Hari pernikahan tiba, dan Naya sebisa mungkin mempertahankan senyum bisnisnya dari pagi. Ini sangat melelahkan untuk Kanaya yang harus berdiri di atas pelaminan dengan heels. Apalagi harus berpura-pura bahagia, ini lebih melelahkan daripada mengejar deadline yang diberi Dewa dulu.
Naya menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya.“Capek?” Dewa, yang berdiri di sebelahnya tiba-tiba bertanya.“Eh?” Naya menoleh. “Ya, lumayan.”“Mau saya ambilkan makan?”“Ambilin pudding atau buah aja deh, Pak. Buat ganjel.”Dewa mengangguk, lalu beranjak dari pelaminan. Kini, hanya Naya yang tinggal di situ. Orang tua dan mertuanya sibuk sendiri, menyambut tamu-tamu kenalannya. Naya akhirnya kembali duduk sambil memainkan jari-jarinya.“Oh, ini ISTRI barunya Mas Dewa.” Ucapan itu sontak membuat Naya mengangkat kepala. “Ternyata emang sukanya daun muda, ya?”Naya mengerutkan dahi. Ia kenal wanita ini, itu adalah mantan istri Dewa yang sering keluar-masuk kantor seenaknya. Kenapa dia ada di sini? Seingatnya, Dewa tidak mengundang wanita ini.Naya berdiri, berhadapan dengan wanita itu. “Iya, dong. Kan kalau daun muda, masih seger, gak peyot kayak Tante.”Naya melihat wanita itu menatapnya tajam, tapi dengan cepat dia bisa kembali berkata sarkas. “Ya, cocok sih. Kan anak kecil sukanya main rumah-rumahan.”“Ya lebih baik, daripada sukanya ngerusak rumah tangga orang lain, kan?” balas Naya tidak kalah tajam.Naya boleh lebih muda dari wanita itu, tapi dia tidak akan mudah dikalahkan. Dia sudah terlatih bertengkar dengan Risky, kakak kandungnya, sejak kecil. Menghadapi ucapan sinis Savira, adalah hal yang mudah.“Eh! Jangan sok kamu! Bagaimana pun orang lama yang akan jadi pemenangnya!”“Coba aja!”Wanita itu tampak akan mengangkat tangannya. Namun, begitu melihat tamu-tamu undangan dan para orangtua melihat ke arah mereka, dia buru-buru turun dari pelaminan.Melihat itu, Naya mendengus, antara sebal dan merasa bangga.“Kanaya,” suara Dewa tiba-tiba muncul dari samping, Naya pun menoleh. “Terima kasih.”Padahal itu kata-kata sederhana, tapi Naya langsung merasa pipinya memanas. Ia pun segera mengambil piring berisi buah yang Dewa bawa, dan memakannya. Jantungnya berdetak tidak karuan sekarang.***Acara selesai pukul 5 sore, Naya dan Dewa pulang ke rumah orangtua Naya untuk malam pengantin. Sebenarnya, Dewa menyarankan menginap di hotel saja, tapi karena Naya terlalu takut, ia pun menolak.‘Gila aja mau berduaan doang sama om-om itu!’ gerutu Naya sambil menghapus makeup ketika mengingat pembicaraan mereka waktu itu.Naya sudah membaringkan badannya di atas kasur yang sudah dirinya rindukan sejak pukul 5 pagi. Karena kelelahan, dengan mudah ia pergi ke alam mimpi.Sedangkan Dewa masih mengobrol dengan beberapa saudara-saudaranya dari luar kota. Ia baru masuk ke dalam kamar pukul 10 malam. Saat Dewa masuk sudah melihat istrinya yang meringkuk di atas kasur dengan wajah damainya.Dewa kira, Naya belum tidur karena kamar itu masih terang benderang. Setelah mandi dan berganti pakaian, Dewa menyusul istrinya untuk istirahat. Ia meraih saklar lampu dan mematikannya, sebelum berjalan ke arah kasur."Aaa!"Teriakan Naya membuat Dewa yang baru mendekat satu langkah, langsung mundur lagi. Dia buru-buru menyalakan saklar lampu lagi."Kenapa berteriak?" tanya Dewa."Siapa?""Kamu lupa jika sudah memiliki suami?"Naya seketika tersadar jika dirinya sudah menjadi istri orang. Saat terbangun karena terusik kamarnya gelap gulita, ia duduk dan melihat siluet hitam yang berdiri di depannya. Tentu saja dia terkejut."Kenapa harus dimatikan lampunya?" tanya Naya."Saya ngga terbiasa," jawab Dewa sambil mematikan kembali lampu.Tanpa rasa bersalah sama sekali, Dewa melangkahkan kakinya dan menaiki ranjang. Ia berbaring sebelah Naya yang masih gemetaran dan memeluk guling."Pak! Nyalakan lampunya!" pinta Naya sudah dengan mata yang berkaca-kaca karena dirinya benar-benar takut.Dewa menoleh melihat Naya duduk dengan mata berair. Dewa menghela nafas, lalu kembali bangun dan menyalakan lampu tidur di sebelah Naya."Sudah?"Naya mengangguk."Sekarang tidur, Kanaya."Naya kembali membaringkan badannya di sebelah Dewa dengan ragu. Namun, ketika melihat Dewa yang memejamkan matanya, akhirnya Naya juga bisa memejamkan matanya dengan tenang.Paginya, Naya baru bangun ketika Bunda dan kakak iparnya sedang menyiapkan sarapan. Untuk kali ini mereka tidak protes. Mungkin paham kalau Naya sangat lelah kemarin."Suami kamu mana?" tanya bundanya saat Naya mengambil air di dapur, tapi Naya hanyaa mengendikan bahunya.‘Aku sendiri aja ngga lihat dia pas bangun tadi,’ jawab Naya dalam hati sambil meneguk minumnya."Jogging sama Ayah, dan Mas Risky, Bun." jelas Amel, kakak iparnya."Jogging? Sejak kapan ayah dan kakakmu suka jogging?" tanya Wina heran karena selama ini suaminya sangat jarang berolahraga."Sejak Naya punya suami sih, Bun." Amel menggoda sang adik ipar.Tidak lama kemudian, ketiga laki-laki itu pun masuk ke rumah. Mereka tampak penuh dengan keringat. Bahkan Ayah sudah sangat kelelahan dengan wajah memerah.Naya menoleh melihat Dewa yang datang dengan wajah yang berkeringat. Kaos hitam yang dipakainya semakin melekat ke tubuh atletisnya itu. Naya bisa melihat samar bentukan otot di sana.Rambutnya yang basah, dan wajah sedikit memerah membuat Naya tidak bisa berkedip. Sekarang akhirnya ia tahu, apa yang membuat para wanita itu mengejar Dewa. Laki-laki itu terlihat seperti sarapan pagi yang lezat."Nay, ambilkan minum dong untuk suaminya," perintah Wina membuat Naya mengerjap untuk menyadarkan diri.Ia segera berdeham. "Udah gede, Bun, bisa ngambil sendiri." jawab Naya cuek."Udah, ngga papa, Bun. Dewa mandi dulu." pamitnya kemudian dibalas anggukan oleh Wina.Setelah kepergian ketiga laki-laki itu, Wina menatap Naya marah. "Bunda ngga pernah ngajarin kamu untuk nggak sopan kaya gitu ya, Nay!""Bunda selama ini selalu ngajarin kamu untuk menjadi perempuan yang baik. Apa kamu ngga pernah memperhatikan Bunda kalau sedang melayani ayah kamu?" tanya Wina marah."Pak Dewa juga ngga masalah kok, Bun." Naya mulai kesal."Kanaya! Sekarang tanggung jawab kamu itu ada pada suamimu, karena ayah sudah menyerahkan kamu pada Dewa. Jadi hormati dan layani suamimu."Kanaya hanya diam, kemudian beranjak dari dapur menuju kamarnya lagi. Sejak dirinya mulai remaja, ia memang sudah diajarkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan belajar memasak.Bundanya selalu memberikan nasihat untuk menjadi seorang istri yang baik. Namun dulu Naya selalu mengabaikannya karena menurutnya tidak penting karena dirinya belum kepikiran untuk menikah.‘Jadi istri kenapa harus ribet sih!’ Naya berjalan sambil menghentakkan kaki. Dia pun hanya duduk di atas ranjang sembari menunggu suaminya bersiap."Bapak ngga cuti? Biasanya kan kalau habis nikah ada jatah cuti," tanya Naya."Mereka ambil cuti karena ada yang mereka lakukan. Kalau kita kan ngga."Naya langsung terdiam. Ia bingung harus menjawab Dewa bagaimana."Ayo, cepet. Kita ditunggu Bunda di bawah, sarapan dulu." ujar Naya mengalihkan pembicaraan, tidak ingin memperpanjang perdebatan mereka.Dewa mengangguk kemudian berjalan keluar kamar. Naya mengikuti suaminya hingga meja makan. Di sana sudah ada Ayah, Bunda, dan kakaknya.Sebelum kembali ditegur oleh bundanya, Naya segera mengambilkan sarapan untuk Dewa."Ngga cuti kamu, Mas?" tanya Risky.Dewa adalah senior Risky di kampus dulu, dan karena umur Dewa lebih tua darinya sehingga Risky memanggil Dewa dengan sebutan mas."Tidak, kerjaan lagi banyak," jawab Dewa.Naya, yang tadi bersiap mendengar ucapan ketus Dewa seperti di kamar, kini tertegun. Ucapan Dewa sangat berbeda dengan ketika dia bertanya tadi. Apa Dewa sedang melindungi image nya di depan keluarganya sendiri?"Iya kan pernikahan Naya sama Dewa juga cukup mendadak, pasti susah untuk Nak Dewa ambil cuti," sahut Aslan."Kamu diet dek?" tanya amel yang sedari tadi hanya melihat Naya memakan 1 buah apel saja."Engga.""Ngga usah jaim kali, Nay, biasanya kalau sarapan juga makan banyak," ejek Risky, membuat Naya melempar sepotong apel ke kakaknya."Jangan melempar makanan," tegur Dewa seketika membuat Naya menghentikan aksinya saat akan melemparkan kembali apelnya.Naya pun terdiam. Bagaimana tidak diam orang tangannya digengam oleh Dewa agar tidak kembali melemparkan apel.Seketika, Naya merasakan aliran panas mengalir dari tangannya, dan membuat jantungnya berdegub sangat cepat. Ia pun melirik tangannya yang digenggam Dewa. Apa tangan Dewa memang sebesar itu, ya?Seperti kesepakatan mereka, hari ini Naya akan tinggal bersama dengan Dewa di rumahnya. Hanya berdua. Membayangkannya saja sudah membuat Naya merinding.Saat pertama kali dirinya masuk ke rumah Dewa, yang Naya rasakan adalah kosong. Rumah ini tidak ada foto-foto sama sekali bahkan hiasan pun hanya seadanya.‘Rumahnya sedingin pemiliknya ternyata,’ batin Naya.Sampai detik ini, Naya masih penasaran kenapa Dewa bercerai dengan mantan istrinya. Yang dirinya tau mantan istrinya itu sangat cantik, tinggi dan seorang dokter.‘Apa mungkin Dewa menduda selama ini karena belum bisa move on dari mantan istrinya itu? Apalagi mantan istrinya itu masih sering menemui dia di kantor.’"Ini kamar kita."Naya seketika tersadar dari pikirannya, dan mengangguk. Ia mengikuti Dewa yang sudah lebih dulu masuk."Saya ke ruang kerja sebentar," ujarnya membuat Naya menoleh, kemudian mengangguk.Setelah suaminya keluar Naya kembali melihat-lihat kamar. Sama seperti bagian ruang tamu tadi, kamar ini pun tampak
‘Apa katanya tadi? Jangan panggil saya bapak! Dih mukanya aja mendukung untuk di panggil bapak,’ gumannya.Naya berdecih. Kenapa sih laki-laki itu selalu membuat dirinya kesal, namun di balik sisi menyebalkan suaminya itu ternyata ada sisi perhatiannya juga.Tapi apakah mungkin suaminya itu akan berubah menjadi suami yang perhatian dan romantis‘Mustahil ngga sih kalau gue bisa bikin tu orang bucin?’ Kemudian Naya menggelengkan kepalanya menepis semua yang ada di pikirannya, karena dirinya harus ke supermarket untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan dapur.Naya sudah sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumahnya, ah lebih tepatnya rumah Dewa yang sekarang jadi suaminya. Inilah part yang paling dirinya sukai belanja memilih semua sesuai dengan keinginannya, dulu setiap kali mengantarkan belanja bundanya, dirinya selalu di larang untuk mengambil makanan ringan kesukaannya.‘Ahh, jadi rindu bunda,” gumannya dengan wajah sedihnya.Sejak dirinya kecil hingga usia
Naya menghampiri Dewa yang sedang duduk santai diruang keluarga, dengan segelas kopi yang dirinya buat kemudian menaruh di atas meja di depan Dewa. “Diminum, Pak,” Dewa melirik sebentar ke arah kopi yang Naya buatan, bahkan ucapan terimakasih tidak Naya dapatkan. ‘Sebenarnya maunya dia itu apa sih, minta gue menerima pernikahan ini dianya masih cosplay jadi atasan.’ gerutu Naya.Dirinya sudah mencoba untuk menerima Dewa namun laki-laki itu justru mengabaikannya. Naya mendudukan dirinya di sebelah Dewa melirik ponsel suaminya yang ternyata mengecek beberapa email pekerjaan.Seminggu menikah dengan Dewa dirinya mulai hafal aktivitas laki-laki itu setiap harinya. Bahkan laki-laki itu lebih produktif daripada dirinya, ini adalah kali pertama dirinya bisa duduk santai dengan Dewa setelah menikah.Biasanya laki-laki itu pergi bekerja pukul 7 pagi dan pulang pukul 8/9 malam. Jadi sangat sedikit waktu mereka bertemu, bahkan hari libur pun Dewa tetap sibuk dengan pekerjaanya.Sebenarnya Naya
Hari ini, Naya memilih jalan-jalan ke mall tentu saja untuk refreshing. Beberapa hari ini Naya memang mendiamkan Dewa entah dirinya masih enggan untuk menatap dan berbicara dengan suaminya itu.Sebenarnya apa mau suaminya itu?Menikah dengan Dewa memang bukan keinginannya, bahkan belum ada dua minggu pernikahan selalu saja ada hal yang membuat mereka bertengkar. Naya tau seperti apa seorang Dewa, awalnya Naya berpikir menikah dengan Dewa bukanlah hal yang susah karena yang Naya tau laki-laki itu terlalu sibuk dengan pekerjaanya.“Gimana rasanya menikah? Bahagia?” tanya Citra sembari bertopang dagu.Saat ini mereka ada di salah satu restoran jepang yang menjadi tempat mereka bertemu sekaligus makan siang.Naya menghela nafas. “Capek tau, Cit.” lirih Naya.“Capek?” “Dia semakin nuntut gue untuk menerima dia, tapi dia sendiri seolah acuh sama gue!”“Pelan-pelan aja. Lo kan baru tau pak Dewa aslinya gimana, karena dulu kalian kenal hanya sebatas bos dan karyawan kan. Jadi ya harus saling
‘Sebenarnya apa sih mau suaminya itu, mau gini nggak boleh mau gitu nggak boleh terus gue harus gimana?’“Apa kata orang, aku sudah resign balik kerja lagi?” Tanya Nara membuat Dewa menatap Naya.“Tidak jadi masalah,”“Iya nggak jadi masalah buat Bapak! Tapi jadi masalah buat saya!” Sahutnya kesal.“Ya Sudah, dirumah saja.”Kenapa jawaban suaminya itu selalu membuatnya kesal. Tidak bisakah, suaminya itu sekali saja bersikap baik padanya?Naya menatap suaminya penuh dengan permusuhan, hingga membuat Dewa membalas menatap istrinya.“Apa kurang jatah bulanan dari saya?” tanya Dewa.Dirinya mau kembali bekerja bukan karena uang, tapi ingin menyibukan diri karena percuma saja dirinya di rumah karena selalu kesepian karena suaminya itu sering pulang malam dan berangkat pagi, dan weekend pun suaminya tetap bekerja.“Ini bukan soal uang, Pak. Tapi saya bosan kalau dirumah terus.” jawab Naya kesal. Apakah dirinya terlihat mata duitan sekali, hingga suaminya berkata seperti itu, bahkan uang bul
Naya menatap Dewa yang sedang fokus dengan layar ponselnya yang sedang membalas email masuk yang membahas pekerjaan. Sekarang Naya tau alasan suaminya kerja keras selama ini. “Kenapa kamu lihatin saya seperti itu?” tanya Dewa.Sebenarnya Naya juga tidak tahu kenapa dirinya menatap laki-laki yang selalu terlihat tegas dan galak ini ternyata memiliki masalalu yang berat.“Eh iya, sebentar.” Naya mengambil paperback itu lalu membawanya ke atas ranjang. “Saya tadi belanja sama ibu, terus lihat kemeja ini kayaknya cocok buat, Bapak.” ujar Naya dengan senyum di wajahnya lalu mengambilnya dan menunjukan ke Dewa.“Kemeja saya sudah banyak,” respon suaminya membuat wajah Naya berubah cemberut.“Bapak, itu ngga bisa menghargai usaha istrinya untuk mengubah penampilan suaminya agar berwarna sedikit.” “Kanaya. saya sudah bilang berapa kali, jangan panggil saya, Bapak.” Naya tersenyum canggung bahkan memperlihatkan barisan gigi rapinya.“Nggak terbiasa, P..”Tak.“Aw.. sakit!” Keluhnya sambil men
“Dia ngajak gue promil, Gila kan!”“Apa masalahnya? Lo sama pak Dewa juga udah suami istri, wajar kali,Nay. Suami istri bahas soal anak,” respon Citra membuat Naya berdecak kesal.Karena dirinya sedang pusing dengan suaminya yang tiba-tiba ingin program hamil. Membuat Naya mengajak Citra untuk bertemu siapa tau sahabatnya ini bisa memberi solusi tapi justru tidak sama sekali.“Iya, wajar untuk pasangan suami istri yang saling mencintai dan memiliki tujuan yang sama. Gue sama dia kebiasan, pikiran dan selera kita saja beda, Cit. Ya kali mau punya anak?!” “Ya, mungkin itu salah satu cara suami lo buat memperbaiki hubungan, dengan adanya anak misalnya,” balas Citra lagi.Jelas Naya tidak terima dengan ucapan sahabatnya itu, Namun dia sudah tidak tau lagi harus bagaimana.”Lo, tau. Dia pengen punya anak karena teman sesuianya udah punya anak lebih dari satu, terus dia nggak mau kalah, terus ngajakin gue bikin anak gitu?!”“Lah, kan emang umur pak Dewa udah cocok punya anak,” ujar Citra yan
Naya memutar bola matanya malas.“Terus kamu samakan aku sama mantan istri kamu?” Tanya Naya dengan wajah tidak sukanya.Dewa menggeleng, memperhatikan makanan yang Naya bawa yang menarik perhatiannya dan tentunya terlihat sangat enak, apalagi masakan Naya memang sangat cocok di lidah Dewa.“Kamu jarang makan siang, Mas?” tanya Naya menatap suaminya yang sedang fokus dengan makanannya.“Saya sibuk, Kanaya.”“Terus kalau kamu sibuk, nggak makan siang gitu!” tanya Naya membuat Dewa diam seolah enggan untuk menjawab.Melihat itu Naya berdecak, sebenarnya Naya tau kalau suaminya itu memang selalu melupakan makan siangnya, karena saat dirinya masih menjadi karyawan suaminya, ia sering mendapati Dewa yang menskip makan siangnya. Dan mungkin tidak hanya makan siang saja namun makan-makan yang lainya juga.Bahkan dulu saat Naya ikut meeting di luar bersama Dewa, pernah dirinya harus menahan lapar karena pria di depannya ini sangat profesional dalam bekerja.“Kenapa begitu sih, Mas?”“Jangan me
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi
Sejak dokter muda itu mulai memeriksa Dewangga, Kanaya tidak bisa melepaskan pandangannya dari wanita itu. Cara dokter itu bekerja terlihat cekatan dan penuh perhatian. Namun, ada yang aneh di balik perhatian itu. Beberapa kali, Kanaya menangkap tatapan yang lebih lama dari yang seharusnya, tatapan yang seolah memuji Dewangga dengan penuh kekaguman.Dan itu membuat hati Kanaya bergemuruh, perasaan cemburu yang tiba-tiba muncul begitu saja, menyesakkan dadanya."Sudah selesai, Mas. Saya akan meresepkan obatnya sekarang," ujar dokter itu, dengan senyum hangat, lalu kembali ke meja untuk menulis resep."Mas?" tanya Kanaya merasa aneh dengan panggilan dokter itu.Kanaya menatap suaminya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya. Dewangga menoleh, tatapannya penuh kebingungan."Ada apa?" tanya Dewangga, mencoba membaca ekspresi wajah Kanaya yang tampak tidak biasa.Kanaya menatap dokter itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Dewangga. "Kenapa pilih dokter perempuan? Kenapa nggak ya
Hari itu, rumah Dewangga dipenuhi oleh kolega dan teman-temannya. Sejak pagi, Kanaya tak sempat beristirahat sedikit pun karena tamu yang datang silih berganti. Keramaian ini adalah hal yang baru baginya, apalagi karena ia bukan tipe orang yang sering terlibat dalam acara-acara pekerjaan suaminya.Di tengah keramaian itu, salah satu rekan kerja Dewangga mendekat dan tanpa basa-basi berkata, "Pantas saja sekarang Dewa nggak pernah lama-lama di kantor, istrinya cantik, masih muda pula." Kanaya hanya bisa terdiam, bingung dan sedikit canggung karena ia tidak mengenali pria itu. Dewangga hanya tersenyum kecil, sementara rekan-rekan lain ikut melemparkan candaan yang membuat suasana semakin riuh. Bahkan Ayah mertuanya ikut tertawa, karena disini Dewangga terkena bahan keisengan para sahabatnya hal itu cukup membuat suasannya terasa hangat.Sementara itu, Kanaya memilih untuk duduk tenang di ruang tengah bersama para ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Mereka lebih banyak membahas anak-an
"Saya nggak tahu kenapa dia ada di sini," ujar Dewangga, nada suaranya datar tetapi menyimpan tanya.Naya tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengaduk dirinya. Ia tahu, Savira—mantan istri suaminya—tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Dewangga. Tapi, rasa tidak nyaman tetap merayap di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa tenang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya?"Kanaya," suara Dewangga memecah lamunan Naya, lembut namun tegas. Ia menatap suaminya, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya."Mbak Vira tinggal di sini, Mas," ujar Naya pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Pernyataannya membuat Dewangga mengernyit."Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Dewangga, nadanya berubah serius.Naya menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bukan, Mas. Dia yang menghubungiku duluan, bilang mau pindah ke sini. Aku nggak kabar-kabaran sama dia."Dewangga menghela napas, wajahnya mencerminkan rasa b
"Maaf, Wa. Aku kesini karena khawatir begitu mendengar kamu kecelakaan," kata Savira dengan suara lirih, matanya penuh kekhawatiran. Dia berdiri di depan pintu ruang perawatan, memandang Dewangga yang terbaring di ranjang rumah sakit.Kebetulan hari ini Savira tengah menemani ibunya untuk terapi agar bisa kembali berjalan seperti semula, dan saat di depan administrasi dia tidak sengaja bertemu dengan Naufal."Saya tidak apa-apa, kamu bisa keluar," ujar Dewangga dengan suara tegas."Wa... aku..." Savira terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.Naya berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang berdiri di samping ranjang suaminya. Hatinya sedikit terkejut, namun ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya di balik senyuman.Kanaya segera berjalan ke arah suaminya tanpa memerdulikan Savira atau menyapanya lebih dulu."Kamu nggak papa kan, mas?" tanya Naya dengan suara
"Sekarang lo ngerti kan apa yang gue rasain dulu?" Naya terkekeh sambil menatap wajah Citra yang cemberut. Beberapa hari ini, Citra merasa terabaikan karena suaminya, Naufal, sedang perjalanan dinas ke luar kota. Naya yang dulu sering merasa ditinggalkan suaminya, Dewangga, kini bisa merasakan betapa beratnya perasaan Citra.Kebetulan setiap pulang bekerja, Citra selalu menyempatkan untuk mampir kerumahnya. Karena merasakan kesepian di tinggal suaminya ke luar kota."Iya, gue dulu sering ngejek lo," jawab Citra, matanya yang sembab menatap kosong ke arah meja. "Gue nggak tahu kalau rindu seberat ini."Naya mendengus kesal meski masih ada rasa ingin menggoda sahabatnya. "Lo lebih alay daripada gue," katanya sambil melemparkan tatapan mengejek ke arah Citra yang semakin tidak terima."Lo kan dulu nikah tanpa cinta, Nay. Kalau gue sama Mas Naufal, kita menikah dengan penuh cinta," balas Citra, sedikit membela diri dengan ekspresi yang lebih tegas.Naya hanya tertawa kecil mendengar itu.