****3 TAHUN KEMUDIAN**** Bandara terlihat sibuk seperti biasa, penuh dengan manusia yang hilir mudik dan suara-suara yang menggema rendah. Seorang gadis cantik dengan bercelana jeans membalut kakinya yang jenjang, sweater kuning rajut, sepatu kets kuning dengan rambut dicepol ke atas itu terlihat gembira. Ia menarik perhatian para pemuda yang menatapnya dengan kagum karena sosoknya yang nyaris sempurna. Dengan tubuh langsing dan cukup tinggi, wajah yang eksotis dan mata coklatnya yang menawan, banyak juga yang bertanya-tanya apakah gadis ini seorang artis. "Aaahhh.... akhirnya pulang juga ke negara tercintaaa!!" pekiknya sambil meregangkan tubuhnya. Bibirnya mengulas senyum tanpa henti sambil memandang ke sekelilingnya. Ia merindukan Indonesia, aromanya, orang-orangnya, semua… "Ge, bagasimu ada tiga, kan?" tanya seseorang di belakangnya yang sibuk membawa beberapa koper. "Banyak banget, sih. Padahal kan bisa dikirim paket saja!" gerutu lelaki itu. "Pa, Gea kan
Kintan menutup telepon dan berkata pada Iqbal. "Bimo sedang antri beli es krim buat Yessi. Sekarang dia sedang ambil mobil dan menunggu di depan. Kamu bisa gendong Yessi kan?" Iqbal mengangguk dan mengangkat tubuh Yessi perlahan. "Percaya sama aku ya, Yess?" Yessi tidak menjawab, hanya merintih kesakitan dalam gendongan Iqbal. "Oke. Anak-anak, periksa semua barang-barang jangan ada yang ketinggalan," Kintan pun mengatur agar Gea dan Khalil membawa koper-koper mereka. Lalu mereka semua bergegas jalan ke arah mobil Bimo yang sudah menunggu. Saat Iqbal memasukkan Yessi ke kursi depan mobil, Bimo pun langsung meraup tubuh istrinya dan mencium keningnya. "Tenang ya, Sayang? Kita langsung ke rumah sakit sekarang." "Tunggu!" seru Yessi saat Iqbal mau menutup pintunya. "Kintan, Kak Iqbal dan anak-anak… kalian semua harus ikut di mobil ini sekarang." "APA?!" seru Iqbal dan Kintan berbarengan, lalu mereka pun saling menatap kebingungan. "Yess... mobilnya nggak akan cukup dan bar
********** SEASON 2 ********** PROLOG : Hai, namaku Kintan. Tiga tahun yang lalu, ingatanku hilang. Aku tidak bisa mengingat kenangan selama enam bulan terakhir hidupku. Aku telah lupa jika suamiku Kemal telah meninggal, lupa pada kepindahanku dan anak-anak dari rumah lama ke apartemen… dan juga lupa pada Iqbal Bimasakti, tetanggaku di apartemen sebelah yang tampan dan mempesona, serta yang telah merebut hatiku. Setelah amnesia, aku pun pergi. Meninggalkan apartemen, meninggalkan Indonesia dan meninggalkan Iqbal, hanya untuk merenungkan ingatan yang hilang dan untuk menenangkan pikiran yang kacau. Lalu tiga tahun kemudian, aku pun kembali. Ke Indonesia dan juga… ke dalam kehidupan Iqbal. Untuk kembali menjadi tetangganya, meskipun bukan di apartemen lagi, namun di depan rumahnya. Karena aku sadar bahwa ingatanku itu mungkin tidak akan pernah kembali. Namun rasa cinta kepada Iqbal yang sempat ikut terlupa, tiba-tiba saja perlahan namun pasti telah kembali tanpa kusa
Hari ini adalah hari Senin.Kintan masih sibuk mempersiapkan keperluan anak-anak yang hendak berangkat sekolah, sambil terus bernegosiasi dengan anak sulungnya Khalil.Atau lebih tepatnya, berdebat.Khalil yang merasa sudah dewasa padahal usianya baru 11 tahun, menolak keras diantarkan ke sekolah oleh mamanya dengan mobil.Ia merasa itu tidak keren, dan memaksa untuk menaiki skate board kesayangannya saja untuk ke sekolah."Khalil berangkat sendiri aja, Ma!" anak itu bersikeras sambil cemberut. Ia telah rapi mengenakan seragam sekolah, namun menutupinya dengan jaket kuning kesayangan dan headphone hitam yang menggantung di lehernya.Ia terlihat seperti anak SMA dengan tinggi 170 cm dan wajah yang tampan, membuat orang-orang tidak akan percaya bahwa anak ini sesungguhnya masih kelas 5 SD."Tidak. Sekolahmu jauh, Khal! Dan ini bukan Singapore. Mama nggak mau kamu naik skate board di jalanan. Bahaya!" sahut Kintan tidak mau kalah sambil menyiapkan bekal makan siang untuk anak-anaknya.'H
Kintan tidak tahu harus berbuat apa. Pak Arga sepertinya masih belum juga sadar, dan rumah lelaki itu juga kosong tanpa ada seorang pun di situ. Dengan perlahan, Kintan memutuskan untuk membopong tubuh tak sadar Arga untuk dibaringkan di atas sofa ruang tamunya. Lelaki itu memiliki tubuh yang lumayan tinggi, meskipun tidak setinggi Iqbal, dan tubuhnya pun agak kurus.Kintan menatap ke sekelilingnya, mencari sesuatu yang bisa membuat lelaki itu tersadar. Ah ya. Parfum.Tanpa berpikir panjang, Kintan meraih botol parfum kecil di dalam tas tangannya dan membuka tutup botol itu. Lalu ia pun mendekatkannya di hidung Arga. Kintan yakin wangi yang menyengat ini akan membuat lelaki itu terbangun.Dan tak disangka, ternyata cara itu berhasil.Tak lama kemudian, Kintan melihat kelopak mata Arga yang sedang tertutup rapat itu seperti bergerak pelan. "Pak Arga?" panggilnya.Lelaki itu perlahan membuka dan mengerjap-kerjapkan matanya. Ia menatap Kintan dengan pandangan bingung. "Bu... Kintan?""
"Jadi waktu mau pergi arisan di rumah Wita, aku melihat Pak Arga terbaring di samping pintu rumahnya. Dan ternyata dia pingsan akibat vertigo," terang Kintan. "Lalu aku membantunya untuk minum obat. Udah gitu aja kok." Kintan pun sengaja mempersingkat penjelasannya, agar Iqbal tidak semakin salah paham.Iqbal mengerutkan dahinya. "Membantunya minum obat? Itu artinya : kamu masuk ke dalam rumah lelaki itu kan?" dengusnya kesal.Kintan pun mengutuk ketelitian Iqbal dalam hati. "Dia pingsan Iqbal, aku harus membopongnya ke dalam. Dan dia memintaku mengambilkan obatnya di meja makan. Setelah itu aku pergi," tukas Kintan cepat.Iqbal masih tetap bersidekap dengan melipat tangannya di dada sambil menatap tajam Kintan. Otaknya masih ragu untuk memutuskan apakah dia akan mempercayai wanita itu atau tidak. "Lalu apa maksudnya tadi itu tentang Victoria Secret segala?""Aku memberinya parfum untuk dibaui supaya sadar dari pingsannya. Setelahnya, dia malah bertanya apa nama parfumku itu, katanya
Setelah Khalil berangkat didampingi Arga, Kintan kembali berkutat di dapur menyelesaikan masakan untuk bekal Khalil dan Khafi sekolah. Saat sedang mencuci peralatan memasaknya, Kintan mendengar suara langkah kaki dari kamar Khafi, anak bungsunya. Sepertinya anak itu baru selesai mandi dan berpakaian."Ma. Kata Sharen dan Dilla, Khafi itu ganteng banget. Apa iya, Ma?" Khafi, anak bungsunya yang masih berusia 6 tahun itu sedang sibuk mematut dirinya di depan kaca berbingkai di ruang tamu. Wajah kecilnya yang terlihat segar sehabis mandi ditolehkan ke kiri dan kanan, sambil mengusap-usap dagu dan pipinya sendiri.Kintan hanya melirik sekilas kelakuan narsis anak kecil itu dari balik bak cuci piring, lalu ia pun menghela napas. "Fi, ayo cepat sarapan dulu! Abang Khalil udah duluan berangkat dari tadi. Dia nggak sempat sarapan dan bawa bekal makan siang," cetus Kintan, mengabaikan pertanyaan nggak penting Khafi sebelumnya.Khafi berjalan ke meja makan dan mulai memakan roti bakar dengan
Iqbal memacu cepat Tesla miliknya dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata. Tikaman rasa cemburu yang begitu kuat telah membuat lelaki itu mengabaikan telepon dari Nia, sekretarisnya yang sejak tadi tak berhenti berdering. Namun saat ia berhenti di lampu merah, Iqbal pun mendesah. Apa yang dia lakukan? Jabatan Direktur Pemasaran dan Perencanaan Strategis yang diembannya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap main-main. Tidak seharusnya ia pergi begitu saja di saat meeting kinerja mingguan akan dimulai. Huh. Sangat tidak profesional. Iqbal akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Nia agar memundurkan jadwal meeting satu jam lagi. Ya, satu jam. Rasanya itu cukup untuk meminta penjelasan dari Kintan. Meskipun sejujurnya Iqbal yakin dan percaya, Kintan tidak akan pernah mengkhianatinya dengan lelaki itu ataupun dengan yang lain. Bahkan pada akhirnya Iqbal juga akan memaafkannya jika wanita itu benar-benar bersalah. Iqbal akan memaafkan Kintan jika saja wanita itu benar-benar se
"Lebih cepat, Toni!" bentak Ibram gusar. Toni pun semakin mempercepat laju mobilnya, menyelip sana-sini mencari celah di antara lalu-lalang kendaraan yang masih memenuhi jalanan. Alarm dari alat penyadap yang ditempelkan pada anting-anting Katya telah berbunyi. Wanita itu dalam bahaya. Ibram benar-benar kecolongan untuk yang kedua kalinya, saat ia mendapati istri dan keponakannya telah menghilang entah kemana. Polisi sudah bertindak dan dikerahkan untuk mencari Katya dan Adel, dengan mengikuti sinyal yang dipancarkan alat penyadap itu. "BRENGSEK! BAJINGAN! LELAKI BIADAB!" Ibram terus memaki sambil memukul dasbor di depannya. "Kali ini kau benar-benar akan kubunuh!" "Pak, orang-orang kita sudah berada dekat dengan Kean, mungkin mereka akan sampai duluan di tempat itu," lapor Toni setelah ia mendapatkan info dari wireless earphone di telinganya. "Serang dia jika Katya dan Adel berada dalam bahaya," perintah Ibram. Beberapa belas menit kemudian, Ibram dan Toni telah s
Ibram, David dan Toni duduk di depan meja bar, sementara Katya, Brissa dan Zizi berada di meja restoran di seberang mereka. "Halo, temanku ini baru saja menikah, tolong berikan minuman yang terbaik dan termahal di sini," ucap David pada bartender yang menghampiri mereka. "Tidak, Dave," tolak Ibram tegas. "Aku harus menyetir pulang nanti." David berdecak kesal. "Ibram, kamu benar-benar tidak menyenangkan! Bukankah Toni yang akan mengantarmu pulang nanti?" "Tidak. Toni akan mengantarmu, Brie dan Zizi. Aku hanya ingin menjaga Katya," tegasnya. David mendesah dan tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar telah berubah, Ibram. Apa itu karena Katya?" Ibram tersenyum. "Aku sekarang seorang suami, Dave. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan istriku," tukasnya. David mengangkat gelas berisi minuman keras untuk bersulang pada Ibram. "Untuk suami paling beruntung di dunia," ucap David, ada rasa bangga atas perubahan positif pada sahabatnya itu, nam
Katya terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang putih dan sederhana. Gaun itu berlengan panjang dengan deretan kancing berlian di sepanjang siku hingga pergelangan tangan, menutup hingga batas bawah lehernya, dan terulur jauh menutupi kaki. Meskipun terkesan sopan dan menutup, namun karena jatuh mengikuti bentuk tubuh Katya, tetap saja terlihat sangat sangat seksi. Ibram bolak-balik menatap Katya sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak rela jika garis tubuh kekasihnya itu dinikmati oleh beberapa pasang mata pria brengsek dan dijadikan fantasi liar mereka. "Nggak ada gaun yang lebih sopan?" tanya Ibram sambil mengerutkan wajah tidak suka pada stylist yang bertugas mengatur kostum pengantin mereka. Wanita berambut bob berkacamata itu hanya bisa menggaruk-garuk kepala bingung. Katya telah bergonta-ganti baju lima kali, dan ini adalah pakaian tersopan yang mereka punya. "Maafkan saya, Pak Ibram... tapi kami tidak memiliki gaun yang lebih tertutup lagi. Masalahnya adalah
Ibram melepaskan ciumannya dan memeluk tubuh Katya, untuk memberikan kesempatan pada gadis itu agar bisa mengatur napasnya. "Katya, menikahlah denganku," ucap Ibram lembut. "Dulu aku pernah melamarmu dan kamu menolaknya karena merasa belum ada cinta di hatiku, bukan?" Ibram mengingat saat-saat dirinya dan Katya berada di rumah pantai miliknya. "Apa sekarang kamu masih juga belum yakin jika aku mencintaimu?" ada nada murung di suara Ibram. "Diriku yang sekarang dan diriku yang dulu sudah jatuh begitu dalam padamu, Katya." lelaki itu pun melepaskan pelukannya untuk menatap lekat Katya yang terdiam membisu. "Jadilah istriku, pendamping hidupku, dan pelindungmu seumur hidup," ucapnya dengan suara parau, sarat akan emosi yang membuncah di dalam dada. "Aku mencintaimu, Katya Lovina. Wanita tercantik di dunia yang beraroma vanilla." Dan Katya pun merasa dadanya meledak dalam kebahagiaan. Tentu saja ia sangat yakin sekarang kalau Ibram benar-benar mencintainya, bukan karena obs
Ibram terbaring di sebelah Katya, berusaha meredakan rasa sakit hebat yang menyerang kepala dan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Ingatan-ingatan yang datang padanya bagai ribuan paku yang menghujam deras ke dalam otaknya, membuatnya gemetar menahan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Namun Ibram berusaha untuk menerima dan tidak menolak seluruh pesan dari pikirannya itu, meskipun acak dan berupa kilasan-kilasan cepat bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dirinya. Jessi yang menyelingkuhi Gamal. Gamal yang meninggal akibat kanker nasofaring. Kuliahnya yang sempat kacau karena ia sangat berduka. Adel yang masih kecil namun sudah ditinggalkan ayahnya selamanya dan ibunya yang entah kemana. Mengasuh Adel. Mendirikan One Million. Mengakuisisi beberapa perusahaan. Menemukan Katya Lovina. Dan jatuh cinta padanya. Dengan napas yang masih memburu, ia pun menatap ke arah samping. Katya. Gadis itu berbaring di sisinya, dan membalas tatapannya dengan wajah bingung. "Pak Ibram
'APAA??? Dia mengira ada sesuatu antara aku dan Toni??' Katya menepis kasar tangan Ibram dari bahunya. "Pak Ibram, apa maksudmu bertanya seperti itu?" "Kau selingkuh dengan Toni, kan? Mengakulah! Toni memang jauh lebih muda dariku dan kau pasti merasa lebih cocok dengan lelaki yang tidak terlalu jauh perbedaan usianya denganmu!" ucap Ibram ketus. "Hah! Entah apa yang sudah kalian berdua lakukan di belakangku, menjijikkan sekali." "Apa anda sudah puas menghinaku? Sepertinya memang percuma, apa pun yang kukatakan, anda pasti tidak akan pernah percaya bukan? Aku akan selalu jelek di matamu," tukas Katya pelan. Ia sudah benar-benar lelah sekarang. "Anda sudah menuduhku hanya mengincar uangmu, dan kini menuduhku selingkuh dengan orang kepercayaanmu? Selanjutnya apa lagi? Apa lagi yang anda tuduhkan? Begitu sulitkah bagimu menerima bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan tulus tanpa ada maksud apa pun?" tanya Katya dengan suara yang mulai parau karena menahan tangis. "Jika memang
Ibram terdiam, namun tubuhnya tetap saja memunggungi Katya. 'Hahh... gadis ini benar-benar keras kepala! Sepertinya dia hanya ingin menggangguku saja.''Meskipun... yah, tidak bisa disalahkan juga karena diriku yang dulu sangat bodoh karena telah memberikan harapan pada gadis ini.' Seketika ada setitik rasa kasihan terbit di dada Ibram saat mengingat ekspresi wajahnya pada acara pertunangan melalui Youtube tadi. Pantas saja gadis ini salah paham, karena Ibram memang bersikap seakan benar-benar mencintainya! 'Apa itu benar? Apa aku pernah mencintainya? AKU?? IBRAM MAHESA??' Perlahan Ibram pun membalikkan badannya menatap Katya. "Apa kau yakin dengan semua ucapanmu itu?" cetus Ibram. "Tidak akan ikut campur urusanku, tidak mengharapkan apa pun dariku, dan hanya merawatku hingga sembuh lalu pergi dari hadapanku?" Ibram mengulang ucapan Katya tadi. Katya mengangguk mantap. "Ya. Aku sangat yakin dengan semua ucapanku, Ibram." Hmm... menarik. "Baiklah. Kau boleh melakukannya. Tapi
Katya menangis dalam kesendirian di teras rumah sakit yang sepi. Ia ingin sekali menjerit kuat-kuat, memuntahkan segala kesedihan yang terus menimpanya bertubi-tubi. Setelah ayahnya, Sienna, dan sekarang Ibram pun juga telah meninggalkannya. Bukan meninggalkan secara harfiah karena tubuhnya masih berada di dunia fana ini, hanya saja ingatannya pada Katya yang telah pergi. Ibram mengalami amnesia retrograde karena cedera akibat benturan keras di kepalanya, dan ingatannya hanya sampai saat ia kuliah di Amerika bersama David... Ia tidak mengingat apa pun setelah itu. Bahkan saat ia diberitahu bahwa Gamal, kakaknya yang telah meninggal, Ibram pun sangat terkejut dan masih tidak percaya. Lalu ketika Katya mengatakan bahwa mereka telah bertunangan, Ibram hanya terdiam dan menatap gadis itu dengan tatapan kosong. Seketika itu juga Katya mengerti, bahwa lelaki itu telah hilang. Lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Ibram yang Katya cintai telah pergi, tergantikan oleh Ibram lai
Katya berada di dalam ambulans yang membawa Ibram menuju rumah sakit. Sejak tadi air matanya tidak dapat berhenti mengalir, melihat tubuh kekasihnya yang diam tak bergerak serta darah segar yang terus mengalir dari kepalanya. Wajah dan tubuh Katya telah penuh bersimbah darah, namun ia sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Ibram selamat. Katya sangat takut kehilangan lelaki yang begitu dicintainya. Ia telah kehilangan ayahnya dan juga adiknya Sienna, dan ia tidak akan sanggup untuk bernafas lagi jika ia juga kehilangan Ibram. Tidak! Lebih baik ia ikut ke alam yang sama dengan mereka, karena di dunia ini sudah tidak akan ada cinta lagi untuknya. Katya segera menelepon Zizi, Toni, dan David dari ponsel Ibram. Namun hanya ponsel David yang sulit dihubungi. Lagipula, ini semua karena David! Karena pesan dari David yang membingungkan itu, membuat Katya terperangkap sebagai umpan untuk menjebak Ibram. Apakah ponsel David telah di hack? Ibram harus segera dioperasi, kare