Pernikahan memang suci. Bisa ada karena rasa cinta yang memiliki. Mengikat dua manusia yang saling mencintai. Berharap akan masa depan yang saling melengkapi. Namun, kadang kala permasalahan hidup tak bisa dihindari. Datang tanpa diminta silih berganti. Membuat manusia hanya bisa menyerahkan diri. Mencari jalan keluar tanpa berpikir dengan jernih. Termasuk dengan mempermainkan pernikahan. Shana tahu jika apa yang ia lakukan adalah perbuatan yang tidak baik. Namun hanya ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan semuanya. Mengatasi semua masalah-masalah yang datang karena aksi nekatnya. Bahkan Shana harus menunda proses produksi sequel film-nya karena berita menghebohkan itu. Tentu kerugian harus dihindari. Apa lagi hubungannya dengan sutradara Dito Alamsyah sangat tidak baik. Ingatkan Shana untuk meminta pergantian sutradara nanti. "Selamat datang, Bu." Lamunan Shana buyar ketika Gilang berbicara. Pria itu membuka lebar pintu rumah yang baru pertama kali Shana kunjungi.
Tidur Shana kali ini benar-benar nyenyak. Hanya dua jam tetapi mampu membuat tubuhnya kembali segar. Setelah bangun, dia mulai membereskan semua barang-barangnya. Shana membongkar kopernya sendiri tanpa menunggu bantuan asisten rumah tangga seperti kata Gilang. Hanya beberapa koper. Shana bisa mengatasinya sendiri. Dia bukan tipe orang yang harus dibantu untuk melakukan hal yang bisa ia lakukan. Entah berapa jam Shana berkutat. Tanpa terasa langit sudah mulai gelap. Seharian dia mengunci diri di kamar. Memindah beberapa perabotan yang tidak cocok di pandangan. Meski hanya satu tahun, Shana akan membuat kamarnya menjadi tempat ternyaman. Hanya di kamar ini dia bebas melakukan apa pun yang ia inginkan. Dering ponsel berbunyi. Shana meraih ponselnya dan melihat nama kakaknya di sana. Mendadak dia mendengkus kesal. Ini sudah ke-7 kalinya Erina menghubunginya. Sepertinya gadis itu masih khawatir dengan dirinya yang tinggal bersama Handaru Atmadjiwo. "Ada apa lagi, Mbak?" "Kenapa
Seperti biasa, Shana kembali terbangun malam ini. Kebiasaan yang cukup membuatnya lelah. Kebiasaan yang mengingatkannya akan masa remajanya yang kelam. Kebiasaan yang mengingatkannya akan rasa kehilangan yang begitu menyesakkan. Yaitu ketika ibunya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. "Mama," gumam Shana memeluk gulingnya erat. Jika ada Erina, mungkin kakaknya yang akan ia peluk. Namun saat ini, di rumah ini, Shana tidak memiliki siapa pun. "Ma," gumam Shana lagi berusaha untuk menutup mata. Biasanya Shana bisa melewati malamnya dengan baik. Namun entah kenapa kali ini berbeda. Mungkin karena banyaknya masalah yang ia hadapi dan malam ini adalah puncaknya. Lalu yang ada air mata mulai jatuh dengan sukarela. Berusaha kembali tidur hanya akan menyiksa diri. Shana harus sibuk dengan sesuatu agar pikirannya teralihkan. Akhirnya dia memutuskan untuk bangkit. Ternyata jam masih menunjukkan pukul satu dini hari. "Oke, Shana. Lo nggak boleh cengeng," ucapnya memberi sem
Sejak kemarin, Ndaru sudah menempati ruangan kerja Guna di kantor utama. Meski belum resmi menggantikan posisinya, tetapi dia sudah mulai bekerja di sana. Selagi menunggu waktu Guna kosong untuk serah terima jabatan, Ndaru akan belajar beradaptasi. Menjadi pemimpin tidak serta-merta membuatnya bersikap arogan. Biar bagaimana pun Ndaru tetaplah orang baru yang harus menyesuaikan diri dengan budaya kerja yang ada. Seperti saat ini, Ndaru tidak hanya memiliki Gilang yang membantunya. Melainkan ada sekretaris Guna di kantor yang akan bekerja untuknya. Namanya Fajar, sudah bekerja cukup lama untuk kakaknya. Mendengar bagaimana kinerja Fajar dari mulut Guna, Ndaru memutuskan untuk tetap mempekerjakan pria itu. "Ini laporan keuangan yang Bapak minta untuk dua bulan terakhir," ujar Fajar. "Terima kasih." Ndaru mulai membacanya. Kemampuan analisisnya cukup bagus, membuatnya bisa mencari titik lemah yang harus diperhatikan. "Ada keluhan dari para pemilik saham? Saya lihat grafik saham
"Saya butuh privasi untuk keluarga saya." Ndaru mengungkapkan alasannya. "Jika ada kepentingan untuk masuk ke dalam rumah, pastikan hubungi Bibi Lasmi terlebih dulu." "Siap, Pak!" jawab mereka kompak. Toh selama ini untuk tempat tinggal satpam dan sopir memang berada di sisi lain rumah. Berbeda dengan bangunan rumah utama. "Kalian boleh kembali." Setelah para satpam dan sopir berlalu, Gilang berjalan mendekat. "Sebelum pulang, ada yang Pak Ndaru butuhkan?" Ndaru menggeleng. "Saya mau istirahat. Kamu boleh pulang." "Baik, Pak. Saya permisi." Tanpa menunggu Gilang, Ndaru langsung masuk ke dalam rumah. Kakinya tidak langsung melangkah. Dia justru menatap keadaan ruang tamu yang sudah gelap dengan pandangan hampa. Rasanya bukan seperti rumah. Ada sesuatu yang kurang. Namun Ndaru tidak tahu apa itu. Saat akan menaiki tangga menuju lantai dua, Ndaru mendengar suara berisik dari dapur. Tidak ada rasa khawatir atau pun takut. Dia sudah tahu siapa pelakunya. Benar dugaannya, d
Perubahan hidup memang tak bisa dihindarkan. Apa lagi setelah pernikahan. Namun pada kenyataan, tidak ada banyak perubahan. Pada kasus Ndaru dan Shana, semuanya berjalan sesuai kesepakatan. Hari ini Shana bangun jam 11 siang. Dia baru saja memejamkan matanya setelah subuh. Waktu tidurnya benar-benar buruk. Apa lagi setelah tinggal di rumah Ndaru. Kemewahan yang ada belum memberikan ketenangan yang ia damba. Baiklah, Shana akan sedikit meralatnya. Ternyata ada perubahan signifikan yang ia rasakan setelah berada di rumah ini. Dia tidak lagi perlu melakukan pekerjaan rumah seperti saat ia tinggal sendiri. Itu adalah salah satunya, karena sebenarnya masih banyak kebiasaan yang tak lagi ia lakukan. Sambil bersenandung, Shana menuruni anak tangga. Sesekali tangannya bergerak untuk membetulkan kacamata yang bertengger di wajahnya. Sebenarnya pandangan Shana tidak terlalu buruk, hanya saja matanya akan terasa panas tanpa kaca mata. Mungkin karena sudah terbiasa menatap layar laptop sel
Shana pikir dia akan berangkat sendiri malam ini. Namun ternyata Ndaru datang menjemputnya. Entah di mana pria itu bersiap, yang pasti Ndaru datang dengan penampilan yang sudah rapi dan wangi. Harus Shana akui jika pria itu cukup memerhatikan penampilannya. Meski usia tidak bisa berbohong, tetapi Ndaru bisa bersaing dengan anak muda lainnya. Bedanya, pria itu benar nyata berwibawa. "Keluarga Bapak hadir semua?" tanya Shana memecah keheningan di dalam mobil. "Hm," jawab Ndaru dengan dehaman. Pria itu sedang tidak sibuk. Dia hanya duduk bersandar sambil memejamkan matanya. "Ada para media juga, Pak?" "Ada beberapa." Ndaru membuka matanya sambil memperbaiki posisi duduknya. "Saya nggak ngapa-ngapain di sana, kan, Pak?" Shana meringis tipis. Jujur, dia kurang percaya diri. "Bu Shana cukup tersenyum dan mendampingi Pak Ndaru," jawab Gilang yang duduk di samping sopir. Shana lega mendengarnya. Dia beralih pada Ndaru yang menatap jalanan. Wajahnya begitu datar, Shana sampai t
Rasa gugup Shana menguap. Setelah lima belas menit dia berhasil menguasai dirinya. Apa lagi saat dia berada di satu meja bersama keluarga Atmadjiwo. Tentu dia tidak boleh menunjukkan kegugupannya. Sialnya lagi, di samping kirinya duduk Harris Atmadjiwo, mertua yang membencinya. Namun jangan kira Shana akan terintimidasi. Justru dia tidak takut sedikit pun pada pria itu. "Lihat anak saya, pasti kamu senang bisa menikah dengan anak saya," bisik Harris pada Shana. Saat ini mereka semua memang tengah mendengarkan pidato Ndaru setelah menerima jabatan dari kakaknya. Shana menunduk dan memutar matanya jengah. Bagaimana bisa dia takut dengan Harris jika tingkah mertuanya itu sangat menggelikan? "Anak Bapak biasa aja. Apa hebatnya?" ejek Shana. Hal itu berhasil membuat Harris menoleh. "Seharusnya kamu bersyukur. Nggak mudah jadi keluarga Atmadjiwo," ucapnya diikuti dengan wajah galaknya. "Saya lebih suka jadi keluarga Elon Musk, sih, Pak. Nanggung banget cuma jadi keluarga Atma
Hari ini Ndaru benar-benar membuat langkah yang berbeda. Bukan kali pertama, tetapi Gilang sadar jika ada banyak hal di kepalanya. Hanya saja Ndaru memilih untuk menyimpannya. Menguburnya sendiri, menikmati tekanannya yang luar biasa. "Sudah jam sembilan malam, Pak." Ndaru yang sedang melamun sambil memutar cangkir kopinya pun menoleh. "Kamu boleh pulang dulu." Bukan ini yang Gilang inginkan. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu atasannya itu hingga memilih untuk menyendiri seperti ini. Biasanya hidup Ndaru selalu monoton. Bekerja, pulang, lalu bermain bersama Juna. Begitu seterusnya setiap hari. Namun hari ini berbeda. Ndaru tidak fokus bekerja, dia bahkan tidak langsung pulang, malah berakhir di kafe kopi lokal ternama. Tidak ada yang ia lakukan selain berdiam diri. Aneh. Handaru Atmadjiwo memang pendiam. Namum bukan diam yang seperti ini. "Bapak bisa cerita kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran Bapak." Ndaru menggeleng pelan sambil menyesap kopinya. "Nggak
Kesibukkan benar-benar terasa. Untuk mengurus banyak hal yang ada di depan mata. Apa lagi pemilihan umum sebentar lagi tiba. Debut perdana keluarga Atmadjiwo harus benar terlaksana. Bukan sekedar tes ombak semata, Guna Atmadjiwo harus bisa mendapatkan jatah kursinya. Banyak uang yang sudah mereka keluarkan. Serta janji yang mereka berikan. Semua itu mereka korbankan. Demi Guna bisa menjadi anggota dewan. Semua orang sibuk dengan itu. Namun tidak dengan Handaru. Banyak sekali hal yang ada di kepalanya. Membuatnya untuk kali ini saja melenceng dari prinsip hidupnya, yang harus sempurna. Ndaru melarikan diri. Keputusan diambil secara tiba-tiba. Membuat Gilang, sang asisten menggelengkan kepala. Rapat penting bersama keluarga mendadak ditunda. Mengingat Ndaru memilih untuk pergi ke tempat yang tak terduga. Pemakaman. Setelah kembali ke Jakarta, ini pertama kalinya Ndaru mengunjungi makam almarhum Farah. Entah kenapa kemarahan Shella waktu lalu tiba-tiba mengusiknya. Mengang
"Sialan!" Erina melempar bantal sofa. "Yang itu nggak perlu diperjelas." Shana menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di sofa. Dia menatap lampu kristal dengan tatapan menerawang. "Gue nggak bisa gini terus, Mbak." "Gue udah sering minta lo buat berhenti. Lupain semuanya." "Udah setengah jalan." Shana tersenyum kecut. "Keluarga kita hancur dan itu karena mereka." Erina menggenggam tangan Shana erat. "Keras kepala, persis kayak Mama." "Boleh gue minta tolong?" Shana menegakkan duduknya. "Apa?" "Ajak gue keluar. Gua mau ketemu Mas Nendra. Pak Ndaru larang dia buat jenguk gue kemarin." Shana mengetahuinya dari sosial media. Ternyata Nendra menjenguknya kemarin. Hanya saja pria itu tidak menemuinya. Sudah dipastikan Ndaru yang melarangnya, atau bahkan mengusirnya. "Kalau Ndaru tau dia bisa ngamuk." "Jangan sampai dia tau." "Roro gimana?" "Kita kabur." Shana mulai berdiri. Erina menggeleng pasrah. "Pantes aja Ndaru kasih pengawal. Tingkah lo emang
Seperti hari sebelumnya, suasana pagi di kediaman Putri tampak sepi. Tampak berbeda setelah sang kepala keluarga pergi. Meninggalkan rasa dingin di setiap sisi. Tak hanya rumah melainkan juga isi hati. Beruntung Putri tidak sendiri. Ada Ayah yang selalu menemani. Memberikan perhatian penuh pada anak yang ia sayangi. Yang kadang Putri abaikan karena ingin memilih sendiri. Dari luar memang Putri terlihat begitu kuat. Pulihnya luka berangsur sembuh dengan cepat. Namun sayang itu hanya topeng sesaat. Begitu ia sendiri, dia kembali menjadi Putri dengan kesedihan yang dahsyat. "Mama udah bangun?" Darma menggendong Satria untuk turun menuju ruang makan. Cucunya masih terlihat mengantuk dengan baju tidurnya. "Nggak tau. Mama nggak ada tadi," adu Satria. "Mungkin Mama udah di bawah." Ternyata perkiraan Darma salah. Tidak ada Putri di ruang makan. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak tahu keberadaannya. Pagi tadi, Satria memang menemuinya karena ibunya yang mendadak tidak ada.
Shella Clarissa. Wanita itu berada di sini. Mungkin sudah lelah karena Ndaru yang tak menggubris panggilannya. "Bawa Mas Juna masuk." Ndaru mematikan kompor dan memberikan Juna pada Bibi Lasmi. Ketegangan ini tak boleh didengar oleh anak itu. "Siapa, Mas?" tanya Shella berjalan mendekat. Wajahnya sudah memerah menahan marah. "Shel—" "Aku yang pengganggu?" Shella dengan beraninya memotong ucapan Ndaru. Ndaru memilih untuk kembali menutup mulut. Bukan berarti takut, tetapi dia tidak mau beradu argumen dengan orang yang sudah emosi. Baiklah, dia memang salah. Namun semuanya sudah terlanjur, bukan? "Shella, bukan begitu." Gilang menarik Shella yang semakin dekat dengan Ndaru. "Bisa-bisanya Mas Ndaru bilang gitu," geram Shella. "Harusnya aku yang marah. Mas Ndaru ke mana kemarin? Mas lupa acara pengajian Mbak Farah?!" "Ada hal yang harus saya lakukan." Tanpa diduga Shella tertawa. "Apa itu lebih penting dari Mbak Farah?" Tentu saja kegaduhan itu dapat didengar
Pagi kali ini terasa berbeda. Kata sapa terdengar lembut di telinga. Senyum tipis juga terasa sedap di mata. Aura ketenangan itu begitu terasa. Kala sang tuan rumah mendadak memasak dengan sendirinya. Aneh. Pemandangan yang jarang untuk dilihat. Bahkan bisa dikatakan tak pernah terlihat. Bisa dihitung dengan jari Bibi Lasmi melihat atasannya itu menyentuh spatula. Benar-benar pemandangan yang patut diabadikan. "Ibu biasanya pinggiran rotinya dipotong, Pak." Bak seperti komandan, Bibi Lasmi tampak memandu dari belakang. Melihat bagaimana dua manusia yang berbeda usia itu tampak serius dengan apa yang dikerjakan. "Biar Papa yang potong." Dengan sigap Ndaru menjauhkan pisau dari tangan Juna. "Nggak mau! Mau potong-potong juga!" Juna mulai merengek. Ndaru menyerah dan memberikan pisaunya. Bukan sepenuhnya memberi, karena dia ikut menuntun tangan anaknya agar lebih berhati-hati. Bibi Lasmi kembali melirik dari belakang. Melihat bagaimana dua pria itu tengah fokus pa
Di dalam lift, Ndaru mulai menarik napas dalam. Dia menatap pantulan Nendra dari kaca lift. "Apa maksud Anda?" tanya Ndaru pada akhirnya. Nendra, pria itu juga menatap Ndaru dari kaca. Senyum tenang ia berikan. "Saya mau jenguk Shana." "Shana tidak bisa dijenguk..." Ndaru menggantungkan kalimatnya dan mulai menoleh pada Nendra, "Terutama oleh Anda." Nendra terkekeh. "Saya tau, karena itu saya muncul di depan kamera." "Kalau begitu, sebaiknya Anda pergi." Nendra kembali menggeleng. "Saya mau lihat kondisi teman saya." "Teman yang Anda maksud itu istri saya." Nendra menggelengkan kepalanya pelan. "Sebenarnya ada apa, Ndaru? Kenapa kamu melarang saya menemui Shana? Semua orang tau kalau Shana lebih dulu mengenal saya dari pada kamu." Pintu lift terbuka. Sebelum keluar, Ndaru menyempatkan menatap Nendra sekali lagi. "Jangan bertingkah bodoh. Kita berdua tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan satu lagi, siapa peduli dengan siapa yang mengenal Shana lebih dulu. Saat ini, S
Setiap omelan yang masuk ke telinga ia abaikan. Tidak menganggapnya sebagai beban. Berbeda dengan pria yang duduk di depan. Tampak was-was takut jika ada perdebatan. "Kalau nggak ada yang penting, aku tutup teleponnya, Mas." "Ndaru! Kamu itu, ya! Jang—" Dan panggilan pun benar-benar terhenti. Bukan karena terputus, melainkan Ndaru sendiri yang mematikannya. Membuat Gilang yang duduk di depan menghela napas kasar. "Jangan diangkat kalau tidak penting," ujar Ndaru mengembalikan ponsel Gilang. "Mana bisa, Pak?" gumam Gilang pelan. Semenjak perjalanan pulang, Ndaru memang mematikan ponselnya. Bukan tanpa alasan. Kepergiannya yang mendadak tanpa mengabari Guna tentu menimbulkan kehebohan tersendiri. Apa lagi Guna sudah menyiapkan makan malam di sebuah Hotel untuk Ndaru. Begitu sampai di Jakarta, ponsel Gilang lah yang menjadi korban. Guna menghubunginya meminta penjelasan. Yang pada akhirnya juga tak mendapat jawaban. Seperti biasa. Ndaru dan tingkah tak terduganya membuat o
Shana menatap Roro bingung. Bukankah kemarin Ndaru berkata akan mengizinkan Dito menjenguknya saat berada di rumah sakit? Namun yang ia lihat sekarang tampak berbeda. "Ro?" panggil Shana bingung. Dengan tegas Roro kembali menggeleng. "Bapak tidak mengzinkan Pak Dito untuk menjenguk Ibu." "Apa kata lo?!" Dito menatap Roro kesal. "Lo lama-lama ngeselin, ya? Ndaru sendiri yang bilang kemarin katanya gue boleh jenguk Shana!" "Bawa dia keluar," perintah Roro pada dua pengawal yang berjaga. "Oke... oke gue keluar!" Dito berhenti memberontak dan mengangkat kedua tangannya, membuat dua pengawal itu perlahan melepasnya. Namun satu detik kemudian, Dito nekat kembali memaksa masuk membuat Shana membulatkan matanya. Dia meringis melihat Dito yang ditahan oleh dua pengawal berbadan besar. "Berhenti." Shana akhirnya berbicara. Mendadak dia tak tega melihat Dito yang dibohongi oleh Ndaru. Apa lagi pria itu yang menolongnya kemarin. Ditambah dengan luka ditangannya? Shana tidak sejahat it