“Tanda tangani ini.”
Cita baru saja keluar dari kamar mandi, saat melihat pria yang baru dinikahinya melempar sebuah map di atas tempat tidur. Ia baru saja membersihkan tubuh, dari semua penat setelah menjadi ratu sehari di pelaminan.
“Apa itu?” Dengan mengeratkan tali bathrobe, Cita menghampiri tempat tidur. Menghempas bokongnya di tepi, lalu membuka map berwarna biru tersebut. “Surat … pernyataan …”
Cita membacanya dengan seksama dan perlahan, agar tidak ada yang terlewat sama sekali.
“Kamu tahu sendiri, kita menikah karena dijodohkan keluarga.” Pandu ikut duduk di sudut tempat tidur. Hanya memberi jarak sekitar 50 senti dari tempat Cita berada. “Dan, sebenarnya aku juga sudah punya rencana nikah dengan pacarku.”
Dahi Cita mengerut, saat membaca surat izin untuk berpoligami dari Pandu, suaminya. Belum ada 24 jam mereka menikah, tetapi pria itu sudah berani meminta izin untuk menikahi wanita lain.
“Mas, kalau kamu sudah punya pacar, kenapa mau dijodohin sama aku?” tanya Cita sambil menutup map tersebut, lalu meletakkannya kembali di tempat tidur.
“Orang tua kita itu sama, Cit.” Pandu memberi alasan konkrit. “Mereka cuma peduli dengan harta dan nama besar. Mereka juga nggak pernah tanya tentang perasaan anaknya. Dan setelah aku pikir-pikir, nggak ada ruginya juga nikah sama kamu. Karena keluargamu butuh penerus, untuk mengawasi perusahaan, kan?”
“Tapi kamu itu laki-laki, Mas,” Cita bersedekap, masih bingung dengan keputusan yang akan diambilnya. “Harusnya bisa lebih tegas. Sementara aku? Aku nggak bisa cerita apapun, kenapa aku sampai setuju nikah sama kamu.”
“Sudahlah,” kata Pandu tidak ingin berpanjang-panjang. “Tanda tangani surat itu, karena aku mau nikah dengan pacarku, Laura, besok pagi.”
“Terus aku?” Pria itu pasti sudah Gila, pikir Cita. Hari ini Pandu menikah dengan Cita, dan besok, pria itu akan menikah dengan wanita bernama Laura. “Kenapa kita nggak cerai aja?”
“Dan bikin malu seluruh keluarga besar?” Pandu mulai menaikkan intonasi bicaranya. “Kita baru nikah, tapi sudah cerai? Harusnya kamu mikir pake otak.”
“Mas, omongan kamu itu kasar.” Cita mulai mengamati sikap Pandu. Selama ini mereka hanya beberapa kali bertemu, dan itu pun, hanya saat makan malam keluarga. Pria itu selalu memberi alasan, ketika Cita mengajaknya untuk bertemu berdua dan membicarakan pernikahan mereka.
“Dan inilah aku, Cit,” terang Pandu. “Aku nggak sebaik, seperti yang kamu lihat di pemberitaan. Jadi, buruan tanda tangan.”
Pandu mengeluarkan pulpen, dari tuxedo pengantin yang belum ia buka. Kemudian, benda tersebut ia letakkan di atas map yang masih tergeletak di tempat tidur.
“Aku nggak mau.” Cita menggeleng, kemudian bangkit. Namun, baru satu detik tubuhnya berdiri, Pandu menarik keras tangannya. Akibatnya, Cita kembali terduduk dengan kasar di tempatnya semula. “Mas!”
“Tanda tangan aku bilang,” titah Pandu. “Setelah itu, tutup mulut dan kita tetap jalani pernikahan ini seperti yang diinginkan keluarga. Aku bisa aja nikah tanpa persetujuan kamu, tapi, aku nggak mau ada masalah di belakang nantinya.”
“Terus, kenapa aku harus nurutin kamu?”
“Karena …” Pandu memajukan wajah, untuk mengintimidasi Cita. Ia menjepit dagu Cita, agar wajah cantik itu tetap mengarah padanya. “Kamu nggak kompeten dan nggak akan pernah bisa mengurus perusahaan keluarga Lukito, jadi, mereka butuh aku. Paham itu?”
Pandu benar!
Pernikahan ini terjadi, karena perusahaan keluarga Lukito membutuhkan penerus untuk mengelola dan mengawasi perusahaan. Sementara Cita, memang tidak pernah terlibat sedikit pun dalam perusahaan keluarga.
Sebenarnya, Cita memiliki satu lagi saudara tiri dari ibu yang berbeda. Saudara tirinya bernama Kasih, putri dari mantan istri pertama sang papa. Namun, wanita itu tidak pernah mau ikut campur dengan urusan keluarga Lukito, berikut dengan perusahaannya. Terlebih-lebih, ketika Kasih sudah mengetahui papanya pernah berselingkuh dengan ibu Cita dahulu kala.
“Atau, kamu mau kita keluar, dan bicara dengan keluarga tentang masalah ini?” Pandu melepas tangan dari wajah Cita, kemudian bangkit.
“Jangan.” Tatapan Cita beralih ragu pada map tersebut. Serba salah.
Bila menolak, sang papa pasti akan kembali memaki maminya. Semua sumpah serapah, akan diterima sang mami, dan kesalahan juga akan kembali tertuju pada maminya, Sandra. Hal tersebutlah yang tidak ingin lagi dilihat oleh Cita. Seburuk apapun Sandra di masa lalu, wanita itu tetaplah seorang ibu yang terbaik bagi Cita. “Biar aku tanda tangani surat itu, asal Mas Pandu bisa kasih jaminan, pernikahan besok akan tetap jadi rahasia. Jangan sampai ada yang tahu.”
Pandu menunduk. Memberi senyum lebar nan tulus pada Cita. Ia tidak menduga, membujuk Cita ternyata semudah seperti membalik telapak tangan.
“Serius, Cit?” Pandu kembali duduk, dan menjatuhkan tangan kanannya di bahu Cita. “Imbalan apa yang kamu mau?”
“Aku serius,” angguk Cita. “Dan itu tadi, aku minta tetap rahasiakan pernikahan Mas Pandu dari semua orang. Terus, waktu di depan keluarga, kita harus tetap baik-baik aja.”
“Cuma itu?” buru Pandu benar-benar merasa bahagia, karena semua berjalan sesuai dengan rencana. “Apa ada lagi?”
“Ada.” Cita melepas tangan Pandu yang masih berada di pundaknya. “Aku minta Mas Pandu janji, nggak akan pernah “menyentuhku” sampai kapanpun. Itu aja, dan aku ikhlas Mas Pandu nikah dengan perempuan itu. Silakan.”
Pandu mengangguk. “Aku jan– sebentar, ada telpon.”
Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. Ia bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju lemari karena Pandu sedang menerima telepon. Dari sapaan sayang pria itu, sepertinya calon istri Pandulah yang tengah menghubungi. Mungkin, wanita itu ingin memastikan calon suaminya tidak melakukan ritual malam pertama dengan Cita.
“Cita!” panggil Pandu ketika langkah gadis itu tertuju ke kamar mandi. “Laura mau bicara sama kamu.”
“Laura …” Cita mendadak penasaran, dengan wanita yang menjadi kekasih suaminya.
“Ya, pacarku,” ujar Pandu mengingatkan. Ia menghampiri Cita, lalu menyodorkan ponselnya pada gadis itu.
Tanpa ekspresi, Cita meraih ponsel pria itu lalu menempelkan ke telinga. “Halo,” sapanya datar sambil kembali ke tempat tidur, dan duduk di sana. Meletakkan piyama tidur yang baru diambilnya, di pangkuan.
“Halo, Cit … ini aku Laura, pacar mas Pandu,” kata Laura tanpa keraguan. “Maaf kalau jalannya harus begini, tapi kami sudah pacaran lama dan saling mencintai. Sebagai sesama perempuan, kamu pasti bisa ngerti bagaimana posisiku sekarang.”
“Maaf, tapi aku tetap nggak ngerti,” sahut Cita tetap datar. Memangnya, apa yang harus Cita mengerti?
“Maksudku, kami saling mencintai dan sudah merencanakan pernikahan dari jauh hari. Jad–”
“Terus kenapa kalian nggak nikah aja?” potong Cita seraya menahan senyum miringnya. “Harusnya, kalau cinta itu diperjuangkan, bukan jadiin orang lain sebagai korban. Atau, jangan-jangan kamu hamil duluan?” tanya Cita tanpa basa basi.”
“Cita!” Pandu segera menghardik dan merampas ponselnya dari genggaman gadis itu. “Maksudmu apa ngomong begitu? Laura nggak hamil!”
“Nggak ada maksud apa-apa,” sahut Cita dengan senyum tipisnya. “Wajar kalau aku tanya seperti itu, kan? Kalau kalian berdua saling cinta, kenapa nggak diperjuangin? Kawin lari, kek? Atau, kalian bisa nikah siri dulu dan … pokoknya, kalian itu sebenarnya bisa ngelakuin apa aja, sebelum pernikahan kita ini terjadi. Omonganku masuk akal, kan?”
Pandu memutus panggilan di ponselnya, tanpa berbicara lagi dengan Laura. “Nggak semudah itu, Cit.”
“Apa sudah diusahain?” tanya Cita kembali berdiri dan membawa piyamanya.
“Aku sudah kenalkan Laura dari jauh hari,” terang Pandu. “Bahkan sebelum ide pernikahan konyol ini diusulkan. Tapi, orang tuaku nggak setuju.”
Konyol katanya? Perjanjian yang sudah mereka buat di depan Tuhan, hanya dicap sebagai sebuah kekonyolan bagi Pandu. Cita yakin, pasti ada banyak hal yang yang masih disembunyikan Pandu darinya. “Alasannya?”
“Karena Laura bukan dari kalangan kita,” jelas Pandu. “Ngerti maksudku, kan?”
Cita menggeleng dan meninggalkan Pandu menuju kamar mandi. Sepertinya Cita akan mandi sekali lagi. Berendam di bathtub, untuk menenangkan diri. “Yang aku ngerti cuma satu, kamu itu pengecut. Dah, itu doang!”
“Terserah!” seru Pandu. “Tapi tanda tangani dulu surat tadi, Cit!”
Cita berhenti melangkah. Menghela kecil, lalu berbalik dan kembali menghampiri tempat tidur. Cita berlutut, lalu mengambil pulpen yang ada di sana dan segera menandatangani surat izin menikah lagi, sebagai persetujuan poligami.
“Aku sudah tanda tangan,” kata Cita sambil berdiri. “Sekarang pergilah, dan selamat menempuh hidup baru.”
~~~
Yuhuu … masih ingat dong sama Sandra ~~ pelakor sukses yang berhasil merebut Harry dari bu Elok -_-
Apa kita akan ketemu lagi dengan mas Triplek di sini? Ehehee …
Satu tahun kemudian.~~“Ini, kan, rumah sakit bersalin?” Cita melirik sebentar pada sang mami yang duduk di sebelahnya. Setelah itu, ia kembali berkonsentrasi dengan kemudinya, guna mencari tempat parkir. “Mau ngapain kita ke sini, Mi?” tanyanya kembali pada Sandra.“Kamu sudah nikah satu tahun, tapi belum isi juga.” Sandra menjawab, sembari terus mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Satu tawa sinis kemudian Sandra lontarkan, saat masa lalu terbersit di benaknya. “Kalau omamu masih hidup, dia pasti jadi orang pertama yang tertawa dan–”“Mami, sudah!” henti Cita sedikit meninggikan nada bicaranya. Membicarakan mendiang Joana, selalu membuat hati Cita sesak. Sejak kecil, cap anak haram selalu saja diberikan oleh sang oma tanpa pernah mau berbasa-basi. Tidak hanya itu, Joana juga kerap membandingkan Cita dengan Kasih, dalam hal apa pun, tanpa terkecuali. Karena hal tersebut pula, Cita bahkan tidak merasa sedih sedikitpun ketika Joana terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dan pada akhi
“Mami!” Cita segera berbalik, ketika mendengar suara Sandra memanggil. Ia tidak mau peduli dengan keadaan Pandu, yang mungkin tengah kebingungan menyembunyikan Laura. Bila Pandu saja tidak pernah peduli dengannya, mengapa Cita harus peduli dengan pria itu.Hidup satu atap bagai orang asing selama satu tahun ke belakang, sudah cukup membuat Cita terluka. Puncaknya adalah hari ini, di mana Cita melihat Laura yang ternyata sudah berbadan dua, dan akan melahirkan dalam waktu dekat.“Mami ngapain?” tanya Cita menyimpan kegugupannya rapat-rapat.“Mami juga mau ke toi … Pandu?” Sandra menatap heran, sekaligus curiga dengan kehadiran menantunya. “Kamu ada di sini juga? Ngapain?”Cita kembali berbalik menatap Pandu. Sorot matanya berlari mencari sosok Laura, tetapi, wanita itu mendadak hilang begitu saja.“Kebetulan.” Pandu mengusap tengkuk, berusaha terlihat biasa dan sedang mencari alasan yang tepat. Tadinya, Pandulah yang ingin bersembunyi, dengan segera masuk ke dalam kamar kecil khusus pr
“Malam, Pa,” sapa Cita saat melihat Harry berada di ruang tengah kediaman Lukito. Setelah bicara dengan Pandu, Cita memutuskan untuk pulang ke rumah. Tempat di mana ia dibesarkan, dengan mendengar banyak cacian dari mulut Joana setiap harinya.“Malam,” balas Harry tanpa menoleh, dan tetap memandang televisi layar datar di hadapan. Melihat Cita, selalu mengingatkan Harry tentang kebodohan yang dilakukannya dahulu kala. Bermain api dengan Sandra, dan terlalu ceroboh sehingga Cita hadir di antara mereka. Harry tidak membenci Cita, tetapi sangat susah baginya untuk memberikan semua rasa cintanya kepada putrinya itu. Andai saja Sandra tidak hamil anak Harry, kemungkinan besar ia masih bisa rujuk dan kembali dengan Elok.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Karena kecerobohan Elok jualah, akhirnya Sandra memiliki satu senjata yang digunakannya untuk mengancam keluarga Lukito. Mau tidak mau, Harry akhirnya menikahi Sandra, dan membawa wanita itu ke dalam keluarganya.Cita menarik napas melihat s
Cita menarik napas panjang, sebelum memasuki ruang tengah keluarga Atmawijaya. Pagi-pagi sekali, mama mertuanya menelepon dan meminta Cita untuk datang ke rumah wanita itu. Tanpa bertanya kabar, ataupun berbasa-basi seperti biasanya. Cita yakin, Tessa sudah mengetahui kabar kisruh rumah tangga yang sudah ia simpan sendiri selama hampir satu tahun. Setelah memantapkan hati, Cita pun memasuki ruang tersebut. Ia mendapati Sandra, dan seluruh anggota keluarga Atmawijaya ada di sana, tanpa terkecuali. Sepertinya, Sandra sudah menceritakan semua hal kepada besannya itu. “Pagi,” sapa Cita menyematkan senyum kecil, dan langsung menghampiri kedua mertuanya lebih dulu. Setelah mencium punggung tangan sepasang suami istri itu dengan hormat, Cita segera beralih pada Sandra, dan duduk di sebelah sang mami. Sejenak, Cita menyapa Pasha dan Erina yang duduk berseberangan dengannya. Tidak lupa, ada Pandu yang duduk tepat di samping Pasha, dan sangat terlihat kacau. “Ada liputan pagi ini, Cit?” tany
“Kusut banget, lo, Cit?” Aldo, camera person yang akan bertugas meliput dengan Cita hari ini, menghampiri. Pria itu berjongkok di depan Cita, lalu mengecek beberapa barang bawaan yang akan diletakkan di bagasi mobil. “Lagi dapet?”“Hem,” gumam Cita sedang tidak berminat melakukan apa pun. Ia hanya ingin duduk diam seharian, dan memikirkan rencana hidup ke depan. Namun, bagaimana bisa bila setumpuk rencana tugas liputan sudah menanti untuk dieksekusi?“Lo juga, sih, kayak nggak ada kerjaan aja gawe di sini,” lanjut Aldo masih sibuk mengecek semua peralatan sedetail mungkin. Dari microphone, kabel, serta baterai yang diperlukan untuk semua keperluan liputan nanti. “Bokap lo itu yang punya Lukito Grup. Suami lo, anaknya pak David Atma. tapi, lo-nya malah demen keliaran capek-capek nyari berita.”“Yang punya perusahaan itu bokap gue, sama bokapnya laki gue,” kata Cita menjelaskan. “Dan gue nggak ada passion di sana. Cita-cita gue itu mau jadi news anchor, terkenal dan punya fans di mana-m
“See, nggak seharusnya kamu bikin masalah denganku.” Pandu memakai kaos yang baru saja ia pungut dari lantai. Berdiri di samping tempat tidur, dan menatap Cita yang meringkuk dengan tubuh polosnya. Sebelum meraih beberapa pakaian yang juga tergeletak di lantai, Pandu menarik selimut dan menutup tubuh Cita dengan asal. “Dan aku peringatkan, aku bisa lebih kejam dari ini.”Pandu memungut pakaiannya yang masih tersisa, lalu memakainya dengan cepat. “Kamu dengar aku, Cit.” Pandu menghempas bokongnya di tepi ranjang. Membalik tubuh Cita yang memunggunginya, lalu meraih wajah gadis itu. “Nggak usah pura-pura tidur.”Pandu menepuk pipi Cita. Awalnya, Pandu hanya menepuk dengan pelan untuk membangunkan gadis itu. Namun, karena tidak ada respons atau pergerakan sama sekali, Pandu menepuk pipi itu lebih keras. “Cita!” panggil Pandu masih menepuk pipi Cita sampai berulang kali. “Jangan main-main, Cit!”Pandu berusaha tenang. Mencoba mengangkat tubuh bagian atas Cita, yang terasa berat. Gadis i
“Cita …” Tessa menyentuh bahu Cita yang meringkuk di tempat tidur. Sudah tiga hari ini, gadis itu tidak kunjung keluar dari kamar dan hanya meringkuk di tempat tidur. Tessa sudah menyewa dua orang perawat, yang bertugas bergantian untuk mengurus Cita, sampai kondisi gadis itu stabil. Selama tiga hari ini juga, Tessa selalu bolak balik ke rumah Pasha, dengan memberi berbagai alasan pada sang suami. Sampai detik ini, David masih tidak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Cita, karena hal tersebut memang ditutup rapat-rapat dari siapa pun. Termasuk Sandra.Dengan detail, Tessa telah membereskan satu per satu kemungkinan yang akan membuka aib keluarga mereka. Tessa juga sudah memerintahkan seseorang, untuk membersihkan kamar di rumah Cita, dan membawa ponsel gadis itu ke tangan Tessa.Dari ponsel itulah, Tessa bisa mengirim pesan pada Sandra, dan mengatakan Cita tengah bertugas ke luar kota. Tepatnya di daerah terpencil, yang masih susah untuk dijangkau oleh sinyal.Dan … semua aman
“Cita.” Tessa semakin dibuat pusing, ketika mendengar aduan Erina tentang Cita. Karena itulah, tepat ketika David pergi ke kantor, Tessa pun segera pergi ke rumah Pasha untuk menemui Cita. “Semua … semua sudah diurus sama papa. Jadi, Mama rasa kamu nggak perlu hubungin pengacara.”Semalam, Cita mengatakan pada Erina akan menghubungi pengacara karena ingin segera bercerai dari Pandu. Namun, Tessa tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Karena sedari awal, David tidak pernah benar-benar berniat untuk mengurus perceraian putranya dengan Cita. David hanya menggertak Pandu, dan ingin melihat sejauh mana Pandu akan mengambil sikap. Cita menggeleng kecil berkali-kali. “Aku … aku mau ketemu om Lex, biar …”“Sudah ada pak Abi yang urus semuanya,” putus Tessa mencoba menenangkan, sambil mengusap lengan Cita yang duduk bersandar pada headboard. Tessa tahu benar, Cita memiliki hubungan baik dengan keluarga Lex. Memang sedikit terasa aneh, karena Cita bisa menjalin hubungan baik dengan Elok, semen
“Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa
“Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu
“Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya
“Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub
“Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic
Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu
Semakin hari perkembangan Cita terlihat semakin ada kemajuan. Meskipun Cita tidak pernah menceritakan detailnya pada Arya, tetapi ia selalu mendapat kiriman video dari Sandra. Dari situlah, Arya bisa melihat semua perjuangan Cita yang terkadang disertai dengan air mata.Ada waktunya Cita terlihat sangat lelah, dan hampir menyerah karena fisioterapi yang dilakukan sangatlah tidak mudah. Adakalanya juga, Cita ngambek dan tidak ingin melakukan terapi apa pun, karena merasa tidak sanggup menjalaninya.Namun, semua drama itu tetap saja akan berakhir, dan Cita kembali melanjutkan fisioterapinya dengan penuh semangat. Selain itu, Cita juga rutin melakukan konseling, karena ia masih butuh dukungan mental atas semua yang pernah terjadi di dalam hidupnya, serta apa yang tengah dijalankan saat ini.“Maaf, aku nggak bisa ke sana lagi jumat ini.” Arya mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang, sembari menatap Cita yang berada di layar ponselnya. Sudah tiga kali ini Arya tidak bisa menjenguk Cita
Cita bersedekap. Duduk di kursi rodanya, di antara Harry dan Arya. Melihat kedua pria itu, tengah sibuk dengan laptopnya masing-masing. Sesekali, Arya akan bertanya beberapa hal, dan Harry akan menjelaskannya dengan perlahan dan mendetail.Sementara Sandra, sedang berada di dapur dan memasak seperti biasanya. Untuk urusan masak-memasak, Sandra tidak mau digantikan oleh siapa pun. Ia ingin memastikan sendiri asupan yang masuk ke dalam tubuh Cita, dibuat dengan bahan-bahan yang segar dan berkualitas.“Terus, aku ngapain di suruh duduk di tengah-tengah begini dari tadi?” protes Cita yang sudah bosan karena tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk atas titah Harry, dan jadi pendengar yang baik sedari tadi.“Dengarkan semua diskusi Papa sama Arya,” ujar Harry masih menatap laptopnya. Sebelumnya, Harry sudah menjelaskan mengenai kerja sama yang akan dilakukan bersama Pras, dalam jangka waktu dua atau tiga bulan ke depan pada Cita. Untuk itulah, Harry ingin Cita mulai terlibat dalam dalam sem
“Jadi, nggak sempat ngobrol sama Rashi?”Cita mendengarkan cerita Arya dengan seksama. Padahal, setiap hari mereka pasti berkomunikasi dan suaminya pasti bercerita tentang banyak hal. Namun, Arya baru menceritakan masalah pertemuannya dengan Rashi kali ini.Arya menggeleng seraya mengambil sebuah kaos dan celana pendek dari kopernya. “Dia cuma datang sebentar ngantar cake, terus buru-buru pulang.”“Kenapa nggak diajak ngobrol?” Cita menyayangkan hal yang satu itu. Harusnya, kakak beradik itu bisa duduk berdua, lalu berdamai dengan masa lalu.Arya kembali menggeleng. Ia membuka kaos berkerah yang dipakainya, lalu melemparnya di atas tempat tidur Cita. “Dianya buru-buru pergi,” kata Arya sembari memakai kaos yang baru saja diambilnya di koper.“Masih deg-degan, nggak, waktu ketemu Rashi?” goda Cita hanya bisa menelan ludah, saat melihat Arya berganti pakaian di depannya. Sebagai wanita normal, tentu saja Cita memiliki sebuah gejolak yang tidak biasa saat melihat pria yang dicintainya ad