas barusan.Ketiga bocah itu lalu menuju dapur. Mereka bersiap makan. Cantika bahkan memamerkan kemampuannya telur dadar. Bara dan Farhan terlihat kaku ketika masing-masing memecah telur warna coklat lalu, memasukkannya ke dalam wadah."Aku bisa, lihatlah!" ucap Bara sambil melubangi bagian atas. Perlahan ia merontokkan kulit dengan mencungkilnya sedikit demi sedikit. Hal itu menjadikan Farhan tidak merasa sabar."Meuni lama pisan! Kelamaan, Bro!" cetus Farhan, "harusnya begini, nih!" Kali ini Farhan giliran unjuk
Perempuan cantik itu tak sabar ingin bertemu dengan bayinya. Ia sungguh berharap anaknya telah tumbuh dengan sehat. Dulu, saat masih di Amerika ia kerap menerima surat dari ibunya. Dalam surat itu sang ibu bercerita tentang anaknya, katanya bocah itu kerap memanggil kata 'mama, mama, mama,mama." Sebuah celotehan yang wajar bagi anak bayi, tapi membuat ibu Ayuni terbawa perasaan. Dalam suratnya ia meminta anak perempuannya itu bersedia pulang untuk sesekali menimang dan mendekap sang bayi. Tentu saja hal itu ditolak mentah-mentah oleh Ayuni. Ia bahkan memaki wanita tua itu saat melakukan panggilan telepon."Amerika itu jauh! Ibu kira di sini jam berapa?! Ini bukan siang, tapi tengah malam, tapi ibu mengajak aku untuk berbicara yang tidak penting! Terserah apa yang mau ibu lakukan dengan anak itu, tidak ada hubungannya dengan aku. Aku sama sekali tidak peduli! Tidak ingin tahu apa-apa tentang dia. Jadi berhentilah menyuruhku pulang, atau mengabarkan tentang perkembangannya. Dar
Dalam sebuah kamar yang cukup luas berbaring sepasang suami istri di atas ranjang yang empuk. Mereka adalah Tyana dan Handoko yang terlelap usai merayakan hari ulang tahun pernikahan semalam. Lampu di atas nakas nyalanya temaram. Tyana terlelap dalam buaian malam. Di sampingnya Handoko hanya memejamkan mata. Tangan kirinya menggenggam ponsel. Baru saja benda pipih itu bergetar. Satu pesan dari kontak bernama Staf divisi 1."Aku butuh uang tunai. Kau bisa mengantarnya sendiri?"Dengan cepat Handoko membalas pesan tersebut. "Okay," isi pesan yang dikirimnya pada nomer kontak tersebut.Handoko menarik nafasnya panjang, lalu mengembuskannya dengan kasar. Ia melirik wanita di samping kirinya. Lelaki itu menatap sang istri lekat. Dalam benaknya ia merasa masih jauh dari bahagia. Keberadaannya bagai sebuah boneka di mata sang mertua—Tuan Besar Adi Wilaga. Mengingat lelaki tua membuat Handoko kembali membuang nafas kasar. Kemudian ia menyeringai menginga
Bara dan Cantika masuk ke dalam villa."Kau tunggulah, di sini! Aku ganti baju dulu di situ," ucap Bara. Jari telunjuknya mengarah pada ruangan di balik pintu.Cantika mengangguk. Ia memutuskan duduk di atas karpet. Bukan di sofa warna krem yang ada di ruangan tersebut.Selang lima menit, Bara pun keluar. Cukup cepat karena anak itu hanya menukar pakaian basah dengan yang kering. Menyisir rambutnya yang berwarna hitam. Terlihat rapi dan tampan."Hai, kenapa kau duduk di situ?" tegur Bara pada Cantika."Mana baju kamu tadi? Berikan padaku, biar aku cuci sekarang!" sahut Cantika. Ia malah tak menjawab pertanyaan Bara."Aku tinggal di dalam kamar. Kau belum jawab pertanyaan dari aku?""Oh, yang mana? Kenapa aku duduk di sini?" tanya Cantika sambil menunjuk lantai dengan matanya. Bocah perempuan itu kini tengah berdiri.Bara menggerakkan alisnya ke atas."Aku terbiasa duduk di lantai. Lagian mana boleh, aku main