Terbayang-bayang terus pesan yang ditulis oleh rima meski aku sudah berusaha untuk tidur dan menenangkan diri. Terngiang di telingaku tentang perkataan kalau aku merampas harta suami dan memamerkannya ke orang. Aku berpura-pura jadi istri demi mendapatkan harta dan membagikannya ke anak-anakku, aku berpura-pura bahagia dan baik demi harta. Serendah itukah dia menilai diri ini yang telah memilih menikah lagi? Padahal kalau aku sudah menikah harusnya dia bahagia, karena dengan begitu aku dan suaminya tidak akan punya alasan untuk berjumpa karena sibuk dengan keluarga masing-masing.Harusnya aku tidak terpengaruh dan anggap saja kalau perkataan Rima adalah perkataan orang gila, tapi tetap saja itu terbayang dan menyakitkan perasaan. Dia bilang kalau dia lebih berkelas dariku dan lebih pantas bangga karena sejauh ini pencapaian hidupnya ia dapatkan sendiri bukan dari hasil memeras suaminya. Dia bekerja, katanya ia berusaha, berbeda denganku yang hanya bangga dari harta pinjaman. Oh, Tuhan
Dari sekian panjang ujian dan waktu yang sudah bergulir, dari banyaknya luka dan sakit hati yang kualami aku belum pernah melabrak Rima untuk menjambak dan menyakitinya. Aku pernah menamparnya dua kali tapi itu tidak dalam konteks aku yang datang dan sengaja ingin melakukan itu. Tidak akan kutampar seseorang kecuali dia melakukan sesuatu yang berlebihan dan sudah di luar batas.Ku pilih waktu di malam hari untuk pergi mengendarai mobilku dan meluncur ke rumahnya. Aku yakin juga kalau malam hari Mas Faisal ada di sana sehingga dia bisa menjadi saksi dan melihat apa yang terjadi.Aku merekam percakapanku dengan suami pagi tadi dan akan kuperdengarkan kepada Mas Faisal sebagai bukti bahwa istrinya memang bermulut jahat dan sengaja mengadu domba antara hubunganku dan suami. Aku yakin Faisal tidak akan senang kalau Rima melakukan itu padaku. Apa untungnya bagi Faisal? Lagi pula sikap rima yang keterlaluan bukanlah alat yang bagus untuk memisahkan aku dan rusdi hingga Faisal bisa kembali pa
Wanita itu menjerit, bak kesurupan, dia menangis sambil berusaha mengais udara karena dadanya yang sesak terbentur, Mas Faisal panik dan berusaha menolong sementara si tukang fitnah itu makin menjadi jadi saja dramanya. "Ouh, aku sesak mas, a-aju akan mati," ujarnya penuh drama, ia meremas baju Mas Faisal dengan napas terengah. Aku tertawa melihatnya bersandiwara."Hmm, untung bukan aku yang mendorong, kalau aku yang dorong pasti kamu akan makin menjadi," ucapku sambil menyilangkan tangan. Wanita itu tak menjawab, ia kesulitan bernapas, rambutnya yang panjang tergerai dan wajahnya yang bekas cakaran membuat dia menyeramkan."Aku akan menuntutmu," ancamnya."Silakan, aku juga membawa bukti," jawabku.Merasa bahwa situasi makin tidak kondusif, mas Faisal memohon padaku agar aku segera pulang."Mutia, aku mohon kau pulanglah karena situasi di sini tidak kondusif, kalau putraku pulang dia pasti akan menghajarmu karena kau memperlakukan ibunya seperti ini....""Kau pikir aku akan takut pa
Kuhela napas, kupandangi cakrawala yang berwarna jingga, kuperhatikan burung-burung terlihat berterbangan menuju sarang sebelum hari benar benar petang. Angin bertiup, mempermainkan ujung jilbabku dan mengibas rambut putraku yang juga terdiam menatap langit senja.Cukup, aku juga akan bertanya lagi tentang pandangan dia pada keluarga ayahnya. Anak-anakku sudah terluka banyak kepada keluarga ayah mereka, aku juga bisa menangkap kecewaan dalam mereka kepada ayahnya yang tidak bisa bersikap tegas dan mengendalikan istrinya. Hubungan kami benar-benar sudah seperti benang kusut yang tidak bisa diurai.Lelaki itu juga suka melenceng jauh dari komitmennya yang dulu berjanji tetap akan memperhatikan anak dan menafkahi. Ya bilang dia akan meluangkan waktu dan bertanggung jawab pada pendidikan putra-putri kami tapi tidak ada satupun dari janjinya yang ditepati. Memberi nafkah tapi itu hanya di bulan pertama dan kedua setelah perceraian. Itupun juga tidak banyak.Dulu kami punya kontrakan yang
"Om, maaf, ini namanya penekanan dan pengancaman terselubung, Om....""Diam, kumohon diamlah, agar suasana tidak jadi keruh, anak muda jangan ikut campur urusan orang tua. Duduk manis dan fokus saja belajar," ujar Mas Rusdi.Entah khodam apa yang dipakai suamiku hingga setiap kali bicara dengan orang dia pasti disegani dan dihargai ucapannya. Reno terdiam dan nampak malu sekali, ia menunduk, ingin bicara tapi segan dia pada suamiku. Ketiga orang itu kini menunduk dan tersudutkan."Aku mohon agar masalah antara kita bisa selesai, jangan ada fitnah dan cemburu, jangan ada curiga dan saling tuduh.""Tapi...." Rima ingin bicara tapi Mas rusdi mengangkat jari telunjuknya untuk mencegahnya."Terutama kau! Kau yang paling biang kerok di sini. Kau selalu cari ribut dan bikin malu!" kali ini penekanan suamiku sangat keras."Aku mendiamkanmu, bukan aku pura pura tak tahu, aku hanya menunggu sampai kau sadar sendiri. Tapi ternyata itu mustahil...."Wanita itu mendecak sambil menggigit bibir, ia
Merasa sangat direndahkan dengan semua ucapan Mas Rusdi kedua pasangan suami istri itu seolah babak belur dan tidak mampu melawan lagi. Mereka hanya menunduk sambil terus mengucapkan maaf dan nyaris saja menangis."Baiklah sekali lagi aku ingin bertanya, apa kalian benar-benar ingin menyudahi konflik di antara kita!""Ya.""Mau berdamai?""Iya.""Apa kalian menyesali semua perbuatan kalian selama ini kepada istriku dan anak-anakku?""Ya.""Bagus, tapi aku rasa kau kurang tulus Nyonya Rima.""Apa?" Wanita itu terbelalak dan nampak kesal sekali pada suamiku." ... Memangnya saya harus bagaimana agar saya terlihat tulus?""Bersujudlah pada istriku dan minta maaf, dengan demikian itu menunjukkan kalau kau benar-benar punya iktikad baik mau damai dengannya dan bertobat.""Apa? Dan berlebihan sungguh aku tidak sedih bersujud di hadapannya dan mengapa juga aku harus bersujud memangnya dia Tuhan!?""Kau sudah merendahkannya selama bertahun-tahun dan membuat dia sering menangis jadi untuk mend
Seminggu setelahnya,Kehidupan kami berjalan baik dan terasa begitu damai dan menyenangkan tanpa rasa was-was dan khawatir. Aku merasa bebas bisa berjalan ke mana saja tanpa memikirkan siapa yang akan memperhatikan dan membicarakanku, kehidupanku rasanya lega dan bahagia sekali.Kujalani bisnisku dan kegiatanku sebagai ibu rumah tangga dengan bahagia dan sepenuh hati. Aku juga mengunjungi anak sambungku yang sedang bersekolah di Malaysia selama 5 hari bersama ayah mereka, kami habiskan waktu untuk berkumpul dan bersenang-senang, pergi jalan-jalan dan menikmati kuliner lalu malam harinya kami akan memasak dan makan malam di rumah. Nanda dan Nindy sangat senang dengan kedatangan kami.Pun anakku yang tinggal bersama kami di Indonesia, mereka juga makin lancar dengan kuliah dan pekerjaannya masing-masing.Tiba-tiba tercetus keinginan suamiku untuk menambah anak lagi, dia bilang dia rindu anak kecil dan ingin menimbang bayi, itu membuatku langsung terkejut dan menggelengkan kepala. "Tid
Saat mereka pulang, mereka terlihat lesu dan langsung duduk di sofa ruang tamu dalam keadaan terdiam dan hanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mereka nampak murung meski aku berusaha mengeluarkan keceriaan dan mengalihkan mereka dengan mengajaknya makan."Umi menyesal dengan apa yang terjadi, umi pikir setelah 6 bulan tidak berjumpa, mereka akan merindukan kalian dan situasinya akan mencair. Maafkan karena Umi lah yang bersalah membiarkan kalian pergi....""Tidak ini salah kami, kamilah yang mau ke sana. Kami antusias, kami rindu dan ingin jumpa Tante dan Om, juga sepupu kecil kami, tapi kami hanya diabaikan." Rena mengeluh sambil mendesah pelan."Selama dua puluh tahun lebih bersama ayah, kami dapatkan kasih sayang, kami dapatkan apa saja yang kami inginkan, ayah memanjakan dan menuruti kami, tapi sekarang ayah berubah dan memperlakukan kami seperti orang asing." Heri hanya memijit kepala saat mengatakan itu."... ia sama sekali tidak bereaksi saat Tante Rika menolak kami. Ia