Kediaman keluarga Adi Wilaga tampak ramai. Mobil-mobil berjajar di pelataran. Milik tuan dan nyonya, serta, para tamu undangan. Pria-pria berpakaian rapi. Berjas dan berdasi. Sementara, tamu wanita tampak anggun memakai kebaya dan juga gaun.
Beberapa pelayan tampak berlalu lalang. Membawa nampan, menawarkan minuman. Chef hotel berbintang pun didatangkan. Untuk memasak aneka hidangan.
Pesta diadakan di taman. Disuguhi warna warni bunga indah menawan. Di hamparan rumput Jepang, disusun meja dan kursi. Karpet merah terbentang. Membelah sisi kanan dan kiri. Seorang lelaki tua duduk di atas kursi roda. Melintasi jalan berkarpet didorong oleh sang putri, Listyana Wilaga.
Berpuluh pasang mata tertuju pada Adi Wilaga. Meski raga melemah dimakan usia. Sorot matanya masih sama. Tajam, berkarisma. Para hadirin tak hanya datang untuk memenuhi undangan. Garden party ini juga ajang menampilkan kemewahan. Pun mengamati dengan teliti. Di sisi mana, mereka akan berpihak kedepannya. Presiden direktur, yang baru saja naik, atau tetap di sisi tetua.
"Terima kasih, saya ucapkan kepada semua hadirin yang telah datang. Terima kasih telah mendoakan kesembuhan untuk saya. Berkat doa kalian, lihatlah ... saya sudah jauh lebih sehat," Adi Wilaga berkata dengan mic di tangan kanannya.
Mata lelaki tua itu menyisir dari kiri ke kanan. Dari belakang ke depan.
"Ada dua hal yang ingin saya umumkan hari ini. Yang pertama, saya memutuskan pensiun. Tak lagi mengurus secara langsung AW corp." Lelaki tua itu menghela napasnya panjang. Menghembuskannya perlahan.
"Saya ingin sepeninggal saya, AW corp. tetap bisa terus eksis. Mari tetap bekerja keras." Adi Wilaga mengangkat kepalan tangannya ke udara.
Hadirin riuh, bertepuk tangan.
"Pengumuman ke dua. Saya memberikan sebagian saham pada menantu saya, Handoko. Calon terkuat presiden direktur berikutnya."
Kembali suara tepuk tangan terdengar bersahutan.
"Saya harap kamu bisa menjaga AW corp. dengan baik. Ingat! Kamu harus mengembalikannya saat Bara sudah dewasa," bisik Adi Wilaga di telinga Handoko sambil menyerahkan microfon.
Handoko mengambil alih mic sambil tersenyum. Lalu membungkuk hormat pada bapak mertuanya. Lelaki awal empat puluhan itu mengucapkan salam pada hadirin. Ia membeberkan visi dan misi untuk menjalankan perusahaan. Sesekali matanya melirik sang istri, Listyana. Yang disambut senyum merekah dan anggukan.
***
Tamu undangan sudah meninggalkan kediaman keluarga Adi Wilaga. Rumah yang dibangun di tengah lahan seluas empat hektar. Hamparan kebun bunga di halaman samping kanan. Kebun binatang pribadi di halaman belakang. Teras sebelah kiri rumah langsung menghadap kolam renang. Lengkap dengan tangga serta seluncuran setinggi dua belas meter.
Di salah satu ruangan rumah besar itu, "Kamu, sudah bekerja dengan baik, Sayang," kata Listyana pada Handoko. Tangan lentiknya membantu melepas dasi. Lalu, melepas satu persatu kait kancing kemeja sang suami.
"Terima kasih, istriku," ucap Handoko sambil mencium dahi si wanita. Listyana membalas dengan lebih.
"Ayo, kita memberi Bara seorang adik," bisik putri tunggal Adi Wilaga itu, tepat di telinga Handoko. Mendengar ucapan istrinya, membuat ingatan Pria itu terlempar ke belakang. Pada kejadian sembilan tahun silam.
Saat dimana ayah Tyana meminta dirinya untuk menikahi putrinya yang sedang dalam keadaan hamil, dengan imbalan lima persen saham perusahaan. Dengan catatan, dia tidak boleh menghamili istrinya.
"Han ...." Suara lembut Tyana membawa Handoko ke masa kini.
"Iya, Sayang. Aku mau mandi dulu. Kamu, tidurlah." Handoko melepas tangan Tyana dari lehernya.
Ia bermaksud untuk menemukan surat itu. Surat perjanjian pra nikah yang ditandatanganinya, dulu. Pria itu kini menginginkan lebih. Bukan cuma lima persen saham, dan seorang istri yang cantik. Kali ini Handoko bertekad, kelak darah dagingnya juga harus menikmati kemewahan ini.
Saat itu keluarga Adi Wilaga baru saja berduka. Pesawat yang membawa Tubagus, satu-satunya menantu di keluarga itu, mengalami kecelakaan. Jatuh tenggelam dan seluruh penumpangnya dinyatakan tewas. Tak hanya Tyana yang beduka karena kehilangan suami, dan ayah dari anak yang sedang di kandungnya. Adi Wilaga pun sedih atas meninggalnya menantu sekaligus tangan kanannya di perusahaan.Memikirkan kondisi putrinya yang sedang mengandung, Adi Wilaga pun memutuskan untuk menjodohkan Tyana dengan salah satu orang kepercayaannya.
"Han, apa kau mau jadi menantuku?" tanya Sang Tetua suatu siang. Saat itu, hanya Handoko orang kepercayaan tetua yang belum menikah.
Pria sempat galau. Ia tak langsung mengiyakan permintaan sang konglomerat. Masalahnya, pacarnya baru saja memberitahu bahwa ia tengah mengandung. Mereka bahkan berencana segera menikah.
Bagaimanapun, pesona Tyana tidak bisa diabaikannya begitu saja. Apalagi sejak jaman kuliah, Handoko memang tergila-gila pada gadis itu. Saat itu, Han cukup tahu diri dengan tidak mengungkapkan perasaannya. Dirinya tahu, gadis pujaannya telah dijodohkan dengan seorang lelaki yang bibit bebet dan bobotnya setara. Namun, sekarang wanita itu telah menjanda.
.."Bagaimana, Han? Apa kau sudah mengambil keputusan?" tanya Adi Wilaga untuk kedua kalinya. Tepat tiga bulan tiga hari dari tanggal naas jatuhnya pesawat."Saya, bersedia," tegas Handoko.
Adi Wilaga pun membuat sebuah surat perjanjian, dan menyerahkannya pada Handoko. Lelaki bermata hitam itu membaca butir-butir isi perjanjian. Handoko tercengang saat membaca ia tak boleh sampai menghamili Listyana, calon istrinya.
Ia berpikir sejenak. Saat itu cukup baginya hanya memiliki Listyana. Juga lima persen saham perusahaan ia dapatkan cuma-cuma. Dengan uang yang dimilikinya nanti, ia pasti bisa membungkam mulut Ayuni, pacarnya.
Handoko pun menandatangani surat perjanjian itu. Pengacara Tuan Adi Wilaga mengambil surat yang sudah dibubuhi tanda tangan. Selanjutnya surat itu akan disahkan oleh notaris. Sebelum dikembalikan lagi pada Tetua.
Sejak Lystiana melahirkan Bara, ia tak lagi bekerja di kantor. Waktu Tyana dihabiskan untuk bersama anaknya. Wanita muda itu juga menjadi seorang donatur. Secara rutin ia menyumbang untuk kegiatan sosial. Ia juga orang tua asuh dari sekian banyak anak kurang mampu."Siapa di sini, yang bisa memperkenalkan diri menggunakan bahasa Inggris?" tanya Tyana pada acara santunan anak yatim dan dhuafa.
Matanya memindai anak-anak yang berdiri di panggung. Acara yang berlangsung pada sore hari itu cukup meriah. Tenda bak orang hajatan terpasang di tanah lapang tepat di depan pabrik sabun. Salah satu anak perusahaan AW. Corp. di Bogor.
Semua diam saja, tidak ada yang menjawab.
"Jangan takut, ya. Percaya dirilah! Yang bisa, nanti ibu kasih hadiah tambahan, mau?" Tyana mengedarkan pandangannya lagi.
Seorang bocah lelaki mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Ya, kamu! Siapa, namamu?" tanya Tyana sambil menatap lekat padanya.
"Hello, Good morning everyone! My name is Farhan." Anak lelaki itu berseru lantang.
"Good. Bagus!" puji Tyana lalu bertepuk tangan. Semua yang hadir turut bertepuk tangan.
Tyana memberikan bingkisan dan amplop. Anak-anak dari keluarga kurang mampu itu berterimakasih menerimanya.
Citra AW corp. makin baik di mata masyarakat. Tak lain karena kedermawanan Listyana.
"Datanglah, ke vila kami, Nak. Ibu tunggu, besok sore, ya!" ucap Tyana pada Farhan.
"Baik, Bu." Farhan mengangguk. Lalu, semua anak diminta memamerkan giginya. Pencitraan lewat dokumentasi.
***"Farhan! Kembalikan semua ini!" Samiah berteriak pada cucunya. Ia begitu geram. Saat tahu sejumlah uang dan sembako didapatnya dari nyonya muda grup AW.
"Kamu bukan anak yatim! Itu dia, ayahmu datang," kata Samiah lagi saat melihat Agung.Farhan tak habis pikir kenapa sang nenek marah padanya. Semua orang di kampung ini pun tahu, kalau dirinya anak Agung. Meski bisik-bisik berdengung jelas, bahwa Agung hanyalah ayah di atas kertas.
•~reinma~•Seorang pria dewasa tampak menghampiri Farhan. Ia mengenakan kaos Persib dan celana kolor. "Farhan ... Farhan ... Ayah pulang, ayah pulang! Kersen untuk kamu, kamu suka kersen," kata lelaki itu riang. Di tangannya ada gelas bekas air mineral. Setengah dari gelas plastik itu, berisi buah berwarna merah cerah. Buah Muntingia calabura yang banyak tumbuh di pinggir jalan. Sebagian orang menyebut buah ini, ceri. Farhan menghalau gelas pemberian sang ayah. Tangan Farhan menampol gelas plastik tersebut. Hingga isinya, jatuh berceceran di lantai. Sebagian pecah saat berbenturan dengan ubin, yang lainnya menggelinding. "Jatuh, Farhan suka kersen. Farhan suka kersen." Agung jongkok sambil memunguti buah yang berserak di lantai. "Ayah, hentikan! Aku malu!" teriak Farhan sambil berlalu dari hadapan Agung dan Samiah. Langkah kakinya menginjak buah yang telah ranum itu. Menyemburkan sari buah dan bijinya yang berwarna putih. "Berhenti kau pungut, Nak. Sudah
Samiah duduk terpekur. Membiarkan kain bersih yang baru diambilnya dari jemuran. Tumpang tindih dari kaos kaki hingga topi. Menggunung. Ruwet seperti pikiran Samiah. Ia menyesal telah membentak cucu kesayangannya. Wanita tua itu hanya tak ingin dikasihani. Ia merasa masih mampu. Menghidupi keluarganya dengan tangannya sendiri.Lebih dari dua puluh tahun Samiah berjualan sayur mayur di pasar. Agung anak lelakinya selalu setia menemani. Tenaganya kuat. Orang-orang di pasar senang memakai jasa Agung. Sebagai kuli panggul yang rajin bekerja."Seharusnya, aku tak sekeras itu, pada Farhan! Oh, dasar anak malang," rutuk Samiah sambil mengusap baju seragam sekolah cucunya.Tangannya mulai melipat satu persatu gunungan kain bersih itu. Jika tidak disentuh, entah kapan baju-baju itu bisa menginap dalam lemari. Bisa masuk angin teronggok seharian di balai.Kini, gunungan kain telah
Samiah tak bisa menahan haru. Air matanya tak bisa dibendung. Melihat baju cucunya kotor terkena tanah. Pipi kirinya bahkan tmpak lebih merah. Dengan mata kepalanya sendiri, Samiah melihat Farhan jatuh bangun. Menggapai lembaran kertas berharga yang terbang tertiup angin."Hiks, Farhan, nenek minta maaf," isak si wanita. Ia masih berdiri di posisinya tadi. Tak berani mendekat apalagi mendekap."Kamu, gak pa pa, kan, Jang?" tanya Asep yang memandu Samiah hingga menemukan Farhan."Iya, Mang. Aku gak apa apa, kok." Farhan menjawab pertanyaan Asep."Ya sudah, ayo kita pulang, Cu. Nanti ayahmu bingung kalau di rumah tidak menemukan orang," ucap Samiah sambil mengulurkan tangan. Mengajak Farhan bangkit kemudian pulang ke rumah.Samiah mengingat peristiwa tadi pagi di pasar. Seorang preman mendatangi kiosnya."Bu, apakah kau akan menikahkan anak lela
Satu orang tampak terkapar di tanah. Kokom menutup mukanya sambil menangis. Di sebelahnya duduk seorang lelaki sedang memukul kepalanya sendiri. Samiah mendekat, ke arah anaknya. Tak percaya pada apa yang dilihatnya. "Agung! Sadarlah, ini ibu. Ibu ada di sini." Samiah mengambil tangan Agung. Ia letakkan di dadanya. Beberapa orang yang tadi mengikuti Samiah berlari. Langsung mengecek keadaan satu pria yang lainnya. "Kita harus membawanya ke rumah sakit. Cepat! Telepon ambulan, sebelum semua terlambat." Farhan meremas rambut di atas kepalanya. Bingung tak tahu harus berbuat apa. "Kak Farhan, apa ayah akan baik-baik saja?" tanya anak perempuan Kokom. "Menurut kamu bagaimana? Ini terjadi karena dia membela kamu dan wanita itu!" seru Farhan sambil menunjuk ke arah Kokom. "Kakak, hiks ... hiks ...." Isak si gadis kecil. "Diamlah! Dan satu lagi, jangan panggil aku 'kakak'. Aku bukan kakak kamu! Dasar kerikil kecil." an
Ayuni menghentikan laju taksi tepat di pintu gerbang utama. Setelah mengonfirmasi identitas, seorang petugas keamanan mempersilakan menunggu. Tak lama buggy car datang menjemput Ayuni. Mobil berdaya aki yang ramah lingkungan."Silakan, naik, Nona Ayuni. Nyonya, sudah menunggu di dalam," ucap si pengemudi. Seorang wanita yang terbilang muda dengan sopan menyilakan Ayuni. Rindangnya pepohonan dan semerbak wangi bunga memanjakan indera penciuman Ayuni. Duduk dalam mobil tanpa kaca, mengingatkan Ayuni saat menemani Han bermain golf, dahulu kala.Ssstt.Buggy car berhenti. Wanita muda tadi menunjuk tempat di mana Nyonya besar sudah menunggu."Silakan Nona berjalan ke arah selatan. Ada sebuah gazebo dengan atap biru. Di sana Nyonya Tyana sudah menunggu," ucap si pelayan sambil menunjukkan jalan, disertai gerak tangan."Baik, terima kasih. Mari," balas Ayuni sambil tersenyum.Ayuni melangkahkan kaki. Berjalan melewati jalanan berpaving. Dari sini p
Tergopoh Agung saat membukakan pintu untuk kedua anaknya."Kau kenapa? Anaknya Kokom? Mana yang sakit?" tanya Agung khawatir.Farhan pun bergegas berangkat ke sekolah lagi. Kali ini dengan buku PR di tangannya."Ayah, apa kau akan terus memanggilku dengan 'Anaknya Kokom?" tanya si gadis menatap ayah barunya."Lalu, siapa nama kamu?" tanya Agung sambil menyatukan dua jari jempol lalu memisahkanya. Ia melakukan gerakan yang sama berulang kali."Kata ibu, aku akan punya nama setelah Ayah dan Ibu menikah. Lalu, aku juga bisa bersekolah. Aku ingin memakai seragam sekolah seperti Kak Farhan. Ia tampak tampan saat memakainya. Aku juga pasti cantik saat memakai seragam sekolah. Iya, kan, Yah?" Si gadis cilik berkata panjang lebar. Untuk sesaat ia lupa merasakan kakinya yang terkilir."Ya, ya, ya. Farhan anak tampan. Farhan anak tampan dan kamu cantik. Kamu cantik. Kamu Cantik," ucap Agung."Jadi nama aku Cantika, Yah?" tanya si gadis cilik.
"Ck." Farhan mencebik pelan. Ia heran kenapa terlahir dalam keluarga seperti ini. Nenek yang cerewet. Ayah yang sering membuatnya malu. Adik baru yang menyebalkan. Ibu baru yang sok peduli. Begitulah lintasan pikiran dalam kepala Farhan."Farhan! Apa yang kau lakukan. Duduk dengan benar. Makanlah apa yang ada di hadapanmu. Tanpa tapi, tanpa keluhan. Kita beruntung, setiap hari selai ada nasi dan temannya. Di luar sana masih banyak orang yang kelaparan," hardik Samiah. Tanpa tahu apa yang berkecamuk dalam pikiran sang cucu.Farhan menjejali mulutnya dengan nasi. Berharap piring di depannya cepat kosong, tak perlu banyak mengunyah. Baginya yang penting bisa langsung tertelan. Pantang bagi Farhan untuk menyisakan makanan yang sudah ada di piring. Pemuda itu mengambil segelas air. Menggontor makanan yang tersangkut di tenggorokan.Piring sudah bersih hanya menyisakan kepala ikan lele dan durinya. Farhan melirik anggota kelua
Apa Ayah tidak terlalu keras padanya?" kata Tyana lembut."Dia sudah mendapat timbal balik yang sesuai. Jangan pernah percaya sepenuhnya pada siapa pun. Percayalah hanya pada dirimu sendiri." Adi Wilaga memberi peringatan pada sang putri."Baiklah, Ayah," balas sang putri. Ayah dan anak itu lalu mengenang tentang mendiang ibu Tyana. Istri Adi Wilaga yang telah berpulang ke haribaan Ilahi."Ayah, merindukan ibumu. Sangat rindu. Ayah ingin meminta maaf padanya," lirih Adi Wilaga.Mengingat sang istri membuat nafasnya mulai tersengal. Oksigen yang keluar masuk dibantu alat itu terganggu."Sudah, Ayah, jika mengingatnya membuatmu sakit, lebih baik melupakannya saja. Ayah harus semangat untuk sembuh. Sehat kembali seperti dulu." Wanita itu mendorong kursi roda. Dari taman bunga menuju ke dalam rumah.Beberapa orang tampak mengawasi dari jauh. Tyana memberi k