Seperti kesepakatan mereka, hari ini Naya akan tinggal bersama dengan Dewa di rumahnya. Hanya berdua. Membayangkannya saja sudah membuat Naya merinding.
Saat pertama kali dirinya masuk ke rumah Dewa, yang Naya rasakan adalah kosong. Rumah ini tidak ada foto-foto sama sekali bahkan hiasan pun hanya seadanya.‘Rumahnya sedingin pemiliknya ternyata,’ batin Naya.Sampai detik ini, Naya masih penasaran kenapa Dewa bercerai dengan mantan istrinya. Yang dirinya tau mantan istrinya itu sangat cantik, tinggi dan seorang dokter.‘Apa mungkin Dewa menduda selama ini karena belum bisa move on dari mantan istrinya itu? Apalagi mantan istrinya itu masih sering menemui dia di kantor.’"Ini kamar kita."Naya seketika tersadar dari pikirannya, dan mengangguk. Ia mengikuti Dewa yang sudah lebih dulu masuk."Saya ke ruang kerja sebentar," ujarnya membuat Naya menoleh, kemudian mengangguk.Setelah suaminya keluar Naya kembali melihat-lihat kamar. Sama seperti bagian ruang tamu tadi, kamar ini pun tampak simpel dengan dominasi warna putih dan abu-abu. Namun, Naya bisa merasakan kenyamanan di sini.Ia menarik kopernya dan membuka lemari. Lemari ini terdapat dua sisi. Sisi sebelah kanan terlihat ada pakaian Dewa yang tertata rapi. Mayoritas warna baju Dewa hanyalah hitam dan putih."Buta warna apa tuh orang?" cibir Naya.Sedangkan di sisi lain lemari itu masih kosong, mungkin Dewa sengaja mengosongkannya untuk Naya. Segera setelah membuka pintu itu lebar-lebar, Naya pun membongkar kopernya. Satu per satu pakaian ia susun di lemari. Setelah selesai, Naya pergi ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu kembali ke kamar. Dia mengecek isi kopernya lagi, mencari suatu benda sambil masih memakai handuk kimononya. Sampai akhirnya, ia merasa suatu benda penting tidak ada di sana.“Sial!” Naya mengumpat kesal.Kenapa di saat-saat genting seperti ini, ia malah meninggalkan benda keramat itu?"Masa gue harus minta tolong sama Pak Dewa?" tanyanya pada diri sendiri.Naya mondar-mandir sambil mengobrak-abrik barang bawaannya untuk mencari barang paling penting itu. Barangkali ia salah menaruh. Namun, diperiksa beberapa kali pun, ia tetap tidak menemukannya."Kamu kena–"“AHH!”Naya refleks berteriak sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ia tidak menyangka kalau Dewa masuk tiba-tiba ke kamar, dalam keadaan dirinya masih memakai handuk kimono.Dewa berdeham, lalu berbalik badan menghadap pintu. “Apa yang kamu cari?” tanyanya kemudian."I-itu, Pak–""Saya bukan bapak kamu.""Yang bilang bapak itu bapak saya siapa?" Naya menyahut pelan, tapi buru-buru kembali tersadar tujuan awalnya karena jika dibiarkan terlalu lama akan semakin gawat."Boleh minta tolong ngga, Pak?"Dewa sama sekali tidak berbalik, tapi masih setia di depan pintu. "Apa?""Minta tolong beliin… pembalut….”Dewa refleks menoleh, tapi begitu melihat Naya masih dalam keadaan sama, ia berbalik badan lagi. Dari arah belakang sini, Naya bisa melihat betapa paniknya laki-laki 32 tahun itu.Naya pun sebenarnya malu. Namun, ia tidak punya pilihan lain."Saya mohon, Pak…," mohon Naya."Kalau ngga, anterin saya ya, Pak."Naya sendiri rasanya tak yakin, karena perutnya semakin nyeri sekarang. Naya belum tau minimarket terdekat dari rumahnya ini, jadi mau tidak mau harus meminta tolong ke Dewa. Naya meringis merasakan nyeri haid yang sangat sakit. Setiap datang bulan, Naya memang selalu merasakan nyeri haid yang sangat luar biasa. Bahkan Naya pernah pingsan hanya karena nyeri haid."Tunggu sebentar."Dewa berbalik sejenak untuk mengambil kunci mobilnya di nakas. Setelah itu, ia pergi keluar.
Lima belas menit kemudian, Dewa datang membawa kantong plastik berwarna putih itu. Ia mengulurkan ke Naya yang sudah berpakaian lengkap.
"Kok banyak?" tanya Naya melihat beberapa bungkus pembalut.
"Buat stock, biar ngga nyusahin saya," jawab Dewa.
Naya berdecak kesal, laki-laki di depannya ini sepertinya tidak tau kalau wanita sedang datang bulan suasana hatinya tidak baik. Seketika, mood Naya menjadi buruk.
Naya akhirnya masuk kembali ke kamar mandi untuk memakai pembalut. Ia dengan sekuat tenaga menahan nyeri haidnya, tanpa memperdulikan Dewa.
"Sakitt banget…." ritih Naya tanpa sadar sambil memegang perutnya, ketika keluar dari kamar mandi."Sini." ucap Dewa menepuk kasur sebelahnya.Naya menatap Dewa yang sudah duduk di atas kasur dengan tatapan penuh tanda tanya. Namun, melihat tatapan Dewa seolah tidak mau dirinya bantah, akhirnya menuruti Dewa dan merangkak menaiki ranjang.Ia membaringkan badannya di sana. Nyeri yang teramat sakit itu membuat Naya relfeks meringkuk, berharap rasa nyerinya hilang.
"Luruskan kaki kamu, Kanaya." Dewa yang berusaha mengubah posisi Naya yang meringkuk menjadi berbaring terlentang.
"Bapak…." lirihnya saat menyadari tangan besar Dewa menyentuh perutnya.
Dewa tidak berkata apapun, begitu juga Naya yang seketika diam dengan elusan tangan besar suaminya. Rasanya hangat, sehingga mengurangi rasa nyeri di perutnya.
Memang, awalnya Naya sangat terkejut, sampai menengang. Namun lama-lama, tubuh Naya jadi tenang.
‘Pak Dewa berpengalaman banget ya urusin orang haid? Pasti dia juga begitu ke mantan istrinya….’
***
Naya terbangun ketika merasakan ada beban berat di atas perutnya. Ketika ia membuka mata, ia melihat lengan Dewa yang melingkar di atas perutnya.
Mengingat perlakuan Dewa semalam, membuat pipi Naya memanas. Dewa ternyata tidak sedingin itu. Ia cukup perhatian, juga bisa merawatnya ketika sakit.
Naya melepaskan lengan Dewa di atas perutnya secara perlahan, dan mengantinya dengan guling. Ia pun masuk ke kamar mandi setelahnya. Dewa masih tidur ketika Naya selesai, oleh sebab itu ia pun langsung turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan.
Naya memilih memasak nasi goreng dengan telur mata sapi. Baru saja Naya selesai menggoreng telur, Dewa sudah turun dengan pakaian kerjanya. Kemeja putih itu tampak licin dan pas di tubuhnya. Naya sampai terpaku kalau saja tidak mencium bau gosong dari wajan.
"S-sarapan dulu, Pak," ajak Naya.
Naya mengambilkan suaminya nasi goreng, tidak lupa dengan telur mata sapi yang tidak gosong di atasnya. Ia juga menuangkan air minum untuk Dewa.Tindakannya itu mendapatkan tatapan aneh dari Dewa. Jadi, buru-buru Naya membela diri."I-ini sebagai tanda terima kasih saya kok, Pak! " ujarnya mengantisipasi. “Bapak udah ngerawat saya semalaman.”
"Itu sudah kewajiban saya sebagai suami kamu," jawab Dewa lalu menyuap nasi gorengnya.
Naya terdiam, seolah ditampar dengan kalimat itu. Bahkan Naya masih tidak menyangka jika dirinya sudah memiliki suami. Dan masih tidak percaya bahwa mantan atasannya sekarang menjadi suaminya.
Naya berdeham, mengurangi rasa canggung. “Pasti Bapak berpengalaman kan ngerawat cewek lagi haid?”
Lalu, Naya ingin menampar mulutnya sendiri. Kenapa dia menanyakan hal aneh ini?
“Ngga, kemarin itu pertama kalinya,” jawab Dewa singkat. “Saya ngga pernah tau cewek sakit haid gimana.”
Rasa panas langsung memenuhi pipi Naya. Bahkan jantungnya juga berdebar tidak karuan. Tangannya yang sedang menggenggam sendok terasa lemas. Rasanya, ia ingin meleleh di atas kursi itu.
"Ini buat kamu belanja.”
Tiba-tiba saja sebuah kartu berwarna gold muncul di hadapan Naya..
"Buat saya?" tanya Naya.
"Iya, untuk kebutuhan kamu, dan rumah."
Naya menatap kartu itu cukup lama. Dirinya memang lahir dari keluarga berkecukupan, tapi ini pertama kalinya melihat kartu berwarna emas. Kira-kira, berapa banyak uang yang disimpan di sini, ya?
“Saya sudah selesai.” Dewa bangun, lalu membereskan piringnya. “Biar saya yang cuci piring.”
“Eh, Pak. ngga–”
Tapi terlambat, Dewa sudah berdiri di wastafel dan mencuci piring bekas makannya, juga penggorengan tadi. Merasa tidak enak, Naya buru-buru menghabiskan sarapannya, dan bergabung dengan Dewa.
"Bapak ngga ada alergi makanan?" tanya Naya berbasa-basi.
"Kacang."
"Itu aja?" tanya Naya memastikan.
"Hm.”
"Rencananya, saya mau belanja, dan membeli beberapa kebutuhan rumah. Ngga papa kan, Pak?" tanya Naya takut melakukan kesalahan.
“Uang di kartu itu sudah jadi hak kamu,” ujar Dewa sambil mengeringkan tangannya. “Pakai aja sesuai kebutuhan.”
Naya mengangguk, lalu mengikuti Dewa yang kembali ke meja makan untuk mengambil tasnya. Namun, tiba-tiba saja laki-laki itu berbalik, sehingga Naya hampir menabrak punggungnya.
"Mulai sekarang. Jangan panggil saya bapak lagi, karena saya bukan bapak kamu.”
‘Apa katanya tadi? Jangan panggil saya bapak! Dih mukanya aja mendukung untuk di panggil bapak,’ gumannya.Naya berdecih. Kenapa sih laki-laki itu selalu membuat dirinya kesal, namun di balik sisi menyebalkan suaminya itu ternyata ada sisi perhatiannya juga.Tapi apakah mungkin suaminya itu akan berubah menjadi suami yang perhatian dan romantis‘Mustahil ngga sih kalau gue bisa bikin tu orang bucin?’ Kemudian Naya menggelengkan kepalanya menepis semua yang ada di pikirannya, karena dirinya harus ke supermarket untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan dapur.Naya sudah sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumahnya, ah lebih tepatnya rumah Dewa yang sekarang jadi suaminya. Inilah part yang paling dirinya sukai belanja memilih semua sesuai dengan keinginannya, dulu setiap kali mengantarkan belanja bundanya, dirinya selalu di larang untuk mengambil makanan ringan kesukaannya.‘Ahh, jadi rindu bunda,” gumannya dengan wajah sedihnya.Sejak dirinya kecil hingga usia
Naya menghampiri Dewa yang sedang duduk santai diruang keluarga, dengan segelas kopi yang dirinya buat kemudian menaruh di atas meja di depan Dewa. “Diminum, Pak,” Dewa melirik sebentar ke arah kopi yang Naya buatan, bahkan ucapan terimakasih tidak Naya dapatkan. ‘Sebenarnya maunya dia itu apa sih, minta gue menerima pernikahan ini dianya masih cosplay jadi atasan.’ gerutu Naya.Dirinya sudah mencoba untuk menerima Dewa namun laki-laki itu justru mengabaikannya. Naya mendudukan dirinya di sebelah Dewa melirik ponsel suaminya yang ternyata mengecek beberapa email pekerjaan.Seminggu menikah dengan Dewa dirinya mulai hafal aktivitas laki-laki itu setiap harinya. Bahkan laki-laki itu lebih produktif daripada dirinya, ini adalah kali pertama dirinya bisa duduk santai dengan Dewa setelah menikah.Biasanya laki-laki itu pergi bekerja pukul 7 pagi dan pulang pukul 8/9 malam. Jadi sangat sedikit waktu mereka bertemu, bahkan hari libur pun Dewa tetap sibuk dengan pekerjaanya.Sebenarnya Naya
Hari ini, Naya memilih jalan-jalan ke mall tentu saja untuk refreshing. Beberapa hari ini Naya memang mendiamkan Dewa entah dirinya masih enggan untuk menatap dan berbicara dengan suaminya itu.Sebenarnya apa mau suaminya itu?Menikah dengan Dewa memang bukan keinginannya, bahkan belum ada dua minggu pernikahan selalu saja ada hal yang membuat mereka bertengkar. Naya tau seperti apa seorang Dewa, awalnya Naya berpikir menikah dengan Dewa bukanlah hal yang susah karena yang Naya tau laki-laki itu terlalu sibuk dengan pekerjaanya.“Gimana rasanya menikah? Bahagia?” tanya Citra sembari bertopang dagu.Saat ini mereka ada di salah satu restoran jepang yang menjadi tempat mereka bertemu sekaligus makan siang.Naya menghela nafas. “Capek tau, Cit.” lirih Naya.“Capek?” “Dia semakin nuntut gue untuk menerima dia, tapi dia sendiri seolah acuh sama gue!”“Pelan-pelan aja. Lo kan baru tau pak Dewa aslinya gimana, karena dulu kalian kenal hanya sebatas bos dan karyawan kan. Jadi ya harus saling
‘Sebenarnya apa sih mau suaminya itu, mau gini nggak boleh mau gitu nggak boleh terus gue harus gimana?’“Apa kata orang, aku sudah resign balik kerja lagi?” Tanya Nara membuat Dewa menatap Naya.“Tidak jadi masalah,”“Iya nggak jadi masalah buat Bapak! Tapi jadi masalah buat saya!” Sahutnya kesal.“Ya Sudah, dirumah saja.”Kenapa jawaban suaminya itu selalu membuatnya kesal. Tidak bisakah, suaminya itu sekali saja bersikap baik padanya?Naya menatap suaminya penuh dengan permusuhan, hingga membuat Dewa membalas menatap istrinya.“Apa kurang jatah bulanan dari saya?” tanya Dewa.Dirinya mau kembali bekerja bukan karena uang, tapi ingin menyibukan diri karena percuma saja dirinya di rumah karena selalu kesepian karena suaminya itu sering pulang malam dan berangkat pagi, dan weekend pun suaminya tetap bekerja.“Ini bukan soal uang, Pak. Tapi saya bosan kalau dirumah terus.” jawab Naya kesal. Apakah dirinya terlihat mata duitan sekali, hingga suaminya berkata seperti itu, bahkan uang bul
Naya menatap Dewa yang sedang fokus dengan layar ponselnya yang sedang membalas email masuk yang membahas pekerjaan. Sekarang Naya tau alasan suaminya kerja keras selama ini. “Kenapa kamu lihatin saya seperti itu?” tanya Dewa.Sebenarnya Naya juga tidak tahu kenapa dirinya menatap laki-laki yang selalu terlihat tegas dan galak ini ternyata memiliki masalalu yang berat.“Eh iya, sebentar.” Naya mengambil paperback itu lalu membawanya ke atas ranjang. “Saya tadi belanja sama ibu, terus lihat kemeja ini kayaknya cocok buat, Bapak.” ujar Naya dengan senyum di wajahnya lalu mengambilnya dan menunjukan ke Dewa.“Kemeja saya sudah banyak,” respon suaminya membuat wajah Naya berubah cemberut.“Bapak, itu ngga bisa menghargai usaha istrinya untuk mengubah penampilan suaminya agar berwarna sedikit.” “Kanaya. saya sudah bilang berapa kali, jangan panggil saya, Bapak.” Naya tersenyum canggung bahkan memperlihatkan barisan gigi rapinya.“Nggak terbiasa, P..”Tak.“Aw.. sakit!” Keluhnya sambil men
“Dia ngajak gue promil, Gila kan!”“Apa masalahnya? Lo sama pak Dewa juga udah suami istri, wajar kali,Nay. Suami istri bahas soal anak,” respon Citra membuat Naya berdecak kesal.Karena dirinya sedang pusing dengan suaminya yang tiba-tiba ingin program hamil. Membuat Naya mengajak Citra untuk bertemu siapa tau sahabatnya ini bisa memberi solusi tapi justru tidak sama sekali.“Iya, wajar untuk pasangan suami istri yang saling mencintai dan memiliki tujuan yang sama. Gue sama dia kebiasan, pikiran dan selera kita saja beda, Cit. Ya kali mau punya anak?!” “Ya, mungkin itu salah satu cara suami lo buat memperbaiki hubungan, dengan adanya anak misalnya,” balas Citra lagi.Jelas Naya tidak terima dengan ucapan sahabatnya itu, Namun dia sudah tidak tau lagi harus bagaimana.”Lo, tau. Dia pengen punya anak karena teman sesuianya udah punya anak lebih dari satu, terus dia nggak mau kalah, terus ngajakin gue bikin anak gitu?!”“Lah, kan emang umur pak Dewa udah cocok punya anak,” ujar Citra yan
Naya memutar bola matanya malas.“Terus kamu samakan aku sama mantan istri kamu?” Tanya Naya dengan wajah tidak sukanya.Dewa menggeleng, memperhatikan makanan yang Naya bawa yang menarik perhatiannya dan tentunya terlihat sangat enak, apalagi masakan Naya memang sangat cocok di lidah Dewa.“Kamu jarang makan siang, Mas?” tanya Naya menatap suaminya yang sedang fokus dengan makanannya.“Saya sibuk, Kanaya.”“Terus kalau kamu sibuk, nggak makan siang gitu!” tanya Naya membuat Dewa diam seolah enggan untuk menjawab.Melihat itu Naya berdecak, sebenarnya Naya tau kalau suaminya itu memang selalu melupakan makan siangnya, karena saat dirinya masih menjadi karyawan suaminya, ia sering mendapati Dewa yang menskip makan siangnya. Dan mungkin tidak hanya makan siang saja namun makan-makan yang lainya juga.Bahkan dulu saat Naya ikut meeting di luar bersama Dewa, pernah dirinya harus menahan lapar karena pria di depannya ini sangat profesional dalam bekerja.“Kenapa begitu sih, Mas?”“Jangan me
Malam ini Naya menunggu Dewa pulang, seperti biasanya Naya selalu menghabiskan waktunya untuk menonton drama korea. Sekaligus mengalihkan pikirannya dari kejadian siang tadi yang membuatnya kesal.Saking serunya menonton drama korea hingga Naya tidak sadar Dewa sudah pulang bekerja dan memasuki kamar tidur mereka. Melihat suaminya yang sudah pulang, Naya menjeda tayangan dan menghampiri suaminya.Demi melanjutkan rencananya untuk membuat suaminya jatuh cinta padanya.“Mas, udah makan malam?” tanya Naya.“Sudah.” Naya mengangguk membiarkan suaminya untuk membersihkan diri, Naya menyiapkan pakaian tidur suaminya dan menaruhnya di atas ranjang. Hal ini sudah menjadi rutinitas Naya akhir-akhir ini setelah dirinya mencoba menerima Dewa.Setelah selesai Naya kembali menaiki ranjang dan kembali memutar drama korea sembari menunggu Dewa mandi. Cukup fokus dengan drama korea hingga dirinya tersadarkan dengan aroma sabunnya yang segar. “Saya besok ada seminar.” ujarnya setelah bergabung duduk
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi
Sejak dokter muda itu mulai memeriksa Dewangga, Kanaya tidak bisa melepaskan pandangannya dari wanita itu. Cara dokter itu bekerja terlihat cekatan dan penuh perhatian. Namun, ada yang aneh di balik perhatian itu. Beberapa kali, Kanaya menangkap tatapan yang lebih lama dari yang seharusnya, tatapan yang seolah memuji Dewangga dengan penuh kekaguman.Dan itu membuat hati Kanaya bergemuruh, perasaan cemburu yang tiba-tiba muncul begitu saja, menyesakkan dadanya."Sudah selesai, Mas. Saya akan meresepkan obatnya sekarang," ujar dokter itu, dengan senyum hangat, lalu kembali ke meja untuk menulis resep."Mas?" tanya Kanaya merasa aneh dengan panggilan dokter itu.Kanaya menatap suaminya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya. Dewangga menoleh, tatapannya penuh kebingungan."Ada apa?" tanya Dewangga, mencoba membaca ekspresi wajah Kanaya yang tampak tidak biasa.Kanaya menatap dokter itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Dewangga. "Kenapa pilih dokter perempuan? Kenapa nggak ya
Hari itu, rumah Dewangga dipenuhi oleh kolega dan teman-temannya. Sejak pagi, Kanaya tak sempat beristirahat sedikit pun karena tamu yang datang silih berganti. Keramaian ini adalah hal yang baru baginya, apalagi karena ia bukan tipe orang yang sering terlibat dalam acara-acara pekerjaan suaminya.Di tengah keramaian itu, salah satu rekan kerja Dewangga mendekat dan tanpa basa-basi berkata, "Pantas saja sekarang Dewa nggak pernah lama-lama di kantor, istrinya cantik, masih muda pula." Kanaya hanya bisa terdiam, bingung dan sedikit canggung karena ia tidak mengenali pria itu. Dewangga hanya tersenyum kecil, sementara rekan-rekan lain ikut melemparkan candaan yang membuat suasana semakin riuh. Bahkan Ayah mertuanya ikut tertawa, karena disini Dewangga terkena bahan keisengan para sahabatnya hal itu cukup membuat suasannya terasa hangat.Sementara itu, Kanaya memilih untuk duduk tenang di ruang tengah bersama para ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Mereka lebih banyak membahas anak-an
"Saya nggak tahu kenapa dia ada di sini," ujar Dewangga, nada suaranya datar tetapi menyimpan tanya.Naya tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengaduk dirinya. Ia tahu, Savira—mantan istri suaminya—tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Dewangga. Tapi, rasa tidak nyaman tetap merayap di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa tenang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya?"Kanaya," suara Dewangga memecah lamunan Naya, lembut namun tegas. Ia menatap suaminya, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya."Mbak Vira tinggal di sini, Mas," ujar Naya pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Pernyataannya membuat Dewangga mengernyit."Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Dewangga, nadanya berubah serius.Naya menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bukan, Mas. Dia yang menghubungiku duluan, bilang mau pindah ke sini. Aku nggak kabar-kabaran sama dia."Dewangga menghela napas, wajahnya mencerminkan rasa b
"Maaf, Wa. Aku kesini karena khawatir begitu mendengar kamu kecelakaan," kata Savira dengan suara lirih, matanya penuh kekhawatiran. Dia berdiri di depan pintu ruang perawatan, memandang Dewangga yang terbaring di ranjang rumah sakit.Kebetulan hari ini Savira tengah menemani ibunya untuk terapi agar bisa kembali berjalan seperti semula, dan saat di depan administrasi dia tidak sengaja bertemu dengan Naufal."Saya tidak apa-apa, kamu bisa keluar," ujar Dewangga dengan suara tegas."Wa... aku..." Savira terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.Naya berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang berdiri di samping ranjang suaminya. Hatinya sedikit terkejut, namun ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya di balik senyuman.Kanaya segera berjalan ke arah suaminya tanpa memerdulikan Savira atau menyapanya lebih dulu."Kamu nggak papa kan, mas?" tanya Naya dengan suara
"Sekarang lo ngerti kan apa yang gue rasain dulu?" Naya terkekeh sambil menatap wajah Citra yang cemberut. Beberapa hari ini, Citra merasa terabaikan karena suaminya, Naufal, sedang perjalanan dinas ke luar kota. Naya yang dulu sering merasa ditinggalkan suaminya, Dewangga, kini bisa merasakan betapa beratnya perasaan Citra.Kebetulan setiap pulang bekerja, Citra selalu menyempatkan untuk mampir kerumahnya. Karena merasakan kesepian di tinggal suaminya ke luar kota."Iya, gue dulu sering ngejek lo," jawab Citra, matanya yang sembab menatap kosong ke arah meja. "Gue nggak tahu kalau rindu seberat ini."Naya mendengus kesal meski masih ada rasa ingin menggoda sahabatnya. "Lo lebih alay daripada gue," katanya sambil melemparkan tatapan mengejek ke arah Citra yang semakin tidak terima."Lo kan dulu nikah tanpa cinta, Nay. Kalau gue sama Mas Naufal, kita menikah dengan penuh cinta," balas Citra, sedikit membela diri dengan ekspresi yang lebih tegas.Naya hanya tertawa kecil mendengar itu.