yuk ramaikan dengan gems, ulasan dan komen biar aku semangat up 1 bab lagi 🤗❤️
Rani memicingkan mata kesal melihat punggung Iqbal yang semakin menjauh darinya. "AKU TIDAK MAU!!" teriaknya kesal. 'Iqbal benar-benar menyebalkan!! Setidaknya paksa sedikit kek, atau bujuk kek, masa ninggalin aku begitu saja!! Huh. Aku tidak akan mengikutinya!!'Dengan sikap keras kepala, Rani kembali menenggak cairan emas di gelasnya dengan kasar. 'Aku benci Iqbal! Dan juga Kintan!! Aku benci kalian berduaa!!!'Rani menunggu beberapa saat, berharap mantan suaminya itu akan kembali lagi untuk menjemputnya. Namun setelah beberapa menit, barulah ia menyadari kalau Iqbal benar-benar meninggalkannya.Rasanya wanita itu ingin sekali menjerit karena frustasi! Iqbal... kamu benar-benar keterlaluan!!Dengan terburu-buru, Rani pun menyambar tas tangannya dan turun dari kursi bartender. Ia segera berlari keluar dari bar ke arah parkiran mobil untuk mengejar Iqbal.Syukurlah ternyata lelaki itu tidak benar-benar meninggalkannya. Iqbal menunggu di dalam mobil Tesla-nya dengan mesin yang dibiar
12. Undangan Kintan menerima amplop putih dengan bagian depan tertulis nama lengkapnya, Kintan Larasati. Dari mana agensi sebesar ini bisa mengetahui namanya?Ia pun lalu mengedarkan pandangannya kembali kepada Arga yang masih terlihat terpesona dan terus mengamatinya lekat-lekat."Uhm... ngomong-ngomong, apa jangan-jangan Pak Arga juga bekerja di One Million, ya?" tebak Kintan.Arga mengangguk. "Saya Manager HRD di sana. Lalu tiba-tiba saja kemarin Pak CEO meminta saya untuk menghadap, dan beliau banyak bertanya-tanya tentang Bu Kintan," sahutnya. "Pak Ibram Mahesa itu memang unik. Entah mendapat info dari mana, tiba-tiba saja ia mengetahui kalau kita bertetangga! Namun cara kerjanya yang tidak biasa itu memang seringkali berhasil menemukan sebutir berlian yang belum diasah."Kintan merasa aneh dengan ucapan Arga yang seperti berlebihan menurutnya. 'Berlian? Siapa? Aku? Hahaa... becanda kali ni orang.'"Lalu dalam bimbingannya, berlian itu akan bersinar dan memukau. Banyak model d
"Lukislah aku," pinta Ibram tiba-tiba, sambil mendorong kertas dan pensil di atas meja ke hadapan Kintan dengan mata coklatnya yang lebih gelap daripada milik Iqbal itu yang menatap lekat. "Aaa-apa?! Melukis anda??" Kintan pun terhenyak. Ia benar-benar tidak menyangka, tak ada angin tak ada hujan lelaki ini mendadak minta dilukis?? Ibram mengangguk. "Ya, lukislah aku seperti kamu melukis lelaki itu," ucapnya sambil tersenyum. "Silahkan." Kintan terpana selama beberapa detik. Seorang Ibram Mahesa, CEO One Million, meminta Kintan untuk melukis dirinya?? Wah, ini permintaan berat. Kalau saja Rani mendengar tentang hal ini bisa-bisa wanita itu pasti makin jejeritan histeris! Kintan pun mendehem dengan gugup untuk membersihkan tenggorokannya yang mendadak tercekat. "Apa ini semacam tes?" tanyanya curiga. Ibram menaikkan sebelah alisnya. "Bagaimana jika kubilang, YA?" "Sudah kukatakan tadi, Pak Ibram. Aku tidak tertarik untuk menjadi bagian dari agensi ini," tukas Kintan lugas. "Ke
Semarang, jam 14.00 Meeting hari ini sedang break karena jaringan internet yang tidak stabil. Iqbal pun memilih untuk kembali ke kamar dan merebahkan tubuhnya yang lelah di ranjang king size yang super empuk, sambil mengutuk kelalaiannya untuk mengingatkan Nia sekretarisnya, agar tidak memesan kamar President Suite yang terlalu besar baginya. Ya, Iqbal tahu kalau kamar ini disesuaikan dengan jabatannya sebagai Chief Marketing Officer (CMO) atau Direktur Pemasaran, namun ia bisa saja menolaknya dan meminta kamar tipe lebih kecil. Ia tidak suka space yang terlalu luas seperti ini, terasa dingin, sepi dan hampa. Terlalu besar bila untuk satu orang. Seandainya Kintan ada bersamanya, maka ia pasti tidak akan kesepian. Hm... Kintan sedang apa ya? Tadi pagi ia tidak sempat menelepon Kintan, karena big boss alias Dewan Direksi di Abu Dhabi yang bolak-balik menghubunginya. Mereka meminta Iqbal untuk kembali ke sana, bahkan juga mengimingi jabatan CEO! Jabatan tertinggi di perusahaan it
Rani kesal sekali. Resepsionis lantai dasar di gedung One Million itu sama sekali tidak mengijinkannya untuk naik ke lantai 39, tempat dimana Kintan berada bersama Ibram Mahesa. "Mbak, tolong sekali lagi sampaikan pada sekretarisnya Ibram Mahesa, kalau saya adalah manajer dari Kintan Larasati! Dia tidak bisa tanda tangan kontrak tanpa didampingi oleh manajernya!" tukasnya gusar. Resepsionis itu tersenyum kaku pada Rani yang dari tadi masih saja bersikeras, walaupun sudah diberi info bahwa dia tidak diperbolehkan untuk naik. "Maaf, Bu Maharani, tapi ini sudah peraturannya. Jika tidak memiliki undangan maka tidak diperbolehkan untuk naik ke lantai VIP," tegasnya, berusaha untuk tetap sabar menghadapi emak-emak yang keras kepala itu. "Atau coba hubungi Bu Kintan saja, mungkin beliau bisa meminta pada sekretaris CEO untuk membawa ibu ke lantai atas," sarannya kemudian. Rani mendengus. Masalahnya, ia sudah mencoba menghubungi nomor Kintan dari tadi namun tidak juga diangkat. H
"Baik. Jika kamu sudah selesai tanda tangan, bagaimana kalau kita rayakan?" tanya Ibram setelah tawanya mereda. Ia menyeringai saat melihat Kintan menjadi waspada dengan ucapannya selanjutnya. "Bagaimana dengan makan malam?" Kintan mengerutkan keningnya. "Makan... malam?" ucapnya lamat-lamat. Apa wajar seorang CEO mengajak salah satu talent-nya untuk makan malam? Rasanya sih tidak. "Maaf Pak Ibram, tapi..." "Sebelum kamu berpikiran yang tidak-tidak terhadapku, ketahuilah kalau kita tidak makan malam hanya berdua saja. Aku bermaksud mengajak serta istriku, dan aku harap kamu juga mengajak lelaki spesial yang kamu lukis waktu itu," potong Ibram sambil menyeringai. Kintan menggigit bibirnya. Ia baru saja mengenal si Mr. CEO ini dan jujur saja perkenalan mereka pun tidak terlalu baik. Kintan merasa makan malam itu adalah ide yang buruk, ditambah Iqbal juga sedang dinas ke Semarang. "Sayang sekali lelaki itu sedang tidak berada di Jakarta, Pak Ibram," akhirnya Kintan menjawab
Kintan melirik Rani sekilas. Ia sebenarnya tertarik, tapi tidak mau termakan umpan wanita itu. "Udah tau juga," tukasnya sok tahu. "Kamu kan, cinta pertamanya?" Rani menggeleng sambil tersenyum menang. "Salah!!!" bantahnya sambil terkikik. "Hayoo... pasti kepo banget, kan?" Kintan membuang muka. Dia memang kepo juga sih siapa cinta pertama Iqbal. Tapi... masa iya, Rani yang akan jadi manajernya?? "Nggak ah. Nggak tertarik. Lagian soal gitu doang aku juga bisa langsung tanya ke Iqbal, apa susahnya?" tukas Kintan. "Yakin Iqbal mau cerita?" tantang Rani. "Dia itu paling nggak suka ditanya-tanya soal masa lalu, apalagi ditanya soal cinta pertamanya. Aku aja baru tahu setelah menikah delapan tahun!" cetusnya meyakinkan. "Ran, sebenarnya demi apa sih, kamu sampai berbuat begini?" Kintan tak tahan untuk tidak bertanya. "Demi bertemu Ibram Mahesa idolamu itu, ya? Aku bisa membuatmu bertemu dengannya tanpa perlu susah-payah dan berpura-pura jadi manajerku, kok." "Siapa yang ingin b
"Wuuuhuuu... keren bangeeet!!" seru Khalil ketika melihat pemandangan di depannya. Anak lelaki itu tidak dapat berkedip saking terkagum-kagum dengan burung elang hologram berwarna-warni empat dimensi yang melayang-layang dengan lincah depannya. Burung elang itu tiba-tiba saja hinggap di atas bahunya, dan mengeluarkan suara yang nyaring. Lalu ia pun kembali terbang. "EPIC!!" serunya lagi dengan mata yang bersinar-sinar gembira, saat tiba-tiba turun hujan empat dimensi aneka warna yang menembus dirinya. Suara gemericik hujan yang menenangkan membuat Khalil menengadah, memejamkan mata dan tersenyum. Hujan yang sangat keren. "Kamu suka nggak?" tanya Adelia saat lampu di ruangan yang semula redup sekarang telah terang menyala. Mereka sedang berjalan keluar dari ruang laboratorium One Million menuju cafetaria VIP di lantai 39. "SUKA BANGET!" sahut Khalil penuh semangat. "Jadi itu ya, prototipe untuk project One Million Island? Wah, pamanmu itu benar-benar keren! Aku yakin pasti tam
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,