heh, Ibram. duh parah ni parah 🙈
Kintan berlutut dan menangis tersedu-sedu di depan makam orang tuanya yang berbatu nisan besar dan mewah. Selain Ibram, ia juga ditemani oleh Paman Fardan dan Bibi Jovanka, orangtua Ibram yang baru saja datang dari Amerika untuk menemui Kintan. Bibi Jovanka juga berlutut dan memeluk tubuh Kintan erat dari arah sampingnya. Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat sangat cantik dan elegan itu bahkan tak kuasa melihat kesedihan Kintan di depan matanya, dan ikut menitikkan air mata. "Lula sayang, kuatlah nak! Ayah dan ibumu pasti sudah sangat bahagia sekarang karena putrinya telah datang," ucapnya lirih, sarat dengan emosi. "Terima kasih Lula, untuk tetap hidup dan kembali pada kami," bisiknya sambil mengecup lembut pipi Kintan yang basah oleh air mata. Kintan masih terisak, namun tangisnya sekarang sudah sedikit mereda. Ia menatap Jovanka yang tersenyum padanya. "Bibi Jo, aku tidak bisa mengingat ayah dan ibuku. Tolong ceritakan tentang mereka padaku. Aku ingin sekal
Ibram mencium Kintan dengan lembut, selembut kepak sayap kupu-kupu yang hinggap di bibirnya. Kintan tidak tahu bahwa sebenarnya Ibram setengah mati menahan hasratnya agar tidak memagut keras bibir ranum wanita itu dan menuntaskan gejolak yang ia pendam selama ini dengan tubuhnya.Ibram tahu ini salah. Tapi ia tidak sanggup menahannya lagi. Tubuhnya seakan berteriak ingin mencecap bibir Kintan. Ingin menghirup dalam-dalam aroma Kintan. Dan Ibram pun terkejut saat mengetahui bahwa wanita ini ternyata beraroma bunga liar yang tumbuh di sela-sela semak belukar. Kintan terlalu cantik dan membuatnya terbuai.Tiba-tiba Kintan pun tersadar setelah beberapa saat berada dalam bingung, lalu mendorong kuat bahu Ibram. Matanya membelalak, deru napasnya yang memburu seperti juga deru napas Ibram. Dengan tubuh dan bibir gemetar, mereka pun saling menatap dengan berjuta kata tak terucapkan dari sorotnya."Ja-jangan sentuh aku lagi," ucap Kintan dengan suara bergetar. "Kamu gila, Ibram. K-kamu ben
"Kamu memang layak untuk ditunggu, Lula," sahut Ibram. "Iqbal sungguh tolol jika mengira bisa mengganti dirimu dengan wanita lain," ketusnya."Hei. Jangan suka menggunjingkan orang di belakangnya," celetuk seseorang tiba-tiba.Kintan dan Ibram pun sontak sama-sama menoleh pada sumber suara barusan, dan mendapati Iqbal yang ternyata sudah berdiri beberapa meter dari mereka duduk.Untuk sejenak Kintan pun terpaku. Iqbal dengan sosoknya yang rupawan itu selalu berhasil membuat kacau kinerja jantungnya hingga tidak terkontrol. Hanya lelaki inilah satu-satunya yang membuat Kintan tak tahan ingin mengecup bibir pink pucatnya yang seksi, atau sekedar memeluk erat tubuhnya yang tinggi dan atletis itu. Kintan melirik Ibram di sampingnya dan mengeluh dalam hati. Kalau saja tidak ada Ibram saat ini, pasti Kintan sudah melakukannya.Seakan bisa membaca pikirannya, Iqbal tiba-tiba melangkah mendekati wanita itu dan membungkuk untuk mencium lembut bibirnya. "Hai, Sayang," ucapnya dengan senyum m
Mereka semua akhirnya sampai di rumah masing-masing pada sore hari, sekitar jam 4. Iqbal dan Gea pamit untuk mandi dan istirahat, sementara Kintan dan anak-anaknya juga segera pulang ke rumahnya. Setelah mandi, Kintan menyiapkan camilan sore garlic bread dan puding mangga. Ia sengaja mengajak anak-anaknya makan camilan bersama sambil ngobrol di meja makan. "Khalil, Khafi... Mama sekarang mau cerita, kalian mau kan mendengarkan?" ucap Kintan sambil menatap anak-anaknya yang masih sibuk mengunyah. "Pada suatu hari, ada seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang menangis karena kedua orang tuanya meninggal. Ia menangis dan terus menangis, berharap mereka akan hidup kembali dan bisa memeluknya erat. Namun sayang, orang tuanya tidak dapat kembali hidup." Khalil dan Khafi masih mengunyah, namun pandangan mata mereka sekarang fokus menatap mamanya. "Anak itu ketakutan dan pergi untuk mencari pertolongan, namun ia tersesat," Kintan melanjutkan. "Karena kalut dan bingung, ia pun akhir
Kintan tak tega juga melihat Iqbal yang benar-benar menggendongnya di belakang selama hampir setengah jam ini. Ia sebenarnya meminta gendongan piggy back hanya karena ingin mengusir para ulat keket ganjen berjiwa pelakor yang tadi terus saja mengekori Iqbal. "Iqbal, aku turun aja deh. Udah nggak cape, kok," pintanya. Iqbal yang sekarang berjalan santai sejak menggendong Kintan pun menolehkan wajahnya ke samping. "Beneran nggak cape?" Kintan mengangguk. "Iya." Namun bukannya menurunkan tubuh Kintan, Iqbal justru dengan santai memindahkan tubuh wanita itu dari belakang kini ke depan tubuhnya, sehingga wajah mereka pun sekarang saling menatap. Kintan terkesiap malu. Kakinya yang jenjang sekarang melingkari pinggang Iqbal, dan kedua tangannya memeluk leher untuk tumpuan agar tidak jatuh. Tak pelak, posisi intim tersebut pun jadi tontonan orang-orang yang lewat di depan mereka dan membuat Kintan semakin merona. Ia ingin turun, tapi tangan Iqbal yang memegang kuat pahanya membu
Ia pun makin terkesiap saat Iqbal malah memindahkan bibir pink pucatnya ke telinga wanita itu, untuk membelai bagian lembutnya dengan lidah hangat dan basah lelaki itu. Serta-merta Kintan pun melirik anak-anak yang masih tekun dengan kegiatan mereka masing-masing dan tidak ada yang melihat orang tuanya yang sedang bermesraan. Ia menggigit bibirnya untuk menahan desahan ketika bibir Iqbal sekarang sudah pindah ke bagian lehernya dan bergerak liar untuk menyesap, menghisap dan menggigit kecil kulit lembutnya yang sensitif, menghantarkan panas di sekujur tubuhnya "Iqbal, stop," bisiknya lagi. "Nanti... hummp!" Kintan tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Iqbal kembali memagut bibirnya dengan keras dan mendorong lidahnya masuk ke dalam mulut Kintan. Pada akhirnya Kintan pun terbuai meskipun tidak ingin, karena ciuman lelaki itu sungguh membuyarkan logikanya. Tanpa sadar, Kintan pun mengangkat kedua tangan untuk mengalungkannya di leher Iqbal, membuat lelaki itu menggeram pua
Iqbal merebahkan Kintan ke atas ranjangnya yang besar, dan langsung menaiki tubuh kekasihnya itu. Ia meraup bibir Kintan dengan rasa lapar yang akhirnya bisa terlampiaskan, namun tak akan pernah bisa terpuaskan. Kintan merasa tubuhnya meremang penuh antisipasi saat Iqbal kembali memainkan lidahnya di dalam mulut wanita itu, berlomba untuk saling mereguk dan membelit. "Uuh..." Kintan hanya bisa melenguh pelan ketika lidah panas Iqbal pindah ke lehernya dan menghisap kuat kulit seharum bunga, hingga menciptakan jejak merah tanda cinta di sana. Setelah puas menyiksa leher Kintan, Iqbal pun makin turun memberikan kecupan-kecupan kecil di tulang selangka wanitanya yang cantik, sementara tangannya bergerilya menyelinap ke balik kaus oversize kuning berbahan katun lembut dan menangkup dan meremas gundukan lembut dari balik bra Kintan. Seluruh tubuh Kintan sangat cantik dan adiktif membuat Iqbal mabuk dan tenggelam dalam gairah panas yang membakar seluruh tubuhnya. Dengan gemas, ia me
Kintan tersentak. Mereka sudah sangat sering bercinta, namun Kintan masih saja butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan ukuran milik Iqbal yang besar. Kintan menggigit bibir untuk menahan sedikit tusukan rasa nyeri saat Iqbal memasukinya. Namun ketika lelaki itu mulai bergerak, seketika itu pula pikirannya pun mulai kacau. Hanya desah dan rintihan yang terdengar dari bibirnya, berpadu dengan erangan penuh kenikmatan yang terlontar dari mulut Iqbal. Iqbal terus bergerak dan menghujam dirinya dengan liar, hingga akhirnya Kintan terisak dan kembali menjerit entah untuk yang keberapa kalinya. Dengan mata terpejam dan napas yang memburu, Kintan masih merasakan gerakan Iqbal yang makin cepat, dan lelaki itu pun mencapai klimaksnya dengan mendesah keras. Seluruh tubuhnya terasa basah dan hangat saat memeluk Kintan dan mencium bibirnya penuh kelembutan. *** Setelah mandi, Kintan menatap kotak kardus coklat yang tadi sempat dibawa Iqbal dari rumahnya. Kintan hanya mengenakan b
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,