Beranda / Romansa / Duka Cita / 4. Keputusan

Share

4. Keputusan

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Malam, Pa,” sapa Cita saat melihat Harry berada di ruang tengah kediaman Lukito. Setelah bicara dengan Pandu, Cita memutuskan untuk pulang ke rumah. Tempat di mana ia dibesarkan, dengan mendengar banyak cacian dari mulut Joana setiap harinya.

“Malam,” balas Harry tanpa menoleh, dan tetap memandang televisi layar datar di hadapan. Melihat Cita, selalu mengingatkan Harry tentang kebodohan yang dilakukannya dahulu kala. Bermain api dengan Sandra, dan terlalu ceroboh sehingga Cita hadir di antara mereka. Harry tidak membenci Cita, tetapi sangat susah baginya untuk memberikan semua rasa cintanya kepada putrinya itu. Andai saja Sandra tidak hamil anak Harry, kemungkinan besar ia masih bisa rujuk dan kembali dengan Elok.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Karena kecerobohan Elok jualah, akhirnya Sandra memiliki satu senjata yang digunakannya untuk mengancam keluarga Lukito. Mau tidak mau, Harry akhirnya menikahi Sandra, dan membawa wanita itu ke dalam keluarganya.

Cita menarik napas melihat sikap Harry yang selalu saja dingin padanya. Kali ini, Cita memberanikan diri untuk mendekat, lalu duduk pada sofa yang berada di samping Harry.

“Bisa bicara sebentar?” pinta Cita menatap Harry penuh harap.

“Ke mana suamimu?” Harry bertanya balik, saat menyadari Pandu tidak datang bersama Cita. “Kenapa kamu datang di jam seperti ini sendirian?”

“Itu yang mau aku bicarakan,” ujar Cita lalu menoleh ke arah tangga. “Di mana mami?”

“Apa yang mau kamu bicarakan?” Harry kembali melempar pertanyaan, tanpa mau menjawab pertanyaan putrinya. Namun, firasatnya mengatakan ada hal buruk yang ingin dibicarakan Cita mengenai Pandu. Jangan-jangan …

Cita menghela. Terkadang, Harry akan mengabaikan ucapan Cita, bila pria itu tidak ingin membahasnya. Sebenarnya, Cita heran dengan sang mami. Mengapa Sandra masih saja bertahan menjadi istri Harry, padahal pria itu selalu saja dingin seperti sekarang.

“Aku mau cerai dengan mas Pandu.”

Harry akhirnya menoleh. Hanya menatap Cita, tetapi tidak membuka mulut. Untuk beberapa detik, Harry hanya diam dan berpikir tentang pernikahan yang dijalani putrinya selama setahun ke belakang.

“Apa masalahnya?” tanya Harry setelah terdiam cukup lama.

“Mas Pandu sudah menikah dengan perempuan lain, dan bulan depan mereka akan punya anak.” Cita tidak mau menutupi apa pun, karena tidak ingin membawa beban lagi ke depannya. Ia ingin melepas semuanya, dan ingin hidup sebebas-bebasnya setelah ini. Ia tidak ingin lagi membawa nama Lukito, dan persetan dengan semua harta, juga perusahaan keluarga.

“Kamu mau cerai, dan membiarkan perempuan itu merebut suamimu?” cibir Harry. “Papa heran, kenapa kamu nggak berani seperti mamimu? Dia itu bisa melakukan segala cara untuk—”

“Aku bukan mami,” putus Cita memberi senyum miring pada Harry dengan berani. “Aku, bukan, mami, yang mau diinjak-injak sama oma, dan dikasari setiap hari sama Papa.”

“Sudah berani bicara kamu sekarang?” Harry mulai berdiri, lalu bersedekap.

“Aku nggak mau ribut, Pa,” ujar Cita ikut berdiri dan memandang Harry tanpa rasa takut. “Aku nggak mau berdebat, dengan orang yang nggak pernah mau tahu tentang perasaanku. Selama ini aku diam dan selalu nurut, karena masih berharap Papa mau … sedikitnya ngasih perhatian ke aku. Dikit aja, Pa. Aku nggak pernah minta banyak, seperti Papa ngasih perhatian ke kak Kasih. Aku nggak pernah minta sebesar it—”

“Cita!” Sandra segera berlari menuruni tangga, saat melihat putrinya berdebat dengan Harry. “Masuk kamar, atau pulang ke rumahmu sekarang juga.”

“Itu hasilnya, kalau anakmu nggak pernah diajari sopan santun,” ujar Harry kemudian berbalik pergi, saat melihat Sandra menghampiri.

“Cita itu anakmu juga, Mas!” hardik Sandra masih bisa bersikap sabar, dan sabar dengan semua perbuatan keluarga Lukito.

“Anak yang nggak pernah aku inginkan,” ujar Harry tetap berlalu pergi dari ruang tengah, tanpa menoleh lagi.

“Mas!”

Cita bergeming. Menahan kabut yang mulai mengaburkan kedua bola matanya. Inilah puncaknya, dan Cita tidak akan mundur lagi. “Jangan dikejar,” larang Cita segera meraih tangan Sandra, saat sang mami hendak menyusul Harry.

“Tapi, Cit … kamu ini kenapa? Datang nggak ngasih kabar, tahu-tahu ribut sama papa?” cecar Sandra masih menoleh ke arah Harry, yang menghilang ke dalam ruang lainnya.

“Mi, ayo keluar dari rumah ini,” ajak Cita enggan menjawab cecaran Sandra. “Kerjaanku bisa dibilang sudah mapan, dan gajiku cukup buat nyicil rumah buat untuk berdua. Jadi, aku mau mami cerai sama papa, dan tinggalkan orang itu. Dia nggak pantas buat mami.”

“Cita!”

“Mami!” Dengan cepat Cita menarik napas, untuk mengontrol emosi yang baru saja terlepas pada Sandra. “Please, mas Pandu sudah nikah, dan bulan depan mereka mau punya anak. Jadi—”

“Pandu … sudah nikah sama perempuan lain?”

Apakah ini karma, pikir Sandra. Dahulu kala, Sandra telah merusak rumah tangga seseorang dan merebut Harry. Sekarang, rumah tangga putrinya juga telah dirusak oleh pihak ketiga.

“Aku yang ngasih izin dia nikah sama pacarnya.” Cita membawa Sandra duduk, lalu bercerita sedikit tentang malam pernikahannya dengan Pandu satu tahun yang lalu. “Dan sekarang, sudah waktunya kami untuk pisah.”

“Tapi, Cit.” Sandra menggeleng berkali-kali, sambil menggenggam kedua tangan putrinya. “Mami Tessa itu sayang banget sama kamu, jadi tolong, jangan gegabah ngambil keputusan. Kamu sendiri bilang barusan, kalau keluarga mereka nggak pernah setuju sama Laura, jadi—”

“Cukup, Mi,” henti Cita kemudian berdiri. “Aku nggak mau jadi orang ketiga dalam pernikahan mas Pandu dan Laura. Aku nggak mau ngulangi sejarah yang sama, karena nggak akan baik kalau dipaksakan. Andai, kami teruskan dan punya anak, nasib anakku nantinya kemungkinan besar seperti aku. Dan aku nggak mau anakku hidup dalam …”

Daripada mengingat-ingat masa lalunya, Cita memilih tidak meneruskan ucapannya. Ia lantas menghela panjang, dan bersiap untuk pergi. “Aku sudah minta carikan rumah sama bang Awan, jadi, ayo keluar dari rumah ini dan tinggalah sama aku, Mi. Mungkin rumahnya nggak akan sebesar ini, tapi aku jamin di sana kita akan bahagia dan nggak akan kekurangan apa pun.”

“Cita.” Sandra kembali menggeleng, sembari berdiri. Ia tahu benar berapa pendapatan Cita setiap bulan sebagai reporter, dan itu masih jauh dari semua harta yang dimiliki keluarga Lukito. “Pikirkan lagi baik-baik. Bicarakan semua dengan Pandu, dan—”

“Aku nggak mau,” tolak Cita. “Oia, satu lagi yang perlu Mami tahu. Waktu kita ketemu mas Pandu di toilet rumah sakit tadi pagi, dia lagi ngantarkan istrinya periksa. Bukan jenguk istri temannya yang lagi melahirkan. Jadi, cukup, ya, Mi. Aku sudah nggak mau hidup dalam sandiwara lagi. Aku juga nggak peduli, kalau perusahaan Lukito nantinya diakuisisi, atau dikelola sama orang lain.”

“Cit—” Sandra terdiam saat Cita tiba-tiba memeluknya. Perasaannya kacau, tidak karuan karena masih belum bisa mengambil keputusan. Sudah terbiasa hidup dalam kemewahan dan status sosial yang terpandang, membuat Sandra enggan keluar dari zona nyaman.

“Aku cuma mau Mami bahagia,” kata Cita masih tidak melepaskan pelukannya. “Tinggalkan orang yang nggak pernah mau menghargai Mami, dan mulailah hidup baru. Papa itu toxic, Mi.”

“Cita, coba pikirkan lagi semuanya,” pinta Sandra sekali lagi. Sandra sudah berjalan sampai sejauh ini, jadi tidak mungkin ia akan mundur karena masalah sepele. Selama ini, Sandra melakukan semuanya demi Cita dan masa depannya. Karena itulah, Sandra harus membujuk putrinya agar tetap dalam rencana yang ada. “Satu-satunya pewaris keluarga Lukito itu cuma kamu.”

“Apa Mami lupa?” Cita melepaskan pelukannya, lalu memberi jarak pada Sandra. “Aku bukan satu-satunya, karena ada kak Kasih. Jadi, jangan pernah berharap tentang masalah itu.”

“Tapi, Cit—”

“Sementara ini aku ngekos dekat kantor,” putus Cita tidak mau lagi mendengar alasan Sandra. “Kalau bang Awan sudah dapat rumah yang sesuai dengan gajiku, nanti aku kabari. Dan … semua keputusan ada di Mami. Kalau Mami mau tinggalin papa dan hidup sama aku, pastinya aku terima dengan tangan terbuka. Tapi kalau Mami masih mau tinggal di sini, aku … sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, Mami pikirkan aja dulu baik-baik.”

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
nyesek banget jadi cita... biarkan cita dapat jodoh yg baik
goodnovel comment avatar
Kenzien Yodha
sandra belum berubah tetep aja ga mau kehilangan harta lukito,
goodnovel comment avatar
Siti Juli
tetap baca ulang nih. awal cita berdesih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Duka Cita   5. Satu Kesempatan

    Cita menarik napas panjang, sebelum memasuki ruang tengah keluarga Atmawijaya. Pagi-pagi sekali, mama mertuanya menelepon dan meminta Cita untuk datang ke rumah wanita itu. Tanpa bertanya kabar, ataupun berbasa-basi seperti biasanya. Cita yakin, Tessa sudah mengetahui kabar kisruh rumah tangga yang sudah ia simpan sendiri selama hampir satu tahun. Setelah memantapkan hati, Cita pun memasuki ruang tersebut. Ia mendapati Sandra, dan seluruh anggota keluarga Atmawijaya ada di sana, tanpa terkecuali. Sepertinya, Sandra sudah menceritakan semua hal kepada besannya itu. “Pagi,” sapa Cita menyematkan senyum kecil, dan langsung menghampiri kedua mertuanya lebih dulu. Setelah mencium punggung tangan sepasang suami istri itu dengan hormat, Cita segera beralih pada Sandra, dan duduk di sebelah sang mami. Sejenak, Cita menyapa Pasha dan Erina yang duduk berseberangan dengannya. Tidak lupa, ada Pandu yang duduk tepat di samping Pasha, dan sangat terlihat kacau. “Ada liputan pagi ini, Cit?” tany

  • Duka Cita   6. Macam-macam

    “Kusut banget, lo, Cit?” Aldo, camera person yang akan bertugas meliput dengan Cita hari ini, menghampiri. Pria itu berjongkok di depan Cita, lalu mengecek beberapa barang bawaan yang akan diletakkan di bagasi mobil. “Lagi dapet?”“Hem,” gumam Cita sedang tidak berminat melakukan apa pun. Ia hanya ingin duduk diam seharian, dan memikirkan rencana hidup ke depan. Namun, bagaimana bisa bila setumpuk rencana tugas liputan sudah menanti untuk dieksekusi?“Lo juga, sih, kayak nggak ada kerjaan aja gawe di sini,” lanjut Aldo masih sibuk mengecek semua peralatan sedetail mungkin. Dari microphone, kabel, serta baterai yang diperlukan untuk semua keperluan liputan nanti. “Bokap lo itu yang punya Lukito Grup. Suami lo, anaknya pak David Atma. tapi, lo-nya malah demen keliaran capek-capek nyari berita.”“Yang punya perusahaan itu bokap gue, sama bokapnya laki gue,” kata Cita menjelaskan. “Dan gue nggak ada passion di sana. Cita-cita gue itu mau jadi news anchor, terkenal dan punya fans di mana-m

  • Duka Cita   7. Menunggu

    “See, nggak seharusnya kamu bikin masalah denganku.” Pandu memakai kaos yang baru saja ia pungut dari lantai. Berdiri di samping tempat tidur, dan menatap Cita yang meringkuk dengan tubuh polosnya. Sebelum meraih beberapa pakaian yang juga tergeletak di lantai, Pandu menarik selimut dan menutup tubuh Cita dengan asal. “Dan aku peringatkan, aku bisa lebih kejam dari ini.”Pandu memungut pakaiannya yang masih tersisa, lalu memakainya dengan cepat. “Kamu dengar aku, Cit.” Pandu menghempas bokongnya di tepi ranjang. Membalik tubuh Cita yang memunggunginya, lalu meraih wajah gadis itu. “Nggak usah pura-pura tidur.”Pandu menepuk pipi Cita. Awalnya, Pandu hanya menepuk dengan pelan untuk membangunkan gadis itu. Namun, karena tidak ada respons atau pergerakan sama sekali, Pandu menepuk pipi itu lebih keras. “Cita!” panggil Pandu masih menepuk pipi Cita sampai berulang kali. “Jangan main-main, Cit!”Pandu berusaha tenang. Mencoba mengangkat tubuh bagian atas Cita, yang terasa berat. Gadis i

  • Duka Cita   8. Khawatir

    “Cita …” Tessa menyentuh bahu Cita yang meringkuk di tempat tidur. Sudah tiga hari ini, gadis itu tidak kunjung keluar dari kamar dan hanya meringkuk di tempat tidur. Tessa sudah menyewa dua orang perawat, yang bertugas bergantian untuk mengurus Cita, sampai kondisi gadis itu stabil. Selama tiga hari ini juga, Tessa selalu bolak balik ke rumah Pasha, dengan memberi berbagai alasan pada sang suami. Sampai detik ini, David masih tidak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Cita, karena hal tersebut memang ditutup rapat-rapat dari siapa pun. Termasuk Sandra.Dengan detail, Tessa telah membereskan satu per satu kemungkinan yang akan membuka aib keluarga mereka. Tessa juga sudah memerintahkan seseorang, untuk membersihkan kamar di rumah Cita, dan membawa ponsel gadis itu ke tangan Tessa.Dari ponsel itulah, Tessa bisa mengirim pesan pada Sandra, dan mengatakan Cita tengah bertugas ke luar kota. Tepatnya di daerah terpencil, yang masih susah untuk dijangkau oleh sinyal.Dan … semua aman

  • Duka Cita   9. Setelah Bercerai

    “Cita.” Tessa semakin dibuat pusing, ketika mendengar aduan Erina tentang Cita. Karena itulah, tepat ketika David pergi ke kantor, Tessa pun segera pergi ke rumah Pasha untuk menemui Cita. “Semua … semua sudah diurus sama papa. Jadi, Mama rasa kamu nggak perlu hubungin pengacara.”Semalam, Cita mengatakan pada Erina akan menghubungi pengacara karena ingin segera bercerai dari Pandu. Namun, Tessa tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Karena sedari awal, David tidak pernah benar-benar berniat untuk mengurus perceraian putranya dengan Cita. David hanya menggertak Pandu, dan ingin melihat sejauh mana Pandu akan mengambil sikap. Cita menggeleng kecil berkali-kali. “Aku … aku mau ketemu om Lex, biar …”“Sudah ada pak Abi yang urus semuanya,” putus Tessa mencoba menenangkan, sambil mengusap lengan Cita yang duduk bersandar pada headboard. Tessa tahu benar, Cita memiliki hubungan baik dengan keluarga Lex. Memang sedikit terasa aneh, karena Cita bisa menjalin hubungan baik dengan Elok, semen

  • Duka Cita   10. Hukuman Setimpal

    “Mbak Cit, sarapannya sudah siap.”Cita membuang napas panjang. Menatap beberapa amplop yang berisi surat pengunduran dirinya di atas laptop. Setelah berpikir panjang, akhirnya Cita memutuskan untuk mengubur mimpinya. Mundur dari salah satu perusahaan media terbesar, dan membuang cita-citanya menjadi news anchor. Menjadi terkenal, bukanlah jalan yang harus ditempuh dalam kondisi Cita yang seperti sekarang. Karena Cita yakin, nantinya akan ada tekanan yang akan menimbulkan depresi di luar batas kuasanya. “Bik …” Cita meraih amplop-amplop tersebut, lalu beranjak menghampiri Juju. “Sebentar lagi ada kurir yang mau ke sini. Tolong, kasihkan surat-surat ini sama mas kurirnya. Bilang, titipkan aja di resepsionis. Oia, kurirnya sudah saya bayar.”Juju mengangguk bingung, sambil membolak balik amplop berwarna putih itu. “Ini … surat apa, Mbak? Mau dikirim ke mana?”“Surat pengunduran diri saya dari Metro.” Satu tangan bebas Cita meraih pergelangan tangan Juju. “Tolong, saya minta tolong sam

  • Duka Cita   11. Mencari Alasan

    “Per … misi.” Cita menyapa ragu pada seorang wanita paruh baya, yang tengah berjongkok di samping keran, yang berada di sudut carport. Detik itu pula, wanita itu menoleh dan mengerutkan dahinya saat menatap Cita.“Ada apa, ya?”“Maaf, Bu, saya barusan ngetok-ngetok rumah sebelah.” Cita menunjuk rumah yang ada di samping kirinya. “Saya juga sudah pencet belnya, tapi nggak ada yang keluar.”“Ahhh … Mbak yang mau ngekos, ya?”“I-ya.” Sejak kejadian malam itu, rasa percaya diri Cita seolah terkikis sedikit demi sedikit. Ia tidak lagi bisa memandang setiap orang dengan tegas, dan selalu saja overthinking akan banyak hal. “Ibu Asri?” tebak Cita, karena satu-satunya orang yang dihubungi setelah menemukan iklan kos-kosan, adalah wanita itu.“Iya.” Asri segera berdiri dan menghampiri Cita dengan tawa kecilnya. Ia mengulurkan tangan dengan ramah lebih dulu, untuk memperkenalkan diri. “Saya Asri, anak kos biasa manggil Bunda Asri. Ayo, ayo, masuk dulu.”Tanpa menunggu Cita meresponsnya, Asri lan

  • Duka Cita   12. Sebuah Ide

    Arya mendesah panjang. Melihat jendela kamar yang ditempati Cita, dari carport rumah sebelah. Siang tadi, gadis itu tetap tidak bercerita apa pun pada Arya, walau ia sempat sedikit memberi ancaman. Namun, Cita tetap mengatakan dirinya baik-baik saja.Yang semakin mengganjal di hati Arya adalah, ia baru tahu Cita ternyata sudah mengundurkan diri dari Metro sekitar satu minggu yang lalu.Apa yang telah terjadi sebenarnya?Pergi ke mana orang tua dan suami gadis itu saat ini?Atau, jangan-jangan Cita sedang melarikan diri? Akan tetapi, benar-benar terasa tanggung jika melarikan diri masih di wilayah ibukota.Arya berdecak kecil. Berdiam sebentar saat ponselnya berdering, sambil memandang nama yang tertera di layar. Jika diangkat, pria itu pasti akan menyuruh Arya kembali tidur di rumahnya. Sementara Arya sendiri, ingin menginap di rumah Asri, karena merasa penasaran dengan Cita.Sampai akhirnya, Arya membiarkan ponselnya berdering, dan mati-mati sendiri. Arya menunggu sekitar lima menit,

Bab terbaru

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 80 (FIN)

    “Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 79

    “Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 78

    “Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 77

    “Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 76

    “Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 75

    Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 74

    Semakin hari perkembangan Cita terlihat semakin ada kemajuan. Meskipun Cita tidak pernah menceritakan detailnya pada Arya, tetapi ia selalu mendapat kiriman video dari Sandra. Dari situlah, Arya bisa melihat semua perjuangan Cita yang terkadang disertai dengan air mata.Ada waktunya Cita terlihat sangat lelah, dan hampir menyerah karena fisioterapi yang dilakukan sangatlah tidak mudah. Adakalanya juga, Cita ngambek dan tidak ingin melakukan terapi apa pun, karena merasa tidak sanggup menjalaninya.Namun, semua drama itu tetap saja akan berakhir, dan Cita kembali melanjutkan fisioterapinya dengan penuh semangat. Selain itu, Cita juga rutin melakukan konseling, karena ia masih butuh dukungan mental atas semua yang pernah terjadi di dalam hidupnya, serta apa yang tengah dijalankan saat ini.“Maaf, aku nggak bisa ke sana lagi jumat ini.” Arya mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang, sembari menatap Cita yang berada di layar ponselnya. Sudah tiga kali ini Arya tidak bisa menjenguk Cita

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 73

    Cita bersedekap. Duduk di kursi rodanya, di antara Harry dan Arya. Melihat kedua pria itu, tengah sibuk dengan laptopnya masing-masing. Sesekali, Arya akan bertanya beberapa hal, dan Harry akan menjelaskannya dengan perlahan dan mendetail.Sementara Sandra, sedang berada di dapur dan memasak seperti biasanya. Untuk urusan masak-memasak, Sandra tidak mau digantikan oleh siapa pun. Ia ingin memastikan sendiri asupan yang masuk ke dalam tubuh Cita, dibuat dengan bahan-bahan yang segar dan berkualitas.“Terus, aku ngapain di suruh duduk di tengah-tengah begini dari tadi?” protes Cita yang sudah bosan karena tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk atas titah Harry, dan jadi pendengar yang baik sedari tadi.“Dengarkan semua diskusi Papa sama Arya,” ujar Harry masih menatap laptopnya. Sebelumnya, Harry sudah menjelaskan mengenai kerja sama yang akan dilakukan bersama Pras, dalam jangka waktu dua atau tiga bulan ke depan pada Cita. Untuk itulah, Harry ingin Cita mulai terlibat dalam dalam sem

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 72

    “Jadi, nggak sempat ngobrol sama Rashi?”Cita mendengarkan cerita Arya dengan seksama. Padahal, setiap hari mereka pasti berkomunikasi dan suaminya pasti bercerita tentang banyak hal. Namun, Arya baru menceritakan masalah pertemuannya dengan Rashi kali ini.Arya menggeleng seraya mengambil sebuah kaos dan celana pendek dari kopernya. “Dia cuma datang sebentar ngantar cake, terus buru-buru pulang.”“Kenapa nggak diajak ngobrol?” Cita menyayangkan hal yang satu itu. Harusnya, kakak beradik itu bisa duduk berdua, lalu berdamai dengan masa lalu.Arya kembali menggeleng. Ia membuka kaos berkerah yang dipakainya, lalu melemparnya di atas tempat tidur Cita. “Dianya buru-buru pergi,” kata Arya sembari memakai kaos yang baru saja diambilnya di koper.“Masih deg-degan, nggak, waktu ketemu Rashi?” goda Cita hanya bisa menelan ludah, saat melihat Arya berganti pakaian di depannya. Sebagai wanita normal, tentu saja Cita memiliki sebuah gejolak yang tidak biasa saat melihat pria yang dicintainya ad

DMCA.com Protection Status