Berkat pertengkaran itu aku dan Mas Faisal jadi berjarak, segera dengan penuh emosi dan nafas yang memburu lelaki itu masuk ke dalam rumah dan mengambil pakaiannya yang ada di kamar. Aku mengikutinya pelan-pelan karena ingin tahu apa yang akan dia lakukan. Ternyata dia mengambil cover dari atas lemari lalu memasukkan sisa pakaian yang ada ke dalamnya.Dengan kasarnya ialah takkan pakaian-pakaian itu dan beberapa aksesoris miliknya ke dalam koper dengan cara sedikit dilempar dengan keras. Botol-botol parfum berdentingan karena dihempaskan olehnya. Aku terdiam sambil berdiri dan menatap semua adegan itu tanpa banyak bicara."Jika ini keinginanmu maka aku akan pergi sekarang juga dari kehidupanmu, tapi jangan pernah kau menyesal!" Entah kenapa dia mengatakannya dengan emosi. Dia masih ingin mencoba mempengaruhi keluarga aku mengubah keputusan dan segera minta maaf padanya. Tapi sayangnya aku sudah tidak peduli lagi. Bagiku semua ucapan dan ancaman itu sudah tidak berguna lagi karena ap
Ya, tepat di penghujung Ramadan, minggu kemarin, palu diketuk tanda bahwa kami sudah sah berpisah, surat cerai telah terbit dan tinggal diambil saja. Di penghujung Ramadan ini aku mendapatkan hadiah kehilangan suami, keluarga hancur dan Hadiah hari raya tanpa orang terkasih. Yang biasanya berlima, jadi hanya berempat saja.Seperti biasa, selalu ada sesi foto keluarga, di mana aku dan Mas Faisal akan duduk di kursi dan ketiga anak kami akan berdiri di belakang dengan senyum bahagia dan baju baru mereka. Tapi kali ini semuanya terasa berbeda dan menyedihkan, aku sendirian duduk di kursi sementara ketiga anakku berdiri dan mengapit diri ini. Ada kepedihan yang sulit kubahasakan di dalam hatiku tapi aku berusaha menahannya dengan senyum. Ada sensasi pilu yang mendesak di lubuk hatiku, tapi tidak lucu rasanya menangis di hari raya sementara semua orang merayakan kemenangan karena sudah berhasil menjalankan ibadah puasa selama 30 hari.Di lubuk hati yang terdalam aku merasa kehilangan da
Kamu masuk ke dalam rumah mertua aku dengan perasaan canggung yang tidak terkira. Ada banyak sekali anggota keluarga dan kerabat serta tetangga dari ayah ibu mertua yang terkenal baik dan ramah kepada lingkungan di sekitarnya.Para iparku berkumpul bersama pasangan masing-masing juga lengkap dengan keponakan, melihatku datang mereka semua yang tadinya tertawa bahagia dan bercanda-canda langsung terdiam dan memperhatikan Mas Faisal beserta istrinya. Nampaknya aku mengerti Kalau mereka mulai merasa tak nyaman dan canggung sekali."Assalamualaikum," ucapku dengan nada suara yang nyaris saja bergetar karena aku sendiri juga tidak tahu harus bagaimana dengan situasi ini."Waalaikumsalam," ucap ayah mertua yang sedang duduk di sisi cucu kesayangannya, Siapa lagi kalau bukan pemuda tampan yang berkulit bening dengan rambut sedikit panjang yang di belah tengah. Dia masih menggunakan perban dan alat bantu di kakinya dan duduk di atas kursi roda.Melihatku dan ketiga saudara kandungnya datang,
Mendapatkan jawaban rima yang begitu arogan aku hanya tersenyum, tersenyum dengan segala rasa lucu yang kini menggelitik hatiku. Dia merasa memenangkan segalanya padahal sebenarnya ...ah, aku tidak akan menyebutnya tokoh antagonis karena yang antagonis di sini adalah mas Faisal.Aku memilih untuk memenangkan diriku, memenangkan hati dan perasaanku. Tidak lagi melayani perdebatan apalagi merusak momen di hari raya."Baiklah, semuanya mohon tenang dan diamlah, ini adalah hari raya di mana kita seharusnya bahagia dan saling memaafkan. Ayo anak anak, kalau kalian sudah selesai bermaafan dengan kaki nenek kalian maka kita harus segera pulang," ujarku pada anak anakku."Lho kok cepat?" Tanya ibu mertua. Aku tahu dia sedikit tidak nyaman karena anak-anak belum makan. Tapi aku tidak mau lebih lama lagi di tempat itu karena itu akan menimbulkan sakit hati yang lebih dalam lagi."Sudah cukup ibu, terima kasih atas kebaikan dan keramahan keluarga ibu. Saya beruntung sekali bisa berada di sini da
Usai makan, kuminta anak-anakku untuk beristirahat meredakan kesedihan hati dan kemurungan yang mereka rasakan. Aku tahu tahun ini kami benar-benar berada dalam situasi yang dilema dan sedih. Anak-anak sedang berada di fase kesulitan menerima kenyataan tapi aku tahu mereka perlahan-lahan akan mengerti. Sulit memang, memaksa keadaan menjadi cepat berubah seperti ini. Dari rumah yang tadinya memiliki imam jadi tidak punya peneduh dan pengayom. satu-satunya tumpuan harapan hanya Heri tapi Herri memutuskan untuk berangkat ke luar negeri melanjutkan program beasiswa S2 yang merupakan kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Sebagai ibu yang baik aku tidak akan menghalangi keinginannya. Tapi jujur aku tidak mau dia pergi ke sana disebabkan bentuk pelarian atas kekecewaan dia kepada ayahnya.Aku masih belum membicarakan rencana jangka panjang tentang kelangsungan anak-anak dan juga rencana Heri, kami terlalu sibuk hingga akhir-akhir ini sering luput dalam kesibukan masing masing.*Menjela
"Ada apa kau ke sini Mas?" tanyaku dengan tatapan dingin."Aku ingin ....""Bukannya tadi kami sudah bersalaman dengan ayah? Untuk apa Ayah mengulang datang lagi?" tanya Felicia."Apa ayah merasa menyesal menyakiti kami, percuma, kami tidak akan memaafkan ayah!" Rena, putriku yang paling sakit hati dan dendam dengan ayahnya nampak tidak mampu menyembunyikan emosinya."Ayah datang ke sini Untuk mengantarkan THR lebaran kalian," ujarnya sambil merogoh saku."Apa sekarang Ayah ingin membeli harga diri kami agar kami mengalah dan menerima pernikahan ayah?" Tanya Rena. " Seberapa banyak uang itu?""Kok kalian jadi begini sama ayah?" tanya Mas Faisal yang berusaha tetap sabar dan tenang, tapi anak anak sudah terlanjur marah."Meski rumah ini adalah pemberian ayah, tapi sungguh kami tidak mau ayah datang lagi. Tolong jangan menyakiti Umi dan adik-adik saya dengan kehadiran ayah.""Ayah masih ada hak lho di sini. Masa Iddah ibu kalian masih tiga bulan lagi!""Tapi itu bukanlah alasan yang pa
"Oh, eh, be-begitu ya?" Entah kenapa sahabatku jadi panik dan gelagapan di hadapanku. Dia terlihat bersalah mengajakku bekerja sementara di sisi lain aku menggeleng di hadapannya agar dia tetap bersikap santai dan tenang-tenang saja."Alhamdulillah aku mendapatkan suami yang romantis dan mapan. Dia memperlakukanku dengan penuh cinta dan memberiku hadiah bertubi-tubi yang tidak pernah kuduga. Tak kusangka dia telah mencintaiku lebih lama dari perkiraanku," ucapnya dengan tawa berderai. Dia memang bicara kepada Puji tapi dia sesekali melirikku dengan maksud untuk menyindir dan menyakiti perasaan ini.Aku mulai bersikap acuh tak acuh juga, tidak perduli dengan semua ungkapan dan curhatan hatinya karena aku memilih untuk sibuk menyusun emas yang ada di display."Oh ya, aku suka cincin yang disusun oleh wanita itu. Coba bawa kemari satu cincin bermata ungu!" Entahnya sambil melirik diriku dengan tatapan yang arogan. Dia tidak menyebutku dengan nama atau apa tapi dia menyebutku dengan kata
"Sebagai wanita yang punya malu dan tahu kalau dirinya pelakor, dia tidak akan searogan dan sombong itu memamerkan aibnya di hadapan orang banyak!" Ujarku dengan nafas memburu, aku mulai emosi dan kesal sekali hingga tidak mampu mengendalikan diriku, saking meluapnya amarah, napasku memburu dan rasanya wajah ini melepuh oleh hawa panas. Aku mulai berada di puncak emosi dan tak takut pada apapun. aku terus memupuk kesabaran dan diam saja sejak tadi tapi wanita itu terus saja menguji pengendalian diriku. Aku sungguh muak dengannya. Beberapa orang mendekati wanita itu dan membantu Dia bangkit, menjauhkan dia dariku yang sedang full energi dan emosi. Mereka mendudukkan rima yang ter batuk-batuk dan memegangi perutnya di sebuah bangku panjang yang diperuntukkan untuk pelanggan."Aku akan melaporkan ke kantor polisi dan memberitahu Mas Faisal bahwa kau sudah jahat sekali.""Oh ya? Kau pikir aku akan gemetar, meski dia mantan suamiku tapi aku tahu persis dia tidak akan menyalahkanku! Co