Sejurus kemudian, notifikasi pesan terbaru ke ponsel tersebut.
Dila kembali menoleh untuk membaca pesan tersebut. Walaupun dia tidak bisa membuka ponsel tersebut dan membaca isi pesan secara keseluruhan, dia masih bisa membaca lewat notifikasi di depan layar.Pesan masuk masih dari emoticon bunga mawar tadi.[Aku sudah terima, Yang. Makasih, ya! Jangan bosan menyayangiku terus. Kamu memang sangat aku andalkan] emoticon memberi ciuman.Deru dadanya semakin bergejolak dan terasa panas. Pesan tersebut sangat jelas tertulis di sana. Dila semakin yakin kalau Radit pasti berselingkuh atau memiliki hubungan dengan suara wanita di sambungan telepon saban hari dan seseorang dengan nama ber-emoticon bunga mawar.Pintu kamar mandi bergeser. Lelaki itu keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan. Ia berjalan, mendekati nakas dan meraih ponselnya.Ia mengetik sesuatu di layar benda pipih tersebut, kemudian meletakkannya kembali. Ia menuju lemari sambil sesekali bersiul. Wajahnya sudah berubah ceria.Dila mencoba, menguasai dirinya agar tetap tenang. Sakit melihat lelaki itu tersenyum menatap layar ponsel di tangannya. Dia sudah menduga bahwa Radit menjawab pesan tadi.Radit bergegas keluar kamar, setelah selesai memakai pakaian. Ia hanya mengenakan kaos dan short pants dari jeans. Lelaki itu sudah sering keluar sore hari dan entah ke mana.Awalnya, Dila tidak berpikir yang aneh-aneh. Namun, perasaannya semakin tidak enak dan terganggu semenjak pesan tadi dan juga suara wanita yang menjawab panggilan telepon darinya saban hari.Ia berpikir sejenak untuk mencari tahu yang sesungguhnya. Rasa penasarannya sudah tidak bisa ditahan lagi. Tiba-tiba, Ia mendapatkan ide.Dia pun meraih ponselnya dan menghubungi seseorang di kantor, tempat Radit bekerja.[Assalamualaikum. Sore, Nit. Mau nanya, apakah malam ini ada lembur di kantor?]Pesan telah terkirim dan belum ada jawaban. Dila masih menunggu jawaban dari temannya di seberang.Lima menit berlalu!Dila membalikkan badan tatkala mendengar notifikasi pesan masuk.[Waalaikumsalam. Sepertinya tidak ada, Dil. Aku dan suamiku masih di rumah bersama anak-anak, kok] balasan dari Nisa, temannya.Dila dan Nita mulai akrab semenjak Radit bekerja di kantor yang sama dengan temannya tersebut. Selain itu, mereka sering bertemu di acara yang diadakan oleh kantor, tempat suaminya bekerja.[Baik, makasih ya, Nit][Emangnya, ada apa Dil?]Dila ragu untuk menjawab pertanyaan dari temannya. Ia belum yakin dengan kecurigaannya. Namun, dia juga tidak tahu bagaimana harus membuktikannya. Ia masih bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan tersebut.[Cerita saja ke aku, Dil. Mungkin aku bisa bantu] pesan masuk lagi. Dila membaca pesan tersebut.Nita merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh temannya. Ia juga wanita dan bisa merasakan hal itu.[Aku juga bingung, Nit. Mau mulai dari mana. Akhir-akhir ini, Bang Radit terlihat berbeda]Nita mulai teringat dengan gelagat Radit yang berbeda beberapa bulan terakhir. Ia yakin ada sesuatu. Mungkin saatnya untuk memberitahu temannya.Kalau dulu ia masih ragu untuk memberitahu karena tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Namun, curhatan Dila mengingatkannya kembali.[Aku juga merasakan ada yang aneh dengan suamimu, Dil. Biasanya, dia makan siang bersama Bang Tyar di kantin. Tapi beberapa bulan ini dia selalu keluar dan ngomong pengen makan di luar]Tyar merupakan suami Nita, juga teman Radit. Mereka sering nongkrong di kantin untuk makan siang sekaligus membahas segala hal.Kadang, Nita ikut bergabung dengan mereka. Ia juga bekerja di kantor tersebut.Dila mengerutkan kening, membaca pesan dari Nita.[Sudah berapa lama, Niy? Kamu tahu dia ke mana?][Sekitar tiga atau empat bulan terakhir. Aku gak tahu dia ke mana. Aku pikir ke rumahnya mau makan siang di situ][Makasih ya, Nit, infonya][Kalau kau butuh sesuatu, aku bisa bantuin, Dil][Iya, Nit. Makasih, ya. Nanti aku WA lagi. Mau momong si baby dulu][Okay, Dil. See you! Jangan sungkan ya, kalau butuh bantuan atau info lagi]Nita tahu bahwa Dila harus menjaga kesehatannya dan juga bayinya. Apalagi setelah operasi caesar. Ia akan berusaha membantu yang bisa dia lakukan untuk temannya.***Dila sudah rapi dengan pakaiannya. Sebuah mobil sudah menunggu di depan rumah. Syifa dan adiknya ia bawa ditemani oleh baby sitter-nya.Hanya itu salah satu cara agar dia bisa selalu mengecek keadaan bayinya. Lagi pula, pekerjaan di kedai dilakukan oleh karyawan. Dia hanya mengecek dan memerhatikan segala sesuatu yang diperlukan."Mau ke mana sepagi ini? Rapi banget!""Mau kerja. Assalamualaikum, Bu!"Radit terdiam sepersekian detik melihat istrinya sudah rapi dengan dandanannya."Loh, sarapan pagi belum dibuat?" Bu Santi terkejut karena tidak melihat sarapan di atas meja. "Radit, istrimu tidak membuatkan kopi untukmu?" Radit juga sudah duduk di kursi, kemudian berdiri lagi.Mereka mengira makanan sudah tersedia. ART yang akan dipekerjakan belum dapat. Lebih tepatnya, Radit belum mencari."Dila, buatkan dulu kopi untuk Abang! Jangan lupa kudapannya.""Bukannya sudah ada ART? Aku gak pegang duit banyak kalau buat kudapan. Kenapa tidak menunggu ART saja?"Dila sengaja mengungkit ART kepada Radit agar tidak pura-pura lupa. Keperluan dapur dan rumah sudah dipangkas oleh lelaki itu. Dila sudah tidak memegang duit untuk keperluan rumah."Radit, mana ART yang kau janjikan ke ibu?" Bu Santi senang karena mendengar dari Dila bahwa putranya sudah menyewa ART.Ia masih menunggu jawaban putranya."Radit sudah hubungi jasa penyalur, Bu. Mungkin besok datangnya. Ditunggu aja.""Trus, hari ini gak ada ART?" Wanita tua itu mulai kesal dengan jawaban putranya."Dil, bisa kau buatkan kami sarapan dulu, kemudian kau pergi?" pinta Radit."Kau sudah membeli bahan makanan untuk dibuat? Aku gak mau bolak-balik hanya untuk membeli bahan makanan itu.""Kau itu istri, Dil. Harusnya, kau menyiapkan sarapan.""Mungkin bang Radit lupa. Aku tidak memegang duit untuk keperluan rumah. Itu yang diucapkannya.""Atau tidak, suruh baby sitter-mu itu membuatkan kami sarapan.""Aku akan terlambat bekerja. Belum lagi menunggunya membeli bahan makanan dan membuat sarapan untuk kalian. Kenapa tidak menunggu ART yang kalian sewa aja?Baby sitter-ku hanya bekerja untukku dan ikut denganku. Permisi, aku pergi dulu! Assalamualaikum ...." Dila beranjak pergi.Mereka terpaku seketika mendengar ucapan Dila."Tuh, kan, Dit. Kamu bisa lihat sendiri seperti apa sikap istrimu.""Hei ... Hei ... Rapi banget! Mau ke mana?" Dila berpapasan dengan Sela, iparnya."Biasa, mau ngantor.""Ih, sombong amat! Baru aja diterima kerja udah belagu. Palingan sebulan udah resign. Hahaha ....""Oh, ya. Sorry, aku mau telat. Bye!" Dila tidak peduli dengan ejekan iparnya itu.Sela dari dulu tidak pernah menghargainya sebagai kakak ipar. Justru selalu membanding-bandingkan dirinya yang bekerja dengan Dila.Dila memang tidak bekerja lagi semenjak menikah dengan Radit. Itulah kenapa dia dianggap remeh. Dila tidak terlalu ambil pusing.Namun, sampai saat ini sikap iparnya itu semakin menyakitkan. Mungkin dia juga harus memberi pelajaran kepada orang seperti Sela suatu saat nanti.Dila memasuki mobil yang menjemputnya. Sela sempat membelalakkan mata saat melihat Dila memasuki mobil. Secepatnya, dia tepis pikirannya. Mungkin saja taksi yang menjemput Dila.***Dila berisitirahat sebentar setelah mengecek semua perlengkapan dan kebutuhan di kedai setelah tiba. Dia hanya bisa berkabar lewat panggilan telepon bersama ibunya tentang perkembangan kedai.Ibunya tidak bisa datang karena harus menemani bapaknya yang sakit. Dila berencana akan menjenguk mereka setelah dari kedai.Sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Ia pun meraih ponselnya."Dila, ada yang harus kuberitahu.""Tentang apa, Nit?""Tadi itu saat kami ke kantor bersama Bang Tyar, aku lihat Radit berbelok menuju sebuah restoran. Jadi, aku putuskan berhenti untuk mengikutinya dan Bang Tyar kubiarkan pergi sendiri ke kantor.""Bang Radit! Trus dia ngapain ke restoran?""Nah, itu dia, Dil. Mungkin kau akan terkejut, Dil. Aku juga syok lihatnya. Tau gak siapa yang dia temui?""Maksudmu gimana, Nit?"Tidak berselang lama, Nita mengirim beberapa gambar yang diambilnya ke ponsel milik Dila. Dugaannya beberapa hari terakhir semakin membuatnya yakin. Ternyata, Radit memiliki wanita selingkuhan. Wajah wanita di dalam foto tersebut masih sangat muda dan tidak terlalu tua. Jelas sekali di gambar tersebut mereka terlihat sangat mesra. Radit beberapa kali mengelus tangan wanita di depannya dan mencubit dagu sambil tersenyum.Mata Dila menatap tajam ke gambar kemudian memerah karena sakit. Namun, perasaan jijik mulai membentuk dari sudut bibirnya. Lelaki itu sangat tidak malu mempertontonkan perlakuannya di depan orang banyak. Dila kemudian menutup video yang belum selesai ditontonnya. Nita merekam juga selain mengambil gambar kedua insan yang sangat intim dan mesra itu."Dil, kamu baik-baik saja 'kan?" Nita merasa
Dila memasuki kamar di mana Asti dan kedua anaknya sudah lama menunggu di dalam. Asti sangat mengerti, sehingga membawa mereka agar tidak mendengar pertengkaran orang dewasa. Dila sudah tidak peduli dengan penilaian keluarga suaminya padanya. Keberadaannya saja dianggap sesuatu yang tidak berguna. Ia merasa seolah orang asing di rumah keluarga suaminya sendiri. Ipar yang julid, mertua yang menusuknya dari belakang, dan suami yang tidak tahu diri dan bertanggung jawab. Ia merasa muak dengan semua yang penuh kepura-puraan. Diam terus akan semakin ditindas. Ia sudah tidak tahan dengan semuanya. Pilihannya dia harus menentukan sendiri."Dila, kamu kenapa semakin berubah seperti ini? Abang seperti tidak mengenalmu lagi." Radit memasuki kamar. Dia belum puas berbicara dengan Dila sehingga mengikutinya ke kamar. "Maaf, Non. Saya izin keluar!" Asti merasa tidak nyaman ikut campur dengan masalah majikannya. Ia pun memutuskan keluar dengan membawa Syifa dan baby Nisya ke kamar kosong yang
Dila sudah berdiri tepat di tengah pintu sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Tatapannya sangat tajam."Bang .... Siapa yang Abang ajak bicara? Jadi, seperti ini yang kau lakukan di belakangku? Abang punya hubungan dengan seseorang "kan? Jujur ...." Suara Dila sudah meninggi, kemudian terjeda. Seketika, lelaki itu membalikkan badan dan menoleh ke Dila. "Ssst ...." Ia memberi isyarat dengan menempelkan telunjuknya ke bibirnya. "Jadi, gitu Wan caranya merayu agar hati istrimu luluh kembali." Radit seolah masih serius berbicara di dalam sambungan telepon. "Sudah dulu, Wan. Kita sambung lagi besok." Ponsel yang menempel di telinga sudah diturunkan.Dila mengernyitkan dahi. Dia sangat tidak mengerti."Tadi, teman sedang curhat. Dia minta saran bagaimana meluluhkan hati pasangannya. Mereka sedang tidak akur. Jadi, Abang hanya bantu sebisanya." Radit memberi penjelasan."Teman? Abang tidak berbohong 'kan? Aku sudah mendengar semua percakapanmu, Bang. Jangan berani menipuku." Dila m
Dila masih menatap foto tersebut. Pikirannya kembali membayangkan wajah wanita yang dibawa oleh Radit, kemudian membandingkannya. Ia sangat yakin mereka orang yang sama, hanya berbeda dari penampilan saja. Deru di dadanya memompa dan tidak menentu. "Ma, Papa dengan siapa tadi?" Dila menoleh pada putrinya sambil mengusap rambutnya. "Dengan ART yang akan membantu bersih-bersih di rumah nenek.""Kok, Mama sedih?""Tidak, Sayang." Dila buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin putrinya melihat kalau ibunya bersedih. Ia memikirkan nasib kedua putrinya di kemudian hari tanpa sosok ayah di samping mereka. Ia mulai memikirkan matang-matang tentang keputusannya. Keputusannya untuk berpisah nanti akan mengorbankan nasib kedua putrinya. Hal itu yang mulai mengganggunya belakangan ini.Radit semakin nekat. Dia mencoba untuk membohongi istri dan keluarganya. Namun ternyata, dia salah. Istrinya sangat mudah mengenal siasatnya. Mungkin juga karena lelaki itu tidak bisa men
Dorongan pintu sangat keras menghentak dinding. Cukup mengejutkan orang di dalam. Matanya sangat tajam seakan menembus setiap inci benda yang dipandangnya. Ia tidak menyangka lelaki itu sangat nekat membawa selingkuhannya di rumah. Deru jantungnya memompa makin tidak menentu. Kedua insan di dalam ruangan tersebut membeku. Seakan berubah menjadi batu. Lelaki bercambang itu kalang kabut. Ia tidak sempat menutup dirinya, begitu juga wanita yang berbaring itu. "Jadi, kalian yang berzina di rumah ini? Bang, kamu berzina dengan wanita pelacur ini?" teriak Dila, hingga suaranya terdengar di luar rumah.Dila berhenti di situ saja. Ia terus mencecar Radit dengan berbagai pertanyaan. Tentang pembicaraan lelaki itu di telepon saban hari dengan seorang wanita, dan suara yang menjawab di telepon. Ia baru ingat bahwa suara yang menjawab panggilannya di ponsel sangat mirip.Radit mulai mencari pakaiannya yang entah berserakan ke mana. Nafsu telah menguasai mereka, sehingga tidak sadar telah melem
Warga belum puas sehingga memutuskan tetap berkerumun. Mereka tidak pulang melainkan menunggu pihak yang berwajib untuk membawa kedua pasangan tersebut. Bu Santi masih syok. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mendengar kenyataan putranya berzina di rumahnya membuat hatinya perih. Putra yang dibanggakannya telah menodai kepercayaan dan kebanggaannya. "Nak Dila tunggu sebentar, ya. Pihak kepolisian sedang membuat informasi dan kesaksian Nak Dila." Pak RT meminta Dila agar tidak pergi. Dila hanya mengangguk. Ia tidak bisa menahan rasa sakitnya yang sangat dalam, karena dikhianati oleh lelaki yang telah menikahinya tiga tahun terakhir. Ternyata menyaksikan sendiri, terasa lebih sakit daripada mendengar dari kesaksian orang. Ia masih sangat terpukul. Beberapa warga masih mengira bahwa Radit membawa wanita itu untuk berhubungan di rumah tersebut. Namun, Bu Santi menjelaskan bahwa wanita yang bersama Radit, seorang ART yang akan bekerja di rumahnya. Ia yang meminta putranya mencarikan se
Enam pasang mata itu masih menatapnya tajam saat meninggalkan rumah. Ucapan Dila tadi membuat mereka meradang. Marah dan juga kesal sudah menyatu.Pisah memang pilihan yang berat. Namun untuk kondisinya saat ini merupakan pilihan yang tepat. Mempertahankan bahtera rumah tangga dengan Radit lambat laun akan rubuh juga fondasi yang dibangun. Lelaki itu yang merubuhkannya sendiri. Radit telah menodai perjanjian di atas altar nikah yang pernah diucapkannya. Hati Dila sakit melihat putrinya, yang terus-menerus memanggil ayahnya untuk mengikuti mereka. Dila mencoba menenangkan putrinya. Ia mencoba ikhlas menerima kenyataan pahit tentang nasib kedua putrinya. Ia sadar kedua gadis kecilnya masih membutuhkan sosok ayah di samping mereka. Anak kecil itu belum mengerti dengan apa yang terjadi. Ia hanya ingin ayahnya menyahut ajakannya. Gadis kecil berusia tiga tahun itu menghampiri, kemudian mencoba menarik tangan ayahnya, tetapi digagalkan oleh ibunya.Dia ingin bertanya kenapa. Ia tidak men
Ternyata pernikahan siri antara Radit dan Serli bukan sebelum kejadian tertangkap basah beberapa hari yang lalu itu, tetapi sebaliknya. Kebohongan yang dilakukan Radit bisa ditahu oleh warga sekitar, berkat kekuatan jejak digital yang ditelusuri warganet. Radit semakin tidak nyaman saat bekerja apalagi melintas di depan ruang kerja teman kantor. Pernikahan sirinya sudah menjadi buah bibir di kantor, tidak bisa disembunyikan lagi. ***"Aku muak kerja lagi!" Lelaki bercambang itu melempar tasnya begitu saja. "Kenapa, Dit?" "Muak, Bu dengan teman-teman di kantor. Apa tidak ada pembahasan lain selain menggosipkan tentangku?""Orang-orang memang seperti itu. Udah biarin aja!""Awalnya aku cuek, tetapi lama-kelamaan jadi jengkel juga," sungut Radit. "Dan ternyata mereka sudah tahu kalau ....""Kalau kenapa?" tanya ibunya penasaran. Radit tidak melanjutkan penjelasannya. Ia khawatir ibunya tahu kalau dia belum nikah siri dengan Serli. Ia pun memilih menutup mulut."Kalau a-ku nikah siri
Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Herjunot segera menjawab panggilan tersebut. “Ada apa, Vid?”“Laporan yang anda minta beberapa minggu lalu sudah kami kumpulkan. Apakah anda ingin aku kirimkan sekarang, Tuan?”“Okay, silakan! Aku akan mengeceknya segera.”Herjunot beranjak menuju kamar kemudian duduk di kursi dan menyalakan laptop miliknya. Dengan segera membuka kotak masuk di email setelah laptop on. Beberapa menit kemudian pesan yang dinantikannya sudah masuk. Ia pun membuka dan memperhatikan dengan seksama isi laporan tersebut. Beranjak tempat duduknya dan segera meraih blazer miliknya. “Sayang, aku harus ke kantor sekarang. See you!” Herjunot mengecup keningnya.“Hati-hati ya, Mas. Jangan ngebut kalau mengendarai mobil.”“Gak, kok, Nato yang akan mengantarku ke kantor.”“Syukurlah.”Dila mengantarnya sekaligus menemani hingga ke depan pintu. Senyum indah ia berikan sebelum lelaki tampan yang disayanginya masuk ke mobil. Herjunot membalas senyum itu kemudian melambai
Mereka pun tiba di depan kamar. Pintu kamar terbuka dengan mudah. Herjunot membukanya dengan menggunakan kaki, kebetulan tidak terkunci rapat. Lelaki dengan tubuh atletis itu meletakan istrinya ke atas ranjang tempat tidur. Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian, Dila kembali duduk ke tepi ranjang. Tidak berselang lama Herjunot kembali duduk di sampingnya. Mereka bercengkerama bersama hingga tak terasa malam semakin larut. Herjunot menyandarkan kepala istrinya ke dada miliknya. Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu melewati malam yang syahdu dengan penuh gelora. Dila menoleh ke atas dan menatap wajah yang sangat menawan itu. “Mas, apakah kau tidak akan menyesal menikahiku?”“Pertanyaan macam apa itu? Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”“Tidak, Mas. Aku hanya khawatir dengan keadaan dan statusku yang sekarang. Aku seorang janda.”“Aku sudah memperhitungkan segalanya. Lagipula yang memutuskan untuk menikahimu adalah aku, bukan siapapun. Itu berarti aku memang mem
“Ya, Abang benar. Biasanya, tangisan anak kecil hanya sebagai siasat untuk meluluhkanmu, Bang.”“Nah, itu yang Abang maksud.”Hati Serly menjadi plong dari beban pikiran yang menyelimutinya tadi. Ia merasa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh suaminya. Ia sangat bangga mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut lelaki di sampingnya. Matanya tidak berhenti menatap lelaki yang sedang menyetir mobil tersebut dengan puas diri. “Kamu kenapa aneh gitu, Ser?”“Aneh kenapa, Bang?” “Kenapa menatapku terus seperti itu? Senyum-senyum pula ….” Radit merasa aneh dengan sikap istrinya.“Ti-dak, kok, Bang.” Serly tergagap karena ketahuan suaminya menatap terus sambil tersenyum. Ia pun menolehkan kepala dan menatap lurus ke depan.Mobil masih terus melaju, mengantar mereka kembali ke rumah. Radit masih menyetir, tetapi matanya sesekali melirik ke Serly. Ia masih bertanya-tanya dengan sikap wanita, yang duduk di sampingnya. Sebelumnya, ia melihat raut wajah Serly yang cemberut di pesta tadi, kemu
Secara reflek Martin melakukannya. Hatinya mengarahkan untuk menuntun wanita tersebut. Raut wajahnya tidak menunjukan ekspresi sedih, marah atau canggung sedikitpun. Dila masih bertanya-tanya sambil sesekali melirik lelaki itu. Dila sadar banyak mata menatap mereka. Ia bingung bagaimana harus menyikapi tindakan Martin. Ia ingin memberi isyarat kepada Martin, tetapi tak enak hati karena semua sudah memperhatikan mereka. Kakinya tetap melangkah mengikuti arah ke mana lelaki itu mengantarnya. Herjunot menatap lelaki yang sedang berjalan dengan calon istrinya tersebut dengan tatapan penuh tanda tanya. Hingga mereka mulai mendekat padanya. “Silakan duduk calon iparku!” Martin mepersilakan Dila untuk duduk dengan melemparkan senyuman. “Terima kasih.”Akhirnya, Herjunot mengembuskan napas. Tanda tanya dan kebingungan tadi seketika lenyap. Martin meliriknya sebentar dengan menyunggingkan senyuman. “Selamat berbahagia, my brother!” ucapnya kemudian kembali menghampiri Celline yang sempa
Bab 57Dila terperanjat. “Ma-af, aku tidak mengerti apa maksudmu.”“Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh hati padamu. Kau orang yang menyenangkan. Aku sangat suka bila mengobrol denganmu.”“Maaf, Mas, aku tidak bisa. Aku sudah tunangan dengan Herjunot. Kau sangat tahu kami saling mencintai.”“Aku tahu ini salah, tapi kau sudah terlanjur memikat hatiku.”“Mencintai beda dengan mengagumi. Mungkin anda hanya mengagumi.”“Aku serius, Dila. Aku harus jujur aku mencintai.”Dila deg-degan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang sangat berani mengungkapkan isi hati padanya secara langsung. Namun, ia juga menjadi was-was karena lelaki itu tidak peduli dengan jawabannya. Sebelumnya, ia sudah mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima lelaki itu. “Maaf, Aku tidak bisa. Bolehkah, aku melanjutkan pekerjaanku?” Dila merasa tidak nyaman bila ditatap terlalu dekat. Ia tidak pernah sedekat ini dengan orang asing baginya. Secara tiba-tiba, pintu ruangan Dila dibuka. Keduanya men
Bab 56“Aku, Tuan?” tanya Serly dengan nada bergetar. “Ya, aku berbicara denganmu. Siapa lagi?”“Baik, Tuan.” Wajah ceria Serly berubah suram. Tadi, ia berpikir semua telah selesai ketika Herjunot menyuruh mereka pergi. Ia mulai senang. Namun, semuanya berubah dalam beberapa detik di saat bos suaminya itu memanggil dan memintanya berhenti.“Dila, ada yang ingin kamu sampaikan padanya?”Dila menoleh ke Herjunot. Sebenarnya, ia tidak ingin membahas Serly dan mengingat perlakuan wanita itu. Bila melihat Serly, ia seperti melihat iblis berwujud manusia. Sangat berbahaya. “Aku ingin dia menjauh dari sini.” Dila sama sekali malas berurusan dengan wanita itu. Ia pun berlalu dan pergi lebih dulu ke ruang kerja Herjunot. Ia malas bertemu dengan Serly. Kini tinggal Herjunot dan Serly. Herjunot pun menatap Serly. “Kau harus mendapatkan kata maaf darinya, kemudian aku akan melepaskanmu. Jika tidak, hidupmu tidak akan aman. Kau tahu akhirnya ke mana? Kau akan berakhir di penjara dan membusuk
“Dila ….” Walaupun masih dalam kebingungan, ia tetap menyapa wanita di depannya.Martin beberapa kali mengajak Dila untuk mengobrol. Dia terlalu asyik mengobrol dan sesekali menanyakan perihal Herjunot ke Dila, sehingga tak sadar bahwa mereka terlalu lama mengobrol. Semakin mereka mengobrol, semakin membuat Martin ingin tahu lebih jauh. Dila merupakan teman yang asyik untuk diajak mengobrol apapun. “Aku dengar bahwa kalian sudah lama menjalin hubungan. Benarkah begitu?”“Iya, semenjak di masa sekolah menengah ….”Celline hampir saja tersedak oleh air yang diminumnya. Ia segera melap mulutnya dengan tisu. Ia tidak menoleh ke Dila. Namun, telinganya mendengar jelas jawaban Dila tadi.“Kau tidak apa-apa, Sayang?” tanya Martin sambil menyodorkan tisu padanya.“Tidak, Sayang. Aku hanya terburu-buru tadi.” Martin kembali menoleh ke lawan bicaranya. “Mungkin sebaiknya kita makan agar makanan ini tidak dingin.”“Benar. Yuk, kita makan!”“Oh, ya. Tadi, kau bilang, hubungan kalian semenjak ma
Herjunot menoleh ke wanita di samping Martin. Wanita itu menyunggingkan senyum yang mengisyaratkan sesuatu bahwa dia juga bisa mendapatkan yang lebih daripada lelaki di depannya. “Kenalkan, aku Celline ….” Wanita itu seolah merasa tidak mengenal Herjunot. Ia bersikap dingin saat mengulurkan tangan.“Herjunot ….” Lelaki itu membalas uluran tangannya.Di satu sisi, ia bahagia melihat wanita di depannya telah menemukan pengganti dirinya. Namun di sisi lain, ia merasa kasihan dengan sepupunya. Ia khawatir wanita itu memiliki tendensi lain. Apapun itu, ia tetap mendukung sepupunya, karena Martin sudah sering bercerita dengannya mengenai wanita ini. Ia ingin memberitahu sepupunya tentang Celline yang sesungguhnya. Akan tetapi, ia tak mau merusak hubungan sepupunya yang masih seumur jagung. Tak baik juga baginya ikut campur masalah hubungan orang lain. Ia berharap suatu saat semua akan terungkap juga dengan sendiri. Martin sepertinya sangat tergila-gila dengan Celline. Lelaki itu sering b
Beberapa hari mulai berlalu, Dila sudah bisa beraktivitas. Namun, pergelangan tangan bagian kirinya masih dibalut dengan kain karena tulangnya ada sedikit keretakan. Dia belum bisa beraktivitas berat, hanya bisa berjalan ke butik dan kedai saja. Baru kali ini, ia mulai beraktivitas kembali, setelah kurang lebih dua minggu ia tidak diperbolehkan untuk beraktivitas. Ia sangat bersemangat dan antusias dengan aktivitasnya. Ia sangat merindukan rutinitasnya tersebut. Hari ini, ia sedang di butik, memeriksa beberapa sketsa buatannya dan juga karyawannya. Biasanya sebulan sekali dia akan merancang sekaligus mengeluarkan produk terbaru. Biasanya, dia akan mempertimbangkan selera pasar juga agar selalu up to date. Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Ia pun menjawab panggilan tersebut. Ia sangat antusias menjawab panggilan tersebut. Padahal baru sehari mereka berpisah, tetapi seperti sebulan.“Apa kabar, Dil?”“Baik, Mas. Gimana kabarmu di situ?”“Di sini, aku baik juga. Kangen ni