Sebuah saung yang dikelilingi kolam ikan menjadi tempat makan sore bagi pasangan Handoko dan Tyana. Mereka duduk bersebelahan sambil memandang puluhan ikan mas yang berenang.
"Tumben, kamu mengajak aku makan di sini, Sayang," kata Tyana sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing warna putih merk ternama.
"Sudah lama kita tidak makan nasi liwet. Dulu, tiap kali berhasil menyelesaikan ujian emak selalu memasakkannya untukku."
Pramusaji meletakkan sebakul nasi liwet, ikan bakar, sambel terasi dan lalapan. Dua minuman sudah tersaji sebelumnya di meja. Satu gelas jus melon milik Tyana dan sebutir kelapa muda kepunyaan Handoko."Oh, begitu. Selamat, ya," ucap Tyana sembari menyedot jus melon ya. Nada suaranya terdengar sedikit ketus. Bagaimana pun wanita itu merasa tidak enak hati pada ayahnya, Tuan Besar Adi Wilaga. Beberapa waktu yang lalu sang ayah pernah mengutarakan maksud hatinya. Namun, Tyana memilih memberi kepercayaan pada suaminya.
"T
Handoko yang sudah terlanjur basah berjalan bersisian dengan Bara. Mereka melewati jalan berbatu koral sikat yang disusun membentuk mozaik indah. Sampai di pintu samping masuk ke dalam rumah, Bara berlari kecil meninggalkan ayah dan ibunya yang berjalan di belakang."Saya mandi dulu, ya, Yah!" seru Bara.Handoko mengangguk sambil mengacungkan jempol kanannya. Tyana menepuk pundak suaminya, lalu berkata, "Kamu juga harus lekas mandi, Sayang. Bajumu basah."Usai mandi ada hal yang ditunggu oleh mereka; Bara yang penasaran dengan hadiah dari ayahnya; Tyana yang ingin bicara dengan Adi Wilaga, dan Handoko yang ketar ketir kenapa mertuanya tiba-tiba memanggil pengacara ke rumah.Bara masih mengusap rambut basahnya setelah keramas saat Handoko masuk ke dalam kamarnya."Rupanya mandimu lama juga, Jagoan!" seru Handoko mendekati Bara."Rasanya cuma sebentar, kok, Yah." Bara meleta
Kediaman keluarga Adi Wilaga tampak ramai. Mobil-mobil berjajar di pelataran. Milik tuan dan nyonya, serta, para tamu undangan. Pria-pria berpakaian rapi. Berjas dan berdasi. Sementara, tamu wanita tampak anggun memakai kebaya dan juga gaun. Beberapa pelayan tampak berlalu lalang. Membawa nampan, menawarkan minuman. Chef hotel berbintang pun didatangkan. Untuk memasak aneka hidangan. Pesta diadakan di taman. Disuguhi warna warni bunga indah menawan. Di hamparan rumput Jepang, disusun meja dan kursi. Karpet merah terbentang. Membelah sisi kanan dan kiri. Seorang lelaki tua duduk di atas kursi roda. Melintasi jalan berkarpet didorong oleh sang putri, Listyana Wilaga. Berpuluh pasang mata tertuju pada Adi Wilaga. Meski raga melemah dimakan usia. Sorot matanya masih sama. Tajam, berkarisma. Para hadirin tak hanya datang untuk memenuhi undangan. Garden party ini juga ajang menampilkan kemewahan. Pun mengamati dengan teliti. Di sisi mana, mereka akan be
Seorang pria dewasa tampak menghampiri Farhan. Ia mengenakan kaos Persib dan celana kolor. "Farhan ... Farhan ... Ayah pulang, ayah pulang! Kersen untuk kamu, kamu suka kersen," kata lelaki itu riang. Di tangannya ada gelas bekas air mineral. Setengah dari gelas plastik itu, berisi buah berwarna merah cerah. Buah Muntingia calabura yang banyak tumbuh di pinggir jalan. Sebagian orang menyebut buah ini, ceri. Farhan menghalau gelas pemberian sang ayah. Tangan Farhan menampol gelas plastik tersebut. Hingga isinya, jatuh berceceran di lantai. Sebagian pecah saat berbenturan dengan ubin, yang lainnya menggelinding. "Jatuh, Farhan suka kersen. Farhan suka kersen." Agung jongkok sambil memunguti buah yang berserak di lantai. "Ayah, hentikan! Aku malu!" teriak Farhan sambil berlalu dari hadapan Agung dan Samiah. Langkah kakinya menginjak buah yang telah ranum itu. Menyemburkan sari buah dan bijinya yang berwarna putih. "Berhenti kau pungut, Nak. Sudah
Samiah duduk terpekur. Membiarkan kain bersih yang baru diambilnya dari jemuran. Tumpang tindih dari kaos kaki hingga topi. Menggunung. Ruwet seperti pikiran Samiah. Ia menyesal telah membentak cucu kesayangannya. Wanita tua itu hanya tak ingin dikasihani. Ia merasa masih mampu. Menghidupi keluarganya dengan tangannya sendiri.Lebih dari dua puluh tahun Samiah berjualan sayur mayur di pasar. Agung anak lelakinya selalu setia menemani. Tenaganya kuat. Orang-orang di pasar senang memakai jasa Agung. Sebagai kuli panggul yang rajin bekerja."Seharusnya, aku tak sekeras itu, pada Farhan! Oh, dasar anak malang," rutuk Samiah sambil mengusap baju seragam sekolah cucunya.Tangannya mulai melipat satu persatu gunungan kain bersih itu. Jika tidak disentuh, entah kapan baju-baju itu bisa menginap dalam lemari. Bisa masuk angin teronggok seharian di balai.Kini, gunungan kain telah
Samiah tak bisa menahan haru. Air matanya tak bisa dibendung. Melihat baju cucunya kotor terkena tanah. Pipi kirinya bahkan tmpak lebih merah. Dengan mata kepalanya sendiri, Samiah melihat Farhan jatuh bangun. Menggapai lembaran kertas berharga yang terbang tertiup angin."Hiks, Farhan, nenek minta maaf," isak si wanita. Ia masih berdiri di posisinya tadi. Tak berani mendekat apalagi mendekap."Kamu, gak pa pa, kan, Jang?" tanya Asep yang memandu Samiah hingga menemukan Farhan."Iya, Mang. Aku gak apa apa, kok." Farhan menjawab pertanyaan Asep."Ya sudah, ayo kita pulang, Cu. Nanti ayahmu bingung kalau di rumah tidak menemukan orang," ucap Samiah sambil mengulurkan tangan. Mengajak Farhan bangkit kemudian pulang ke rumah.Samiah mengingat peristiwa tadi pagi di pasar. Seorang preman mendatangi kiosnya."Bu, apakah kau akan menikahkan anak lela
Satu orang tampak terkapar di tanah. Kokom menutup mukanya sambil menangis. Di sebelahnya duduk seorang lelaki sedang memukul kepalanya sendiri. Samiah mendekat, ke arah anaknya. Tak percaya pada apa yang dilihatnya. "Agung! Sadarlah, ini ibu. Ibu ada di sini." Samiah mengambil tangan Agung. Ia letakkan di dadanya. Beberapa orang yang tadi mengikuti Samiah berlari. Langsung mengecek keadaan satu pria yang lainnya. "Kita harus membawanya ke rumah sakit. Cepat! Telepon ambulan, sebelum semua terlambat." Farhan meremas rambut di atas kepalanya. Bingung tak tahu harus berbuat apa. "Kak Farhan, apa ayah akan baik-baik saja?" tanya anak perempuan Kokom. "Menurut kamu bagaimana? Ini terjadi karena dia membela kamu dan wanita itu!" seru Farhan sambil menunjuk ke arah Kokom. "Kakak, hiks ... hiks ...." Isak si gadis kecil. "Diamlah! Dan satu lagi, jangan panggil aku 'kakak'. Aku bukan kakak kamu! Dasar kerikil kecil." an
Ayuni menghentikan laju taksi tepat di pintu gerbang utama. Setelah mengonfirmasi identitas, seorang petugas keamanan mempersilakan menunggu. Tak lama buggy car datang menjemput Ayuni. Mobil berdaya aki yang ramah lingkungan."Silakan, naik, Nona Ayuni. Nyonya, sudah menunggu di dalam," ucap si pengemudi. Seorang wanita yang terbilang muda dengan sopan menyilakan Ayuni. Rindangnya pepohonan dan semerbak wangi bunga memanjakan indera penciuman Ayuni. Duduk dalam mobil tanpa kaca, mengingatkan Ayuni saat menemani Han bermain golf, dahulu kala.Ssstt.Buggy car berhenti. Wanita muda tadi menunjuk tempat di mana Nyonya besar sudah menunggu."Silakan Nona berjalan ke arah selatan. Ada sebuah gazebo dengan atap biru. Di sana Nyonya Tyana sudah menunggu," ucap si pelayan sambil menunjukkan jalan, disertai gerak tangan."Baik, terima kasih. Mari," balas Ayuni sambil tersenyum.Ayuni melangkahkan kaki. Berjalan melewati jalanan berpaving. Dari sini p
Tergopoh Agung saat membukakan pintu untuk kedua anaknya."Kau kenapa? Anaknya Kokom? Mana yang sakit?" tanya Agung khawatir.Farhan pun bergegas berangkat ke sekolah lagi. Kali ini dengan buku PR di tangannya."Ayah, apa kau akan terus memanggilku dengan 'Anaknya Kokom?" tanya si gadis menatap ayah barunya."Lalu, siapa nama kamu?" tanya Agung sambil menyatukan dua jari jempol lalu memisahkanya. Ia melakukan gerakan yang sama berulang kali."Kata ibu, aku akan punya nama setelah Ayah dan Ibu menikah. Lalu, aku juga bisa bersekolah. Aku ingin memakai seragam sekolah seperti Kak Farhan. Ia tampak tampan saat memakainya. Aku juga pasti cantik saat memakai seragam sekolah. Iya, kan, Yah?" Si gadis cilik berkata panjang lebar. Untuk sesaat ia lupa merasakan kakinya yang terkilir."Ya, ya, ya. Farhan anak tampan. Farhan anak tampan dan kamu cantik. Kamu cantik. Kamu Cantik," ucap Agung."Jadi nama aku Cantika, Yah?" tanya si gadis cilik.
Handoko yang sudah terlanjur basah berjalan bersisian dengan Bara. Mereka melewati jalan berbatu koral sikat yang disusun membentuk mozaik indah. Sampai di pintu samping masuk ke dalam rumah, Bara berlari kecil meninggalkan ayah dan ibunya yang berjalan di belakang."Saya mandi dulu, ya, Yah!" seru Bara.Handoko mengangguk sambil mengacungkan jempol kanannya. Tyana menepuk pundak suaminya, lalu berkata, "Kamu juga harus lekas mandi, Sayang. Bajumu basah."Usai mandi ada hal yang ditunggu oleh mereka; Bara yang penasaran dengan hadiah dari ayahnya; Tyana yang ingin bicara dengan Adi Wilaga, dan Handoko yang ketar ketir kenapa mertuanya tiba-tiba memanggil pengacara ke rumah.Bara masih mengusap rambut basahnya setelah keramas saat Handoko masuk ke dalam kamarnya."Rupanya mandimu lama juga, Jagoan!" seru Handoko mendekati Bara."Rasanya cuma sebentar, kok, Yah." Bara meleta
Sebuah saung yang dikelilingi kolam ikan menjadi tempat makan sore bagi pasangan Handoko dan Tyana. Mereka duduk bersebelahan sambil memandang puluhan ikan mas yang berenang."Tumben, kamu mengajak aku makan di sini, Sayang," kata Tyana sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing warna putih merk ternama."Sudah lama kita tidak makan nasi liwet. Dulu, tiap kali berhasil menyelesaikan ujian emak selalu memasakkannya untukku."Pramusaji meletakkan sebakul nasi liwet, ikan bakar, sambel terasi dan lalapan. Dua minuman sudah tersaji sebelumnya di meja. Satu gelas jus melon milik Tyana dan sebutir kelapa muda kepunyaan Handoko."Oh, begitu. Selamat, ya," ucap Tyana sembari menyedot jus melon ya. Nada suaranya terdengar sedikit ketus. Bagaimana pun wanita itu merasa tidak enak hati pada ayahnya, Tuan Besar Adi Wilaga. Beberapa waktu yang lalu sang ayah pernah mengutarakan maksud hatinya. Namun, Tyana memilih memberi kepercayaan pada suaminya."T
Sebuah mobil jenis MVP warna hitam melaju cepat, membelah jalan tol Jagorawi. Di dalamnya berisi tiga orang penumpang. Pak Wahono berbincang dengan si pengemudi di kursi depan. Sementara kursi di tengah yang dibatasi kaca tampak seorang bocah sedang bermain game di tab. Berulang kali Lexus LM itu menyalip truk, bus, dan kendaraan lain yang melaju pada hari Minggu pagi. Seberapa cepat mobil itu melaju tetap terasa nyaman, meski begitu keselamatan berkendara tetap menjadi poin utama. Sekali saja ketahuan ugal-ugalan maka dengan mudahnya Nyonya Tyana memecat sang pengemudi.Setelah menang tiga kali dan kalah dua kali dalam permainannya, Bara pun tiba di kediaman kakek dan orang tuanya. Pintu gerbang otomatis terbuka begitu melihat mobil si empunya rumah datang. Dari gerbang ke pintu utama berjarak tiga ratus meter, mobil pun berhenti tepat di muka teras. Bara membuka pintu mobilnya sendiri. Ia bergegas naik ke lantai atas. Ruang istirahat sang kakek tepat berada di depan lift. N
Tirai warna kuning gading tertutup otomatis saat beranjak malam. Penerangan di kamar utama tempat Tuan Besar Adi Wilaga berbaring berganti sepenuhnya dengan lampu yang menempel di atas plafon. Pria akhir enam puluhan itu mengenakan baju piyama warna biru tua. Selang oksigen menempel pada hidung jambu miliknya. Alat medis terpasang pada dada dan jari telunjuknya. Layar monitor yang terpampang di sisi kiri ranjang memantau kinerja organ vital sang pasien. Terbata ia berkata pada putri semata wayangnya, Listyana."Di ma—na cu—cu—ku?" tanya Adi Wilaga dengan nafas terputus-putus."Bara sedang tidak di rumah, Ayah. Apa ayah lupa, dia sedang berlibur di vila kita di Puncak." Tyana menjawab dengan lembut sambil mengusap punggung tangan sang ayah."A—ku ingin meli—hat—nya," Tuan besar menatap anaknya, "AW Corp. milik Bara. Harus dija—ga—""Iya Ayah, Tyana tahu,
Bunyi ketukan langkah dari sepatu Ayuni makin lirih terdengar di telinga Farhan. Wanita itu benar-benar pergi tanpa sepatah kata pun ia ucapkan pada Farhan. Foto Ayuni masih tersimpan dalam dompet lusuh milik neneknya. Farhan tak mungkin salah mengingat karena foto itu masih tampak sama dengan wanita yang baru saja datang dan pergi itu. Ia yakin dialah bibinya, anak perempuan dari sang nenek. Ayuni si kembang desa yang digembar-gemborkan warga kampung bahwa pernah hamil tanpa suami."Berantakan sekali di sini!" ucap Samiah dengan nada keras. Wanita itu sengaja meninggiky suaranya guna menyamarkan hatinya yang bergejolak. Satu sisi ia merasa lega karena anak perempuannya baik-baik saja. Sisi yang lain ia merasa sedih juga penasaran. Kenapa tadi Ayuni sempat ngotot ingin membawa bayinya pergi, bahkan sampai membuat Samiah emosi. Akan tetapi dengan tiba-tiba ia malah berpamitan, tanpa sempat makan sesuap nasi dari rumah masa kecilnya."Iy
Satu kalimat dari Farhan hampir saja membuat Cantika dan Bara terkecoh."Kamu siapa? Aku tidak mengenalmu, Bara," ucap Bara menirukan perkataan Farhan sebelumnya, "Kau baru saja menyebut namaku, haha haha ha."Cantika masih diam menunggu reaksi sang kakak, sementara Bara tertawa terpingkal sambil memegangi perutnya."Dia temanku dari kota." Farhan memberi tahu Cantika lewat lirikan mata dan kalimat penjelas barusan.Ketiga bocah itu lalu menuju dapur. Mereka bersiap makan. Cantika bahkan memamerkan kemampuannya telur dadar. Bara dan Farhan terlihat kaku ketika masing-masing memecah telur warna coklat lalu, memasukkannya ke dalam wadah."Aku bisa, lihatlah!" ucap Bara sambil melubangi bagian atas. Perlahan ia merontokkan kulit dengan mencungkilnya sedikit demi sedikit. Hal itu menjadikan Farhan tidak merasa sabar."Meuni lama pisan! Kelamaan, Bro!" cetus Farhan, "harusnya begini, nih!" Kali ini Farhan giliran unjuk
Perempuan cantik itu tak sabar ingin bertemu dengan bayinya. Ia sungguh berharap anaknya telah tumbuh dengan sehat. Dulu, saat masih di Amerika ia kerap menerima surat dari ibunya. Dalam surat itu sang ibu bercerita tentang anaknya, katanya bocah itu kerap memanggil kata 'mama, mama, mama,mama." Sebuah celotehan yang wajar bagi anak bayi, tapi membuat ibu Ayuni terbawa perasaan. Dalam suratnya ia meminta anak perempuannya itu bersedia pulang untuk sesekali menimang dan mendekap sang bayi. Tentu saja hal itu ditolak mentah-mentah oleh Ayuni. Ia bahkan memaki wanita tua itu saat melakukan panggilan telepon."Amerika itu jauh! Ibu kira di sini jam berapa?! Ini bukan siang, tapi tengah malam, tapi ibu mengajak aku untuk berbicara yang tidak penting! Terserah apa yang mau ibu lakukan dengan anak itu, tidak ada hubungannya dengan aku. Aku sama sekali tidak peduli! Tidak ingin tahu apa-apa tentang dia. Jadi berhentilah menyuruhku pulang, atau mengabarkan tentang perkembangannya. Dar
Dalam sebuah kamar yang cukup luas berbaring sepasang suami istri di atas ranjang yang empuk. Mereka adalah Tyana dan Handoko yang terlelap usai merayakan hari ulang tahun pernikahan semalam. Lampu di atas nakas nyalanya temaram. Tyana terlelap dalam buaian malam. Di sampingnya Handoko hanya memejamkan mata. Tangan kirinya menggenggam ponsel. Baru saja benda pipih itu bergetar. Satu pesan dari kontak bernama Staf divisi 1."Aku butuh uang tunai. Kau bisa mengantarnya sendiri?"Dengan cepat Handoko membalas pesan tersebut. "Okay," isi pesan yang dikirimnya pada nomer kontak tersebut.Handoko menarik nafasnya panjang, lalu mengembuskannya dengan kasar. Ia melirik wanita di samping kirinya. Lelaki itu menatap sang istri lekat. Dalam benaknya ia merasa masih jauh dari bahagia. Keberadaannya bagai sebuah boneka di mata sang mertua—Tuan Besar Adi Wilaga. Mengingat lelaki tua membuat Handoko kembali membuang nafas kasar. Kemudian ia menyeringai menginga
Bara dan Cantika masuk ke dalam villa."Kau tunggulah, di sini! Aku ganti baju dulu di situ," ucap Bara. Jari telunjuknya mengarah pada ruangan di balik pintu.Cantika mengangguk. Ia memutuskan duduk di atas karpet. Bukan di sofa warna krem yang ada di ruangan tersebut.Selang lima menit, Bara pun keluar. Cukup cepat karena anak itu hanya menukar pakaian basah dengan yang kering. Menyisir rambutnya yang berwarna hitam. Terlihat rapi dan tampan."Hai, kenapa kau duduk di situ?" tegur Bara pada Cantika."Mana baju kamu tadi? Berikan padaku, biar aku cuci sekarang!" sahut Cantika. Ia malah tak menjawab pertanyaan Bara."Aku tinggal di dalam kamar. Kau belum jawab pertanyaan dari aku?""Oh, yang mana? Kenapa aku duduk di sini?" tanya Cantika sambil menunjuk lantai dengan matanya. Bocah perempuan itu kini tengah berdiri.Bara menggerakkan alisnya ke atas."Aku terbiasa duduk di lantai. Lagian mana boleh, aku main