Saat Naya hendak pulang tiba-tiba pintu ruangan Dewa terbuka, Naya melihat wanita yang selalu menganggu pikirannya dan ketentramannya.Kenapa lagi wanita itu datang ke kantor suaminya, untung saja Naya masih disini bisa menjaga suaminya.“Kenapa nggak angkat telfon aku,” tanpa babibu Savira berjalan kearah Dewa mengabaikan Naya yang masih berdiri di sebelah pintu.“Huek!” Dewa menjauhkan diri dari Savira dan berlari ke kamar mandi.‘Yess!! Makasih anak mama,’ gumam Naya mengelus perut ratanya.“Dewa! Kamu kenapa?” ujar Savira panik bahkan hendak menyusul Dewa kekamar mandi tapi..“Pergi! …” usir Dewa membuat Naya tersenyum penuh kemenanngan. Savira terkejut dengan suara Dewa yang lantang dan mengusirnya, biasanya laki-laki hanya diam. Namun sekarang Dewa mengusirnya apa mungkin karena ada Naya, istrinya. Savira hanya diam dan melangkahkan kakinya mundur, karena Savira sangat mengenal Dewa seperti apa, jadi memilih untuk pergi dulu dan nanti dirinya akan kembali lagi.“Kanaya.” “Deng
“Mas,” sapa Naya, saat melihat suaminya baru saja sampai rumah, dengan wajah lesu bahkan wajahnya terkesan lebih datar dari biasanya.“Kenapa?” tanya Naya mendekat kearah suaminya karena khawatir, namun saat dirinya tepat di hadapan suaminya justru Dewa mundur. “Mas..”“Saya mandi dulu,” Dewa segera pergi meninggalkan Naya.Naya menatap punggung Dewa yang semakin menjauh dengan wajah bingungnya. Naya semakin di buat penasaran dan bertanya-tanya, kenapa dengan suaminya? Biasanya memang aneh tapi tidak seaneh ini, bahkan Dewa terkesan menghindarinya.Naya segera berjalan ke atas untuk menyusul suaminya memastikan keadaan suaminya, karena Naya takut Dewa kenapa-napa, atau ada masalah di kantor, hingga dirinya menunggu Dewa yang sedang mandi. Setelah beberapa menit kemudian Dewa sudah keluar dengan keadaan yang jauh lebih segar daripada tadi.“Capek, Ya.” ujar Naya mengulurkan baju ganti suaminya dengan senyum di wajahnya.Dewa menerima baju ganti yang istrinya siapkan dan memakainya, D
Dewa berusaha mencari Kanaya namun tidak menemukannya, hingga akhirnya Dewa memilih mencari kerumah orang tua Kanaya tapi saat sampai di sana ibu mertuanya justru bertanya kenapa dirinya tidak bersama Kanaya.Dewa menyugar rambutnya frustasi, awalnya Dewa tidak pernah menyangka jika Kanaya akan pergi darinya. Karena selama ini Dewa terlalu tenang karena Kanaya adalah istri yang baik dan penurut, hanya saja wanita itu memang sedikit cerewet saja.“Saya harus mencari kemana lagi, Kanaya.” Dewa benar-benar frustasi bahkan dirinya melupakan pekerjaanya karena pikirannya kalut.Tapi tetap saja dia memikirkan Kanaya, karena wanita itu kini sedang mengandung anaknya. Sudah tiga hari Kanaya pergi rumah terasa kosong. Bahkan sebelum berangkat dan pulang dari kantor selalu berkeliling kemana-mana, dia tidak memiliki tujuan.Dia lelah, sejak kecil dirinya memiliki banyak sekali beban yang dirinya tanggung sejak kecil. Menjadi dirinya bukanlah hal yang mudah, dirinya harus berjuang sendiri untuk
"Gimana? Naya sudah ketemu?” tanya Naufal membuat Dewa menggeleng. Naufal memang sangat perhatian, karena yang membuatnya masih ada di sini adalah Dewangga. Dulu dirinya dikeroyok oleh debt collector bahkan dirinya sudah sekarat namun Dewa membawanya pulang dan merawatnya hingga dirinya kembali pulih dan memberikan dirinya kehidupan yang layak. Tidak hanya teman di antara mereka namun sudah seperti keluarga. Jadi siapapun yang mengusik orangnya maka Naufal yang akan maju di garda terdepan. “Mendingan kita minta bantuan si Jordan,” Kenapa dirinya tidak kepikiran sampe sana, Jordan adalah teman mereka namun profesi mereka memang sangat jauh berbeda, Jordan adalah seorang penyidik atau detektif sehingga orangnya sedikit misterius dan sangat jarang ada waktu luang. “Saya coba hubungi Jordan..” “Gue udah bawa Jordan, dia masih di bawah sedang deketin karyawan,” ujar Naufal. “Napa lo nyuruh gue kesini?” Suara itu membuat Dewa menoleh sudah melihat wajah tengil sahabatnya. “L
Seminggu sudah Naya meninggalkan suaminya, bagaimana kabar laki-laki itu apakah baik-baik saja?Sebenernya Naya memang sudah pernah membayangkan di posisi saat ini ketika dirinya akan mengetahui kenyataan jika Dewa memang belum melupakan mantan istrinya. Namun selama ini Naya berusaha mengabaikannya namun kejadian seminggu yang lalu membuat Naya ragu untuk kembali lagi dengan Dewa.Sejak kemaren Naya berusaha untuk tidak menangis. Karena dirinya ingin kuat, tapi berbagai pikiran ada saat ini memakannya untuk mengeluarkan sebanyak-banyaknya. Dia sekarang hanya bisa terduduk di lantai kamarnya dan menangis.Naya merasa bodoh, setelah lima bulan mereka menikah dengan Dewangga bahkan Naya sudah memberikan segalanya untuk laki-laki itu tapi tidak akan pernah bisa mengalahkan masa lalu Dewa? Kalau Naya tau akan sesakit ini Naya tidak akan pernah memulainya.Tidak tau berapa Naya menangis hingga dirinya merasa lelah karena terlalu lama menangis karena dirinya sudah menahan tangisan itu sejak
Malam ini Naya sudah kembali kerumah Dewa, namun rasanya masih dingin, bahkan Naya masih mendiamkan Dewa dan Naya mau kembali kerumah ini karena anak dalam kandungannya karena dirinya tidak ingin anak mereka lahir tanpa sosok ayah di sampingnya.Dewa duduk di sisi ranjang, menyingkirkan anak-anak rambut dari wajah istrinya seraya memperhatikan wanita itu dengan sorot mata yang dalam.Harusnya Dewangga bersyukur memiliki istri seperti Kanaya yang mau kembali memaafkannya, wanita itu sudah banyak sekali memberikan warna dalam hidupnya. Namun hal itu belum bisa membuat Dewa untuk berdamai dengan masalalunya.Dewa memang jahat, Dewa memang bukan suami yang baik. Dirinya selalu membuat wanita luar biasa ini sering menangis di tengah malam. Pria itu ikut merebahkan tubuhnya di ranjang. Memeluk istrinya dari belakang dengan dekapan yang erat. Rasanya benar-benar seperti di rumah saat memeluk Naya seperti ini."Maaf, Kanaya. Maaf" Dewa berguman kecil di telinga istrinya. " Saya tidak bisa m
"Po, gimana caranya cara buat papa lo move on?" tanya Naya pada ikan yang sedang berenang dengan tenangnya itu. Sudah lama dirinya tidak menyapa ikan kesayangan suaminya ini, Naya meletakan dagunya di atas meja sambil memperhatikan ikan kesayangan suaminya ini. Karena dengan adanya ikan ini suaminya juga sering duduk bersantai di sofa sambil menatap ikan itu. Sebebernya apa menariknya? Banyak yang bilang menatap ikan itu salah satu upaya stress release, benar kah? "Kamu nggak bosen, cuma berenang kesana kemari aja?" tanya Naya. "Sejak kapan kamu bicara sama hewan?" Suara itu membuat Naya berdecak kesal. "Sejak punya suami susah bicara," Balasnya, Dewa berjalan kearah Naya kemudian duduk di sofa yang ada di belakang Naya. Memperhatikan Naya yang menggambar pola abstrak di aquarium ikannya itu. "Jangan duduk di lantai." Perintahnya menepuk sofa di sisinya. "Suka-suka gue mau duduk dimana," balas Naya sewot. "Kanaya." dari panggilannya saja sepertinya suaminya itu tidak ingin d
Hari ini Naya kembali seperti biasanya hanya berdiam diri dirumah, rasanya masih kurang jalan-jalannya kemarin walaupun harus ketahuan suaminya kalau dirinya menggunakan anak mereka untuk menyenangkan dirinya sendiri. Tapi ibu hamil kan memang butuh refreshing, agar tidak bosan dan suasana hatinya harus senang jadi bayinya juga ikut senang. Apalagi Dewa setelah kembali dari jalan-jalan singkat mereka langsung kembali menyibukan diri dengan pekerjaannya, bahkan semalam laki-laki itu di ruang kerja hingga tengah malam. Namun karena seharian sudah menemaninya jadi Naya membiarkan Dewa berkutat dengan pekerjaannya. "Mbak mau saya buatkan cemilan?" tawar bi Rosma membuat Naya mengangguk. "Boleh bik, tapi saya bantuin, Ya. Bosen bik," ujar Naya membuat bi Rosma mengangguk. Setelah ada bi Rosma Naya hanya diam saja, tidak lagi melakukan pekerjaan rumah sama sekali karena Dewa juga melarangnya, dan hanya mengurus Dewa seperti menyiapkan baju, membantunya bersiap dan te tidak melakukan apap
Hari itu, rumah Dewangga dipenuhi oleh kolega dan teman-temannya. Sejak pagi, Kanaya tak sempat beristirahat sedikit pun karena tamu yang datang silih berganti. Keramaian ini adalah hal yang baru baginya, apalagi karena ia bukan tipe orang yang sering terlibat dalam acara-acara pekerjaan suaminya.Di tengah keramaian itu, salah satu rekan kerja Dewangga mendekat dan tanpa basa-basi berkata, "Pantas saja sekarang Dewa nggak pernah lama-lama di kantor, istrinya cantik, masih muda pula." Kanaya hanya bisa terdiam, bingung dan sedikit canggung karena ia tidak mengenali pria itu. Dewangga hanya tersenyum kecil, sementara rekan-rekan lain ikut melemparkan candaan yang membuat suasana semakin riuh. Bahkan Ayah mertuanya ikut tertawa, karena disini Dewangga terkena bahan keisengan para sahabatnya hal itu cukup membuat suasannya terasa hangat.Sementara itu, Kanaya memilih untuk duduk tenang di ruang tengah bersama para ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Mereka lebih banyak membahas anak-an
"Saya nggak tahu kenapa dia ada di sini," ujar Dewangga, nada suaranya datar tetapi menyimpan tanya.Naya tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengaduk dirinya. Ia tahu, Savira—mantan istri suaminya—tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Dewangga. Tapi, rasa tidak nyaman tetap merayap di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa tenang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya?"Kanaya," suara Dewangga memecah lamunan Naya, lembut namun tegas. Ia menatap suaminya, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya."Mbak Vira tinggal di sini, Mas," ujar Naya pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Pernyataannya membuat Dewangga mengernyit."Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Dewangga, nadanya berubah serius.Naya menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bukan, Mas. Dia yang menghubungiku duluan, bilang mau pindah ke sini. Aku nggak kabar-kabaran sama dia."Dewangga menghela napas, wajahnya mencerminkan rasa b
"Maaf, Wa. Aku kesini karena khawatir begitu mendengar kamu kecelakaan," kata Savira dengan suara lirih, matanya penuh kekhawatiran. Dia berdiri di depan pintu ruang perawatan, memandang Dewangga yang terbaring di ranjang rumah sakit.Kebetulan hari ini Savira tengah menemani ibunya untuk terapi agar bisa kembali berjalan seperti semula, dan saat di depan administrasi dia tidak sengaja bertemu dengan Naufal."Saya tidak apa-apa, kamu bisa keluar," ujar Dewangga dengan suara tegas."Wa... aku..." Savira terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.Naya berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang berdiri di samping ranjang suaminya. Hatinya sedikit terkejut, namun ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya di balik senyuman.Kanaya segera berjalan ke arah suaminya tanpa memerdulikan Savira atau menyapanya lebih dulu."Kamu nggak papa kan, mas?" tanya Naya dengan suara
"Sekarang lo ngerti kan apa yang gue rasain dulu?" Naya terkekeh sambil menatap wajah Citra yang cemberut. Beberapa hari ini, Citra merasa terabaikan karena suaminya, Naufal, sedang perjalanan dinas ke luar kota. Naya yang dulu sering merasa ditinggalkan suaminya, Dewangga, kini bisa merasakan betapa beratnya perasaan Citra.Kebetulan setiap pulang bekerja, Citra selalu menyempatkan untuk mampir kerumahnya. Karena merasakan kesepian di tinggal suaminya ke luar kota."Iya, gue dulu sering ngejek lo," jawab Citra, matanya yang sembab menatap kosong ke arah meja. "Gue nggak tahu kalau rindu seberat ini."Naya mendengus kesal meski masih ada rasa ingin menggoda sahabatnya. "Lo lebih alay daripada gue," katanya sambil melemparkan tatapan mengejek ke arah Citra yang semakin tidak terima."Lo kan dulu nikah tanpa cinta, Nay. Kalau gue sama Mas Naufal, kita menikah dengan penuh cinta," balas Citra, sedikit membela diri dengan ekspresi yang lebih tegas.Naya hanya tertawa kecil mendengar itu.
Pagi ini, Naya kembali ke rutinitasnya, seperti biasa. Ia sibuk menyiapkan sarapan di dapur bersama Bibi Rosma. Di samping itu, Naya juga menyiapkan makanan untuk MPASI Kai, berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya yang semakin besar.Sambil sibuk bekerja di dapur, Naya melirik Dewangga yang tengah menuntun Kai menuju meja makan. Pemandangan itu membuat hatinya tersenyum. Terkadang, ia masih merasa tak percaya bahwa ia bisa bertahan sejauh ini, melewati segala cobaan hidup."Pagi, Sayang," sapa Naya lembut, mendekat untuk mencium pipi cubby Kai yang kini semakin chubby dan lucu itu. Dewangga tersenyum melihat interaksi mereka."Masak apa hari ini?" tanya Dewangga, matanya memperhatikan Naya yang tengah sibuk di dapur, mempersiapkan makanannya."Bikin MPASI buat Kai, terus aku juga masakin kamu soto, perkedel kentang kayaknya enak buat sarapan hari ini," jawab Naya sambil menyajikan makanan dengan penuh perhatian.Dewangga mengangguk, lalu mengangkat Kai dan duduk di baby chair y
“Saya menang, Kanaya!” Dewangga mengulang ucapan itu dengan senyum lebar, matanya bersinar penuh kegembiraan saat menatap Naya. Setelah bertanding sengit melawan Rian, keringat yang membasahi wajah dan tubuhnya seolah tak berarti lagi. Kemenangan ini membuatnya lupa akan lelahnya. Naya, meskipun masih merasa cemas sepanjang pertandingan, tersenyum bangga melihat suaminya. Dengan penuh kasih, ia mengacungkan jempol.Naya merasa bangga, meskipun ada rasa khawatir yang mengendap. Ia selalu cemas setiap kali Dewangga bertanding, terlebih jika lawannya adalah Rian, yang meskipun lebih muda, selalu memiliki energi melimpah. Melihat suaminya yang kelelahan, Naya segera merogoh tas dan mengambil handuk kecil. Dengan lembut, ia mendekat dan mengelap keringat yang mengalir di pelipis Dewangga."Mas keren banget," ujar Naya dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar, sambil terus mengelap wajah Dewangga."Makasih, Sayang," jawab Dewangga, suaranya terdengar lemah namun penuh rasa terima kasih,
“Gue nggak habis pikir sama mereka,” ujar Naya dengan nada tidak percaya, masih terhenyak oleh apa yang baru saja dilihatnya. Di lapangan tenis belakang kantor suaminya.Dewangga dan Rian tengah bersiap untuk bertanding. Mereka terlihat begitu antusias, padahal usia mereka sangat berbeda.Naya bahkan baru pertama kali tahu kalau di kantor Dewangga ada lapangan tenis. Ketika ia datang untuk menemui suaminya setelah beraktivitas di rumah, sama sekali tidak menyangka akan menemukan pemandangan seperti ini. Di tengah kesibukan akhir pekan, yang seharusnya menjadi waktu bersama keluarga, ia justru harus duduk di bangku penonton, menyaksikan pertandingan antara suaminya dan Rian.“Tapi keren sih suami lo,” ujar Citra sambil terkekeh, melihat seorang Dewangga yang tidak mudah terpengaruh hal remeh justru menerima tawaran Rian untuk bertanding Tenis, sangat suportif bukan.Naya hanya mendengus, lalu menatap ke arah lapangan di mana Dewangga dan Rian sudah bersiap. Dewangga—suaminya yang terli
Hari ini, Naya memutuskan untuk mengantarkan makan siang ke kantor suaminya, Dewangga. Dengan langkah penuh semangat, Naya melangkah menuju halaman kantor. Suasana yang biasanya sibuk dengan para karyawan kini terasa lebih tenang. Beberapa orang terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka, namun kebanyakan tampak sedang beristirahat. Naya menikmati keheningan itu, berharap bisa beristirahat sejenak dari rutinitas dan masalah yang semakin menumpuk di kehidupannya. Namun, baru beberapa langkah memasuki halaman kantor, sebuah suara yang sangat dikenalnya memanggilnya. "Nay!" suara itu disertai langkah cepat yang semakin mendekat. Naya menoleh dengan malas. Di belakangnya, Rian berdiri dengan senyum lebar di wajahnya, seolah tak ada yang berubah. Tanpa menunggu lama, Rian berlari mendekat. "Keponakan gue mana, Nay?" tanyanya dengan nada ceria. "Di rumah," jawab Naya datar, matanya menyipit kesal. Sejujurnya, ia tak ingin berurusan dengan Rian hari ini. Rian tertawa kecil. "Lo masih aja
POV Dewangga Dewa duduk di ruang kerjanya, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Senja mulai turun, dan langit yang tadinya biru cerah kini berubah menjadi jingga yang hangat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai macam perasaan. Rasanya, hidupnya memang tidak pernah berjalan semulus yang ia inginkan. Ada selalu saja masalah yang datang silih berganti, dan seakan tidak pernah habis. Namun, di balik semua itu, satu hal yang selalu menjadi pegangan Dewa adalah keberadaan Kanaya di sampingnya. Jika ia harus mengakui satu hal yang paling berharga dalam hidupnya, itu adalah Kanaya. Istrinya yang setia, sabar, dan penuh kasih, meskipun mereka sering kali terjebak dalam konflik-konflik yang tak terduga. Kanaya, yang selalu merasa cemas dan khawatir dengan segala yang terjadi, selalu berdiri teguh di sampingnya, mendukungnya dengan sepenuh hati. Dewa tahu, ia tidak selalu menjadi suami yang sempurna. Ada kalanya ia terlalu fo