Hari pernikahan tiba, dan Naya sebisa mungkin mempertahankan senyum bisnisnya dari pagi. Ini sangat melelahkan untuk Kanaya yang harus berdiri di atas pelaminan dengan heels. Apalagi harus berpura-pura bahagia, ini lebih melelahkan daripada mengejar deadline yang diberi Dewa dulu.
Naya menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya.“Capek?” Dewa, yang berdiri di sebelahnya tiba-tiba bertanya.“Eh?” Naya menoleh. “Ya, lumayan.”“Mau saya ambilkan makan?”“Ambilin pudding atau buah aja deh, Pak. Buat ganjel.”Dewa mengangguk, lalu beranjak dari pelaminan. Kini, hanya Naya yang tinggal di situ. Orang tua dan mertuanya sibuk sendiri, menyambut tamu-tamu kenalannya. Naya akhirnya kembali duduk sambil memainkan jari-jarinya.“Oh, ini ISTRI barunya Mas Dewa.” Ucapan itu sontak membuat Naya mengangkat kepala. “Ternyata emang sukanya daun muda, ya?”Naya mengerutkan dahi. Ia kenal wanita ini, itu adalah mantan istri Dewa yang sering keluar-masuk kantor seenaknya. Kenapa dia ada di sini? Seingatnya, Dewa tidak mengundang wanita ini.Naya berdiri, berhadapan dengan wanita itu. “Iya, dong. Kan kalau daun muda, masih seger, gak peyot kayak Tante.”Naya melihat wanita itu menatapnya tajam, tapi dengan cepat dia bisa kembali berkata sarkas. “Ya, cocok sih. Kan anak kecil sukanya main rumah-rumahan.”“Ya lebih baik, daripada sukanya ngerusak rumah tangga orang lain, kan?” balas Naya tidak kalah tajam.Naya boleh lebih muda dari wanita itu, tapi dia tidak akan mudah dikalahkan. Dia sudah terlatih bertengkar dengan Risky, kakak kandungnya, sejak kecil. Menghadapi ucapan sinis Savira, adalah hal yang mudah.“Eh! Jangan sok kamu! Bagaimana pun orang lama yang akan jadi pemenangnya!”“Coba aja!”Wanita itu tampak akan mengangkat tangannya. Namun, begitu melihat tamu-tamu undangan dan para orangtua melihat ke arah mereka, dia buru-buru turun dari pelaminan.Melihat itu, Naya mendengus, antara sebal dan merasa bangga.“Kanaya,” suara Dewa tiba-tiba muncul dari samping, Naya pun menoleh. “Terima kasih.”Padahal itu kata-kata sederhana, tapi Naya langsung merasa pipinya memanas. Ia pun segera mengambil piring berisi buah yang Dewa bawa, dan memakannya. Jantungnya berdetak tidak karuan sekarang.***Acara selesai pukul 5 sore, Naya dan Dewa pulang ke rumah orangtua Naya untuk malam pengantin. Sebenarnya, Dewa menyarankan menginap di hotel saja, tapi karena Naya terlalu takut, ia pun menolak.‘Gila aja mau berduaan doang sama om-om itu!’ gerutu Naya sambil menghapus makeup ketika mengingat pembicaraan mereka waktu itu.Naya sudah membaringkan badannya di atas kasur yang sudah dirinya rindukan sejak pukul 5 pagi. Karena kelelahan, dengan mudah ia pergi ke alam mimpi.Sedangkan Dewa masih mengobrol dengan beberapa saudara-saudaranya dari luar kota. Ia baru masuk ke dalam kamar pukul 10 malam. Saat Dewa masuk sudah melihat istrinya yang meringkuk di atas kasur dengan wajah damainya.Dewa kira, Naya belum tidur karena kamar itu masih terang benderang. Setelah mandi dan berganti pakaian, Dewa menyusul istrinya untuk istirahat. Ia meraih saklar lampu dan mematikannya, sebelum berjalan ke arah kasur."Aaa!"Teriakan Naya membuat Dewa yang baru mendekat satu langkah, langsung mundur lagi. Dia buru-buru menyalakan saklar lampu lagi."Kenapa berteriak?" tanya Dewa."Siapa?""Kamu lupa jika sudah memiliki suami?"Naya seketika tersadar jika dirinya sudah menjadi istri orang. Saat terbangun karena terusik kamarnya gelap gulita, ia duduk dan melihat siluet hitam yang berdiri di depannya. Tentu saja dia terkejut."Kenapa harus dimatikan lampunya?" tanya Naya."Saya ngga terbiasa," jawab Dewa sambil mematikan kembali lampu.Tanpa rasa bersalah sama sekali, Dewa melangkahkan kakinya dan menaiki ranjang. Ia berbaring sebelah Naya yang masih gemetaran dan memeluk guling."Pak! Nyalakan lampunya!" pinta Naya sudah dengan mata yang berkaca-kaca karena dirinya benar-benar takut.Dewa menoleh melihat Naya duduk dengan mata berair. Dewa menghela nafas, lalu kembali bangun dan menyalakan lampu tidur di sebelah Naya."Sudah?"Naya mengangguk."Sekarang tidur, Kanaya."Naya kembali membaringkan badannya di sebelah Dewa dengan ragu. Namun, ketika melihat Dewa yang memejamkan matanya, akhirnya Naya juga bisa memejamkan matanya dengan tenang.Paginya, Naya baru bangun ketika Bunda dan kakak iparnya sedang menyiapkan sarapan. Untuk kali ini mereka tidak protes. Mungkin paham kalau Naya sangat lelah kemarin."Suami kamu mana?" tanya bundanya saat Naya mengambil air di dapur, tapi Naya hanyaa mengendikan bahunya.‘Aku sendiri aja ngga lihat dia pas bangun tadi,’ jawab Naya dalam hati sambil meneguk minumnya."Jogging sama Ayah, dan Mas Risky, Bun." jelas Amel, kakak iparnya."Jogging? Sejak kapan ayah dan kakakmu suka jogging?" tanya Wina heran karena selama ini suaminya sangat jarang berolahraga."Sejak Naya punya suami sih, Bun." Amel menggoda sang adik ipar.Tidak lama kemudian, ketiga laki-laki itu pun masuk ke rumah. Mereka tampak penuh dengan keringat. Bahkan Ayah sudah sangat kelelahan dengan wajah memerah.Naya menoleh melihat Dewa yang datang dengan wajah yang berkeringat. Kaos hitam yang dipakainya semakin melekat ke tubuh atletisnya itu. Naya bisa melihat samar bentukan otot di sana.Rambutnya yang basah, dan wajah sedikit memerah membuat Naya tidak bisa berkedip. Sekarang akhirnya ia tahu, apa yang membuat para wanita itu mengejar Dewa. Laki-laki itu terlihat seperti sarapan pagi yang lezat."Nay, ambilkan minum dong untuk suaminya," perintah Wina membuat Naya mengerjap untuk menyadarkan diri.Ia segera berdeham. "Udah gede, Bun, bisa ngambil sendiri." jawab Naya cuek."Udah, ngga papa, Bun. Dewa mandi dulu." pamitnya kemudian dibalas anggukan oleh Wina.Setelah kepergian ketiga laki-laki itu, Wina menatap Naya marah. "Bunda ngga pernah ngajarin kamu untuk nggak sopan kaya gitu ya, Nay!""Bunda selama ini selalu ngajarin kamu untuk menjadi perempuan yang baik. Apa kamu ngga pernah memperhatikan Bunda kalau sedang melayani ayah kamu?" tanya Wina marah."Pak Dewa juga ngga masalah kok, Bun." Naya mulai kesal."Kanaya! Sekarang tanggung jawab kamu itu ada pada suamimu, karena ayah sudah menyerahkan kamu pada Dewa. Jadi hormati dan layani suamimu."Kanaya hanya diam, kemudian beranjak dari dapur menuju kamarnya lagi. Sejak dirinya mulai remaja, ia memang sudah diajarkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan belajar memasak.Bundanya selalu memberikan nasihat untuk menjadi seorang istri yang baik. Namun dulu Naya selalu mengabaikannya karena menurutnya tidak penting karena dirinya belum kepikiran untuk menikah.‘Jadi istri kenapa harus ribet sih!’ Naya berjalan sambil menghentakkan kaki. Dia pun hanya duduk di atas ranjang sembari menunggu suaminya bersiap."Bapak ngga cuti? Biasanya kan kalau habis nikah ada jatah cuti," tanya Naya."Mereka ambil cuti karena ada yang mereka lakukan. Kalau kita kan ngga."Naya langsung terdiam. Ia bingung harus menjawab Dewa bagaimana."Ayo, cepet. Kita ditunggu Bunda di bawah, sarapan dulu." ujar Naya mengalihkan pembicaraan, tidak ingin memperpanjang perdebatan mereka.Dewa mengangguk kemudian berjalan keluar kamar. Naya mengikuti suaminya hingga meja makan. Di sana sudah ada Ayah, Bunda, dan kakaknya.Sebelum kembali ditegur oleh bundanya, Naya segera mengambilkan sarapan untuk Dewa."Ngga cuti kamu, Mas?" tanya Risky.Dewa adalah senior Risky di kampus dulu, dan karena umur Dewa lebih tua darinya sehingga Risky memanggil Dewa dengan sebutan mas."Tidak, kerjaan lagi banyak," jawab Dewa.Naya, yang tadi bersiap mendengar ucapan ketus Dewa seperti di kamar, kini tertegun. Ucapan Dewa sangat berbeda dengan ketika dia bertanya tadi. Apa Dewa sedang melindungi image nya di depan keluarganya sendiri?"Iya kan pernikahan Naya sama Dewa juga cukup mendadak, pasti susah untuk Nak Dewa ambil cuti," sahut Aslan."Kamu diet dek?" tanya amel yang sedari tadi hanya melihat Naya memakan 1 buah apel saja."Engga.""Ngga usah jaim kali, Nay, biasanya kalau sarapan juga makan banyak," ejek Risky, membuat Naya melempar sepotong apel ke kakaknya."Jangan melempar makanan," tegur Dewa seketika membuat Naya menghentikan aksinya saat akan melemparkan kembali apelnya.Naya pun terdiam. Bagaimana tidak diam orang tangannya digengam oleh Dewa agar tidak kembali melemparkan apel.Seketika, Naya merasakan aliran panas mengalir dari tangannya, dan membuat jantungnya berdegub sangat cepat. Ia pun melirik tangannya yang digenggam Dewa. Apa tangan Dewa memang sebesar itu, ya?Seperti kesepakatan mereka, hari ini Naya akan tinggal bersama dengan Dewa di rumahnya. Hanya berdua. Membayangkannya saja sudah membuat Naya merinding.Saat pertama kali dirinya masuk ke rumah Dewa, yang Naya rasakan adalah kosong. Rumah ini tidak ada foto-foto sama sekali bahkan hiasan pun hanya seadanya.‘Rumahnya sedingin pemiliknya ternyata,’ batin Naya.Sampai detik ini, Naya masih penasaran kenapa Dewa bercerai dengan mantan istrinya. Yang dirinya tau mantan istrinya itu sangat cantik, tinggi dan seorang dokter.‘Apa mungkin Dewa menduda selama ini karena belum bisa move on dari mantan istrinya itu? Apalagi mantan istrinya itu masih sering menemui dia di kantor.’"Ini kamar kita."Naya seketika tersadar dari pikirannya, dan mengangguk. Ia mengikuti Dewa yang sudah lebih dulu masuk."Saya ke ruang kerja sebentar," ujarnya membuat Naya menoleh, kemudian mengangguk.Setelah suaminya keluar Naya kembali melihat-lihat kamar. Sama seperti bagian ruang tamu tadi, kamar ini pun tampak
‘Apa katanya tadi? Jangan panggil saya bapak! Dih mukanya aja mendukung untuk di panggil bapak,’ gumannya.Naya berdecih. Kenapa sih laki-laki itu selalu membuat dirinya kesal, namun di balik sisi menyebalkan suaminya itu ternyata ada sisi perhatiannya juga.Tapi apakah mungkin suaminya itu akan berubah menjadi suami yang perhatian dan romantis‘Mustahil ngga sih kalau gue bisa bikin tu orang bucin?’ Kemudian Naya menggelengkan kepalanya menepis semua yang ada di pikirannya, karena dirinya harus ke supermarket untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan dapur.Naya sudah sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumahnya, ah lebih tepatnya rumah Dewa yang sekarang jadi suaminya. Inilah part yang paling dirinya sukai belanja memilih semua sesuai dengan keinginannya, dulu setiap kali mengantarkan belanja bundanya, dirinya selalu di larang untuk mengambil makanan ringan kesukaannya.‘Ahh, jadi rindu bunda,” gumannya dengan wajah sedihnya.Sejak dirinya kecil hingga usia
Naya menghampiri Dewa yang sedang duduk santai diruang keluarga, dengan segelas kopi yang dirinya buat kemudian menaruh di atas meja di depan Dewa. “Diminum, Pak,” Dewa melirik sebentar ke arah kopi yang Naya buatan, bahkan ucapan terimakasih tidak Naya dapatkan. ‘Sebenarnya maunya dia itu apa sih, minta gue menerima pernikahan ini dianya masih cosplay jadi atasan.’ gerutu Naya.Dirinya sudah mencoba untuk menerima Dewa namun laki-laki itu justru mengabaikannya. Naya mendudukan dirinya di sebelah Dewa melirik ponsel suaminya yang ternyata mengecek beberapa email pekerjaan.Seminggu menikah dengan Dewa dirinya mulai hafal aktivitas laki-laki itu setiap harinya. Bahkan laki-laki itu lebih produktif daripada dirinya, ini adalah kali pertama dirinya bisa duduk santai dengan Dewa setelah menikah.Biasanya laki-laki itu pergi bekerja pukul 7 pagi dan pulang pukul 8/9 malam. Jadi sangat sedikit waktu mereka bertemu, bahkan hari libur pun Dewa tetap sibuk dengan pekerjaanya.Sebenarnya Naya
Hari ini, Naya memilih jalan-jalan ke mall tentu saja untuk refreshing. Beberapa hari ini Naya memang mendiamkan Dewa entah dirinya masih enggan untuk menatap dan berbicara dengan suaminya itu.Sebenarnya apa mau suaminya itu?Menikah dengan Dewa memang bukan keinginannya, bahkan belum ada dua minggu pernikahan selalu saja ada hal yang membuat mereka bertengkar. Naya tau seperti apa seorang Dewa, awalnya Naya berpikir menikah dengan Dewa bukanlah hal yang susah karena yang Naya tau laki-laki itu terlalu sibuk dengan pekerjaanya.“Gimana rasanya menikah? Bahagia?” tanya Citra sembari bertopang dagu.Saat ini mereka ada di salah satu restoran jepang yang menjadi tempat mereka bertemu sekaligus makan siang.Naya menghela nafas. “Capek tau, Cit.” lirih Naya.“Capek?” “Dia semakin nuntut gue untuk menerima dia, tapi dia sendiri seolah acuh sama gue!”“Pelan-pelan aja. Lo kan baru tau pak Dewa aslinya gimana, karena dulu kalian kenal hanya sebatas bos dan karyawan kan. Jadi ya harus saling
‘Sebenarnya apa sih mau suaminya itu, mau gini nggak boleh mau gitu nggak boleh terus gue harus gimana?’“Apa kata orang, aku sudah resign balik kerja lagi?” Tanya Nara membuat Dewa menatap Naya.“Tidak jadi masalah,”“Iya nggak jadi masalah buat Bapak! Tapi jadi masalah buat saya!” Sahutnya kesal.“Ya Sudah, dirumah saja.”Kenapa jawaban suaminya itu selalu membuatnya kesal. Tidak bisakah, suaminya itu sekali saja bersikap baik padanya?Naya menatap suaminya penuh dengan permusuhan, hingga membuat Dewa membalas menatap istrinya.“Apa kurang jatah bulanan dari saya?” tanya Dewa.Dirinya mau kembali bekerja bukan karena uang, tapi ingin menyibukan diri karena percuma saja dirinya di rumah karena selalu kesepian karena suaminya itu sering pulang malam dan berangkat pagi, dan weekend pun suaminya tetap bekerja.“Ini bukan soal uang, Pak. Tapi saya bosan kalau dirumah terus.” jawab Naya kesal. Apakah dirinya terlihat mata duitan sekali, hingga suaminya berkata seperti itu, bahkan uang bul
Naya menatap Dewa yang sedang fokus dengan layar ponselnya yang sedang membalas email masuk yang membahas pekerjaan. Sekarang Naya tau alasan suaminya kerja keras selama ini. “Kenapa kamu lihatin saya seperti itu?” tanya Dewa.Sebenarnya Naya juga tidak tahu kenapa dirinya menatap laki-laki yang selalu terlihat tegas dan galak ini ternyata memiliki masalalu yang berat.“Eh iya, sebentar.” Naya mengambil paperback itu lalu membawanya ke atas ranjang. “Saya tadi belanja sama ibu, terus lihat kemeja ini kayaknya cocok buat, Bapak.” ujar Naya dengan senyum di wajahnya lalu mengambilnya dan menunjukan ke Dewa.“Kemeja saya sudah banyak,” respon suaminya membuat wajah Naya berubah cemberut.“Bapak, itu ngga bisa menghargai usaha istrinya untuk mengubah penampilan suaminya agar berwarna sedikit.” “Kanaya. saya sudah bilang berapa kali, jangan panggil saya, Bapak.” Naya tersenyum canggung bahkan memperlihatkan barisan gigi rapinya.“Nggak terbiasa, P..”Tak.“Aw.. sakit!” Keluhnya sambil men
“Dia ngajak gue promil, Gila kan!”“Apa masalahnya? Lo sama pak Dewa juga udah suami istri, wajar kali,Nay. Suami istri bahas soal anak,” respon Citra membuat Naya berdecak kesal.Karena dirinya sedang pusing dengan suaminya yang tiba-tiba ingin program hamil. Membuat Naya mengajak Citra untuk bertemu siapa tau sahabatnya ini bisa memberi solusi tapi justru tidak sama sekali.“Iya, wajar untuk pasangan suami istri yang saling mencintai dan memiliki tujuan yang sama. Gue sama dia kebiasan, pikiran dan selera kita saja beda, Cit. Ya kali mau punya anak?!” “Ya, mungkin itu salah satu cara suami lo buat memperbaiki hubungan, dengan adanya anak misalnya,” balas Citra lagi.Jelas Naya tidak terima dengan ucapan sahabatnya itu, Namun dia sudah tidak tau lagi harus bagaimana.”Lo, tau. Dia pengen punya anak karena teman sesuianya udah punya anak lebih dari satu, terus dia nggak mau kalah, terus ngajakin gue bikin anak gitu?!”“Lah, kan emang umur pak Dewa udah cocok punya anak,” ujar Citra yan
Naya memutar bola matanya malas.“Terus kamu samakan aku sama mantan istri kamu?” Tanya Naya dengan wajah tidak sukanya.Dewa menggeleng, memperhatikan makanan yang Naya bawa yang menarik perhatiannya dan tentunya terlihat sangat enak, apalagi masakan Naya memang sangat cocok di lidah Dewa.“Kamu jarang makan siang, Mas?” tanya Naya menatap suaminya yang sedang fokus dengan makanannya.“Saya sibuk, Kanaya.”“Terus kalau kamu sibuk, nggak makan siang gitu!” tanya Naya membuat Dewa diam seolah enggan untuk menjawab.Melihat itu Naya berdecak, sebenarnya Naya tau kalau suaminya itu memang selalu melupakan makan siangnya, karena saat dirinya masih menjadi karyawan suaminya, ia sering mendapati Dewa yang menskip makan siangnya. Dan mungkin tidak hanya makan siang saja namun makan-makan yang lainya juga.Bahkan dulu saat Naya ikut meeting di luar bersama Dewa, pernah dirinya harus menahan lapar karena pria di depannya ini sangat profesional dalam bekerja.“Kenapa begitu sih, Mas?”“Jangan me
Spesial Kanaya. Kanaya berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap hujan yang turun perlahan di luar. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk bertahan di pernikahannya, Pernikahan mereka dimulai dengan cara yang tidak pernah dia inginkan. Terpaksa, mungkin itulah kata yang paling tepat. Pernikahan yang bukan atas dasar cinta, tetapi lebih karena tuntutan keluarga dan kewajiban yang tidak bisa dielakkan. Dewa, suaminya adalah mantan atasan yang dirinya benci dan dirinya benci waktu saat itu. Namun tuhan justru mempersatukannya dengan Dewa dalam ikatan pernikahan. Dewa adalah pria yang dingin, tertutup, dan jauh dari kata romantis. Dulu, Kanaya sering bertanya-tanya, apakah perasaan suaminya itu benar-benar ada, atau apakah dia hanya seorang pria yang terperangkap dalam rutinitas hidup yang membuatnya sulit untuk mengungkapkan apa pun—termasuk cinta. Namun, ketika Kanaya pertama kali bertemu dengan Dewa, hatinya sempat ragu, bahkan takut. Bagaimana bisa ia menikahi seorang
POV Dewangga Dewa duduk di ruang kerjanya, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Senja mulai turun, dan langit yang tadinya biru cerah kini berubah menjadi jingga yang hangat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai macam perasaan. Rasanya, hidupnya memang tidak pernah berjalan semulus yang ia inginkan. Ada selalu saja masalah yang datang silih berganti, dan seakan tidak pernah habis. Namun, di balik semua itu, satu hal yang selalu menjadi pegangan Dewa adalah keberadaan Kanaya di sampingnya. Jika ia harus mengakui satu hal yang paling berharga dalam hidupnya, itu adalah Kanaya. Istrinya yang setia, sabar, dan penuh kasih, meskipun mereka sering kali terjebak dalam konflik-konflik yang tak terduga. Kanaya, yang selalu merasa cemas dan khawatir dengan segala yang terjadi, selalu berdiri teguh di sampingnya, mendukungnya dengan sepenuh hati. Dewa tahu, ia tidak selalu menjadi suami yang sempurna. Ada kalanya ia terlalu
Dewa dan Kanaya duduk di balkon rumah mereka, menikmati udara sore yang sejuk. Angin berhembus perlahan, membawa ketenangan setelah melalui hari-hari yang penuh ketegangan. Mereka baru saja menyelesaikan permasalahan besar dengan Soedrajat, dan meskipun situasi masih terbilang sensitif, rasa lega mulai mengalir pelan-pelan. Dewa memandangi istrinya dengan penuh perhatian, senyumnya sedikit lebih lebar dari biasanya. Hari ini adalah hari yang berbeda, hari di mana mereka bisa melangkah tanpa rasa takut, tanpa ancaman yang menggantung di atas kepala mereka.Kanaya menyandarkan kepalanya di bahu Dewa, merasa nyaman dalam pelukan suaminya. Setelah semua drama dan kekacauan yang mereka hadapi, kini mereka bisa menikmati kebersamaan dalam ketenangan. Semua yang terjadi dengan Soedrajat dan permasalahan yang mengikutinya seolah-olah menghilang begitu saja dari benaknya, meskipun ia tahu itu mungkin hanya sementara."Kamu baik-baik saja?" Dewa bertanya, tangannya melingkari tubuh Kanaya denga
Hari ini setelah meraka sama-sama tenang, Dewa mengajak Kanaya untuk datang kediaman Seodrajat, dia ingin segera menyelesaikan. Dewa memarkir mobil di depan rumah besar yang tampak megah namun suram. Rumah Soedrajat, dengan taman yang luas dan pagar tinggi, mencerminkan kekuasaan dan kontrol yang selama ini dia pegang. Namun, malam ini, rumah itu tampak berbeda bagi Dewa. Tidak ada lagi rasa hormat yang dia rasakan untuk pria itu. Yang ada hanya kebencian yang memuncak dan keinginan untuk mengakhiri semua permainan kotor yang sudah terlalu lama berlangsung.Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan diam, tangannya menggenggam erat tangan Dewa. Wajahnya terlihat tegang, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Pasti semuanya tidak akan mudah karena yang dirinya hadapi adalah Seodrajat, apalagi setelah semua yang telah terjadi antara mereka."Ini keputusan yang tepat, kan, Mas?" tanya Kanaya dengan suara lembut, meskipun ada keraguan yang terbesit dalam kata-katanya. Apala
Ruangan kantor yang luas itu kini terasa dingin penuh dengan ketegangan. Dewa duduk di sofa kulit hitam, ekspresinya datar, hampir tidak menunjukkan perasaan apapun, tetapi matanya yang tajam memancarkan kekecewaan yang dalam. Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan wajah menunduk tidak berani menatap suaminya. Hanya suara detak jam dinding yang berulang-ulang terdengar jelas dalam keheningan yang mencekam ini.“Kenapa nggak bilang sama saya?” Dewa akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, penuh ketegangan.Kanaya menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak meneteskan air mata lagi. Dia tahu, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak hanya menyembunyikan pertemuan itu, tetapi juga melibatkan dirinya dalam urusan yang seharusnya tidak ia ambil. Biasanya, dia selalu bisa berbicara dengan Dewa tentang apapun, tidak ada yang disembunyikan. Tapi kali ini, rasa takut telah menahannya untuk tidak berkata apa-apa.“Biasanya kamu selalu membicarakan semuany
"Kamu tau kenapa saya mengajak kamu bertemu,"Kanaya menatap pria tua yang baru saja datang itu. "Silahkan duduk," "Saya pikir kamu tidak akan seberani ini untuk menemui saya," ujarnya sebelum mendudukan dirinya. "Saya heran kenapa kedua cucu saya memilih kamu sebagai pasangan hidup, padahal masih banyak wanita di luaran sana yang lebih daripada kamu." Ujarnya dengan wajah mengejeknua.Naya menarik minumannya untuk membasahi tenggorokan nya yang mendadak kering."Sebenarnya apa tujuan anda mengajak saya bertem?" tanya Naya langsung.Rasanya sudah tidak bisa jika harus berbasa-basi dengan pria di depannya ini. Seodrajat melipat tangannya di depan dada, menatap Kanaya kemudian tersenyum tipis."Ceraikan Dewangga." Sudah ia duga, jika laki-laki tua di depannya itu meminta dirinya untuk bercerai dengan Dewa. Naya terdiam sejenak berusaha tenang, agar tidak mudah terpengaruh."Saya tidak akan menceraikan suami saya." ucap Kanaya tenang."Saya tidak akan membiarkan cucu saya di pengaruhi
"Terus lo mau gimana, Nay?" tanya Citra yang sejak tadi hanya menyimak cerita sahabatnya itu.Citra hari ini memang sengaja berkunjung kerumah sahabatnya setelah mendengar sedikit tentang masalah yang menimpa sahabatnya itu.Naya hanya bisa menggeleng pelan, tidak tau harus menjawab bagaimana karena Dewa selalu mengatakan padanya untuk tidak terlalu memikirkan permasalahannya dengan Seodrajat. Bahkan pria itu berkali-kali menekankan semuanya akan baik-baik saja.Tapi bagaimana bisa, karena Seodrajat juga menganggunya lewat pesan singkat dengan berisi ancaman.Banyak sekali yang tengah Naya pikiran, yang paling mengganggu pikirannya mengenai keluarga Soedrajat yang tidak pernah lelah menganggu keluarga kecilnya. Apakah dia belum puas dengan apa yang mereka lakukan kepada suaminya, bahkan hingga membuat suaminya trauma dan menjalani hidup berat selama ini."Gue nggak tau,""Percaya sama Pak Dewa, Nay." "Gue selalu percaya sama suami gue, Cit. Tapi gue tetap saja khawatir, selama ini Ma
"Mas kamu nggak seneng kencan sama aku?" Naya mendekat kearah suaminya yang sejak tadi hanya menampilkan wajah datarnya saja, sangat terlihat tidak senang dengan kencan mereka bukan.Dewa menoleh menatap istrinya, "Senang."Jawaban singkat, padat dan tidak ikhlas itu membuat Naya menatap suaminya kesal, dan yang semakin membuat Naya semakin kesal suaminya itu justru asik berbalas pesan dengan Naufal. Walaupun mereka membahas pekerjaan tapi rasanya Naya tidak terima karena harusnya hari ini mereka Quality time.Kanaya sangat tau pekerjaan adalah istri kedua suaminya itu, tapi tidak bisakah suaminya itu bersikap adil?"Katanya hari ini kita kecan?" Naya mengambil ponsel suaminya dan menyembunyikan di belakang tubuhnya."Kanaya," panggil Dewangga pelan sembari meraih ponselnya namun gagal karena Naya sudah lebih dulu memasukan kedalam tasnya."Kamu nggak ikhlas kecan sama aku," ujar Naya sok ngambek, padahal mah biasa saja. Karena sejak awal niatnya hanya untuk mengerjai suaminya saja,
"Papa!" teriak Kai saat melihat papanya baru saja pulang.Naya tersenyum melihat Kai yang berlari dengan senyum merekah di wajahnya kemudian memeluk kaki papanya."Jangan lari, Nanti kalau jatuh gimana?" tanya Dewa sembari mengangkat Kai kegendongannya."Kai hati-hati kok, pa. Kata mama kalau jatuh sakit jadi harus hati-hati." jawabnya dengan suara khas anak kecil yang mengemaskan."Pah, tadi Kai berkebun di belakang rumah." seperti biasa Kai akan menceritakan semua aktivitasnya seharian ini ketika papanya pulang."Oh ya? sama siapa?""Mama." jawab Kai membuat Dewa menatap istrinya yang masih duduk di ruang tengah memperhatikan mereka berdua."Tadi nanam apa?" "Bunga, bunganya warna warni tau, Pah." jawabnya tertawa kecil, menampakkan daratan giginya."Kai sudah berkebun?" Kai mengangguk cepat dengan senyum merekah di wajahnya."Aku bosan, Mas. Jadi nanam beberapa jenis bunga di halaman belakang." sahut Naya yang sedari tadi hanya diam memperhatikan interaksi antara papa dan anak itu