Hari ini, Naya memilih jalan-jalan ke mall tentu saja untuk refreshing. Beberapa hari ini Naya memang mendiamkan Dewa entah dirinya masih enggan untuk menatap dan berbicara dengan suaminya itu.
Sebenarnya apa mau suaminya itu?Menikah dengan Dewa memang bukan keinginannya, bahkan belum ada dua minggu pernikahan selalu saja ada hal yang membuat mereka bertengkar. Naya tau seperti apa seorang Dewa, awalnya Naya berpikir menikah dengan Dewa bukanlah hal yang susah karena yang Naya tau laki-laki itu terlalu sibuk dengan pekerjaanya.“Gimana rasanya menikah? Bahagia?” tanya Citra sembari bertopang dagu.Saat ini mereka ada di salah satu restoran jepang yang menjadi tempat mereka bertemu sekaligus makan siang.Naya menghela nafas. “Capek tau, Cit.” lirih Naya.“Capek?”“Dia semakin nuntut gue untuk menerima dia, tapi dia sendiri seolah acuh sama gue!”“Pelan-pelan aja. Lo kan baru tau pak Dewa aslinya gimana, karena dulu kalian kenal hanya sebatas bos dan karyawan kan. Jadi ya harus saling menyesuaikan dulu.”Naya mengangguk. Karena benar awal pernikahan memang baru penjajakan dulu, apalagi dirinya juga belum mencintai Dewa.“Mendingan lo kerja lagi,” usul Citra.‘Benar, kenapa gue nggak kepikiran buat kerja lagi aja’ serunya dalam hati.“Kenapa, lo senyum-senyum.”“Kenapa gue nggak kepikiran buat kerja lagi ya, padahal kalau gue kerja pikiran gue pasti nggak akan stuck di pernikahan ini aja, dan gue sekarang tau bosennya jadi pengangguran,” ujar Naya terkekeh.“Tapi bilang izin dulu sama suami.” peringat Citra membuat Naya cemberut.“Gini ya, susahnya kalau udah ada suami, mau apa-apa kudu ijin dulu sama suami,”“Iyalah, karena lo sekarang milik pak Dewa bukan orang tua lo lagi. Jadi ya harus ijin sama suami lo.”Mendengar respon Citra membuatnya berdecak.“Nay, gue tau lo masih pengen bebas kaya dulu. Tapi lo udah milih buat menikah jadi ya lo harus siap juga konsekuensinya.”Walaupun dirinya kesal, namun yang di katakan sahabatnya itu benar.-Citra sudah kembali ke kantor, wanita itu masih tinggal di cafe tempat dimana mereka bertemu. Lagi pulang jika dirinya pulang juga malas karena hanya keheningan dan kesepian yang akan Naya dapatkan di sana.Dewa juga pasti masih bergelut dengan berbagai berkas, laporan dan lain sebagainya. Daripada dirinya di rumah sendirian, lebih baik dirinya tetap disini setidaknya bisa melihat orang-orang berlalu lalang. Naya memandang orang-orang di sekelilingnya, ada yang sedang berpacaran, lunch bareng keluarga namun dirinya sendirian di tempat seramai ini.Naya melihat seseorang yang berjalan ke arahnya.Bukankah itu?Ya, dia mantan istrinya Dewa.Naya ingat dengan wajah itu, karena sering bolak-balik ke kantor untuk menemui Dewa. Dan dua minggu lalu wanita itu juga datang ke pernikahan menjadi tamu tak diundang dan membuat moodnya berantakan.Melihat wanita itu semakin mendekat dengan rambut sebahu berwarna pirang, wajah yang memiliki kulit putih dengan make up yang selalu cetar, dengan tatapan mata yang tajam dan bibir yang pink membuatnya terlihat sangat cantik.Naya yang wanita saja merasa iri melihat wanita di depannya itu, dan hingga sekarang dirinya masih penasaran alasan mereka bercerai.“Dewa mana?”Mantan istri Dewa itu duduk di depannya dan mata yang menatap Naya tajam.“Dewa pasti lebih mentingin kerjaan daripada kamu!” ujarnya tersenyum miring.Naya diam malas untuk menanggapi, namun wanita itu kembali menghitung jari tangannya dan tertawa. “Ini baru minggu kedua pernikahan kalian kan? Nggak diajak honeymoon?” tanyanya mengejek.“Bukan urusan anda…”“Dulu waktu Dewa menikah sama saya, dia sering ngajak honeymoon bahkan setiap weekend.” potongnya.Seketika membuat Naya mengepalkan satu tangannya di bawah meja. “Lalu kenapa mas Dewa bisa menceraikan anda! Dan memilih saya?”Setelah mengatakan itu, Naya segera merapikan tasnya kemudian berdiri meninggalkan wanita itu.‘Kenapa harus ketemu nenek lampir sih, ahh!’**Walaupun dirinya sedang marah dengan sang suami, Naya tetap menyiapkan makan malam untuk suaminya. Walaupun dirinya memilih menyingkir tidak menemani Dewa makan malam dan memilih membaringkan badannya di sofa ruang keluarga, karena masih enggan bertemu dengan suaminya.“Kanaya.”Naya diam tidak berniat untuk menjawab ataupun menatap suaminya.“Tidur di kamar,” perintahnya Dewa.Sebenernya Naya sudah melupakan pertengkaran mereka kemaren malam, namun pertemuan dengan mantan istri Dewa tadi membuatnya kesal.Naya memejamkan matanya mengabaikan Dewa, hingga Naya merasakan tangan Dewa menyentuhnya pelan, segera Naya menepisnya.Bahkan Naya mendengar suaminya menghela nafas.‘Nyesel kan lo, Nikah sama gue!’“Saya kekamar duluan,”Naya diam, membiarkan Dewa meninggalkannya.**Naya terbangun sudah ada di kamar, seingatnya dirinya tidur di sofa lalu kenapa dirinya bisa ada di sini ?'Masa dia mindahin gue?' wajah bingung Naya seketika berubah terkejut karena melihat Dewa yang baru masuk kedalam kamar dengan wajah penuh keringat."Saya atau kamu dulu yang mandi?" tanyanya."Bapak saja. Saya mau buat sarapan," katanya kemudian berjalan keluar kamar melewati Dewa.Naya mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat pancake untuk sarapan mereka berdua, walaupun sedang marah namun Naya tetap melayani Dewa dengan baik.Setelah selesai menyiapkan makanan di meja makan, pandangan Naya melihat Dewa yang berjalan ke arahnya. Pria itu sudah mengenakan kemeja kerjanya dengan dasi yang menggantung di kerah kemejanya."Tolong pakaikan saya dasi."Naya menatap laki-laki di depannya ini dengan datar, sejak kapan pria di depannya ini memintanya memakai dasi ?"Punya tangan kan?" tanya Naya malas."Saya minta tolong, Kanaya."Naya menghela nafas, kemudian mendekat kearah suaminya dan menatap suaminya tajam, "Nunduk dikit," karena suaminya itu kelewat tinggi membuat Naya sedikit kesusahan saat hendak menyimpulkan dasi suaminya."Terimakasih,"Naya mengangguk samar, kemudian kembali duduk di meja makan dan mengambilkan pancake untuk Dewa."Saya mau kerja lagi," entah keberanian dari mana Naya mengungkapkan isi hatinya, setelah berpikir semalaman."Di kantor?" tanya Dewa.Naya menggeleng tentu kantor bukan pilihan terbaik untuknya, karena akan kembali menjadi pesuruh suaminya itu."Dimana?""Di kantor tempat kak risky," sebenernya Naya belum tau mau bekerja dimana asalkan dirinya mendapat izin terlebih dahulu dari suaminya."Kamu kerja di kantor saja, nanti..""Saya ngga mau!" tolak Naya cepat."Pilihannya hanya dua, kerja di kantor atau tidak sama sekali."‘Sebenarnya apa sih mau suaminya itu, mau gini nggak boleh mau gitu nggak boleh terus gue harus gimana?’“Apa kata orang, aku sudah resign balik kerja lagi?” Tanya Nara membuat Dewa menatap Naya.“Tidak jadi masalah,”“Iya nggak jadi masalah buat Bapak! Tapi jadi masalah buat saya!” Sahutnya kesal.“Ya Sudah, dirumah saja.”Kenapa jawaban suaminya itu selalu membuatnya kesal. Tidak bisakah, suaminya itu sekali saja bersikap baik padanya?Naya menatap suaminya penuh dengan permusuhan, hingga membuat Dewa membalas menatap istrinya.“Apa kurang jatah bulanan dari saya?” tanya Dewa.Dirinya mau kembali bekerja bukan karena uang, tapi ingin menyibukan diri karena percuma saja dirinya di rumah karena selalu kesepian karena suaminya itu sering pulang malam dan berangkat pagi, dan weekend pun suaminya tetap bekerja.“Ini bukan soal uang, Pak. Tapi saya bosan kalau dirumah terus.” jawab Naya kesal. Apakah dirinya terlihat mata duitan sekali, hingga suaminya berkata seperti itu, bahkan uang bul
Naya menatap Dewa yang sedang fokus dengan layar ponselnya yang sedang membalas email masuk yang membahas pekerjaan. Sekarang Naya tau alasan suaminya kerja keras selama ini. “Kenapa kamu lihatin saya seperti itu?” tanya Dewa.Sebenarnya Naya juga tidak tahu kenapa dirinya menatap laki-laki yang selalu terlihat tegas dan galak ini ternyata memiliki masalalu yang berat.“Eh iya, sebentar.” Naya mengambil paperback itu lalu membawanya ke atas ranjang. “Saya tadi belanja sama ibu, terus lihat kemeja ini kayaknya cocok buat, Bapak.” ujar Naya dengan senyum di wajahnya lalu mengambilnya dan menunjukan ke Dewa.“Kemeja saya sudah banyak,” respon suaminya membuat wajah Naya berubah cemberut.“Bapak, itu ngga bisa menghargai usaha istrinya untuk mengubah penampilan suaminya agar berwarna sedikit.” “Kanaya. saya sudah bilang berapa kali, jangan panggil saya, Bapak.” Naya tersenyum canggung bahkan memperlihatkan barisan gigi rapinya.“Nggak terbiasa, P..”Tak.“Aw.. sakit!” Keluhnya sambil men
“Dia ngajak gue promil, Gila kan!”“Apa masalahnya? Lo sama pak Dewa juga udah suami istri, wajar kali,Nay. Suami istri bahas soal anak,” respon Citra membuat Naya berdecak kesal.Karena dirinya sedang pusing dengan suaminya yang tiba-tiba ingin program hamil. Membuat Naya mengajak Citra untuk bertemu siapa tau sahabatnya ini bisa memberi solusi tapi justru tidak sama sekali.“Iya, wajar untuk pasangan suami istri yang saling mencintai dan memiliki tujuan yang sama. Gue sama dia kebiasan, pikiran dan selera kita saja beda, Cit. Ya kali mau punya anak?!” “Ya, mungkin itu salah satu cara suami lo buat memperbaiki hubungan, dengan adanya anak misalnya,” balas Citra lagi.Jelas Naya tidak terima dengan ucapan sahabatnya itu, Namun dia sudah tidak tau lagi harus bagaimana.”Lo, tau. Dia pengen punya anak karena teman sesuianya udah punya anak lebih dari satu, terus dia nggak mau kalah, terus ngajakin gue bikin anak gitu?!”“Lah, kan emang umur pak Dewa udah cocok punya anak,” ujar Citra yan
Naya memutar bola matanya malas.“Terus kamu samakan aku sama mantan istri kamu?” Tanya Naya dengan wajah tidak sukanya.Dewa menggeleng, memperhatikan makanan yang Naya bawa yang menarik perhatiannya dan tentunya terlihat sangat enak, apalagi masakan Naya memang sangat cocok di lidah Dewa.“Kamu jarang makan siang, Mas?” tanya Naya menatap suaminya yang sedang fokus dengan makanannya.“Saya sibuk, Kanaya.”“Terus kalau kamu sibuk, nggak makan siang gitu!” tanya Naya membuat Dewa diam seolah enggan untuk menjawab.Melihat itu Naya berdecak, sebenarnya Naya tau kalau suaminya itu memang selalu melupakan makan siangnya, karena saat dirinya masih menjadi karyawan suaminya, ia sering mendapati Dewa yang menskip makan siangnya. Dan mungkin tidak hanya makan siang saja namun makan-makan yang lainya juga.Bahkan dulu saat Naya ikut meeting di luar bersama Dewa, pernah dirinya harus menahan lapar karena pria di depannya ini sangat profesional dalam bekerja.“Kenapa begitu sih, Mas?”“Jangan me
Malam ini Naya menunggu Dewa pulang, seperti biasanya Naya selalu menghabiskan waktunya untuk menonton drama korea. Sekaligus mengalihkan pikirannya dari kejadian siang tadi yang membuatnya kesal.Saking serunya menonton drama korea hingga Naya tidak sadar Dewa sudah pulang bekerja dan memasuki kamar tidur mereka. Melihat suaminya yang sudah pulang, Naya menjeda tayangan dan menghampiri suaminya.Demi melanjutkan rencananya untuk membuat suaminya jatuh cinta padanya.“Mas, udah makan malam?” tanya Naya.“Sudah.” Naya mengangguk membiarkan suaminya untuk membersihkan diri, Naya menyiapkan pakaian tidur suaminya dan menaruhnya di atas ranjang. Hal ini sudah menjadi rutinitas Naya akhir-akhir ini setelah dirinya mencoba menerima Dewa.Setelah selesai Naya kembali menaiki ranjang dan kembali memutar drama korea sembari menunggu Dewa mandi. Cukup fokus dengan drama korea hingga dirinya tersadarkan dengan aroma sabunnya yang segar. “Saya besok ada seminar.” ujarnya setelah bergabung duduk
Naya terbangun dari tidurnya menatap sekelilingnya yang asing, dan dirinya baru ingat jika ada di bandung. Naya teringat sesuatu hingga membuat matanya melotot sempurna, ia segera menoleh kesamping namun sudah tidak menemukan keberadaan suaminya.“Semalem beneran?! Bukan mimpi!” ujar Naya dengan wajah terkejutnya, bahkan beberapa kali menepuk pipinya.Naya mengingat semua sejak dirinya masuk kedalam kamar hotel ini, dan Naya mengingat semuanya.Ini benar-benar gila!Naya mendengar pintu berbunyi yang menandakan ada orang yang masuk membuat Naya menoleh melihat suaminya berjalan ke arahnya dengan santainya.“Jadi maksud kamu ini, Mas?” Tanya Naya.“Sudah bangun?” sapanya, seolah tidak mendengar pertanyaan istrinya barusan. Dewa berjalan masuk menuju ke nakas mengambil ponselnya. Melihat respon suaminya yang seperti biasa, datar dengan wajah tenangnya membuat Naya berdecak kesal. ‘Bisa-bisanya dia sesantai dan setenang itu.’Sebenarnya Naya ingin menanyakan soal kejadian semalam kepada
Satu bulan pernikahan, katanya adalah masa penjajakan atau pengenalan. Namun ada juga yang mengatakan satu bulan pernikahan adalah masa dimana lengket dan manisnya sebuah pernikahan.Namun Naya tidak tahu dirinya sedang berada di fase apa. Satu bulan sudah mereka lalui, dan sekarang sudah masuk di bulan kedua pernikahan namun Naya belum begitu mengenal suaminya bahkan belum merasakan pernikahan itu seperti apa.Dulu Naya selalu berharap memiliki suami yang mencintainya, perhatian dan romantis. Namun sepertinya harapan itu harus dirinya kubur dalam-dalam karena mungkin tidak akan terwujud.Naya hanya bisa menghela nafas, ketika sedang membayangkan pernikahannya dengan Dewa yang entah akan berakhir seperti apa.“Ternyata menikah tidak seindah dan seharmonis yang gue lihat.” gumamnya setelah melihat sinetron yang sedang memperlihatkan kisah romantis pernikahan. Karena sudah menjadi kebiasannya memasak sambil menonton Tv.Setelah menyiapkan sarapan untuk suaminya Naya kembali ke kamar untu
Terus, aku harus ketawa-ketawa gitu. Lihat kamu pelukan sama mantan istri kamu!” Jawab Naya.Dewa menghela nafas, “Kami sudah tidak ada hubungan apa-apa.” Jelas suaminya.Naya tersenyum miring mendengar jawaban suaminya. “Sudah tidak ada hubungan, tapi masih ketemu di kantor. Itu apa namanya?!”“Dia yang menemui saya.” Bahkan suaminya masih sempat-sempatnya membela diri.“Kalau kamu mau balikan lagi sama mantan kamu, Silahkan, Mas. Dari pada kamu ketemuan di belakang aku."“Maksud kamu apa? Kanaya.”Naya menatap suaminya, jujur Naya sudah malas berdebat dengan suaminya kali ini. Namun sepertinya kali ini Naya harus kembali membiarkan perdebatan yang berakhir menjadi pertengkaran dengan suaminya.“Aku kurang apa, Mas?” Satu bulir air mata kembali turun ke pipi. “Aku sudah berusaha menerima kamu, bahkan aku menuruti semua keinginan kamu,Mas!”Dewa hanya diam saja, laki-laki itu memandangi istrinya yang menangis terisak karena dirinya.“Aku nggak suka kamu berhubungan sama mantan kamu, M
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi
Sejak dokter muda itu mulai memeriksa Dewangga, Kanaya tidak bisa melepaskan pandangannya dari wanita itu. Cara dokter itu bekerja terlihat cekatan dan penuh perhatian. Namun, ada yang aneh di balik perhatian itu. Beberapa kali, Kanaya menangkap tatapan yang lebih lama dari yang seharusnya, tatapan yang seolah memuji Dewangga dengan penuh kekaguman.Dan itu membuat hati Kanaya bergemuruh, perasaan cemburu yang tiba-tiba muncul begitu saja, menyesakkan dadanya."Sudah selesai, Mas. Saya akan meresepkan obatnya sekarang," ujar dokter itu, dengan senyum hangat, lalu kembali ke meja untuk menulis resep."Mas?" tanya Kanaya merasa aneh dengan panggilan dokter itu.Kanaya menatap suaminya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya. Dewangga menoleh, tatapannya penuh kebingungan."Ada apa?" tanya Dewangga, mencoba membaca ekspresi wajah Kanaya yang tampak tidak biasa.Kanaya menatap dokter itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Dewangga. "Kenapa pilih dokter perempuan? Kenapa nggak ya
Hari itu, rumah Dewangga dipenuhi oleh kolega dan teman-temannya. Sejak pagi, Kanaya tak sempat beristirahat sedikit pun karena tamu yang datang silih berganti. Keramaian ini adalah hal yang baru baginya, apalagi karena ia bukan tipe orang yang sering terlibat dalam acara-acara pekerjaan suaminya.Di tengah keramaian itu, salah satu rekan kerja Dewangga mendekat dan tanpa basa-basi berkata, "Pantas saja sekarang Dewa nggak pernah lama-lama di kantor, istrinya cantik, masih muda pula." Kanaya hanya bisa terdiam, bingung dan sedikit canggung karena ia tidak mengenali pria itu. Dewangga hanya tersenyum kecil, sementara rekan-rekan lain ikut melemparkan candaan yang membuat suasana semakin riuh. Bahkan Ayah mertuanya ikut tertawa, karena disini Dewangga terkena bahan keisengan para sahabatnya hal itu cukup membuat suasannya terasa hangat.Sementara itu, Kanaya memilih untuk duduk tenang di ruang tengah bersama para ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Mereka lebih banyak membahas anak-an
"Saya nggak tahu kenapa dia ada di sini," ujar Dewangga, nada suaranya datar tetapi menyimpan tanya.Naya tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengaduk dirinya. Ia tahu, Savira—mantan istri suaminya—tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Dewangga. Tapi, rasa tidak nyaman tetap merayap di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa tenang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya?"Kanaya," suara Dewangga memecah lamunan Naya, lembut namun tegas. Ia menatap suaminya, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya."Mbak Vira tinggal di sini, Mas," ujar Naya pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Pernyataannya membuat Dewangga mengernyit."Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Dewangga, nadanya berubah serius.Naya menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bukan, Mas. Dia yang menghubungiku duluan, bilang mau pindah ke sini. Aku nggak kabar-kabaran sama dia."Dewangga menghela napas, wajahnya mencerminkan rasa b
"Maaf, Wa. Aku kesini karena khawatir begitu mendengar kamu kecelakaan," kata Savira dengan suara lirih, matanya penuh kekhawatiran. Dia berdiri di depan pintu ruang perawatan, memandang Dewangga yang terbaring di ranjang rumah sakit.Kebetulan hari ini Savira tengah menemani ibunya untuk terapi agar bisa kembali berjalan seperti semula, dan saat di depan administrasi dia tidak sengaja bertemu dengan Naufal."Saya tidak apa-apa, kamu bisa keluar," ujar Dewangga dengan suara tegas."Wa... aku..." Savira terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.Naya berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang berdiri di samping ranjang suaminya. Hatinya sedikit terkejut, namun ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya di balik senyuman.Kanaya segera berjalan ke arah suaminya tanpa memerdulikan Savira atau menyapanya lebih dulu."Kamu nggak papa kan, mas?" tanya Naya dengan suara
"Sekarang lo ngerti kan apa yang gue rasain dulu?" Naya terkekeh sambil menatap wajah Citra yang cemberut. Beberapa hari ini, Citra merasa terabaikan karena suaminya, Naufal, sedang perjalanan dinas ke luar kota. Naya yang dulu sering merasa ditinggalkan suaminya, Dewangga, kini bisa merasakan betapa beratnya perasaan Citra.Kebetulan setiap pulang bekerja, Citra selalu menyempatkan untuk mampir kerumahnya. Karena merasakan kesepian di tinggal suaminya ke luar kota."Iya, gue dulu sering ngejek lo," jawab Citra, matanya yang sembab menatap kosong ke arah meja. "Gue nggak tahu kalau rindu seberat ini."Naya mendengus kesal meski masih ada rasa ingin menggoda sahabatnya. "Lo lebih alay daripada gue," katanya sambil melemparkan tatapan mengejek ke arah Citra yang semakin tidak terima."Lo kan dulu nikah tanpa cinta, Nay. Kalau gue sama Mas Naufal, kita menikah dengan penuh cinta," balas Citra, sedikit membela diri dengan ekspresi yang lebih tegas.Naya hanya tertawa kecil mendengar itu.
Pagi ini, Naya kembali ke rutinitasnya, seperti biasa. Ia sibuk menyiapkan sarapan di dapur bersama Bibi Rosma. Di samping itu, Naya juga menyiapkan makanan untuk MPASI Kai, berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya yang semakin besar.Sambil sibuk bekerja di dapur, Naya melirik Dewangga yang tengah menuntun Kai menuju meja makan. Pemandangan itu membuat hatinya tersenyum. Terkadang, ia masih merasa tak percaya bahwa ia bisa bertahan sejauh ini, melewati segala cobaan hidup."Pagi, Sayang," sapa Naya lembut, mendekat untuk mencium pipi cubby Kai yang kini semakin chubby dan lucu itu. Dewangga tersenyum melihat interaksi mereka."Masak apa hari ini?" tanya Dewangga, matanya memperhatikan Naya yang tengah sibuk di dapur, mempersiapkan makanannya."Bikin MPASI buat Kai, terus aku juga masakin kamu soto, perkedel kentang kayaknya enak buat sarapan hari ini," jawab Naya sambil menyajikan makanan dengan penuh perhatian.Dewangga mengangguk, lalu mengangkat Kai dan duduk di baby chair y