Setelah aku bujuk dengan banyak cara akhirnya ketiga putra-putriku mau pergi melihat wanita yang telah menghina mereka di siang hari, lalu malam harinya dia mengharap kehadiran cucunya. Lucu sekaligus memalukan."Kalau bukan karena Umi yang mendesak kami maka aku sama sekali tidak mau lagi bertemu dengan nenek. Aku tidak menyangka nenek yang tadinya begitu sayang dan lemah lembut berubah menjadi kasar dan mencela Umi sedemikian rupa.""Kebencian nenek kalian hanya kepada Umi bukan kepada kalian, jadi tolong jenguk dia dan tenangkan perasaannya. Mungkin hipertensinya kumat karena terlalu marah kepada umi siang tadi, jadi tolong jenguklah nenek kalian karena bagaimanapun tanpa dia kalian tidak akan hadir di dunia ini."Ketika anakku mendecak dan tidak setuju tapi mereka tidak punya pilihan untuk menolak. Mereka mau mengunjungi neneknya dengan syarat kalau aku juga harus ikut. "Janganlah, umi sudah tidak punya hubungan dengan mereka.""Rasa berat yang ada di dalam hati umi juga kami
Sepanjang jalan dari rumah sakit, semua orang membungkam di mobil, situasi seperti ini saya akan terulang kembali seperti ketika pertama kali aku bertemu dengan rima dan Reno, menegangkan, kelabu dan penuh kesedihan. Anak anak tak mau bicara, mereka hanya menatap sendu ke luar jendela.Aku ingat betul perkataan Mas Faisal sebelum kamu keluar dari ruang perawatan tadi, dia berteriak dan mengutuk anak-anak yang bersikap sombong karena merasa sudah punya ayah yang kaya. Menurutnya, anak-anak sudah durhaka, sementara di versi anak-anak, mereka hanya mencoba melindungi diri dari semua hujatan dan intiminasi keluarga Mas Faisal."Apa kalian merasa bersalah?" Aku yang menggantikan Heri untuk menyetir membuka percakapan agar suasana di mobil tidak begitu hening."Tentu, tapi itu pembalasan yang pantas untuk perasaan umi," jawab Heri."Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan nenek kalian? Tidakkah kalian merasa tak enak, bukannya dia juga sangat menyayangi kalian""Aku yakin, apapun yang
Terbayang-bayang terus pesan yang ditulis oleh rima meski aku sudah berusaha untuk tidur dan menenangkan diri. Terngiang di telingaku tentang perkataan kalau aku merampas harta suami dan memamerkannya ke orang. Aku berpura-pura jadi istri demi mendapatkan harta dan membagikannya ke anak-anakku, aku berpura-pura bahagia dan baik demi harta. Serendah itukah dia menilai diri ini yang telah memilih menikah lagi? Padahal kalau aku sudah menikah harusnya dia bahagia, karena dengan begitu aku dan suaminya tidak akan punya alasan untuk berjumpa karena sibuk dengan keluarga masing-masing.Harusnya aku tidak terpengaruh dan anggap saja kalau perkataan Rima adalah perkataan orang gila, tapi tetap saja itu terbayang dan menyakitkan perasaan. Dia bilang kalau dia lebih berkelas dariku dan lebih pantas bangga karena sejauh ini pencapaian hidupnya ia dapatkan sendiri bukan dari hasil memeras suaminya. Dia bekerja, katanya ia berusaha, berbeda denganku yang hanya bangga dari harta pinjaman. Oh, Tuhan
Dari sekian panjang ujian dan waktu yang sudah bergulir, dari banyaknya luka dan sakit hati yang kualami aku belum pernah melabrak Rima untuk menjambak dan menyakitinya. Aku pernah menamparnya dua kali tapi itu tidak dalam konteks aku yang datang dan sengaja ingin melakukan itu. Tidak akan kutampar seseorang kecuali dia melakukan sesuatu yang berlebihan dan sudah di luar batas.Ku pilih waktu di malam hari untuk pergi mengendarai mobilku dan meluncur ke rumahnya. Aku yakin juga kalau malam hari Mas Faisal ada di sana sehingga dia bisa menjadi saksi dan melihat apa yang terjadi.Aku merekam percakapanku dengan suami pagi tadi dan akan kuperdengarkan kepada Mas Faisal sebagai bukti bahwa istrinya memang bermulut jahat dan sengaja mengadu domba antara hubunganku dan suami. Aku yakin Faisal tidak akan senang kalau Rima melakukan itu padaku. Apa untungnya bagi Faisal? Lagi pula sikap rima yang keterlaluan bukanlah alat yang bagus untuk memisahkan aku dan rusdi hingga Faisal bisa kembali pa
Wanita itu menjerit, bak kesurupan, dia menangis sambil berusaha mengais udara karena dadanya yang sesak terbentur, Mas Faisal panik dan berusaha menolong sementara si tukang fitnah itu makin menjadi jadi saja dramanya. "Ouh, aku sesak mas, a-aju akan mati," ujarnya penuh drama, ia meremas baju Mas Faisal dengan napas terengah. Aku tertawa melihatnya bersandiwara."Hmm, untung bukan aku yang mendorong, kalau aku yang dorong pasti kamu akan makin menjadi," ucapku sambil menyilangkan tangan. Wanita itu tak menjawab, ia kesulitan bernapas, rambutnya yang panjang tergerai dan wajahnya yang bekas cakaran membuat dia menyeramkan."Aku akan menuntutmu," ancamnya."Silakan, aku juga membawa bukti," jawabku.Merasa bahwa situasi makin tidak kondusif, mas Faisal memohon padaku agar aku segera pulang."Mutia, aku mohon kau pulanglah karena situasi di sini tidak kondusif, kalau putraku pulang dia pasti akan menghajarmu karena kau memperlakukan ibunya seperti ini....""Kau pikir aku akan takut pa
Kuhela napas, kupandangi cakrawala yang berwarna jingga, kuperhatikan burung-burung terlihat berterbangan menuju sarang sebelum hari benar benar petang. Angin bertiup, mempermainkan ujung jilbabku dan mengibas rambut putraku yang juga terdiam menatap langit senja.Cukup, aku juga akan bertanya lagi tentang pandangan dia pada keluarga ayahnya. Anak-anakku sudah terluka banyak kepada keluarga ayah mereka, aku juga bisa menangkap kecewaan dalam mereka kepada ayahnya yang tidak bisa bersikap tegas dan mengendalikan istrinya. Hubungan kami benar-benar sudah seperti benang kusut yang tidak bisa diurai.Lelaki itu juga suka melenceng jauh dari komitmennya yang dulu berjanji tetap akan memperhatikan anak dan menafkahi. Ya bilang dia akan meluangkan waktu dan bertanggung jawab pada pendidikan putra-putri kami tapi tidak ada satupun dari janjinya yang ditepati. Memberi nafkah tapi itu hanya di bulan pertama dan kedua setelah perceraian. Itupun juga tidak banyak.Dulu kami punya kontrakan yang
"Om, maaf, ini namanya penekanan dan pengancaman terselubung, Om....""Diam, kumohon diamlah, agar suasana tidak jadi keruh, anak muda jangan ikut campur urusan orang tua. Duduk manis dan fokus saja belajar," ujar Mas Rusdi.Entah khodam apa yang dipakai suamiku hingga setiap kali bicara dengan orang dia pasti disegani dan dihargai ucapannya. Reno terdiam dan nampak malu sekali, ia menunduk, ingin bicara tapi segan dia pada suamiku. Ketiga orang itu kini menunduk dan tersudutkan."Aku mohon agar masalah antara kita bisa selesai, jangan ada fitnah dan cemburu, jangan ada curiga dan saling tuduh.""Tapi...." Rima ingin bicara tapi Mas rusdi mengangkat jari telunjuknya untuk mencegahnya."Terutama kau! Kau yang paling biang kerok di sini. Kau selalu cari ribut dan bikin malu!" kali ini penekanan suamiku sangat keras."Aku mendiamkanmu, bukan aku pura pura tak tahu, aku hanya menunggu sampai kau sadar sendiri. Tapi ternyata itu mustahil...."Wanita itu mendecak sambil menggigit bibir, ia
Merasa sangat direndahkan dengan semua ucapan Mas Rusdi kedua pasangan suami istri itu seolah babak belur dan tidak mampu melawan lagi. Mereka hanya menunduk sambil terus mengucapkan maaf dan nyaris saja menangis."Baiklah sekali lagi aku ingin bertanya, apa kalian benar-benar ingin menyudahi konflik di antara kita!""Ya.""Mau berdamai?""Iya.""Apa kalian menyesali semua perbuatan kalian selama ini kepada istriku dan anak-anakku?""Ya.""Bagus, tapi aku rasa kau kurang tulus Nyonya Rima.""Apa?" Wanita itu terbelalak dan nampak kesal sekali pada suamiku." ... Memangnya saya harus bagaimana agar saya terlihat tulus?""Bersujudlah pada istriku dan minta maaf, dengan demikian itu menunjukkan kalau kau benar-benar punya iktikad baik mau damai dengannya dan bertobat.""Apa? Dan berlebihan sungguh aku tidak sedih bersujud di hadapannya dan mengapa juga aku harus bersujud memangnya dia Tuhan!?""Kau sudah merendahkannya selama bertahun-tahun dan membuat dia sering menangis jadi untuk mend