Di mana foto sang ibu? Shana baru sadar jika tidak ada foto Farah Marissa, almarhum istri Ndaru di sini. Aneh. Pintu yang terbuka secara tiba-tiba mengejutkan Shana. Dia berdecak begitu Ndaru masuk dengan santainya, mengabaikan rasa terkejutnya. "Kenapa nggak ketuk pintu dulu, sih?" gerutu Shana. Ndaru mendekat dengan alis terangkat. "Kenapa saya harus ketuk pintu ruangan saya sendiri?" "Ah, iya juga," gumam Shana dan mulai berdiri. Kembali duduk di sofa tepat di hadapan Ndaru. "Kenapa Bapak panggil saya ke sini?" Ndaru berdeham sambil menggaruk pelipisnya. "Saya mau minta tolong," ucapnya pelan. "Apa, Pak? Saya nggak denger?" Shana membungkukkan tubuhnya untuk lebih dekat. "Saya mau minta tolong." Ndaru berbicara lebih jelas sambil mendorong kepala Shana menjauh dengan jari telunjuknya. "Tumben?" Shana tersenyum mengejek. Dengan angkuh dia melipat kedua tangannya di dada. "Mau minta tolong apa?" "Saya sudah daftarkan Mas Juna untuk preschool." Shana mengang
Selama ini, Shana berusaha untuk menghindari masa lalu. Memilih untuk fokus ke depan tanpa rasa ragu. Namun takdir memang sangat lucu. Shana malah terjebak pada dunia baru yang begitu pilu. Selama 10 menit, Shana masih duduk di dalam mobil. Menatap gedung tinggi di hadapannya dengan perasaan resah. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat ini, ke kantor suami yang hanya akan menemaninya selama satu tahun. Jari-jarinya bergerak mengetuk setir bundar dengan berirama. Menenangkan perasaan yang sedang tak karuan. Gadis itu sedang menerka-nerka. Apa tujuan Ndaru memintanya datang? Shana menggelengkan kepalanya cepat. Dengan segera dia keluar dari mobil dengan membawa satu kotak yang berisi beberapa minuman kopi. Bukan untuknya melainkan untuk orang-orang ramah yang ia temui. Entah kenapa dia berinisiatif membeli kopi itu sebelum tiba di kantor. Aneh rasanya jika ia datang tanpa membawa apa pun. "Selamat siang, Ibu Shana," sapa tiga pria yang Shana yakini sebagai pihak keamanan
Malam ini masih sama seperti malam sebelumnya. Mata Shana masih terjaga. Menatap layar laptop yang menyala. Konsentrasi penuh ia cipta, untuk berfantasi ria. Baru saja mengetik paragraf baru dan menghasilkan beberapa kalimat, kepala Shana sontak menggeleng. Dia kembali membaca ulang tulisannya dengan kening berkerut. "Jelek banget," gumamnya yang kemudian menekan tombol hapus. Dengan lemas, Shana mendorong laptopnya dan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Mencoba berpikir rangkaian kalimat apa yang akan ia tuangkan dalam tulisan. Biasanya di jam seperti ini, otaknya bisa berjalan dengan lancar. Namun sayangnya malam ini tidak. Ada hal lain yang mengusik Shana. Yaitu tentang proyek filmnya. Hingga saat ini Shana belum menemukan jalan keluar. Dalam hati yang paling terdalam, dia menginginkan pembuatan film dari adaptasi novelnya terus berlanjut. Ini semua demi karir dan para penggemarnya. Namun Shana seperti terjebak di tengah-tengah jembatan yang diapit dua jurang. Jika dia
"Perselingkuhan." Sialan! Shana mengumpat dalam hati. Handaru Atmadjiwo benar-benar bajingan. Pria itu tahu akan semua masalah yang ia hadapi tetapi memilih untuk menutup mata. Jika Dito membuat ulah maka Ndaru akan menggerakan media dengan menyebarkan berita perselingkuhannya dengan Dito. Artinya Ndaru yang tersakiti dan nama Atmadjiwo tetap bersih. Lalu dirinya akan menjadi manusia paling hina di mata para netizen. "Ini nggak adil." Shana menolak menerima map itu. "Hanya ini satu-satunya cara. Jadi pastikan Dito tidak membuat ulah. Saya izinkan proyek film kamu berjalan dan kamu juga akan menemani Mas Juna di sekolah. Hanya tiga kali satu minggu." Shana tertawa tidak percaya. "Saya pikir Pak Ndaru berbeda dengan Atmadjiwo yang lain, ternyata sama aja." "Apa maksud kamu?" Shana tidak menjawab. Dia meraih map itu dengan kasar dan menandatanganinya, tanpa membaca isinya terlebih dahulu. "Selesai." Shana menutup map itu. "Ada lagi?" tanyanya melipat tangannya di da
Pada dasarnya manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Kadang ucapan akan berbeda dengan isi kepala. Penyesalan tentu ada. Namun sekali lagi apa daya, manusia tetaplah manusia. Jika bukan karena permintaan Juna, tentu Ndaru akan menolak keras untuk tidur di kamar Shana. Masih ada dinding besar yang harus ia jaga. Kesepakatan harus berjalan sesuai dengan perjanjian kontrak. Namun lihat sekarang, ada saja hal yang ingin merusaknya. Awalnya Ndaru hanya akan bertahan sampai Juna jatuh terlelap. Mungkin tiga puluh menit. Namun siapa sangka jika pada akhirnya dia juga ikut jatuh terlelap. Di kamar seorang gadis yang pada awalnya sangat ia hindari. Sepertinya rasa lelah tak bisa lagi Ndaru tahan. Tubuhnya benar-benar membutuhkan istirahat. Beberapa menit sebelum memasuki waktu Subuh, mata Ndaru sudah terbuka. Sudah menjadi kebiasaan sedari dulu. Seperti ada alarm kecil di kepalanya. Begitu membuka mata, keadaan gelap langsung menyapanya. Detik itu juga Ndaru tersadar. Jika ia masih bera
Awalnya, Shana kira dia akan berpura-pura. Memberikan senyum terbaiknya pada semua orang yang menyapa. Awalnya juga, Shana pikir hari ini akan terasa berat. Namun ternyata kenyamanan datang lebih cepat. Menjadi ibu dadakan adalah hal yang tak pernah Shana duga sebelumnya. Seperti sudah resiko karena ia menikahi seorang duda. Namun entah kenapa dia menikmatinya. Apa lagi melihat senyum Juna yang tak pernah sirna. "Kayaknya Mas Juna aja yang bahagia kalau pergi sekolah. Dulu saya malah sering nangis karena harus bangun pagi," bisik Shana pada Suster Nur. Suster Nur tertawa mendengar kata majikannya. "Mas Juna itu pinter, Bu. Dia seneng bisa ditemenin sama ibunya. Umur memang baru dua tahun, tapi Mas Juna sudah bisa mengerti keadaan." Shana membenarkan. Dia kembali melihat Juna dari kejauhan. Tampak berkumpul bersama anak-anak lain dan bermain bersama. Dari jauh, Juna terlihat mencolok karena senyum lepasnya. Berbeda dengan teman-temannya yang masih malu atau bahkan juga menangi
Beberapa hari terakhir, hidup seorang Dito Alamsyah dibuat tidak tenang. Berpisah dengan Shana membuatnya kehilangan. Apa lagi tak lama setelah itu sang mantan melaksanakan pernikahan. Patah hati tentu ia rasakan. Namun sayang, semua ini terjadi karena dirinya seorang. Untuk yang kesekian kalinya, Dito sibuk mengaktifkan nomor baru untuk kembali meneror sang mantan. Dia tidak akan menyerah. Ancaman dari Handaru Atmadjiwo seolah bukan apa-apa. Tidak peduli jika sang mantan sudah menikah dan bahagia, Dito tetap ingin merebut kembali Shana. "Gue laper, Dito." "Pesen makan sana," jawab Dito masih fokus pada ponselnya. Wanita yang sedari tadi bersamanya itu mendengkus. Matanya berputar karena rasa jengah. Dia benci ketika semua orang terdekatnya menjadi tergila-gila dengan Shana Arkadewi. Namun dia juga tidak bisa menahan Dito. Dengan pria itu mengusik Shana, maka rumah tangga Ndaru dan Shana juga akan terguncang. Shella Clarissa masih menaruh dendam pada Shana Arkadewi. Bukan
Rencana pertemuan dengan Darma tidak jadi dilakukan. Ndaru baru mendapat kabar jika Darma tidak ada di kantor. Pria itu berada di Kalimantan bersama Guna saat ini. Sebagai pengusaha asli Kalimantan Timur, tentu namanya sangat berpengaruh untuk keberhasilan kakaknya di sana. Akhirnya, Ndaru memilih untuk putar balik kembali ke kantornya. Namun sebelum itu, dari jauh dia melihat Putri yang berjalan mendekat ke arah mobilnya. Dengan segera, Ndaru meminta supirnya untuk berhenti melaju. Ada apa? Sebelum Putri mengetuk jendela mobil, Ndaru lebih dulu membukanya. Dia menatap Putri yang sudah dekat dengan kerutan di dahi. "Mbak di sini?" tanya Ndaru. Putri mengangguk. "Wakilin Papa rapat. Kamu ngapain mau ketemu Papa?" Ah, ternyata niat Ndaru didengar oleh Putri. Jika sudah begini apa harus Ndaru mengungkapkan niatnya? Apa itu hal yang bijak membicarakan kematian kakaknya yang mencurigakan? "Masuk, Mbak. Kita bicara di dalam." Ndaru membuka mobilnya, meminta Putri untuk dud
"Kenapa Mbak pukul Shana?"Putri menahan napasnya. Dia menekan bibirnya membentuk garis tipis. Warna bibirnya yang merah menyala karena pewarna bibir seolah menunjukkan kekuasannya saat ini. Namun sayang, yang terjadi malah sebaliknya. Ndaru yang tampak mengintimidasi saat ini."Apa maksud kamu?""Saya tau Mbak pukul Shana." Tidak perlu basa-basi. Ndaru langsung pada inti pembicaraan.Putri tersenyum tipis. "Jadi dia ngadu ke kamu?""Jangankan ngadu, tatap mata saya aja dia nggak mau," jawab Ndaru, "Jadi kenapa, Mbak?""Bukan urursan kamu.""Shana istri saya.""Wah... wah...," Putri menatap Ndaru tidak percaya. "Apa kamu baru aja mengakui kalau dia istri kamu?""Jawab pertanyaan saya, Mbak." Tekan Ndaru lagi. "Jangan mengalihkan pembicaraan."Senyum Putri menghilang. Dia menatap Ndaru lekat, mencoba melawan tatapan pria itu. Meski Ndaru tidak menatapnya tajam, tetapi tatapan tenangnya justru menakutkan. Tidak peduli jika dia adalah kakak ipar Ndaru, pria itu tetap setia dengan sikap d
Seperti yang sudah Shana duga. Malamnya tidak berjalan dengan lancar. Tidur karena lelah benar hanya menyapa. Selebihnya mimpi buruk datang seperti perkiraannya. Mimpi buruk yang sangat sulit untuk dilupakan. Kejadian kelam yang terus terbayang-bayang. Sayangnya Shana hanya bisa menyembunyikan. Baginya, tidak ada seorang pun yang bisa memahami keadaan. Shana tidak berlebihan. Melihat bagaimana ibunya pergi untuk selama-lamanya di depan matanya sendiri adalah hal yang paling menakutkan. Jika Shana berkata jika keluarganya hancur, maka itu bukanlah sebuah khiasan. Keluarganya benar-benar berantakan. Dan topeng kuat yang selama ini ia gunakan pun luntur secara perlahan. Setelah mimpi buruk semalam, Shana tak bisa lagi memejamkan mata. Demi mengalihkan pikiran, dia memilih untuk menulis tentu saja. Kali ini bukan untuk seri fantasi kebanggaannya, melainkan curahan kesedihan hatinya. Shana tidak memiliki teman untuk berbicara. Hanya tulisan yang bisa ia tuangkan untuk menenangkan h
"Kamu nangis?" Usaha Shana sepertinya sia-sia. Ndaru jelas menyadari apa yang terjadi. Apa lagi suaranya bergetar tanpa bisa ia tahan. Tak ada lagi gunanya untuk menghindar. Seharusnya Shana tahu jika ia tak akan bisa menyembunyikan apa pun dari pria seperti Ndaru. Shana menarik napas dalam dan mulai mengangkat kepalanya. Menunjukkan wajah sembabnya pada Ndaru. Namun dia juga memberikan senyum tipisnya. "Apa yang terjadi?" tanya Ndaru lagi setelah berhasil melihat wajah Shana. "Saya—" Shana kembali menarik napasnya untuk menahan tangis. "Saya cuma capek. Boleh saya istirahat sekarang, Pak?" Ndaru melepas lengan Shana. Namun bukan berarti dia benar-benar melepas gadis itu. Karena yang selanjutnya Ndaru lakukan cukup mengejutkan. Tangan besarnya terangkat menyingkirkan rambut Shana, memperlihatkan pipinya yang memerah karena tamparan dari Putri. Dengan cepat Shana menghempaskan tangan Ndaru dari wajahnya dan melangkah mundur. Berniat memberi jarak yang tentu sia-sia, kar
Bahagia adalah perasaan yang diinginkan oleh semua orang. Sebisa mungkin manusia akan menghindar dari masalah agar merasakan perasaan indah itu. Namun ternyata tidak semua orang menginginkannya. Ada satu wanita yang terjebak pada dendam masa lalunya. Shana Arkadewi terjebak pada kenyataan yang pahit. Tidak cukup dengan masa lalunya, sekarang Shana justru ikut merusak masa depannya. Yaitu dengan masuk ke dalam keluarga Atmadjiwo. Keluarga yang dulunya sangat ia hindari. Tidak ada pilihan lain. Apa yang sudah terjadi membuatnya mau tidak mau harus bergabung dengan keluarga Atmadjiwo, yaitu dengan menikahi Handaru Atmadjiwo. Putra bungsu yang diidam-idamkan oleh banyak wanita normal di luar sana. Tidak peduli dengan status dudanya, wajah yang terpahat sempurna serta kekayaan yang seolah tiada habisnya tentu menjadi poin utama. Peduli setan dengan anak yang hadir di dunia, Handaru Atmadjiwo tetap menjadi incaran satu Indonesia. Malam itu, setelah Putri pergi dengan amarah, Shan
Di jam sebelas malam, Shana masih berada di kafenya. Secara mendadak dia malas untuk pulang ke rumah karena beberapa alasan. Alasan yang paling masuk akal tentu ia ingin menghindari Ndaru. Bukan hal yang mudah untuk Shana meminta izin untuk pulang terlambat. Lagi-lagi Ndaru mengirim Roro untuk mengawasinya. Hal baiknya, Roro tetap menjaga jarak. Wanita itu memilih untuk memantaunya dari jauh tanpa mengganggu aktivitas Shana. Menolak pun rasanya percuma. Shana sudah tidak punya tenaga untuk berdebat. Intinya, dia sudah malas. Untuk hari ini dia akan membiarkan Ndaru melakukan apa pun yang ia mau. "Mbak Shana pulang aja, biar ini saya yang urus," ujar Ayu saat Shana ingin mengelap beberapa meja. "Nggak apa-apa, Yu. Kamu kerjain yang lain aja biar pulangnya makin cepet." Ayu pun menurut, tidak mungkin dia membantah ucapan atasan. Meski heran, dia tetap bergerak menjauh. Memilih untuk melakukan hal lain sebelum ia menutup kafe malam ini. "Mbak Shana aneh banget malam ini,"
Siang ini, Shana masih bertahan di kantor Ndaru. Pria itu menahannya dengan alasan ingin makan siang bersama anaknya. Padahal dalam hati Shana tahu jika Ndaru hanya ingin mencegahnya kembali bertemu dengan Nendra. Mengenai Nendra, Shana masih tidak mengerti kenapa Ndaru tampak begitu membencinya. Yang Shana tahu, Nendra adalah pria yang baik. Jika memang karena persaingan bisnis, Shana mungkin akan maklum. Namun selama ini ia tidak pernah mendengar ada satu berita yang muncul mengenai Atmadjiwo Group dan Hassando Group yang terlibat konflik. Aneh bukan? "Tadi Shella ke sini?" Shana memecah keheningan. Dia mengaduk makanannya tanpa minat. "Hm," jawab Ndaru sambil mengelap bibirnya dengan tisu. "Ada apa? Saya pikir dia udah nggak berani muncul lagi." Ndaru melirik Juna sebentar dan kembali menatap Shana. "Biar bagaimana pun dia tetap adik ipar saya." Shana tersenyum sinis. Dia merutuki kepolosan Ndaru selama ini. Apa pria itu memang tidak tahu atau berpura-pura tidak
"Tante Shella itu penyihir," ucapnya dengan bergidik. "Mama takut. Mas Juna nggak takut?" "Takut, Ma." Juna menunduk. "Bagus, lain kali kalau ketemu Tante Shella bacain doa aja." Shana tersenyum puas. *** Pintu lift terbuka, sampai di mana lantai ruangan Ndaru berada. Sambutan ramah langsung Shana terima. Ada Gilang serta Fajar yang kompak berdiri untuk menyapa. Shana baru sadar jika tidak ada karyawan perempuan di sekitar Ndaru. "Selamat siang, Bu." "Siang, Mas." Shana tampak ragu untuk bertanya, tetapi dia tetap bertanya pada Gilang. "Pak Ndaru di dalam?" Gilang mengangguk dan menggiring Shana untuk masuk. Awalnya Shana ingin menolak, tetapi sudah terlambat baginya untuk mengelak. Akhirnya Shana memilih untuk mengetuk pintu ruangan Ndaru sekali dan membukanya. Hanya kepala yang Shana perlihatkan. Dia memberikan senyum konyol begitu tatapan matanya bertemu dengan Ndaru. Jangan harap ada senyum balasan, pria itu malah menatapnya datar. Melihat itu, Shana menari
Shana kembali di hadapkan dengan kepanikan. Pesan Ndaru yang berisi titah untuk segera pulang bukanlah akhir dari serangan. Roro, wanita yang setia mengawalnya membelokkan mobilnya memasuki area gedung utama kantor Atmadjiwo Group. Seketika rasa gelisah kembali menyapa. "Kita ke sini, Ro?" tanya Shana hati-hati. "Iya, Bu. Pak Ndaru ingin bertemu." Mobil pun berhenti di depan lobi. Shana melirik Juna yang asyik bermain mobil-mobilan. Sepertinya anak itu belum sadar di mana dirinya saat ini. "Kita pulang aja, Ro. Nanti di rumah aja saya ketemunya sama Bapak." Roro menggeleng dan turun dari mobil. Dia membuka pintu mobil belakang, meminta Shana untuk turun. Roro mungkin bekerja untuk mengawal Shana, tapi jangan lupa jika ia bekerja di bawah perintah Handaru Atmadjiwo. Apa lagi setelah tragedi Dito yang kembali mengganggu Shana, Ndaru tidak akan membiarkan Shana pergi sendiri. Harus ada Roro di sisinya. "Ma, kita di mana?" Shana menoleh dan tersenyum manis. "Kita di kantor
Shana harus memanfaatkan waktunya dengan baik. Sebagai seorang ibu, dia tetap mengutamakan kewajibannya untuk menjaga Juna. Seperti saat ini. Meski hanya Ibu Sambung, tetapi Shana dengan tulus menyayangi Juna. Anak itu terlalu menggemaskan untuk diabaikan. Memang Shana tidak menyukai keluarga Atmadjiwo, tetapi tidak dengan anak itu. Juna terlalu polos untuk mengetahui betapa kejamnya dunia. "Mama! Aku dapat bintang lima dari Miss Alin," teriak Juna sambil berlari ke arahnya. Jam pulang sekolah telah usai. Seperti biasa, Shana yang akan menemani Juna selama bersekolah. "Wah, Mas Juna pinter banget." Shana bertepuk tangan senang. Memberi apresiasi yang memang pantas ditujukan untuk Juna. "Tadi bikin gambar sapi," ucap Juna dengan gerakan tangannya. "Mana? Mama mau lihat." Shana berjongkok untuk menyamakan tigginya dengan Juna. Dengan gerakan yang menggemaskan, anak itu membuka tasnya dan mengeluarkan buku gambarnya. Di usia dua tahun ini, Shana melihat jika Juna cuku