Terjebak pada situasi yang tidak disukai memang menyebalkan. Bertarung dengan hati dan pikiran sudah menjadi kebiasaan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menjalankan. Sampai akhirnya bisa terbebas dari yang namanya beban. Ya, Shana menyebutnya beban. Berbagai macam perasaan bak bertarung di dalam pikiran. Ada gelisah, canggung, resah, dan juga senang. Semua bercampur menjadi satu sampai isi perut meminta untuk dikeluarkan. Pagi sudah datang. Hal pertama yang Shana lihat setelah membuka mata adalah sosok pria yang semalam tidur bersamanya. Mereka tidak melakukan apa-apa, bahkan ada pembatas di antara mereka. Namun sepertinya yatch yang mereka naiki ini berhantu. Pembatas selimut yang semalam Shana tempatkan dengan rapi di tengah mereka mendadak menghilang entah ke mana. Lalu saat ini, Shana hanya membatu tanpa bisa bergerak. Jika ia bergerak maka ia akan membangunkan Ndaru. Sejak kapan lengan besar pria itu melingkar di pinggangnya? Bisa saja Shana membangunkan Ndaru dan m
Akhir pekan begitu cepat berlalu. Rutinitas juga sudah melambai ingin bertemu. Kesibukan mulai meneror Ndaru. Tampak bersemangat untuk menyerbu. Ndaru melewatkan makan siangnya kali ini. Setelah menghadiri rapat penting dia harus menyelesaikan pekerjaan sisanya. Pantang baginya untuk menunda pekerjaan. Setidaknya dia tidak mau membawa pekerjaan ke rumah. Karena itu juga Ndaru sering pulang malam. Ketukan pintu membuat Ndaru mengalihkan pandangannya sebentar. "Masuk," ucapnya. "Permisi, Pak. Ada Pak Guna yang ingin bertemu," kata Fajar, sekretarisnya. "Mas Guna?" gumam Ndaru. "Minta kakak saya masuk," balasnya. Fajar mengangguk dan berlalu pergi. Tak lama Guna masuk bersama istrinya, Dayanti. "Ada apa, Mas?" tanya Ndaru berpindah ke sofa. "Bukannya kamu yang cari aku kemarin?" Guna merenggangkan tubuhnya di sofa. "Jadinya dari bandara langsung ke sini." Ternyata Guna baru saja tiba. Dari mana lagi jika bukan dari daerah pilihannya. Pria itu tampak begitu serius dala
"Putri," gumam Shana lemas. "Dia di sini?" Bagas mengangguk. "Mbak Shana nggak mau ketemu dulu? Tadi saya liat Mbak Putri lagi pesen kopi." Shana menarik napas dalam dan mengangguk. "Gue keluar dulu. Lo siapin aja file-nya." Langkah Shana terasa berat. Entah kenapa seperti ada sesuatu yang akan terjadi setelah ini. Untuk pertama kalinya Putri datang menemuinya. Bukan percaya diri. Shana yakin tujuan Putri datang bukan hanya untuk sekedar memesan kopi. Apa lagi jika bukan untuk menemuinya? "Mbak Putri?" sapa Shana pada wanita yang tengah duduk santai di samping jendela. Tampak mengaduk kopi hangatnya dengan elegan. "Mbak di sini?" Senyum Putri mengembang. Senyum yang tak pernah Shana liat selama ia bergabung ke dalam keluarga Atmadjiwo. "Kopi di sini enak." "Terima kasih, Mbak." Shana tampak ragu. "Boleh saya duduk?" Putri lagi-lagi tertawa. "Kita cuma berdua, Shan. Nggak perlu pura-pura." Shana mendengkus pelan dan mulai duduk di hadapan Putri. "Biar gimana pun
Hari-hari Shana tak luput dari kejutan. Sepertinya hampir setiap hari akan ada hal menarik yang terjadi. Shana pikir hidupnya akan terus membosankan dan monoton. Namun siapa sangka, setelah sosok Handaru Atmadjiwo muncul, hidupnya banyak mengalami perubahan. Ternyata menjadi Nyonya Atmadjiwo tidaklah mudah. Apalagi hanya bersandiwara. Itu lebih terasa menyiksa. Senyum palsu harus selalu siap sedia. Seolah kehidupan pernikahannya berjalan luar biasa. Memang benar luar biasa, tetapi dalam konteks yang berbeda. Apa pun yang terjadi, Shana berusaha untuk menikmatinya. Waktunya hanya satu tahun saja. Sebisa mungkin tujuannya harus terlaksana. Baik karirnya, nama baiknya, dan juga yang lainnya. "Mama nggak ikut?" tanya Juna mendongak menatap Shana. Shana yang tengah merapikan rambut Juna menghentikan kegiatannya. Dari cermin, dia melirik Ndaru yang tengah bersandar di pintu kamar. Pria itu mengawasi Shana yang tengah mendampingi Juna yang mendadak rewel malam ini.
Ternyata acara ulang tahun Kumala Atmadjiwo, cucu pertama dari Harris Atmadjiwo benar diselenggarakan di panti asuhan. Bukan hanya satu, melainkan lima sekaligus. Lebih tepatnya yayasan kasih yang dikelola oleh keluarga Atmadjiwo sendiri. Sebenarnya berbagi kebahagiaan adalah hal yang baik, apalagi ditujukan untuk orang-orang yang membutuhkan. Hanya saja kebaikan itu seolah dimanfaatkan untuk hal yang lain, yaitu menarik simpati masyarakat. Banyaknya kamera wartawan seolah menjadi bukti. Semua keluarga Atmadjiwo mulai unjuk gigi. Memberikan senyum terbaik disaat tengah berbagi. Hal yang membuat Shana Arkadewi muak setengah mati. Menjadi anggota keluarga Atmadjiwo membuatnya harus banyak bersabar. Pandangannya dengan keluarga Atmadjiwo jelas berbeda. Shana tidak suka dengan kebohongan publik ini. Apalagi berkaitan dengan politik yang mulai memanas. Namun sayangnya dia harus tetap hadir untuk mendampingi suaminya. Adhiguna Amir Atmadjiwo yang merupakan seorang ayah sekaligus t
Shana menggeleng. "Ayah saya nggak bersalah, saya yakin Mbak Putri tau itu. Jangan menutup mata, kematian Arya jelas karena ulahnya sendiri. Pada akhirnya dia mendapatkan karmanya." "Jaga ucapan kamu!" "Mbak yang harus jaga—" "Putri, kamu di sini. Satria cari kamu, Nak." Suara berat mendekat ke arah mereka. Seorang pria paruh baya yang Shana kenal sebagai Darma Baktiar, Ayah Putri. Digendongannya terdapat Satria yang terlihat mengantuk. Melihat kondisi yang sudah tidak memungkinkan, Shana memilih untuk pergi. "Permisi," ucapnya tak acuh dengan berlalu. "Ada apa?" tanya Darma pada Putri begitu Shana telah pergi. Dia merasakan aura tak enak di sekitarnya. Putri menggeleng. Dia meraih anaknya dan menepuk punggungnya pelan. "Aku mau tidurin Satria dulu." *** Kembali ke tempat duduknya adalah pilihan yang buruk. Shana tidak mau bertemu dengan para wartawan yang hingga saat ini masih berbincang dengan Ndaru. Ini melelahkan. Di halaman belakang, Shana menghampiri N
Tak ingin berlarut-larut, Shana kembali melajukan mobilnya begitu pagar rumah telah terbuka sempurna. Suasana begitu sepi. Hanya terdapat dua satpam yang berjaga ditemani kopi dan gorengan. "Bu Shana sudah pulang?" sapa salah satu satpam sambil membuka pintu mobil untuknya. Shana hanya tersenyum tipis dengan anggukan. Memang jawaban apa yang harus ia beri? "Pak Nanang mana, Pak? Saya mau balikin kunci mobil," ucap Shana sambil meraih tasnya. Saat tak mendengar jawaban, gadis itu pun menoleh. Menatap satpam yang tampak menunduk sambil mengusap lehernya. "Kenapa, Pak?" "Anu, Bu... itu...," "Ada apa?" "Pak Nanang udah nggak kerja di sini lagi." Bingung. Kerutan di dahi Shana menunjukkan ekspresi bertanya-tanya. "Maksudnya?" "Pak Nanang dipecat, Mbak." "Kok bisa?" tanya Shana pelan. Seketika dia teringat dengan apa yang terjadi tadi siang. "Pak, jangan bilang karena saya...," Shana tak sanggup untuk melanjutkan ucapannya. "Iya, Mbak. Saya denger Pak Nanang dimara
Suasana pagi di rumah Ndaru tampak begitu sepi hari ini. Tidak ada teriakan Juna yang berlarian dengan hanya mengenalan celana dalam, tidak ada teriakan Suster Nur yang mengejar Juna, dan tidak ada tawa Shana yang melihat kekonyolan keduanya. Semua tampak berbeda. Sejak pertengkaran Ndaru dan Shana semalam. Hari ini Ndaru membiarkan Juna tidak bersekolah. Mendadak suhu tubuh anaknya naik dengan diiringi badan yang lemas. Wajah pucat Juna membuat Ndaru menghela napas lelah. Semua ini karena tangisan anaknya semalam. "Mas Juna makan dulu, ya? Sedikit aja diisi perutnya," bujuk Ndaru sekali lagi sambil mengaduk bubur yang dibuat Bibi Lasmi khusus untuk Juna. "Nggak mau, Pa. Nggak enak." "Biar cepet sembuh, Mas. Katanya mau main sama temen-temen di sekolah?" Suster Nur ikut membujuk. "Mau main sama Mama." Suara serak Juna semakin membuat Ndaru menghela napas. Ndaru bangkit dari duduknya dan meletakkan mangkok bubur itu di atas meja. Tangan kanannya bergerak melepas dasi
"Tapi Pak—" "Papa!" suara melengking membuat Shana kembali menutup mulut. Dari ruang tengah, Juna tampak berlari kecil menghampiri mereka. "Papa Mama udah pulang!" Juna tersenyum dan memeluk kaki Ndaru dan Shana bersamaan. Bukannya menjawab, Ndaru menatap Suster Nur tajam. "Jam berapa ini? Kenapa anak saya belum tidur?" "Maaf, Pak. Mas Juna nggak mau tidur, mau nunggu Bapak sama Ibu katanya," jawabnya menunduk takut. "Bukannya saya sudah minta kamu untuk menidurkan Juna lebih dulu?" geram Ndaru memijat keningnya. "Kenapa orang-orang tidak becus dalam bekerja?" gumamnya sebelum menunduk untuk menyamakan tingginya dengan Juna. "Mas Juna kenapa belum tidur?" tanya Ndaru lembut. "Mau tidur sama Papa-Mama," ucap Juna lucu. Ndaru tersenyum tipis. "Papa harus mandi dulu. Mas Juna tidur dulu, ya. Nanti Papa nyusul." "Nggak mau! Papa bohong." Rahang Ndaru mengeras. Melihat itu, dengan cepat Shana mengambil alih. Dia tahu jika emosi Ndaru sedang tidak baik. Banyak hal
Gelisah telah menyerang. Semakin terasa dikala hati meradang. Diam atau tidak menjadi pilihan bimbang. Mengingat jika sang macan sewaktu-waktu bisa saja menyerang. Keheningan membuat suasana mencekam. Hati kalut membuatnya memilih untuk bungkam. Seketika penyesalan terasa semakin dalam. Akibat isi kepalanya yang dipenuhi dengan dendam. "Sudah hubungi tim humas?" tanya Ndaru setelah beberapa menit terjebak dalam keheningan. Gilang menoleh singkat dan mengangguk. "Sudah. Pak Yani, manager humas juga ikut turun tangan ke kantor, Pak." "Pastikan semua selesai malam ini. Saya tidak mau berita ini masih menjadi berita utama besok pagi." Telinga Shana berusaha mendengar dengan seksama. Mencoba mencerna apa yang sedang menjadi sumber kehebohan sosial media. Otak cerdasnya tersadar seketika. Menemukan fakta jika dirinyalah yang menjadi topik utama. Karena penasaran, akhirnya Shana membuka ponselnya sendiri. Ada panggilan tak terjawab sebanyak 13 kali dari Erina, Fathur, dan juga N
Tawa terdengar merdu di telinga. Saling bersahutan menenangkan jiwa. Rasa lama yang tak lagi terasa, kembali muncul untuk menyapa. Saling mengingatkan kenangan indah yang pernah dirasa. Sejak siang, Shana menikmati waktunya untuk bersantai. Kali ini tidak sendiri, melainkan bersama kakak dan pria yang sudah lama tidak saling bertegur sapa. Nendra Hasan, pria itu ikut bergabung dan rela meluangkan waktu sibuknya yang berharga. Demi bisa menghabiskan waktu bersama Shana yang sudah lama tak ia jumpa... dengan leluasa. "Kamu yakin Ndaru nggak marah?" Nendra bertanya untuk yang kesekian kalinya. "Jangan bahas dia." "Kalian bertengkar?" Shana meringis. Berpikir untuk memilih jujur atau tidak. "Sedikit," jawabnya pada akhirnya. Erina yang duduk di sampingnya hanya melirik sekilas. Dia yang mengetahui semua hal yang terjadi pada adiknya memilih untuk diam. "Jadi gimana? Lo bener mau calonin diri?" Erina mengalihkan pembicaraan. "Calonin apa?" "Yang lagi rame dibicara
Hari ini Ndaru benar-benar membuat langkah yang berbeda. Bukan kali pertama, tetapi Gilang sadar jika ada banyak hal di kepalanya. Hanya saja Ndaru memilih untuk menyimpannya. Menguburnya sendiri, menikmati tekanannya yang luar biasa. "Sudah jam sembilan malam, Pak." Ndaru yang sedang melamun sambil memutar cangkir kopinya pun menoleh. "Kamu boleh pulang dulu." Bukan ini yang Gilang inginkan. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu atasannya itu hingga memilih untuk menyendiri seperti ini. Biasanya hidup Ndaru selalu monoton. Bekerja, pulang, lalu bermain bersama Juna. Begitu seterusnya setiap hari. Namun hari ini berbeda. Ndaru tidak fokus bekerja, dia bahkan tidak langsung pulang, malah berakhir di kafe kopi lokal ternama. Tidak ada yang ia lakukan selain berdiam diri. Aneh. Handaru Atmadjiwo memang pendiam. Namum bukan diam yang seperti ini. "Bapak bisa cerita kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran Bapak." Ndaru menggeleng pelan sambil menyesap kopinya. "Nggak
Kesibukkan benar-benar terasa. Untuk mengurus banyak hal yang ada di depan mata. Apa lagi pemilihan umum sebentar lagi tiba. Debut perdana keluarga Atmadjiwo harus benar terlaksana. Bukan sekedar tes ombak semata, Guna Atmadjiwo harus bisa mendapatkan jatah kursinya. Banyak uang yang sudah mereka keluarkan. Serta janji yang mereka berikan. Semua itu mereka korbankan. Demi Guna bisa menjadi anggota dewan. Semua orang sibuk dengan itu. Namun tidak dengan Handaru. Banyak sekali hal yang ada di kepalanya. Membuatnya untuk kali ini saja melenceng dari prinsip hidupnya, yang harus sempurna. Ndaru melarikan diri. Keputusan diambil secara tiba-tiba. Membuat Gilang, sang asisten menggelengkan kepala. Rapat penting bersama keluarga mendadak ditunda. Mengingat Ndaru memilih untuk pergi ke tempat yang tak terduga. Pemakaman. Setelah kembali ke Jakarta, ini pertama kalinya Ndaru mengunjungi makam almarhum Farah. Entah kenapa kemarahan Shella waktu lalu tiba-tiba mengusiknya. Mengang
"Sialan!" Erina melempar bantal sofa. "Yang itu nggak perlu diperjelas." Shana menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di sofa. Dia menatap lampu kristal dengan tatapan menerawang. "Gue nggak bisa gini terus, Mbak." "Gue udah sering minta lo buat berhenti. Lupain semuanya." "Udah setengah jalan." Shana tersenyum kecut. "Keluarga kita hancur dan itu karena mereka." Erina menggenggam tangan Shana erat. "Keras kepala, persis kayak Mama." "Boleh gue minta tolong?" Shana menegakkan duduknya. "Apa?" "Ajak gue keluar. Gua mau ketemu Mas Nendra. Pak Ndaru larang dia buat jenguk gue kemarin." Shana mengetahuinya dari sosial media. Ternyata Nendra menjenguknya kemarin. Hanya saja pria itu tidak menemuinya. Sudah dipastikan Ndaru yang melarangnya, atau bahkan mengusirnya. "Kalau Ndaru tau dia bisa ngamuk." "Jangan sampai dia tau." "Roro gimana?" "Kita kabur." Shana mulai berdiri. Erina menggeleng pasrah. "Pantes aja Ndaru kasih pengawal. Tingkah lo emang
Seperti hari sebelumnya, suasana pagi di kediaman Putri tampak sepi. Tampak berbeda setelah sang kepala keluarga pergi. Meninggalkan rasa dingin di setiap sisi. Tak hanya rumah melainkan juga isi hati. Beruntung Putri tidak sendiri. Ada Ayah yang selalu menemani. Memberikan perhatian penuh pada anak yang ia sayangi. Yang kadang Putri abaikan karena ingin memilih sendiri. Dari luar memang Putri terlihat begitu kuat. Pulihnya luka berangsur sembuh dengan cepat. Namun sayang itu hanya topeng sesaat. Begitu ia sendiri, dia kembali menjadi Putri dengan kesedihan yang dahsyat. "Mama udah bangun?" Darma menggendong Satria untuk turun menuju ruang makan. Cucunya masih terlihat mengantuk dengan baju tidurnya. "Nggak tau. Mama nggak ada tadi," adu Satria. "Mungkin Mama udah di bawah." Ternyata perkiraan Darma salah. Tidak ada Putri di ruang makan. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak tahu keberadaannya. Pagi tadi, Satria memang menemuinya karena ibunya yang mendadak tidak ada.
Shella Clarissa. Wanita itu berada di sini. Mungkin sudah lelah karena Ndaru yang tak menggubris panggilannya. "Bawa Mas Juna masuk." Ndaru mematikan kompor dan memberikan Juna pada Bibi Lasmi. Ketegangan ini tak boleh didengar oleh anak itu. "Siapa, Mas?" tanya Shella berjalan mendekat. Wajahnya sudah memerah menahan marah. "Shel—" "Aku yang pengganggu?" Shella dengan beraninya memotong ucapan Ndaru. Ndaru memilih untuk kembali menutup mulut. Bukan berarti takut, tetapi dia tidak mau beradu argumen dengan orang yang sudah emosi. Baiklah, dia memang salah. Namun semuanya sudah terlanjur, bukan? "Shella, bukan begitu." Gilang menarik Shella yang semakin dekat dengan Ndaru. "Bisa-bisanya Mas Ndaru bilang gitu," geram Shella. "Harusnya aku yang marah. Mas Ndaru ke mana kemarin? Mas lupa acara pengajian Mbak Farah?!" "Ada hal yang harus saya lakukan." Tanpa diduga Shella tertawa. "Apa itu lebih penting dari Mbak Farah?" Tentu saja kegaduhan itu dapat didengar
Pagi kali ini terasa berbeda. Kata sapa terdengar lembut di telinga. Senyum tipis juga terasa sedap di mata. Aura ketenangan itu begitu terasa. Kala sang tuan rumah mendadak memasak dengan sendirinya. Aneh. Pemandangan yang jarang untuk dilihat. Bahkan bisa dikatakan tak pernah terlihat. Bisa dihitung dengan jari Bibi Lasmi melihat atasannya itu menyentuh spatula. Benar-benar pemandangan yang patut diabadikan. "Ibu biasanya pinggiran rotinya dipotong, Pak." Bak seperti komandan, Bibi Lasmi tampak memandu dari belakang. Melihat bagaimana dua manusia yang berbeda usia itu tampak serius dengan apa yang dikerjakan. "Biar Papa yang potong." Dengan sigap Ndaru menjauhkan pisau dari tangan Juna. "Nggak mau! Mau potong-potong juga!" Juna mulai merengek. Ndaru menyerah dan memberikan pisaunya. Bukan sepenuhnya memberi, karena dia ikut menuntun tangan anaknya agar lebih berhati-hati. Bibi Lasmi kembali melirik dari belakang. Melihat bagaimana dua pria itu tengah fokus pa