Hari ini, Naya memilih jalan-jalan ke mall tentu saja untuk refreshing. Beberapa hari ini Naya memang mendiamkan Dewa entah dirinya masih enggan untuk menatap dan berbicara dengan suaminya itu.
Sebenarnya apa mau suaminya itu?Menikah dengan Dewa memang bukan keinginannya, bahkan belum ada dua minggu pernikahan selalu saja ada hal yang membuat mereka bertengkar. Naya tau seperti apa seorang Dewa, awalnya Naya berpikir menikah dengan Dewa bukanlah hal yang susah karena yang Naya tau laki-laki itu terlalu sibuk dengan pekerjaanya.“Gimana rasanya menikah? Bahagia?” tanya Citra sembari bertopang dagu.Saat ini mereka ada di salah satu restoran jepang yang menjadi tempat mereka bertemu sekaligus makan siang.Naya menghela nafas. “Capek tau, Cit.” lirih Naya.“Capek?”“Dia semakin nuntut gue untuk menerima dia, tapi dia sendiri seolah acuh sama gue!”“Pelan-pelan aja. Lo kan baru tau pak Dewa aslinya gimana, karena dulu kalian kenal hanya sebatas bos dan karyawan kan. Jadi ya harus saling menyesuaikan dulu.”Naya mengangguk. Karena benar awal pernikahan memang baru penjajakan dulu, apalagi dirinya juga belum mencintai Dewa.“Mendingan lo kerja lagi,” usul Citra.‘Benar, kenapa gue nggak kepikiran buat kerja lagi aja’ serunya dalam hati.“Kenapa, lo senyum-senyum.”“Kenapa gue nggak kepikiran buat kerja lagi ya, padahal kalau gue kerja pikiran gue pasti nggak akan stuck di pernikahan ini aja, dan gue sekarang tau bosennya jadi pengangguran,” ujar Naya terkekeh.“Tapi bilang izin dulu sama suami.” peringat Citra membuat Naya cemberut.“Gini ya, susahnya kalau udah ada suami, mau apa-apa kudu ijin dulu sama suami,”“Iyalah, karena lo sekarang milik pak Dewa bukan orang tua lo lagi. Jadi ya harus ijin sama suami lo.”Mendengar respon Citra membuatnya berdecak.“Nay, gue tau lo masih pengen bebas kaya dulu. Tapi lo udah milih buat menikah jadi ya lo harus siap juga konsekuensinya.”Walaupun dirinya kesal, namun yang di katakan sahabatnya itu benar.-Citra sudah kembali ke kantor, wanita itu masih tinggal di cafe tempat dimana mereka bertemu. Lagi pulang jika dirinya pulang juga malas karena hanya keheningan dan kesepian yang akan Naya dapatkan di sana.Dewa juga pasti masih bergelut dengan berbagai berkas, laporan dan lain sebagainya. Daripada dirinya di rumah sendirian, lebih baik dirinya tetap disini setidaknya bisa melihat orang-orang berlalu lalang. Naya memandang orang-orang di sekelilingnya, ada yang sedang berpacaran, lunch bareng keluarga namun dirinya sendirian di tempat seramai ini.Naya melihat seseorang yang berjalan ke arahnya.Bukankah itu?Ya, dia mantan istrinya Dewa.Naya ingat dengan wajah itu, karena sering bolak-balik ke kantor untuk menemui Dewa. Dan dua minggu lalu wanita itu juga datang ke pernikahan menjadi tamu tak diundang dan membuat moodnya berantakan.Melihat wanita itu semakin mendekat dengan rambut sebahu berwarna pirang, wajah yang memiliki kulit putih dengan make up yang selalu cetar, dengan tatapan mata yang tajam dan bibir yang pink membuatnya terlihat sangat cantik.Naya yang wanita saja merasa iri melihat wanita di depannya itu, dan hingga sekarang dirinya masih penasaran alasan mereka bercerai.“Dewa mana?”Mantan istri Dewa itu duduk di depannya dan mata yang menatap Naya tajam.“Dewa pasti lebih mentingin kerjaan daripada kamu!” ujarnya tersenyum miring.Naya diam malas untuk menanggapi, namun wanita itu kembali menghitung jari tangannya dan tertawa. “Ini baru minggu kedua pernikahan kalian kan? Nggak diajak honeymoon?” tanyanya mengejek.“Bukan urusan anda…”“Dulu waktu Dewa menikah sama saya, dia sering ngajak honeymoon bahkan setiap weekend.” potongnya.Seketika membuat Naya mengepalkan satu tangannya di bawah meja. “Lalu kenapa mas Dewa bisa menceraikan anda! Dan memilih saya?”Setelah mengatakan itu, Naya segera merapikan tasnya kemudian berdiri meninggalkan wanita itu.‘Kenapa harus ketemu nenek lampir sih, ahh!’**Walaupun dirinya sedang marah dengan sang suami, Naya tetap menyiapkan makan malam untuk suaminya. Walaupun dirinya memilih menyingkir tidak menemani Dewa makan malam dan memilih membaringkan badannya di sofa ruang keluarga, karena masih enggan bertemu dengan suaminya.“Kanaya.”Naya diam tidak berniat untuk menjawab ataupun menatap suaminya.“Tidur di kamar,” perintahnya Dewa.Sebenernya Naya sudah melupakan pertengkaran mereka kemaren malam, namun pertemuan dengan mantan istri Dewa tadi membuatnya kesal.Naya memejamkan matanya mengabaikan Dewa, hingga Naya merasakan tangan Dewa menyentuhnya pelan, segera Naya menepisnya.Bahkan Naya mendengar suaminya menghela nafas.‘Nyesel kan lo, Nikah sama gue!’“Saya kekamar duluan,”Naya diam, membiarkan Dewa meninggalkannya.**Naya terbangun sudah ada di kamar, seingatnya dirinya tidur di sofa lalu kenapa dirinya bisa ada di sini ?'Masa dia mindahin gue?' wajah bingung Naya seketika berubah terkejut karena melihat Dewa yang baru masuk kedalam kamar dengan wajah penuh keringat."Saya atau kamu dulu yang mandi?" tanyanya."Bapak saja. Saya mau buat sarapan," katanya kemudian berjalan keluar kamar melewati Dewa.Naya mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat pancake untuk sarapan mereka berdua, walaupun sedang marah namun Naya tetap melayani Dewa dengan baik.Setelah selesai menyiapkan makanan di meja makan, pandangan Naya melihat Dewa yang berjalan ke arahnya. Pria itu sudah mengenakan kemeja kerjanya dengan dasi yang menggantung di kerah kemejanya."Tolong pakaikan saya dasi."Naya menatap laki-laki di depannya ini dengan datar, sejak kapan pria di depannya ini memintanya memakai dasi ?"Punya tangan kan?" tanya Naya malas."Saya minta tolong, Kanaya."Naya menghela nafas, kemudian mendekat kearah suaminya dan menatap suaminya tajam, "Nunduk dikit," karena suaminya itu kelewat tinggi membuat Naya sedikit kesusahan saat hendak menyimpulkan dasi suaminya."Terimakasih,"Naya mengangguk samar, kemudian kembali duduk di meja makan dan mengambilkan pancake untuk Dewa."Saya mau kerja lagi," entah keberanian dari mana Naya mengungkapkan isi hatinya, setelah berpikir semalaman."Di kantor?" tanya Dewa.Naya menggeleng tentu kantor bukan pilihan terbaik untuknya, karena akan kembali menjadi pesuruh suaminya itu."Dimana?""Di kantor tempat kak risky," sebenernya Naya belum tau mau bekerja dimana asalkan dirinya mendapat izin terlebih dahulu dari suaminya."Kamu kerja di kantor saja, nanti..""Saya ngga mau!" tolak Naya cepat."Pilihannya hanya dua, kerja di kantor atau tidak sama sekali."‘Sebenarnya apa sih mau suaminya itu, mau gini nggak boleh mau gitu nggak boleh terus gue harus gimana?’“Apa kata orang, aku sudah resign balik kerja lagi?” Tanya Nara membuat Dewa menatap Naya.“Tidak jadi masalah,”“Iya nggak jadi masalah buat Bapak! Tapi jadi masalah buat saya!” Sahutnya kesal.“Ya Sudah, dirumah saja.”Kenapa jawaban suaminya itu selalu membuatnya kesal. Tidak bisakah, suaminya itu sekali saja bersikap baik padanya?Naya menatap suaminya penuh dengan permusuhan, hingga membuat Dewa membalas menatap istrinya.“Apa kurang jatah bulanan dari saya?” tanya Dewa.Dirinya mau kembali bekerja bukan karena uang, tapi ingin menyibukan diri karena percuma saja dirinya di rumah karena selalu kesepian karena suaminya itu sering pulang malam dan berangkat pagi, dan weekend pun suaminya tetap bekerja.“Ini bukan soal uang, Pak. Tapi saya bosan kalau dirumah terus.” jawab Naya kesal. Apakah dirinya terlihat mata duitan sekali, hingga suaminya berkata seperti itu, bahkan uang bul
Naya menatap Dewa yang sedang fokus dengan layar ponselnya yang sedang membalas email masuk yang membahas pekerjaan. Sekarang Naya tau alasan suaminya kerja keras selama ini. “Kenapa kamu lihatin saya seperti itu?” tanya Dewa.Sebenarnya Naya juga tidak tahu kenapa dirinya menatap laki-laki yang selalu terlihat tegas dan galak ini ternyata memiliki masalalu yang berat.“Eh iya, sebentar.” Naya mengambil paperback itu lalu membawanya ke atas ranjang. “Saya tadi belanja sama ibu, terus lihat kemeja ini kayaknya cocok buat, Bapak.” ujar Naya dengan senyum di wajahnya lalu mengambilnya dan menunjukan ke Dewa.“Kemeja saya sudah banyak,” respon suaminya membuat wajah Naya berubah cemberut.“Bapak, itu ngga bisa menghargai usaha istrinya untuk mengubah penampilan suaminya agar berwarna sedikit.” “Kanaya. saya sudah bilang berapa kali, jangan panggil saya, Bapak.” Naya tersenyum canggung bahkan memperlihatkan barisan gigi rapinya.“Nggak terbiasa, P..”Tak.“Aw.. sakit!” Keluhnya sambil men
“Dia ngajak gue promil, Gila kan!”“Apa masalahnya? Lo sama pak Dewa juga udah suami istri, wajar kali,Nay. Suami istri bahas soal anak,” respon Citra membuat Naya berdecak kesal.Karena dirinya sedang pusing dengan suaminya yang tiba-tiba ingin program hamil. Membuat Naya mengajak Citra untuk bertemu siapa tau sahabatnya ini bisa memberi solusi tapi justru tidak sama sekali.“Iya, wajar untuk pasangan suami istri yang saling mencintai dan memiliki tujuan yang sama. Gue sama dia kebiasan, pikiran dan selera kita saja beda, Cit. Ya kali mau punya anak?!” “Ya, mungkin itu salah satu cara suami lo buat memperbaiki hubungan, dengan adanya anak misalnya,” balas Citra lagi.Jelas Naya tidak terima dengan ucapan sahabatnya itu, Namun dia sudah tidak tau lagi harus bagaimana.”Lo, tau. Dia pengen punya anak karena teman sesuianya udah punya anak lebih dari satu, terus dia nggak mau kalah, terus ngajakin gue bikin anak gitu?!”“Lah, kan emang umur pak Dewa udah cocok punya anak,” ujar Citra yan
Naya memutar bola matanya malas.“Terus kamu samakan aku sama mantan istri kamu?” Tanya Naya dengan wajah tidak sukanya.Dewa menggeleng, memperhatikan makanan yang Naya bawa yang menarik perhatiannya dan tentunya terlihat sangat enak, apalagi masakan Naya memang sangat cocok di lidah Dewa.“Kamu jarang makan siang, Mas?” tanya Naya menatap suaminya yang sedang fokus dengan makanannya.“Saya sibuk, Kanaya.”“Terus kalau kamu sibuk, nggak makan siang gitu!” tanya Naya membuat Dewa diam seolah enggan untuk menjawab.Melihat itu Naya berdecak, sebenarnya Naya tau kalau suaminya itu memang selalu melupakan makan siangnya, karena saat dirinya masih menjadi karyawan suaminya, ia sering mendapati Dewa yang menskip makan siangnya. Dan mungkin tidak hanya makan siang saja namun makan-makan yang lainya juga.Bahkan dulu saat Naya ikut meeting di luar bersama Dewa, pernah dirinya harus menahan lapar karena pria di depannya ini sangat profesional dalam bekerja.“Kenapa begitu sih, Mas?”“Jangan me
Malam ini Naya menunggu Dewa pulang, seperti biasanya Naya selalu menghabiskan waktunya untuk menonton drama korea. Sekaligus mengalihkan pikirannya dari kejadian siang tadi yang membuatnya kesal.Saking serunya menonton drama korea hingga Naya tidak sadar Dewa sudah pulang bekerja dan memasuki kamar tidur mereka. Melihat suaminya yang sudah pulang, Naya menjeda tayangan dan menghampiri suaminya.Demi melanjutkan rencananya untuk membuat suaminya jatuh cinta padanya.“Mas, udah makan malam?” tanya Naya.“Sudah.” Naya mengangguk membiarkan suaminya untuk membersihkan diri, Naya menyiapkan pakaian tidur suaminya dan menaruhnya di atas ranjang. Hal ini sudah menjadi rutinitas Naya akhir-akhir ini setelah dirinya mencoba menerima Dewa.Setelah selesai Naya kembali menaiki ranjang dan kembali memutar drama korea sembari menunggu Dewa mandi. Cukup fokus dengan drama korea hingga dirinya tersadarkan dengan aroma sabunnya yang segar. “Saya besok ada seminar.” ujarnya setelah bergabung duduk
Naya terbangun dari tidurnya menatap sekelilingnya yang asing, dan dirinya baru ingat jika ada di bandung. Naya teringat sesuatu hingga membuat matanya melotot sempurna, ia segera menoleh kesamping namun sudah tidak menemukan keberadaan suaminya.“Semalem beneran?! Bukan mimpi!” ujar Naya dengan wajah terkejutnya, bahkan beberapa kali menepuk pipinya.Naya mengingat semua sejak dirinya masuk kedalam kamar hotel ini, dan Naya mengingat semuanya.Ini benar-benar gila!Naya mendengar pintu berbunyi yang menandakan ada orang yang masuk membuat Naya menoleh melihat suaminya berjalan ke arahnya dengan santainya.“Jadi maksud kamu ini, Mas?” Tanya Naya.“Sudah bangun?” sapanya, seolah tidak mendengar pertanyaan istrinya barusan. Dewa berjalan masuk menuju ke nakas mengambil ponselnya. Melihat respon suaminya yang seperti biasa, datar dengan wajah tenangnya membuat Naya berdecak kesal. ‘Bisa-bisanya dia sesantai dan setenang itu.’Sebenarnya Naya ingin menanyakan soal kejadian semalam kepada
Satu bulan pernikahan, katanya adalah masa penjajakan atau pengenalan. Namun ada juga yang mengatakan satu bulan pernikahan adalah masa dimana lengket dan manisnya sebuah pernikahan.Namun Naya tidak tahu dirinya sedang berada di fase apa. Satu bulan sudah mereka lalui, dan sekarang sudah masuk di bulan kedua pernikahan namun Naya belum begitu mengenal suaminya bahkan belum merasakan pernikahan itu seperti apa.Dulu Naya selalu berharap memiliki suami yang mencintainya, perhatian dan romantis. Namun sepertinya harapan itu harus dirinya kubur dalam-dalam karena mungkin tidak akan terwujud.Naya hanya bisa menghela nafas, ketika sedang membayangkan pernikahannya dengan Dewa yang entah akan berakhir seperti apa.“Ternyata menikah tidak seindah dan seharmonis yang gue lihat.” gumamnya setelah melihat sinetron yang sedang memperlihatkan kisah romantis pernikahan. Karena sudah menjadi kebiasannya memasak sambil menonton Tv.Setelah menyiapkan sarapan untuk suaminya Naya kembali ke kamar untu
Terus, aku harus ketawa-ketawa gitu. Lihat kamu pelukan sama mantan istri kamu!” Jawab Naya.Dewa menghela nafas, “Kami sudah tidak ada hubungan apa-apa.” Jelas suaminya.Naya tersenyum miring mendengar jawaban suaminya. “Sudah tidak ada hubungan, tapi masih ketemu di kantor. Itu apa namanya?!”“Dia yang menemui saya.” Bahkan suaminya masih sempat-sempatnya membela diri.“Kalau kamu mau balikan lagi sama mantan kamu, Silahkan, Mas. Dari pada kamu ketemuan di belakang aku."“Maksud kamu apa? Kanaya.”Naya menatap suaminya, jujur Naya sudah malas berdebat dengan suaminya kali ini. Namun sepertinya kali ini Naya harus kembali membiarkan perdebatan yang berakhir menjadi pertengkaran dengan suaminya.“Aku kurang apa, Mas?” Satu bulir air mata kembali turun ke pipi. “Aku sudah berusaha menerima kamu, bahkan aku menuruti semua keinginan kamu,Mas!”Dewa hanya diam saja, laki-laki itu memandangi istrinya yang menangis terisak karena dirinya.“Aku nggak suka kamu berhubungan sama mantan kamu, M
Spesial Kanaya. Kanaya berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap hujan yang turun perlahan di luar. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk bertahan di pernikahannya, Pernikahan mereka dimulai dengan cara yang tidak pernah dia inginkan. Terpaksa, mungkin itulah kata yang paling tepat. Pernikahan yang bukan atas dasar cinta, tetapi lebih karena tuntutan keluarga dan kewajiban yang tidak bisa dielakkan. Dewa, suaminya adalah mantan atasan yang dirinya benci dan dirinya benci waktu saat itu. Namun tuhan justru mempersatukannya dengan Dewa dalam ikatan pernikahan. Dewa adalah pria yang dingin, tertutup, dan jauh dari kata romantis. Dulu, Kanaya sering bertanya-tanya, apakah perasaan suaminya itu benar-benar ada, atau apakah dia hanya seorang pria yang terperangkap dalam rutinitas hidup yang membuatnya sulit untuk mengungkapkan apa pun—termasuk cinta. Namun, ketika Kanaya pertama kali bertemu dengan Dewa, hatinya sempat ragu, bahkan takut. Bagaimana bisa ia menikahi seorang
POV Dewangga Dewa duduk di ruang kerjanya, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Senja mulai turun, dan langit yang tadinya biru cerah kini berubah menjadi jingga yang hangat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai macam perasaan. Rasanya, hidupnya memang tidak pernah berjalan semulus yang ia inginkan. Ada selalu saja masalah yang datang silih berganti, dan seakan tidak pernah habis. Namun, di balik semua itu, satu hal yang selalu menjadi pegangan Dewa adalah keberadaan Kanaya di sampingnya. Jika ia harus mengakui satu hal yang paling berharga dalam hidupnya, itu adalah Kanaya. Istrinya yang setia, sabar, dan penuh kasih, meskipun mereka sering kali terjebak dalam konflik-konflik yang tak terduga. Kanaya, yang selalu merasa cemas dan khawatir dengan segala yang terjadi, selalu berdiri teguh di sampingnya, mendukungnya dengan sepenuh hati. Dewa tahu, ia tidak selalu menjadi suami yang sempurna. Ada kalanya ia terlalu
Dewa dan Kanaya duduk di balkon rumah mereka, menikmati udara sore yang sejuk. Angin berhembus perlahan, membawa ketenangan setelah melalui hari-hari yang penuh ketegangan. Mereka baru saja menyelesaikan permasalahan besar dengan Soedrajat, dan meskipun situasi masih terbilang sensitif, rasa lega mulai mengalir pelan-pelan. Dewa memandangi istrinya dengan penuh perhatian, senyumnya sedikit lebih lebar dari biasanya. Hari ini adalah hari yang berbeda, hari di mana mereka bisa melangkah tanpa rasa takut, tanpa ancaman yang menggantung di atas kepala mereka.Kanaya menyandarkan kepalanya di bahu Dewa, merasa nyaman dalam pelukan suaminya. Setelah semua drama dan kekacauan yang mereka hadapi, kini mereka bisa menikmati kebersamaan dalam ketenangan. Semua yang terjadi dengan Soedrajat dan permasalahan yang mengikutinya seolah-olah menghilang begitu saja dari benaknya, meskipun ia tahu itu mungkin hanya sementara."Kamu baik-baik saja?" Dewa bertanya, tangannya melingkari tubuh Kanaya denga
Hari ini setelah meraka sama-sama tenang, Dewa mengajak Kanaya untuk datang kediaman Seodrajat, dia ingin segera menyelesaikan. Dewa memarkir mobil di depan rumah besar yang tampak megah namun suram. Rumah Soedrajat, dengan taman yang luas dan pagar tinggi, mencerminkan kekuasaan dan kontrol yang selama ini dia pegang. Namun, malam ini, rumah itu tampak berbeda bagi Dewa. Tidak ada lagi rasa hormat yang dia rasakan untuk pria itu. Yang ada hanya kebencian yang memuncak dan keinginan untuk mengakhiri semua permainan kotor yang sudah terlalu lama berlangsung.Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan diam, tangannya menggenggam erat tangan Dewa. Wajahnya terlihat tegang, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Pasti semuanya tidak akan mudah karena yang dirinya hadapi adalah Seodrajat, apalagi setelah semua yang telah terjadi antara mereka."Ini keputusan yang tepat, kan, Mas?" tanya Kanaya dengan suara lembut, meskipun ada keraguan yang terbesit dalam kata-katanya. Apala
Ruangan kantor yang luas itu kini terasa dingin penuh dengan ketegangan. Dewa duduk di sofa kulit hitam, ekspresinya datar, hampir tidak menunjukkan perasaan apapun, tetapi matanya yang tajam memancarkan kekecewaan yang dalam. Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan wajah menunduk tidak berani menatap suaminya. Hanya suara detak jam dinding yang berulang-ulang terdengar jelas dalam keheningan yang mencekam ini.“Kenapa nggak bilang sama saya?” Dewa akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, penuh ketegangan.Kanaya menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak meneteskan air mata lagi. Dia tahu, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak hanya menyembunyikan pertemuan itu, tetapi juga melibatkan dirinya dalam urusan yang seharusnya tidak ia ambil. Biasanya, dia selalu bisa berbicara dengan Dewa tentang apapun, tidak ada yang disembunyikan. Tapi kali ini, rasa takut telah menahannya untuk tidak berkata apa-apa.“Biasanya kamu selalu membicarakan semuany
"Kamu tau kenapa saya mengajak kamu bertemu,"Kanaya menatap pria tua yang baru saja datang itu. "Silahkan duduk," "Saya pikir kamu tidak akan seberani ini untuk menemui saya," ujarnya sebelum mendudukan dirinya. "Saya heran kenapa kedua cucu saya memilih kamu sebagai pasangan hidup, padahal masih banyak wanita di luaran sana yang lebih daripada kamu." Ujarnya dengan wajah mengejeknua.Naya menarik minumannya untuk membasahi tenggorokan nya yang mendadak kering."Sebenarnya apa tujuan anda mengajak saya bertem?" tanya Naya langsung.Rasanya sudah tidak bisa jika harus berbasa-basi dengan pria di depannya ini. Seodrajat melipat tangannya di depan dada, menatap Kanaya kemudian tersenyum tipis."Ceraikan Dewangga." Sudah ia duga, jika laki-laki tua di depannya itu meminta dirinya untuk bercerai dengan Dewa. Naya terdiam sejenak berusaha tenang, agar tidak mudah terpengaruh."Saya tidak akan menceraikan suami saya." ucap Kanaya tenang."Saya tidak akan membiarkan cucu saya di pengaruhi
"Terus lo mau gimana, Nay?" tanya Citra yang sejak tadi hanya menyimak cerita sahabatnya itu.Citra hari ini memang sengaja berkunjung kerumah sahabatnya setelah mendengar sedikit tentang masalah yang menimpa sahabatnya itu.Naya hanya bisa menggeleng pelan, tidak tau harus menjawab bagaimana karena Dewa selalu mengatakan padanya untuk tidak terlalu memikirkan permasalahannya dengan Seodrajat. Bahkan pria itu berkali-kali menekankan semuanya akan baik-baik saja.Tapi bagaimana bisa, karena Seodrajat juga menganggunya lewat pesan singkat dengan berisi ancaman.Banyak sekali yang tengah Naya pikiran, yang paling mengganggu pikirannya mengenai keluarga Soedrajat yang tidak pernah lelah menganggu keluarga kecilnya. Apakah dia belum puas dengan apa yang mereka lakukan kepada suaminya, bahkan hingga membuat suaminya trauma dan menjalani hidup berat selama ini."Gue nggak tau,""Percaya sama Pak Dewa, Nay." "Gue selalu percaya sama suami gue, Cit. Tapi gue tetap saja khawatir, selama ini Ma
"Mas kamu nggak seneng kencan sama aku?" Naya mendekat kearah suaminya yang sejak tadi hanya menampilkan wajah datarnya saja, sangat terlihat tidak senang dengan kencan mereka bukan.Dewa menoleh menatap istrinya, "Senang."Jawaban singkat, padat dan tidak ikhlas itu membuat Naya menatap suaminya kesal, dan yang semakin membuat Naya semakin kesal suaminya itu justru asik berbalas pesan dengan Naufal. Walaupun mereka membahas pekerjaan tapi rasanya Naya tidak terima karena harusnya hari ini mereka Quality time.Kanaya sangat tau pekerjaan adalah istri kedua suaminya itu, tapi tidak bisakah suaminya itu bersikap adil?"Katanya hari ini kita kecan?" Naya mengambil ponsel suaminya dan menyembunyikan di belakang tubuhnya."Kanaya," panggil Dewangga pelan sembari meraih ponselnya namun gagal karena Naya sudah lebih dulu memasukan kedalam tasnya."Kamu nggak ikhlas kecan sama aku," ujar Naya sok ngambek, padahal mah biasa saja. Karena sejak awal niatnya hanya untuk mengerjai suaminya saja,
"Papa!" teriak Kai saat melihat papanya baru saja pulang.Naya tersenyum melihat Kai yang berlari dengan senyum merekah di wajahnya kemudian memeluk kaki papanya."Jangan lari, Nanti kalau jatuh gimana?" tanya Dewa sembari mengangkat Kai kegendongannya."Kai hati-hati kok, pa. Kata mama kalau jatuh sakit jadi harus hati-hati." jawabnya dengan suara khas anak kecil yang mengemaskan."Pah, tadi Kai berkebun di belakang rumah." seperti biasa Kai akan menceritakan semua aktivitasnya seharian ini ketika papanya pulang."Oh ya? sama siapa?""Mama." jawab Kai membuat Dewa menatap istrinya yang masih duduk di ruang tengah memperhatikan mereka berdua."Tadi nanam apa?" "Bunga, bunganya warna warni tau, Pah." jawabnya tertawa kecil, menampakkan daratan giginya."Kai sudah berkebun?" Kai mengangguk cepat dengan senyum merekah di wajahnya."Aku bosan, Mas. Jadi nanam beberapa jenis bunga di halaman belakang." sahut Naya yang sedari tadi hanya diam memperhatikan interaksi antara papa dan anak itu