********** SEASON 2 ********** PROLOG : Hai, namaku Kintan. Tiga tahun yang lalu, ingatanku hilang. Aku tidak bisa mengingat kenangan selama enam bulan terakhir hidupku. Aku telah lupa jika suamiku Kemal telah meninggal, lupa pada kepindahanku dan anak-anak dari rumah lama ke apartemen… dan juga lupa pada Iqbal Bimasakti, tetanggaku di apartemen sebelah yang tampan dan mempesona, serta yang telah merebut hatiku. Setelah amnesia, aku pun pergi. Meninggalkan apartemen, meninggalkan Indonesia dan meninggalkan Iqbal, hanya untuk merenungkan ingatan yang hilang dan untuk menenangkan pikiran yang kacau. Lalu tiga tahun kemudian, aku pun kembali. Ke Indonesia dan juga… ke dalam kehidupan Iqbal. Untuk kembali menjadi tetangganya, meskipun bukan di apartemen lagi, namun di depan rumahnya. Karena aku sadar bahwa ingatanku itu mungkin tidak akan pernah kembali. Namun rasa cinta kepada Iqbal yang sempat ikut terlupa, tiba-tiba saja perlahan namun pasti telah kembali tanpa kusa
Hari ini adalah hari Senin.Kintan masih sibuk mempersiapkan keperluan anak-anak yang hendak berangkat sekolah, sambil terus bernegosiasi dengan anak sulungnya Khalil.Atau lebih tepatnya, berdebat.Khalil yang merasa sudah dewasa padahal usianya baru 11 tahun, menolak keras diantarkan ke sekolah oleh mamanya dengan mobil.Ia merasa itu tidak keren, dan memaksa untuk menaiki skate board kesayangannya saja untuk ke sekolah."Khalil berangkat sendiri aja, Ma!" anak itu bersikeras sambil cemberut. Ia telah rapi mengenakan seragam sekolah, namun menutupinya dengan jaket kuning kesayangan dan headphone hitam yang menggantung di lehernya.Ia terlihat seperti anak SMA dengan tinggi 170 cm dan wajah yang tampan, membuat orang-orang tidak akan percaya bahwa anak ini sesungguhnya masih kelas 5 SD."Tidak. Sekolahmu jauh, Khal! Dan ini bukan Singapore. Mama nggak mau kamu naik skate board di jalanan. Bahaya!" sahut Kintan tidak mau kalah sambil menyiapkan bekal makan siang untuk anak-anaknya.'H
Kintan tidak tahu harus berbuat apa. Pak Arga sepertinya masih belum juga sadar, dan rumah lelaki itu juga kosong tanpa ada seorang pun di situ. Dengan perlahan, Kintan memutuskan untuk membopong tubuh tak sadar Arga untuk dibaringkan di atas sofa ruang tamunya. Lelaki itu memiliki tubuh yang lumayan tinggi, meskipun tidak setinggi Iqbal, dan tubuhnya pun agak kurus.Kintan menatap ke sekelilingnya, mencari sesuatu yang bisa membuat lelaki itu tersadar. Ah ya. Parfum.Tanpa berpikir panjang, Kintan meraih botol parfum kecil di dalam tas tangannya dan membuka tutup botol itu. Lalu ia pun mendekatkannya di hidung Arga. Kintan yakin wangi yang menyengat ini akan membuat lelaki itu terbangun.Dan tak disangka, ternyata cara itu berhasil.Tak lama kemudian, Kintan melihat kelopak mata Arga yang sedang tertutup rapat itu seperti bergerak pelan. "Pak Arga?" panggilnya.Lelaki itu perlahan membuka dan mengerjap-kerjapkan matanya. Ia menatap Kintan dengan pandangan bingung. "Bu... Kintan?""
"Jadi waktu mau pergi arisan di rumah Wita, aku melihat Pak Arga terbaring di samping pintu rumahnya. Dan ternyata dia pingsan akibat vertigo," terang Kintan. "Lalu aku membantunya untuk minum obat. Udah gitu aja kok." Kintan pun sengaja mempersingkat penjelasannya, agar Iqbal tidak semakin salah paham.Iqbal mengerutkan dahinya. "Membantunya minum obat? Itu artinya : kamu masuk ke dalam rumah lelaki itu kan?" dengusnya kesal.Kintan pun mengutuk ketelitian Iqbal dalam hati. "Dia pingsan Iqbal, aku harus membopongnya ke dalam. Dan dia memintaku mengambilkan obatnya di meja makan. Setelah itu aku pergi," tukas Kintan cepat.Iqbal masih tetap bersidekap dengan melipat tangannya di dada sambil menatap tajam Kintan. Otaknya masih ragu untuk memutuskan apakah dia akan mempercayai wanita itu atau tidak. "Lalu apa maksudnya tadi itu tentang Victoria Secret segala?""Aku memberinya parfum untuk dibaui supaya sadar dari pingsannya. Setelahnya, dia malah bertanya apa nama parfumku itu, katanya
Setelah Khalil berangkat didampingi Arga, Kintan kembali berkutat di dapur menyelesaikan masakan untuk bekal Khalil dan Khafi sekolah. Saat sedang mencuci peralatan memasaknya, Kintan mendengar suara langkah kaki dari kamar Khafi, anak bungsunya. Sepertinya anak itu baru selesai mandi dan berpakaian."Ma. Kata Sharen dan Dilla, Khafi itu ganteng banget. Apa iya, Ma?" Khafi, anak bungsunya yang masih berusia 6 tahun itu sedang sibuk mematut dirinya di depan kaca berbingkai di ruang tamu. Wajah kecilnya yang terlihat segar sehabis mandi ditolehkan ke kiri dan kanan, sambil mengusap-usap dagu dan pipinya sendiri.Kintan hanya melirik sekilas kelakuan narsis anak kecil itu dari balik bak cuci piring, lalu ia pun menghela napas. "Fi, ayo cepat sarapan dulu! Abang Khalil udah duluan berangkat dari tadi. Dia nggak sempat sarapan dan bawa bekal makan siang," cetus Kintan, mengabaikan pertanyaan nggak penting Khafi sebelumnya.Khafi berjalan ke meja makan dan mulai memakan roti bakar dengan
Iqbal memacu cepat Tesla miliknya dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata. Tikaman rasa cemburu yang begitu kuat telah membuat lelaki itu mengabaikan telepon dari Nia, sekretarisnya yang sejak tadi tak berhenti berdering. Namun saat ia berhenti di lampu merah, Iqbal pun mendesah. Apa yang dia lakukan? Jabatan Direktur Pemasaran dan Perencanaan Strategis yang diembannya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap main-main. Tidak seharusnya ia pergi begitu saja di saat meeting kinerja mingguan akan dimulai. Huh. Sangat tidak profesional. Iqbal akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Nia agar memundurkan jadwal meeting satu jam lagi. Ya, satu jam. Rasanya itu cukup untuk meminta penjelasan dari Kintan. Meskipun sejujurnya Iqbal yakin dan percaya, Kintan tidak akan pernah mengkhianatinya dengan lelaki itu ataupun dengan yang lain. Bahkan pada akhirnya Iqbal juga akan memaafkannya jika wanita itu benar-benar bersalah. Iqbal akan memaafkan Kintan jika saja wanita itu benar-benar se
Iqbal tidak melepaskan pagutan bibirnya yang panas dari bibir Kintan yang lembut, sementara kakinya terus melangkah masuk ke dalam kamar wanita itu. Ketika akhirnya mereka sampai di ranjang, Iqbal membaringkan tubuh kekasihnya di atas kasur empuk dan menindihnya, namun seketika ia menghentikan ciumannya yang bergelora. "Kenapa?" Kintan bertanya heran, saat Iqbal tiba-tiba terdiam dan hanya memandangi wajahnya dari atas tubuh wanita itu. Iqbal menyunggingkan senyum dari salah satu sudut bibir pink pucatnya, membuat Kintan pun seketika terpukau dan berdebar. Lelaki ini benar-benar tampan. "Aku hanya ingin menatap wajahmu, Sayang. Aku ingin memastikan bahwa ini benar-benar bukan mimpi," ucapnya sambil mengelus lembut rambut Kintan yang panjang. "Selama tiga tahun aku sering berkhayal mendengar tawamu, menyentuhmu, mencium bibir lembutmu. Terus dan terus berkhayal hingga akhirnya aku pun jatuh tertidur." Ada nada sedih dan terluka dari intonasi suara pria itu, membuat Kintan merasa
Keributan yang terjadi antara Kintan dan lelaki berkaca mata hitam dan bertopi baseball itu tak pelak membuat semua orang yang sedang mengantri pun ikut menatap mereka, seakan menjadi tontonan gratis yang seru dikala kejenuhan menunggu antrian panjang. Seorang wanita cantik bertubuh mungil dengan beringas dan tanpa takut memukul seorang pria tampan berkaca mata hitam dengan tubuh yang jauh lebih tinggi dan besar darinya. Rambut Kintan yang sepinggang mulai terlihat jatuh membingkai wajahnya yang merona karena gusar, membuat lelaki berkaca mata hitam itu pun semakin terpesona. 'Seandainya aku belum bertemu dengan istriku yang sekarang, pasti aku akan mengejar wanita ini', pikirnya sambil tersenyum dalam hati. Sampai akhirnya seseorang pun datang untuk melerai mereka. "Maaf, tolong jangan buat keributan di sini," manager resto pizza itu menahan tangan Kintan agar tidak terus memukul lelaki tinggi besar namun seperti tidak berdaya melawan perempuan mungil itu. Manager itu pun menatap
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
“Tetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,