“Satu latte ukuran medium, please,” pinta seorang gadis cantik bernama Milly saat berada di meja kasir sebuah café yang berada di dekat wilayah perkantoran di kota Manhattan.
“Tunai atau dengan kartu, Nona?” tanya petugas kasir yang melayani pesanan.
“Kartu.” Milly menyodorkan kartu debit yang baru saja dia ambil dari dalam dompet.
Petugas kasir tadi meraih kartu milik Milly, menggeseknya cepat di mesin pembayaran setelah memproses tanda terima pada aplikasi, diakhiri dengan satu lembar struk yang keluar dari print termal. “Silakan kartunya, dan mohon ditunggu sebentar untuk pesanannya. Akan kami panggil sesuai dengan nomor antrian, terima kasih dan datang kembali,” ucap petugas kasir itu ramah.
Milly tersenyum sambil menerima kartunya kembali. “Terima kasih.”
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu oleh Milly Benson, hari pertama masuk kerja. Perjuangannya selama bertahun-tahun untuk menjadi seorang pengacara akhirnya terwujud. Apalagi, firma yang menaunginya sebagai seorang penegak hukum adalah Wardwell Law Firm—salah satu firma hukum besar di Manhattan. Setiap pengacara pasti memiliki impian untuk bisa menjadi bagian dari firma itu, dan Milly adalah salah satu dari mereka yang sangat beruntung.
Kepala Milly menunduk untuk memeriksa halaman sosial medianya. Tidak ada apa-apa sebanarnya, dia hanya membunuh waktu untuk menunggu antrean pesanannya. Tak sengaja, saat Milly mengedarkan pandangannya pada seluruh ruangan café, dia justru melihat hal yang membuatnya mengerutkan kening. Seorang waitress yang membawakan pesanan kopi pada seorang pria baruh baya di meja paling ujung terlihat sangat tidak nyaman.
Milly beringsut ke meja sebelahnya agar bisa melihat kejadian itu lebih jelas. Instingnya sebagai seorang yang bertekad untuk menegakkan hukum di mana saja, membuatnya selalu memperhatikan hal detail yang menurutnya tidak benar, dan raut wajah waitress itu sedikit mengganggunya.
Mata Milly membelalak lebar saat tangan pria paruh baya itu meraba paha waitress yang berjingkat kaget. Kopi yang akan diletakkan di meja terjatuh ke lantai. Genangan kopi hitam membasahi lantai dan menciprat ke sepatu mereka.
“Jalang sialan!” sentak pria paruh baya itu pada waitress yang dengan sigap mengambil pecahan gelas dan meletakkan dengan hati-hati di nampan. “Kau tidak tahu berapa harga sepatuku ini?! Dengan gajimu beberapa bulan saja tidak akan mampu membelinya!”
Waitress tadi terus meminta maaf dan mencoba membersihkan sepatu pria paruh baya itu dengan kain lap yang selalu terselip di apron pinggangnya.
“Jangan sentuh!” Tidak disangka, pria paruh baya itu menendang waitress yang sedang membungkuk di kakinya sampai dia jatuh terduduk.
Milly tidak bisa tinggal diam. Bahkan saat nomor antreannya dipanggil, dia justru melangkah ke arah pria paruh baya itu dan waitress yang tampak sedang menahan tangis.
“Kau tidak apa-apa? Ada yang terluka?” tanya Milly setelah dia berjongkok di sebelah waitress tadi, kemudian membantunya berdiri.
“Hei! Lebih baik kau tidak ikut campur masalahku dengan jalang itu!” sergah pria paruh baya itu sambil menatap remeh pada Milly.
Mata Milly menyipit, kemudian melepas tangannya pada lengan waitress itu dan berjalan maju untuk mendekat ke arah pria paruh baya yang telah berdiri. “Kau menyebut dia jalang?”
Tatapan mata Milly yang mengintimidasi membuat pria paruh baya itu mundur selangkah. “Y-ya! Si jalang itu yang sudah menumpahkan kopi di sepatu mahalku! Kau pasti akan langsung dipecat kalau aku melapor pada pemilik café ini!” sentaknya sambil mengarahkan telunjuknya pada waitress yang mulai gemetaran.
“Kau yang akan mendapat masalah jika masih saja mengganggunya,” ucap Milly kesal. “Aku melihatmu meraba paha gadis itu. Cepat minta maaf sekarang juga!”
Pria paruh baya itu mendelik saat mendengar kalimat terakhir Milly. Sebelah tangannya melayang cepat, mengarah pada wajah Milly. “Kurang ajar!”
“Kau yang harus disebut sebagai pria kurang ajar yang tidak tahu diri!” Tangan Milly menahan tamparan pria paruh baya itu.
“Sudah kubilang jangan ikut campur! Atau kau akan…” Pria paruh baya itu tidak melanjutkan kalimatnya karena Milly sudah menendang tulang keringnya sampai pria itu berlutut dan mengaduh kesakitan.
Beberapa pengunjung café telah berkerumun untuk melihat kekacauan itu, termasuk beberapa waitress lain yang dengan cepat mengamankan rekannya. Sementara seorang berjas rapi dengan wajah tampan menenteng segelas kopi yang baru saja dia ambil di meja pengambilan.
“Mau kubawa kasus ini ke jalur hukum? Aku bahkan memiliki bukti saat kau melecehkan gadis itu di ponselku.” Milly menepis tangan pria paruh itu dan menatapnya dengan gestur menantang.
“Brengsek!” Tanpa diduga, pria paruh baya itu menyerang Milly untuk merebut ponsel yang ada di genggamannya. Dorongan keras pada badan Milly membuat gadis itu terjatuh, tapi masih dengan mempertahankan ponselnya untuk tidak direbut oleh pria paruh baya itu.
“Hah! Kau benar-benar membuat kesabaranku habis, Pak Tua!” seru Milly emosi.
Milly berdiri dengan menggeram kesal. Dia sudah bersiap untuk membalas serangan pria paruh baya itu saat beberapa orang mencoba untuk menghentikannya.
“Lepaskan! Aku harus memberi pelajaran pada orang yang tidak memiliki etika dan sopan santun seperti orang itu!” sentak Milly. “Panggilkan polisi! Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya pada waitress tadi!”
Mendengar kata polisi, pria paruh baya itu segera meraih tas kerjanya dan berlalu cepat, melewati Milly yang masih dipegangi oleh beberapa pengunjung. “Lepaskan!”
“Maaf, Nona. Biarkan saja dia pergi, kau akan terkena masalah jika terus menantangnya,” ucap waitress yang dibela oleh Milly.
Milly memandang waitress itu, menghampirinya. “Kau baik-baik saja, kan? Tidak ada hal lain yang dilakukan oleh pria itu padamu, kan?”
Waitress itu menggeleng, tersenyum dengan wajahnya yang masih merona merah. “Aku sungguh tidak apa-apa. Biar bagaimanapun, aku salah karena menumpahkan kopi pada sepatunya.”
“Tidak! Kau tidak salah! Pria itu yang memang brengsek.” Milly menghela napasnya lagi. “Aku benar-benar ingin menghajarnya!”
Kerumunan pengunjung telah bubar. Menyisakan Milly dan waitress tadi.
“Terima kasih karena telah membelaku, Nona. Aku … sungguh menyesal karenaku, kau menjadi terkena masalah juga.” Waitress itu menunduk, dia benar-benar merasa tidak enak pada Milly.
Milly tersenyum, mengusap pundak waitress itu. “Jangan merasa begitu. Aku memang tipe orang yang suka mendatangi masalah. Lain kali, hubungi aku kalau ada yang melecehkanmu lagi. Aku akan membelamu dan menghajar para laki-laki brengsek yang menggodamu, ok?” Milly menuliskan nomornya di atas tisu, kemudian menyerahkannya pada waitress itu.
“Terima kasih, Nona…”
“Milly, panggil saja aku Milly.” Mata Milly melirik ke jam tangannya. “Astaga! Aku sudah terlambat! Maaf, aku harus pergi!”
Milly berlari menuju meja pengambilan pesanan, kemudian menyambar gelas latte-nya yang mulai dingin dan kembali berlari menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar pergi, dia kembali menolehkan kepalanya pada waitress tadi.
“Ingat ya, hubungi aku kalau ada masalah, bye!” ucap Milly sambil berlari—tetapi tanpa disadari ada pria tampan berdiri tegak sedang memegang kopi, menatap pertengkaran antara Milly dan pria paruh baya itu.
“Aku seperti pernah melihat gadis liar itu,” ucap pria tampan itu sambil menyesap kopinya.
Milly membungkuk dengan napas tersengal saat akan masuk ke dalam lobi gedung. Dia benar-benar berlari dari café ke gedung firma yang berjarak sekitar dua kilometer. Peluhnya terlihat mengumpul di pelipis, padahal cuaca musim gugur mulai semakin dingin.Beberapa orang yang melintas di sebelahnya hanya melihatnya heran tanpa ada niatan untuk bertanya. Lagi pula, mereka tidak saling kenal. Saat napasnya mulai berada di ritme yang tepat, Milly melangkah ke meja respsionis dan menyapa ramah.“Selamat pagi, permisi. Saya pengacara baru yang mulai berkerja hari ini di Wardwell Law Firm. Ini surat penerimaan saya.” Milly menyerahkan selembar kertas yang menyatakan dia diterima sebagai bagian dari tim hukum Wardwell Law Firm.“Anda, Nona Milly Benson?” tanya sang resepsionis.Milly mengangguk cepat. “Ya, aku Milly Benson.”“Baik, Nona Benson.” Resepsionis merespon ramah setelah membaca surat penerimaan itu. “Silakan Nona tunggu di kursi tunggu itu, saya akan menyambungkan permintaan anda pada
Zayn memanggil timnya ke ruang meeting, termasuk Milly yang mulai hari ini tergabung di dalamnya—dengan terpaksa—Milly masuk ke dalam ruangan dan langung duduk di kursi yang paling jauh dari tempat Zayn. Gadis itu benar-benar tidak nyaman, apalagi melihat wajah Zayn yang terlihat lebih menyeramkan dari perkenalan tadi.“Hai,” sapa seseorang yang duduk di sebelah Milly.Milly tidak begitu memperhatikan karena terlalu sibuk menghindari tatapan tajam yang berasa dari Zayn. Berkali-kali Milly berusaha untuk menghela napas agar rasa gugupnya berkurang. Dia bahkan tidak tahu alasan apa yang membuat Zayn bersikap dingin padanya.“Kau berada di tim ini juga?” sapa seseorang itu lagi.Kali ini, Milly menoleh dan mendapati salah satu pengacara yang tadi mengenalkan dirinya dengan ramah. “Ah, Rey. Maaf aku tidak segera menyapa balik.”Rey, salah satu pengacara di sana melukiskan senyum. “It’s ok, kau pasti gugup di hari pertamamu. Tenang saja, semuanya akan berjalan dengan lancar. Kau beruntung
Pandangan Milly terlihat kosong saat dia menjalankan tugas yang seakan menjadi tugas utamanya, foto copy semua berkas yang dibutuhkan oleh Zayn dan timnya. Well, bukan hanya itu saja sebenarnya. Sekali waktu, Milly juga harus mengurus tentang legalisasi dan perijinan lainnya.Tidak menjadi masalah sebenarnya. Hanya saja, Milly seakan-akan tidak diperbolehkan untuk berhubungan dengan klien ataupun kasus secara langsung. Dalam waktu satu atau dua minggu dia masih maklum, tapi dia sudah hampir dua bulan di sini, dan masih belum ada tanda-tanda dia naik pangkat pada pekerjaannya.Helaan napas terdengar lagi darinya. Berkas foto copy-an yang nanti akan dibagikan saat meeting kasus terbaru yang sedang ditangani oleh Zayn dan tim terlihat menumpuk di sudut meja, dekat Milly berdiri.“Kau belum selesai juga?” tanya Jeremiah, rekan pengacara lain yang bertugas untuk urusan perceraian dan kasus rumah tangga lainnya. Beberapa tumpuk kertas telah berada di dekapannya.“Masih ada beberapa lagi yan
“Tidak cocok?” desis Milly berkali-kali saat melangkahkan kakinya ke arah halte bis yang tidak jauh dari area firma. Hah! Apa yang membuat orang itu bisa mengatakan aku tidak cocok menjadi pengacara? Sialan! Sepanjang jalan, Milly mengomel dan mengumpat dalam hati. Bahkan saat dia masuk ke apartemennya, hatinya masih terasa kesal karena ucapan Zayn padanya tadi.“Apa yang dipikirkan oleh orang itu? Bagaimana bisa dia menilaiku tidak cocok menjadi pengacara?!” Milly melempar kesal tasnya ke atas ranjang. High heels yang biasanya selalu ditata rapi di rak sepatu dekat pintu, kali ini juga dibiarkan tergeletak begitu saja. Dalam pikirannya sekarang, dia terus mencoba untuk mengingat-ingat hal apa yang telah dia lakukan sampai Zayn mengatakan hal itu.Semakin dipikir lagi, Milly tidak menemukan alasannya. Meskipun pembagian tugasnya selama ini tidak dia sukai, tapi dia tetap melakukannya dengan baik. Bahkan Rey dan yang lain memuji hasil kerjanya yang teliti dan tepat waktu. Karena itu, k
Sepanjang malam, Milly masih memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskan kesalahpahaman ini pada Zayn. Bukan karena Milly peduli dengan cara pandang Zayn terhadapnya, tapi dia tidak terima kredibilitasnya sebagai pengacara menjadi taruhan karena dia dianggap tidak becus hanya perkara Zayn pernah melihatnya melawan seorang pria. Sebelum tidur, Milly bertekad dalam hati besok, dia harus berhasil untuk menjelaskan hal ini pada Zayn.Keesokan hari, Milly cepat-cepat ingin ke kantor. Gadis itu tidak sabar ingin bertemu dengan Zayn. Dia ingin menjalankan misinya yaitu menjelaskan pada Zayn tentang kejadian di kafe waktu itu.“Zayn, tunggu!” seru Milly memanggil.Zayn menoleh sebentar, sebelum buru-buru membuka pintu ruangan dan menerima panggilan di ponselnya. Milly berhenti di depan ruangan Zayn sambil mendesah kesal. Usahanya kembali gagal karena dia tidak mungkin mengganggu Zayn yang sedang membicarkan masalah kasus dengan klien.Suasana hati buruk, Milly memutuskan untuk pergi ke pantry
“Baik, terima kasih untuk waktunya. Kami pasti akan berusaha keras untuk memenangkan kasus Anda. Untuk semua hal yang diperlukan, proses kedepannya, akan saya hubungi via telepon,” kata Zayn sambil menjabat tangan klien yang telah siap untuk meninggalkan café.“Terima kasih banyak atas bantuannya. Selamat siang.” Klien itu tersenyum puas, kemudian berlalu meninggalkan Zayn dan Milly yang berdiri dan tersenyum ramah.Milly menoleh pada Zayn, tapi pria itu melengos dan melangkah keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Milly. Melihat itu, Milly segera menyambar tasnya dan berlari kecil menyusul Zayn. Tidak lupa, dia berterima kasih pada waitress yang tadi telah membantunya.“Zayn. Tunggu!” seru Milly cepat.Zayn menoleh dengan raut wajah kesal. Tatapannya tajam terarah pada Milly, yang berlari menghampirinya. “Kau mau merencanakan apa lagi sekarang?”Milly menghela napas. “Tunggu, aku mau menjelaskan hal ini padamu. Aku terpaksa merencanakan ini semua karena kau sama sekali tidak m
Milly mendongak saat Rey mengetuk pintu ruangannya. “Hei, masuklah,” ucapnya sambil tersenyum lebar.Rey masuk, kemudian menutup pintu dan duduk di depan meja kerja Milly. “Bagaimana kemarin? Aku tidak sempat bertanya padamu karena sibuk dengan berkas klien,” tanya Rey penasaran.Milly menghela napas panjang, menyipitkan matanya pada Rey. Dia mengingat jawaban Zayn kemarin yang membuatnya tidak habis pikir. “Kurasa gagal. Dia tetap tidak suka padaku meskipun aku sudah mencoba menjelaskannya berkali-kali.”“Sama sekali tidak berhasil?” tanya Rey lagi.Milly menggeleng dengan raut frustrasi. “Kau tahu? Kemarin aku ditinggal begitu saja di sana!”Rey meringis, dia jadi mengingat percakapannya dengan Zayn kemarin. “Mungkin, dia terlalu buru-buru sampai melupakanmu.”Milly tersenyum sinis. “Kau terlalu berpikiran positif padanya, Rey. Semua caramu sudah kulakukan, tapi tampaknya dia memang benar-benar tidak menyukaiku. Bukan perkara aku anak baru atau apa pun itu, dia hanya tidak suka deng
“Selamat pagi!” sapa Milly riang saat baru tiba di firma.“Pagi, Milly, kau terlihat bersemangat sekali,” ucap resepsionis membalas sapaan Milly.Milly tersenyum lebar. “Kau benar, hari ini aku bersemangat sekali! Aku masuk dulu, selamat bekerja,” ucapnya sambil melambaikan tangan.Milly bersungguh-sungguh dengan harinya yang bersemangat. Sejak kemarin, saat Zayn memintanya untuk menjadi asisten, semangatnya untuk berangkat bekerja menjadi berkali-kali lipat.“Kau siap untuk hari ini, Milly?” tanya Rey yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.Milly berjingkat terkejut, kemudian memukul lengan Rey yang tertawa. “Kau mengejutkanku! But, Iya, aku siap untuk hari ini!”Rey menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh saat melihat kilatan semangat dari mata Milly. “Well, good luck Tunjukkan kinerjamu dengan sebaik-baiknya. Kau tahu aku mendukungmu, kan?”Milly mengangguk penuh semangat. “Tentu saja, percayakan padaku!”Saat itu, Zayn tiba di firma. Dia menahan senyum di wajahnya saat
“Are you ready?” Zayn bertanya setelah membukakan pintu mobil untuk Milly.Milly menghela napasnya panjang, kemudian tersenyum sambil menatap Zayn penuh cinta. “Aku gugup, tapi aku siap untuk hari pertamaku lagi.”Zayn tersenyum sambil menggenggam tangan Milly. Keduanya berjalan menuju ke gedung firma milik Zayn. Dada Milly berdebar kencang, sensasi awal kerja dulu kembali dia rasakan. Hanya saja, kali ini dia mendapatkan kekuatan besar yang terus menggenggamnya samapai kapan pun, Zayn.“Selamat datang Nyonya Ducan!” Rey berseru kencang begitu Milly dan Zayn masuk ke dalam lobi firma.Milly sampai berjingkat dan mundur selangkah karena terkejut dengan ledakan confetti yang sekarang telah berterbangan di depannya. Rasanya seperti dejavu, saat berada di firma lama, ketika dia selamat dari kematian.“Akhirnya Nyonya dari firma ini telah kembali ke medan pertempuran. Ayo kita bersemangat lagi!” seru Rey masih dengan penuh semangat seperti dulu.Milly terkekeh mendengarnya, dia mengangguk
Zio mengetuk pintu kamar orang tuanya, wajahnya terlihat sedikit takut saat Milly menoleh padanya. Kedua tangan Zio berada di balik punggung kecilnya, tapi tetap saja Milly bisa melihat beberapa tangkai bunga yang mencuat di belakangnya.“Kau sudah pulang, Zio? Bagaimana di kantor Daddy?” tanya Milly sambil tersenyum.Zio bergerak maju dengan perlahan, “Mom, this is for you.” Sebuah buket bunga dengan sekotak cokelat disodorkan pada Milly. “Maafkan aku tadi, Mom. Aku salah karena telah membentak Mom.”Milly langsung memeluk Zio setelah putranya itu meminta maaf. Milly tersenyum haru karena putranya semakin bertambah dewasa. “It’s okay, Zio. Lain kali jangan diulangi lagi, ya, Nak.”Zio mengangguk, lalu menegcup pipi Milly. “Iya, Mom. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”Milly meletakkan buket bunga dan cokelat di meja, kemudian mengajak Zio untuk duduk di tepi kasur. “Bagaimana tadi di kantor Daddy? Apa menyenangkan?”Zio mengangguk antusias. “Aku bertemu paman Rey dan beberapa t
Keributan telah terdengar di mansion saat pagi hari. Tidak biasanya situasi seperti ini terjadi, Milly sampai harus menghela napas berkali-kali karena Zio menolak untuk pergi ke sekolah.“Zio, kita sudah sepakat untuk tidak bolos sekolah.” Milly kembali membujuk putranya agar mau segera berangkat ke sekolah.“Sudah kubilang aku tidak mau sekolah, Mom!” Pertama kalinya Milly mendengar Zio membentaknya.“Apakah kau mengalami kesulitan di sekolah? Apakah ada yang mengganggumu sampai kau tidak mau pergi ke sekolah? Katakan pada Mom,” ucap Milly seraya memijat kepalanya, akibat pusing membujuk putranya.Zio menatap Milly, kemudian mengalihkan pandangannya pada mainan lego berbentuk dinosaurus yang sedang dia pegang. “Aku hanya bosan, Mom. Tidak ada yang menggangguku.”“Mom… aku akan terlambat kalau Zio tidak mau berangkat sekarang,” rengek Madysen yang telah siap berangkat.Milly mengehala napas karena kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ibunya yang selalu menjadi seseora
Milly bangun lebih awal, menyiapkan banyak makanan yang akan dia bawa. Hari ini Milly dan Zayn mengajak dua anak kembar mereka untuk bersantai di taman bermain. Wanita itu tahu anaknya sangat aktif bermain, dan berujung mudah sekali lapar.“Nyonya, biarkan saya yang menyiapkan makanan.” Seorang pelayan menghampiri Milly.“Tidak apa-apa. Biar aku saja yang menyelesaikannya. Tolong sampaikan pada pengasuh untuk memandikan Zio dan Madysen,” jawab Milly lembut.Pelayan tadi mengangguk, kemudian pergi dengan patuh untuk menyampaikan pesannya pada kedua pengasuh si kembar. Bagi Milly, meskipun di mansion ini Zayn telah menyediakan beberapa pelayan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga, tapi Milly masih sering membuat makanan sendiri untuk Zayn, si kembar, dan ibunya. Menurutnya, dengan memasak dan menyajikannya pada orang terkasih, bisa menggambarkan besar cintanya pada mereka.Beberapa saat kemudian, Zio dan Madysen telah siap. Zayn juga telah berada di luar, memanaskan mesin mobil
Beberapa tahun berlalu … Langkah kaki tegas Zayn masuk ke dalam mansion mewah yang sudah ditempati hampir empat tahun ini. Pria tampan itu telah meninggalkan penthouse dan tinggal di mansion, demi memberikan kehidupan nyaman untuk istri dan anak-anaknya.“Yeay! Daddy sudah pulang!” Sambutan hangat dari Zio dan Madysen membuat Zayn melukiskan senyumannya. Dua bocah itu memeluk erat ayah mereka. Refleks, Zayn menggendong anak kembarnya itu sambil memberikan kecupan di pipi bulat mereka.Milly tersenyum melihat Zayn sudah mendapatkan sambutan dari kedua anak mereka. Dia mendekat dan ikut memeluk sang suami yang baru saja pulang dari bekerja.“Sayang, akhirnya kau pulang. Zio dan Madysen sudah sangat merindukanmu,” ucap Milly hangat.“Ya, Daddy! Kami merindukanmu.” Zio dan Madysen terus menciumi rahang ayah mereka.Zayn tersenyum. “Daddy juga merindukan kalian. Tapi, apa kalian saja yang merindukan Daddy? Mommy kalian tidak merindukan Daddy?”“Tentu saja Mommy juga rindu. Mommy selalu bi
Sudah satu bulan berlalu dari pernikahan Milly dan Zayn. Pagi ini mereka bertandang ke Alpha Hospital untuk melakukan pemeriksaan rutin di dokter kandungan. Milly memasuki ruang praktek dengan dada berdebar karena pertama kalinya mereka akan melakukan pemeriksaan USG setelah pemeriksaan awal selepas dirinya pingsan dulu.Perlahan Milly berbaring di ranjang pemeriksaan. Tangannya terus menggenggam pada Zayn yang mendampingi di sisinya. Sementara Dokter mulai mengoleskan gel dingin dan menekan kepala alat USG di perut bagian bawah Milly, mereka berdua serentak menahan napas sambil menatap ke layar di depan untuk menunjukkan hasil rekaman USG. Jujur, meskipun hasil secara aktual tertampil di layar, tapi Milly tidak mengerti sama sekali. Terlebih saat dokter terus menerus mengucapkan kata luar biasa.“Nyonya Ducan, Tuan Ducan, Anda perhatikan di anak panah yang saya arahkan di layar. Terlihat ada dua bulatan dengan titik kecil di dalamnya,” ucap dokter setelah selesai mengidentifikasi pem
Berkali-kali Milly menghela napasnya dalam-dalam. Setiap gerakan yang dilakukan beberapa orang yang mondar-mandir di ruangan putih dipenuhi rangkaian bunga itu berhasil membuatnya berjingkat pelan. Dadanya terus-terusan berdesir dan detak jantungnya tiba-tiba tenang, tiba-tiba tak beraturan. Dia bahkan mulai merasa mengeluarkan keringat dingin. Di sebelahnya, Vintari memperhatikan sambil terkekeh pelan.“Apakah kau merasa mual, Milly?” tanya Vintari cemas karena melihat raut wajah Milly yang tidak tenang.Milly hanya menggeleng. Dia bahkan tidak bisa mengeluarkan kata-kata karena terlalu tegang.“Kau pasti sangat gugup di hari pernikahanmu.” Vintari menyodorkan hand bouquet kepada Milly.Milly menerimanya dengan meringis. Vintari benar, Milly saat ini merasa sangat gugup karena harus menunggu di ruang mempelai sementara yang lain sedang menyambut tamu di aula utama pernikahan.“Kau benar, aku gugup sekali! Aku sampai takut tidak bisa berjalan ke altar karena terlalu gugup,” ucap Milly
Suara dering ponsel berbunyi. Zayn melihat nomor Andre menghubunginya. Pria tampan itu langsung menggeser tombol hijau, untuk menjawab panggilan telepon dari junior kuliahnya dulu.“Ada apa?” sapa Zayn dingin kala panggilan terhubung.“Bagus sekali kau menjawabku dengan nada dingin! Ck! Kau sombong sekali menikah tidak bilang padaku,” seru Andre dari seberang sana. “Kau tahu kabar itu dari mana? Zeus?” tanya Zayn mengerutkan keningnya.“Tentu saja! Cepat ke Blue Corner. Aku dan Jace menungu penjelasanmu di sini!” Zayn melirik ke arah Milly. Dia tidak mau meninggalkan Milly sendirian, tapi dia juga harus pergi untuk memberikan kabar baik ini. Namun, tidak mungkin dia mengajak Milly ke club milik Jace. Hari biasa mungkin baik-baik saja, tapi Milly saat ini sedang hamil.“Kenapa?” tanya Milly penasaran.“Tunggu sebentar,” ucap Zayn pada Andre sebelum dia menggantung ponselnya dan berbisik pada Milly. “Andre dan Jace mengajakku bertemu.”“Jace yang pemilik bar itu?”Zayn mengangguk. “B
Milly kembali memikirkan kembali ucapan Zeus begitu mereka masuk ke dalam penthouse. Sedikit ragu dia melirik ke arah Zayn yang sedang menerima telepon dari Rey, tampaknya mereka membicarakan tentang kasus baru yang baru saja masuk ke tim mereka. Setelah menunggu beberapa lama sampai Zayn selesai dengan obrolannya bersama Rey, Milly mendekat dan duduk di sebelah Zayn.“Ada masalah?” tanya Milly.Zayn menggeleng. “Tidak ada. Rey hanya bertanya tentang persetujuan dari jaksa untuk penyelidikan di tempat kejadian perkara.”Milly mengangguk-angguk pelan. “Zayn, ada hal yang ingin kubicarakan denganmu.”Zayn menatap Milly lembut. “Katakan, Milly. Apa yang ingin kau bicarakan?”Milly tersenyum, tangannya meraih tangan Zayn dan mengarahkannya ke perutnya. “Aku tadi berbicara dengan Vintari, dia telah banyak membuka pikiranku tentang kehamilan Aku ingin mengatakan padamu kalau aku akan menerima kehamilan ini dengan bahagia, dan berusaha menjadi ibu yang baik untuk anak kita nanti.”Senyum Zay