Seminggu sudah Naya meninggalkan suaminya, bagaimana kabar laki-laki itu apakah baik-baik saja?Sebenernya Naya memang sudah pernah membayangkan di posisi saat ini ketika dirinya akan mengetahui kenyataan jika Dewa memang belum melupakan mantan istrinya. Namun selama ini Naya berusaha mengabaikannya namun kejadian seminggu yang lalu membuat Naya ragu untuk kembali lagi dengan Dewa.Sejak kemaren Naya berusaha untuk tidak menangis. Karena dirinya ingin kuat, tapi berbagai pikiran ada saat ini memakannya untuk mengeluarkan sebanyak-banyaknya. Dia sekarang hanya bisa terduduk di lantai kamarnya dan menangis.Naya merasa bodoh, setelah lima bulan mereka menikah dengan Dewangga bahkan Naya sudah memberikan segalanya untuk laki-laki itu tapi tidak akan pernah bisa mengalahkan masa lalu Dewa? Kalau Naya tau akan sesakit ini Naya tidak akan pernah memulainya.Tidak tau berapa Naya menangis hingga dirinya merasa lelah karena terlalu lama menangis karena dirinya sudah menahan tangisan itu sejak
Malam ini Naya sudah kembali kerumah Dewa, namun rasanya masih dingin, bahkan Naya masih mendiamkan Dewa dan Naya mau kembali kerumah ini karena anak dalam kandungannya karena dirinya tidak ingin anak mereka lahir tanpa sosok ayah di sampingnya.Dewa duduk di sisi ranjang, menyingkirkan anak-anak rambut dari wajah istrinya seraya memperhatikan wanita itu dengan sorot mata yang dalam.Harusnya Dewangga bersyukur memiliki istri seperti Kanaya yang mau kembali memaafkannya, wanita itu sudah banyak sekali memberikan warna dalam hidupnya. Namun hal itu belum bisa membuat Dewa untuk berdamai dengan masalalunya.Dewa memang jahat, Dewa memang bukan suami yang baik. Dirinya selalu membuat wanita luar biasa ini sering menangis di tengah malam. Pria itu ikut merebahkan tubuhnya di ranjang. Memeluk istrinya dari belakang dengan dekapan yang erat. Rasanya benar-benar seperti di rumah saat memeluk Naya seperti ini."Maaf, Kanaya. Maaf" Dewa berguman kecil di telinga istrinya. " Saya tidak bisa m
"Po, gimana caranya cara buat papa lo move on?" tanya Naya pada ikan yang sedang berenang dengan tenangnya itu. Sudah lama dirinya tidak menyapa ikan kesayangan suaminya ini, Naya meletakan dagunya di atas meja sambil memperhatikan ikan kesayangan suaminya ini. Karena dengan adanya ikan ini suaminya juga sering duduk bersantai di sofa sambil menatap ikan itu. Sebebernya apa menariknya? Banyak yang bilang menatap ikan itu salah satu upaya stress release, benar kah? "Kamu nggak bosen, cuma berenang kesana kemari aja?" tanya Naya. "Sejak kapan kamu bicara sama hewan?" Suara itu membuat Naya berdecak kesal. "Sejak punya suami susah bicara," Balasnya, Dewa berjalan kearah Naya kemudian duduk di sofa yang ada di belakang Naya. Memperhatikan Naya yang menggambar pola abstrak di aquarium ikannya itu. "Jangan duduk di lantai." Perintahnya menepuk sofa di sisinya. "Suka-suka gue mau duduk dimana," balas Naya sewot. "Kanaya." dari panggilannya saja sepertinya suaminya itu tidak ingin d
Hari ini Naya kembali seperti biasanya hanya berdiam diri dirumah, rasanya masih kurang jalan-jalannya kemarin walaupun harus ketahuan suaminya kalau dirinya menggunakan anak mereka untuk menyenangkan dirinya sendiri. Tapi ibu hamil kan memang butuh refreshing, agar tidak bosan dan suasana hatinya harus senang jadi bayinya juga ikut senang. Apalagi Dewa setelah kembali dari jalan-jalan singkat mereka langsung kembali menyibukan diri dengan pekerjaannya, bahkan semalam laki-laki itu di ruang kerja hingga tengah malam. Namun karena seharian sudah menemaninya jadi Naya membiarkan Dewa berkutat dengan pekerjaannya. "Mbak mau saya buatkan cemilan?" tawar bi Rosma membuat Naya mengangguk. "Boleh bik, tapi saya bantuin, Ya. Bosen bik," ujar Naya membuat bi Rosma mengangguk. Setelah ada bi Rosma Naya hanya diam saja, tidak lagi melakukan pekerjaan rumah sama sekali karena Dewa juga melarangnya, dan hanya mengurus Dewa seperti menyiapkan baju, membantunya bersiap dan te tidak melakukan apap
Setelah menyelesaikan memasaknya Naya segera menyusul suaminya ke kamar, sesampainya di kamar Naya melihat Dewa sedang duduk di atas ranjang dengan buku di tangannya. Dewa itu aktivitasnya hanya kerja, baca buku, dan olahraga selain itu sepertinya tidak ada. Sangat berfaedah bukan kehidupan suaminya itu jelas sangat berbeda dengan dirinya yang hanya bermalas-malasan, tapi herannya Dewa tidak pernah komplain apapun tentang kehidupannya. "Kok tumben tadi pulang cepet?" tanyanya lalu ikut menyusul suaminya. "Saya besok ke bali." ujarnya membuat Naya mengerucutkan bibirnya kesal. agaimana tidak kemaren suaminya hanya mengajaknya jalan-jalan keliling kota, dan sekarang suaminya itu akan ke Bali. "Ngapain? Aku ikut ya? " ujar Naya merengek. "Saya kerja, bukan liburan." jawab Dewa membuat Naya semakin cemberut. "Aku nggak akan ganggu kamu," ujar Naya serius. Dirinya akan jalan-jalan sendirian tanpa mengajak suaminya dan membayangkan jalan-jalan menginjak pasir pantai rasanya menyenangk
Sudah tiga hari suaminya berada di Bali, hubungan mereka juga tidak seperti kemarin-kamarin biasanya Naya selalu mengirim pesan kepada suaminya hanya untuk bertanya sudah makan atau belum, sedang apa dan banyak hal yang tidak perlu di tanyakan. Namun kali ini Naya tidak membalas ataupun mengirim pesan ke suaminya.Entahlah dirinya ingin menenangkan diri dulu, semakin hari perutnya juga semakin membuncit. Naya menonton banyak sekali video-video tentang kehamilan dan melahirkan, yang awalnya tidak memiliki ketakutan apapun justru sekarang merasa takut.Hingga akhirnya hari ini Naya memutuskan untuk berkunjung ke rumah bundanya untuk mencari tips dan trik agar tidak membuatnya takut. Dan karena sejak masalahnya dengan Rian, dirinya belum berkunjung kerumah orang tuanya."Tambah cantik anak bunda," Suara bunda menyambut kedatangan Naya yang baru memasuki rumah."Tumben muji Naya, ada maunya pasti?"Bundanya terkekeh, "Mau dong di kasih cucu yang ganteng dan cantik.""Duh, bunda udah minta
Siang hari ini rumah Naya terasa ramai. Dirinya kedatangan adik iparnya dengan dua anak yang sudah sangat ramai saat mereka datang."Qila jangan lari-lari. Astaga," terlihat Anita sedang memarahi putri pertama mereka, yang sedari tadi berlarian kesana kemari."Mbak, maaf ya Qilla emang super aktif banget sekarang," ujarnya membuat Naya terkekeh."Nggak papa, justru rumah jadi rame." ujar Naya menaruh cemilan dan beberapa minuman ke meja ruang tamu mereka.Karena bik Rosma sedang ke pasar, jadi Naya sendiri yang menyiapkannya. Apalagi adik iparnya itu tidak mengabarinya dulu jadi Naya tidak menyiapkan apa-apa hanya seadanya saja.Melihat adik iparnya yang sibuk mengganti pokok anak keduanya, anak pertama mereka justru kembali dengan dengan baju basahnya, karena ketumpahan air minum. Hal itu membuat ayahnya geram, bagaimana tidak gadis kecil itu terlihat tidak bisa diam, bahkan selalu berdebat dengan mamanya.Naya hanya bisa terkekeh, rumah yang biasanya sepi ini jadi begitu ramai hany
Naya menoleh menatap suaminya sambil berbaring. Dewa saat ini masih bersandar di headboard sambil membaca buku. Lampu kamar belum di Matikan, karena sejak mereka memutuskan untuk ngobrol namun berujung dirinya kesal dan memilih untuk tidur duluan, dan suaminya tidak membujuk dirinya atau meminta maaf. "Kenapa belum tidur?" tanya Dewa merasakan pergerakan dari istrinya."Kamu nggak lihat mata aku masih melek gini," jawab Naya sewot. Ternyata kekesalannya masih bertahan hingga sekarang."Tidur, Kanaya." Naya mendengus, kenapa sih suaminya itu selalu membuatnya kesal, tidak bisakah sehari saja suaminya itu membuatnya senang. Naya mengambil tangan kiri suaminya dia taruh di kepalanya agar suaminya itu mengusap-usap lembut kepalanya. Barangkali dengan begitu Naya bisa tertidur.Dewa menoleh sekilas, lalu kembali melihat bukunya. Naya mungkin tidak melihat. Tapi Dewa tersenyum tipis karena istrinya sudah tidak ngambek lagi padanya. Dewa kembali melanjutkan membaca bukunya hanya dengan sat
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi
Sejak dokter muda itu mulai memeriksa Dewangga, Kanaya tidak bisa melepaskan pandangannya dari wanita itu. Cara dokter itu bekerja terlihat cekatan dan penuh perhatian. Namun, ada yang aneh di balik perhatian itu. Beberapa kali, Kanaya menangkap tatapan yang lebih lama dari yang seharusnya, tatapan yang seolah memuji Dewangga dengan penuh kekaguman.Dan itu membuat hati Kanaya bergemuruh, perasaan cemburu yang tiba-tiba muncul begitu saja, menyesakkan dadanya."Sudah selesai, Mas. Saya akan meresepkan obatnya sekarang," ujar dokter itu, dengan senyum hangat, lalu kembali ke meja untuk menulis resep."Mas?" tanya Kanaya merasa aneh dengan panggilan dokter itu.Kanaya menatap suaminya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya. Dewangga menoleh, tatapannya penuh kebingungan."Ada apa?" tanya Dewangga, mencoba membaca ekspresi wajah Kanaya yang tampak tidak biasa.Kanaya menatap dokter itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Dewangga. "Kenapa pilih dokter perempuan? Kenapa nggak ya
Hari itu, rumah Dewangga dipenuhi oleh kolega dan teman-temannya. Sejak pagi, Kanaya tak sempat beristirahat sedikit pun karena tamu yang datang silih berganti. Keramaian ini adalah hal yang baru baginya, apalagi karena ia bukan tipe orang yang sering terlibat dalam acara-acara pekerjaan suaminya.Di tengah keramaian itu, salah satu rekan kerja Dewangga mendekat dan tanpa basa-basi berkata, "Pantas saja sekarang Dewa nggak pernah lama-lama di kantor, istrinya cantik, masih muda pula." Kanaya hanya bisa terdiam, bingung dan sedikit canggung karena ia tidak mengenali pria itu. Dewangga hanya tersenyum kecil, sementara rekan-rekan lain ikut melemparkan candaan yang membuat suasana semakin riuh. Bahkan Ayah mertuanya ikut tertawa, karena disini Dewangga terkena bahan keisengan para sahabatnya hal itu cukup membuat suasannya terasa hangat.Sementara itu, Kanaya memilih untuk duduk tenang di ruang tengah bersama para ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Mereka lebih banyak membahas anak-an
"Saya nggak tahu kenapa dia ada di sini," ujar Dewangga, nada suaranya datar tetapi menyimpan tanya.Naya tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengaduk dirinya. Ia tahu, Savira—mantan istri suaminya—tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Dewangga. Tapi, rasa tidak nyaman tetap merayap di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa tenang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya?"Kanaya," suara Dewangga memecah lamunan Naya, lembut namun tegas. Ia menatap suaminya, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya."Mbak Vira tinggal di sini, Mas," ujar Naya pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Pernyataannya membuat Dewangga mengernyit."Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Dewangga, nadanya berubah serius.Naya menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bukan, Mas. Dia yang menghubungiku duluan, bilang mau pindah ke sini. Aku nggak kabar-kabaran sama dia."Dewangga menghela napas, wajahnya mencerminkan rasa b
"Maaf, Wa. Aku kesini karena khawatir begitu mendengar kamu kecelakaan," kata Savira dengan suara lirih, matanya penuh kekhawatiran. Dia berdiri di depan pintu ruang perawatan, memandang Dewangga yang terbaring di ranjang rumah sakit.Kebetulan hari ini Savira tengah menemani ibunya untuk terapi agar bisa kembali berjalan seperti semula, dan saat di depan administrasi dia tidak sengaja bertemu dengan Naufal."Saya tidak apa-apa, kamu bisa keluar," ujar Dewangga dengan suara tegas."Wa... aku..." Savira terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.Naya berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang berdiri di samping ranjang suaminya. Hatinya sedikit terkejut, namun ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya di balik senyuman.Kanaya segera berjalan ke arah suaminya tanpa memerdulikan Savira atau menyapanya lebih dulu."Kamu nggak papa kan, mas?" tanya Naya dengan suara
"Sekarang lo ngerti kan apa yang gue rasain dulu?" Naya terkekeh sambil menatap wajah Citra yang cemberut. Beberapa hari ini, Citra merasa terabaikan karena suaminya, Naufal, sedang perjalanan dinas ke luar kota. Naya yang dulu sering merasa ditinggalkan suaminya, Dewangga, kini bisa merasakan betapa beratnya perasaan Citra.Kebetulan setiap pulang bekerja, Citra selalu menyempatkan untuk mampir kerumahnya. Karena merasakan kesepian di tinggal suaminya ke luar kota."Iya, gue dulu sering ngejek lo," jawab Citra, matanya yang sembab menatap kosong ke arah meja. "Gue nggak tahu kalau rindu seberat ini."Naya mendengus kesal meski masih ada rasa ingin menggoda sahabatnya. "Lo lebih alay daripada gue," katanya sambil melemparkan tatapan mengejek ke arah Citra yang semakin tidak terima."Lo kan dulu nikah tanpa cinta, Nay. Kalau gue sama Mas Naufal, kita menikah dengan penuh cinta," balas Citra, sedikit membela diri dengan ekspresi yang lebih tegas.Naya hanya tertawa kecil mendengar itu.