“Selamat pagi!” sapa Milly riang saat baru tiba di firma.“Pagi, Milly, kau terlihat bersemangat sekali,” ucap resepsionis membalas sapaan Milly.Milly tersenyum lebar. “Kau benar, hari ini aku bersemangat sekali! Aku masuk dulu, selamat bekerja,” ucapnya sambil melambaikan tangan.Milly bersungguh-sungguh dengan harinya yang bersemangat. Sejak kemarin, saat Zayn memintanya untuk menjadi asisten, semangatnya untuk berangkat bekerja menjadi berkali-kali lipat.“Kau siap untuk hari ini, Milly?” tanya Rey yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.Milly berjingkat terkejut, kemudian memukul lengan Rey yang tertawa. “Kau mengejutkanku! But, Iya, aku siap untuk hari ini!”Rey menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh saat melihat kilatan semangat dari mata Milly. “Well, good luck Tunjukkan kinerjamu dengan sebaik-baiknya. Kau tahu aku mendukungmu, kan?”Milly mengangguk penuh semangat. “Tentu saja, percayakan padaku!”Saat itu, Zayn tiba di firma. Dia menahan senyum di wajahnya saat
“Kau tahu apa yang terjadi kalau aku tidak sempat menangkapmu tadi?!” sentak Zayn dengan nada satu oktaf lebih tinggi.Milly menggigit bibir bawahnya. Tentu saja dia akan celaka jika sampai Zayn tidak cepat meraih tangannya. Lebih parahnya lagi, nyawanya bisa saja melayang. Tiba-tiba saja, darahnya berdesir saat membayangkan jika dirinya benar-benar jatuh ke bawah.Milly menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepis bayangan itu dari dalam pikirannya. “Maafkan aku, lain kali aku akan lebih berhati-hati lagi,” ucapnya sambil menurunkan nada bicaranya karena tatapan Zayn masih terus terarah tajam padanya.Zayn menghela napas panjang. Dia menatap geram pada Milly. “Pastikan kau selalu berhati-hati setelah ini. Jangan melakukan hal yang berpotensi membuatmu celaka. Mengerti?!”Tanpa menjawab lagi, Milly mengangguk, kemudian segera mengambil bukti foto body harness yang masih menggantungi salah satu besi, tempat korban terjatuh. Body harness yang telah usang terlihat putus di tali penyanggany
Sudah lebih beberapa tahun terakhir ini Zayn menempati sebuah penthouse di gedung apartemen yang berada tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah mandi dan berganti pakaian, Zayn duduk menikmati kopi sambil melihat pemandangan kota Manhattan yang mulai menggelap.Setelah penat seharian, apalagi hari ini dia harus bertemu dengan klien sendirian karena Milly izin setengah hari untuk pindahan, akhirnya Zayn bisa menikmati waktu sendiri di dalam penthouse nya yang selalu disebut sebagai ‘me time’ yang menurutnya paling nyaman.Zayn menghela napasnya panjang. Kepulan asap dari kopi yang baru diseduh menciptakan aroma yang sangat dia sukai. Dari semua hal yang ada di dunia, kopi adalah satu hal yang membuatnya paling bersemangat.Dia bahkan memiliki beraneka ragam alat drip coffe dan sebuah mesin kopi manual yang sering digunakan di coffe shop, serta mesin kopi otomatis saat dia sedang tidak ada waktu untuk menyeduhnya secara manual. Meskipun pada akhirnya, dia lebih sering membeli di café
Milly masuk ke ruang sidang dengan dada berdebar, campuran antara rasa antusias dan gugup. Laporan pernyataan dari para pekerja yang berada di dalam map besar berwarna cokelat yang dia dekap, menjadi senjata perangnya. Di kursi pengunjung sidang deretan paling belakang, tampak Zayn yang akan memantau jalannya sidang kali ini.Satu jam awal berlangsungnya sidang masing terlihat aman. Sampai pada saat pengacara pembela dari pihak perusahaan mulai menyerang pembelaan dari Milly sebagai pengacara dari pihak korban.“Kita akan berbicara tentang standard safety yang wajib dijalankan oleh semua pelaku usaha. Dari hasil investigasi yang telah tim kami lakukan di lapangan, jelas terbukti kalau perusahaan kontruksi lalai akan hal itu—”“Maaf, Yang Mulia. Tapi menurut dari apa yang menjadi bukti di berkas yang telah saya lampirkan, perusahaan telah melaksanakan standard safety dengan benar dan sangat lengkap!” potong pengacara lawan yang saat ini tengah menatap Milly dengan pandangan berapi-api.
“Hei, kenapa wajahmu kusut sekali?” tanya Rey saat Milly baru kembali ke firma lagi setelah dia menenangkan dirinya di luar gedung.Milly menoleh, menampilkan senyum palsunya yang jelas terlihat dipaksakan. “Apakah wajahku sekusut itu?”Rey mengangguk. “Kau tampak seperti ingin menelan orang hidup-hidup. Apa yang terjadi?”Milly menghela napas panjang. “Zayn bilang aku terlihat kaku dan tidak professional di persidangan tadi. Dia menyalahkanku karena pengacara lawan berhasil memotong pembicaraanku.”“Kau merasa seperti itu?” tanya Rey lagi.Milly menggeleng cepat. “Menurutnya, aku terlalu banyak berpikir dan terlihat gugup. Demi Tuhan, aku tidak merasakan semua hal yang dituduhkannya. Aku hanya mengatur napas dan emosiku agar tidak terpancing untuk melakukan hal yang justru kusesalkan di persidangan pertamaku. Tapi sepertinya, apa yang kulakukan tidak membuatnya puas.”Rey menatap sebentar pada mata Milly yang terlihat sedih. “Jangan dipikirkan tentang ucapannya Zayn. Meskipun kau tad
Klien yang dari awal sampai akhir tidak berbincang sedikit pun pada Milly itu pada akhirnya pulang lebih dulu. Milly juga ingin cepat pergi, tapi Zayn tidak segera beranjak dari tempatnya.“Kau masih mau makan?” tanya Milly.Zayn memandang Milly. “Kulihat kau tadi hanya menyentuh sedikit makanan. Kau tidak suka menunya? Mau kupesankan yang lain?”Milly menatap heran pada Zayn. Sebagai seorang yang menganggap dirinya paling professional, kenapa dia bisa tidak peka dengan apa yang dipikirkan oleh Milly. Well, gadis itu bukan marah karena tidak dilibatkan dalam pembicaraan tadi. Hanya saja, jika dia memang tidak dibutuhkan di sini, kenapa Zayn harus memaksanya untuk datang?“Aku tidak lapar. Jika kau sudah selesai makan, ayo kita pulang saja,” jawab Milly dingin.Zayn berdiri, merapikan jasnya dan menoleh pada Milly. “Ayo, pulang.”Milly mendengkus sambil terus menatap Zayn yang berlalu tanpa menunggu dirinya yang bahkan belum beranjak dari kursi. Predikat baik yang sempat diucapkannya u
Milly membuka matanya perlahan. Kesadarannya yang belum kembali sepenuhnya membuat gadis itu mengerjap beberapa kali. Menyadari dia tidak berada di kamarnya sendiri, membuat Milly segera menegakkan badan. Pandangannya mengedar luas, memantau setiap sudut sambil menerka-nerka di mana saat ini dia berada.“Di mana ini?” gumamnya.Ingatannya terakhir, dia sedang berjuang untuk bernapas sebelum keluar dari lift. Ah, benar. Dia juga ingat meraih tangan Zayn saat akan berdiri, kemudian semuanya terasa gelap, dan berakhir di sini.Milly menyingkap selimutnya, perlahan dia turun dari ranjang, dan berjalan ke arah pintu yang tidak ditutup rapat. Sedikit mengendap, dia keluar untuk mencoba berkeliling. Belum ada tanda-tanda di mana dia sekarang berada, yang jelas ruangan demi ruangan terlihat sangat mewah. Saat dia akan kembali ke kamarnya, dia menangkap sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Rasa penasaran, membuatnya mengintip ke sana, dan menemukan sosok Zayn yang sedang duduk di bali
Langkah Zayn terhenti saat dia melangkah menuju ke ruang kerja. Harga dirinya merasa tidak terima karena anggapan Milly yang tidak-tidak padanya. Helaan napas terdengar panjang darinya sebelum berbalik untuk kembali menghadap pada Milly yang masih memandangnya.“Jika kau masih takut aku akan melakukan hal yang macam-macam padamu, kau bisa pulang saja sekarang juga. Aku tidak akan melarangmu.” Nada Zayn terdengar sangat dingin saat mengatakannya. “Bukannya terima kasih sudah ditolong, tapi justru menuduh hal yang macam-macam!” Zayn terus menggerutu saat melanjutkan langkahnya menuju ke ruang kerja.Milly merasa sangat bersalah. Seharusnya dia memang tidak mencurigai Zayn secara berlebihan. Pikirannya sungguh terlalu kekanakan. “Zayn, tunggu!” serunya sambil berdiri.Zayn kembali berhenti dan berbalik.Milly menghampiri pria itu dengan tatapan menyesal. “Maafkan aku. Tidak seharusnya aku menuduhmu seperti itu. Sekali lagi, maafkan aku dan terima kasih telah menolongku. Aku akan pergi s
“Are you ready?” Zayn bertanya setelah membukakan pintu mobil untuk Milly.Milly menghela napasnya panjang, kemudian tersenyum sambil menatap Zayn penuh cinta. “Aku gugup, tapi aku siap untuk hari pertamaku lagi.”Zayn tersenyum sambil menggenggam tangan Milly. Keduanya berjalan menuju ke gedung firma milik Zayn. Dada Milly berdebar kencang, sensasi awal kerja dulu kembali dia rasakan. Hanya saja, kali ini dia mendapatkan kekuatan besar yang terus menggenggamnya samapai kapan pun, Zayn.“Selamat datang Nyonya Ducan!” Rey berseru kencang begitu Milly dan Zayn masuk ke dalam lobi firma.Milly sampai berjingkat dan mundur selangkah karena terkejut dengan ledakan confetti yang sekarang telah berterbangan di depannya. Rasanya seperti dejavu, saat berada di firma lama, ketika dia selamat dari kematian.“Akhirnya Nyonya dari firma ini telah kembali ke medan pertempuran. Ayo kita bersemangat lagi!” seru Rey masih dengan penuh semangat seperti dulu.Milly terkekeh mendengarnya, dia mengangguk
Zio mengetuk pintu kamar orang tuanya, wajahnya terlihat sedikit takut saat Milly menoleh padanya. Kedua tangan Zio berada di balik punggung kecilnya, tapi tetap saja Milly bisa melihat beberapa tangkai bunga yang mencuat di belakangnya.“Kau sudah pulang, Zio? Bagaimana di kantor Daddy?” tanya Milly sambil tersenyum.Zio bergerak maju dengan perlahan, “Mom, this is for you.” Sebuah buket bunga dengan sekotak cokelat disodorkan pada Milly. “Maafkan aku tadi, Mom. Aku salah karena telah membentak Mom.”Milly langsung memeluk Zio setelah putranya itu meminta maaf. Milly tersenyum haru karena putranya semakin bertambah dewasa. “It’s okay, Zio. Lain kali jangan diulangi lagi, ya, Nak.”Zio mengangguk, lalu menegcup pipi Milly. “Iya, Mom. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”Milly meletakkan buket bunga dan cokelat di meja, kemudian mengajak Zio untuk duduk di tepi kasur. “Bagaimana tadi di kantor Daddy? Apa menyenangkan?”Zio mengangguk antusias. “Aku bertemu paman Rey dan beberapa t
Keributan telah terdengar di mansion saat pagi hari. Tidak biasanya situasi seperti ini terjadi, Milly sampai harus menghela napas berkali-kali karena Zio menolak untuk pergi ke sekolah.“Zio, kita sudah sepakat untuk tidak bolos sekolah.” Milly kembali membujuk putranya agar mau segera berangkat ke sekolah.“Sudah kubilang aku tidak mau sekolah, Mom!” Pertama kalinya Milly mendengar Zio membentaknya.“Apakah kau mengalami kesulitan di sekolah? Apakah ada yang mengganggumu sampai kau tidak mau pergi ke sekolah? Katakan pada Mom,” ucap Milly seraya memijat kepalanya, akibat pusing membujuk putranya.Zio menatap Milly, kemudian mengalihkan pandangannya pada mainan lego berbentuk dinosaurus yang sedang dia pegang. “Aku hanya bosan, Mom. Tidak ada yang menggangguku.”“Mom… aku akan terlambat kalau Zio tidak mau berangkat sekarang,” rengek Madysen yang telah siap berangkat.Milly mengehala napas karena kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ibunya yang selalu menjadi seseora
Milly bangun lebih awal, menyiapkan banyak makanan yang akan dia bawa. Hari ini Milly dan Zayn mengajak dua anak kembar mereka untuk bersantai di taman bermain. Wanita itu tahu anaknya sangat aktif bermain, dan berujung mudah sekali lapar.“Nyonya, biarkan saya yang menyiapkan makanan.” Seorang pelayan menghampiri Milly.“Tidak apa-apa. Biar aku saja yang menyelesaikannya. Tolong sampaikan pada pengasuh untuk memandikan Zio dan Madysen,” jawab Milly lembut.Pelayan tadi mengangguk, kemudian pergi dengan patuh untuk menyampaikan pesannya pada kedua pengasuh si kembar. Bagi Milly, meskipun di mansion ini Zayn telah menyediakan beberapa pelayan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga, tapi Milly masih sering membuat makanan sendiri untuk Zayn, si kembar, dan ibunya. Menurutnya, dengan memasak dan menyajikannya pada orang terkasih, bisa menggambarkan besar cintanya pada mereka.Beberapa saat kemudian, Zio dan Madysen telah siap. Zayn juga telah berada di luar, memanaskan mesin mobil
Beberapa tahun berlalu … Langkah kaki tegas Zayn masuk ke dalam mansion mewah yang sudah ditempati hampir empat tahun ini. Pria tampan itu telah meninggalkan penthouse dan tinggal di mansion, demi memberikan kehidupan nyaman untuk istri dan anak-anaknya.“Yeay! Daddy sudah pulang!” Sambutan hangat dari Zio dan Madysen membuat Zayn melukiskan senyumannya. Dua bocah itu memeluk erat ayah mereka. Refleks, Zayn menggendong anak kembarnya itu sambil memberikan kecupan di pipi bulat mereka.Milly tersenyum melihat Zayn sudah mendapatkan sambutan dari kedua anak mereka. Dia mendekat dan ikut memeluk sang suami yang baru saja pulang dari bekerja.“Sayang, akhirnya kau pulang. Zio dan Madysen sudah sangat merindukanmu,” ucap Milly hangat.“Ya, Daddy! Kami merindukanmu.” Zio dan Madysen terus menciumi rahang ayah mereka.Zayn tersenyum. “Daddy juga merindukan kalian. Tapi, apa kalian saja yang merindukan Daddy? Mommy kalian tidak merindukan Daddy?”“Tentu saja Mommy juga rindu. Mommy selalu bi
Sudah satu bulan berlalu dari pernikahan Milly dan Zayn. Pagi ini mereka bertandang ke Alpha Hospital untuk melakukan pemeriksaan rutin di dokter kandungan. Milly memasuki ruang praktek dengan dada berdebar karena pertama kalinya mereka akan melakukan pemeriksaan USG setelah pemeriksaan awal selepas dirinya pingsan dulu.Perlahan Milly berbaring di ranjang pemeriksaan. Tangannya terus menggenggam pada Zayn yang mendampingi di sisinya. Sementara Dokter mulai mengoleskan gel dingin dan menekan kepala alat USG di perut bagian bawah Milly, mereka berdua serentak menahan napas sambil menatap ke layar di depan untuk menunjukkan hasil rekaman USG. Jujur, meskipun hasil secara aktual tertampil di layar, tapi Milly tidak mengerti sama sekali. Terlebih saat dokter terus menerus mengucapkan kata luar biasa.“Nyonya Ducan, Tuan Ducan, Anda perhatikan di anak panah yang saya arahkan di layar. Terlihat ada dua bulatan dengan titik kecil di dalamnya,” ucap dokter setelah selesai mengidentifikasi pem
Berkali-kali Milly menghela napasnya dalam-dalam. Setiap gerakan yang dilakukan beberapa orang yang mondar-mandir di ruangan putih dipenuhi rangkaian bunga itu berhasil membuatnya berjingkat pelan. Dadanya terus-terusan berdesir dan detak jantungnya tiba-tiba tenang, tiba-tiba tak beraturan. Dia bahkan mulai merasa mengeluarkan keringat dingin. Di sebelahnya, Vintari memperhatikan sambil terkekeh pelan.“Apakah kau merasa mual, Milly?” tanya Vintari cemas karena melihat raut wajah Milly yang tidak tenang.Milly hanya menggeleng. Dia bahkan tidak bisa mengeluarkan kata-kata karena terlalu tegang.“Kau pasti sangat gugup di hari pernikahanmu.” Vintari menyodorkan hand bouquet kepada Milly.Milly menerimanya dengan meringis. Vintari benar, Milly saat ini merasa sangat gugup karena harus menunggu di ruang mempelai sementara yang lain sedang menyambut tamu di aula utama pernikahan.“Kau benar, aku gugup sekali! Aku sampai takut tidak bisa berjalan ke altar karena terlalu gugup,” ucap Milly
Suara dering ponsel berbunyi. Zayn melihat nomor Andre menghubunginya. Pria tampan itu langsung menggeser tombol hijau, untuk menjawab panggilan telepon dari junior kuliahnya dulu.“Ada apa?” sapa Zayn dingin kala panggilan terhubung.“Bagus sekali kau menjawabku dengan nada dingin! Ck! Kau sombong sekali menikah tidak bilang padaku,” seru Andre dari seberang sana. “Kau tahu kabar itu dari mana? Zeus?” tanya Zayn mengerutkan keningnya.“Tentu saja! Cepat ke Blue Corner. Aku dan Jace menungu penjelasanmu di sini!” Zayn melirik ke arah Milly. Dia tidak mau meninggalkan Milly sendirian, tapi dia juga harus pergi untuk memberikan kabar baik ini. Namun, tidak mungkin dia mengajak Milly ke club milik Jace. Hari biasa mungkin baik-baik saja, tapi Milly saat ini sedang hamil.“Kenapa?” tanya Milly penasaran.“Tunggu sebentar,” ucap Zayn pada Andre sebelum dia menggantung ponselnya dan berbisik pada Milly. “Andre dan Jace mengajakku bertemu.”“Jace yang pemilik bar itu?”Zayn mengangguk. “B
Milly kembali memikirkan kembali ucapan Zeus begitu mereka masuk ke dalam penthouse. Sedikit ragu dia melirik ke arah Zayn yang sedang menerima telepon dari Rey, tampaknya mereka membicarakan tentang kasus baru yang baru saja masuk ke tim mereka. Setelah menunggu beberapa lama sampai Zayn selesai dengan obrolannya bersama Rey, Milly mendekat dan duduk di sebelah Zayn.“Ada masalah?” tanya Milly.Zayn menggeleng. “Tidak ada. Rey hanya bertanya tentang persetujuan dari jaksa untuk penyelidikan di tempat kejadian perkara.”Milly mengangguk-angguk pelan. “Zayn, ada hal yang ingin kubicarakan denganmu.”Zayn menatap Milly lembut. “Katakan, Milly. Apa yang ingin kau bicarakan?”Milly tersenyum, tangannya meraih tangan Zayn dan mengarahkannya ke perutnya. “Aku tadi berbicara dengan Vintari, dia telah banyak membuka pikiranku tentang kehamilan Aku ingin mengatakan padamu kalau aku akan menerima kehamilan ini dengan bahagia, dan berusaha menjadi ibu yang baik untuk anak kita nanti.”Senyum Zay