Dila memasuki kamar di mana Asti dan kedua anaknya sudah lama menunggu di dalam. Asti sangat mengerti, sehingga membawa mereka agar tidak mendengar pertengkaran orang dewasa.
Dila sudah tidak peduli dengan penilaian keluarga suaminya padanya. Keberadaannya saja dianggap sesuatu yang tidak berguna. Ia merasa seolah orang asing di rumah keluarga suaminya sendiri. Ipar yang julid, mertua yang menusuknya dari belakang, dan suami yang tidak tahu diri dan bertanggung jawab.Ia merasa muak dengan semua yang penuh kepura-puraan. Diam terus akan semakin ditindas. Ia sudah tidak tahan dengan semuanya. Pilihannya dia harus menentukan sendiri."Dila, kamu kenapa semakin berubah seperti ini? Abang seperti tidak mengenalmu lagi."Radit memasuki kamar. Dia belum puas berbicara dengan Dila sehingga mengikutinya ke kamar."Maaf, Non. Saya izin keluar!"Asti merasa tidak nyaman ikut campur dengan masalah majikannya. Ia pun memutuskan keluar dengan membawa Syifa dan baby Nisya ke kamar kosong yang biasa dipakai untuk tamu.Kamar tersebut sudah dibersihkan dan digunakan oleh Asti untuk menginap jika diperlukan. Biasanya, dia pulang ke rumahnya. Pagi hari baru dia datang lagi.Syifa yang mengikutinya tidak mengerti apa-apa. Ia hanya menuruti perintah Asti. Gadis kecil itu sudah sangat akrab dengan baby sitter adiknya tersebut."Wanita itu bisa berubah karena sikap dan perlakuan pasangannya, Bang.""Apa perlakuan Abang ada yang berubah?""Seharusnya, Abang ngaca dulu sebelum bertanya seperti itu. Atau bertanya pada diri sendiri.""Kamu yang semakin berubah, Dil.""Terserah penilaianmu. Aku mau ke kamar mandi."Radit hendak mendekatinya, tetapi Dila menepisnya. "Kenapa?""Aku ingin membersihkan diri, Bang, kemudian mau istirahat." Baginya lelaki di belakangnya telah menjadi asing. Bahkan, perasaan untuknya perlahan memudar."Abang sudah lama merindukan kita bersama seperti dulu, Dil." Radit tidak berhenti untuk mengambil hati istrinya yang semakin cuek padanya.Radit merindukan sikap Dila yang bermanja-manja padanya. Sikap itu telah hilang beberapa hari ini. Biasanya, dia akan disambut saat pulang kerja dengan senyuman.Terkadang membantunya membukakan kancing baju dan menyiapkan handuk. Namun, tidak ada lagi semua itu. Radit merasa ada yang kurang.Ia keluar kamar dengan perasaan kecewa. Lelaki dengan cambang tercukur rapi itu memutuskan duduk di sofa sambil memikirkan sesuatu."Radit. Kamu membelikan tas untuk istrimu dan tidak membelikan untuk ibu?" Bu Santi mendekati putranya dengan ekspresi marah.Wanita tua itu duduk di sebelah dan disusul oleh Sela."Iya, Bang. Kau tidak lagi memikirkan ibu. Kau lebih memilih memanjakan istrimu. Berapa duit yang kau berikan, Bang? Dila semakin glowing. Pasti dia menghabiskan semua duitmu."Radit menoleh ke mereka. "Apa kalian tidak dengar? Tadi, Dila sudah bilang sendiri dengan menggunakan gajinya. Jatah bulanannya pun sudah aku potong dan gak mungkin cukup untuk membeli tas dan perawatan lainnya.""Gak mungkinlah, Bang. Gaji karyawan biasa mana mungkin bisa membayar harga tas yang mahal tadi, ditambah lagi dengan biaya perawatan. Lagian dia belum sebulan bekerja." Sela masih tidak yakin."Ya, bisa saja dia nyicil. Gajian kan gak lama lagi," sambung Radit, mencoba menebak. Sebenarnya, dia juga penasaran dari mana uang yang digunakan oleh Dila."Dit, mana ART yang kau janjikan ke ibu?""Besok, Bu. Radit janji akan membawanya ke sini.""Janji, ya! Ibu sudah kelaparan. Beberapa hari terakhir kita kesulitan untuk makan. Tidak ada makanan yang tersedia. Masa mau mesan lagi?""Iya, Radit janji, Bu.""Trus, malam ini kita makan apa?""Yang ada saja!""Sela, buatkan ibu dan Abangmu makan malam, ya!"Sela menaikkan alis. Ia keberatan dan tidak terima. Maksud hati ingin makan gratis dan membawakan lauk pauk untuk anak dan suaminya, justru disuruh untuk memasak."Sela harus pulang, Bu. Kasihan Bang Andre dan Meli menunggu di rumah." Ia pun berlalu.Rumah Sela tidak terlalu jauh dari kediaman ibunya. Jaraknya sekitar lima ratus meter."Dasar! Giliran makan, tinggal nyambar aja." Bu Santi dongkol dengan putrinya tersebut.Sementara itu, Dila sudah berbaring bersama bayinya di kamar. Syifa sudah tertidur di kasur miliknya. Mereka sudah makan di kedai.Radit memilih tidur di sofa. Beberapa malam belakangan, dia lebih sering tidur di sofa.Dila terbangun di malam hari karena si baby mulai gelisah meminta susu. Wanita itu segera menuju dispenser untuk membuatkan susu, sebelum bayinya merengek.ASI-nya tidak banyak sehingga harus dibantu oleh susu formula. Ia mencari botol susu bayi yang diletakkan di atas nakas.Dia menoleh ke arah di mana suaminya tidur, tetapi tidak ada. Ia berpikir mungkin lelaki itu belum pulang karena Dila sangat cepat ketiduran.Dila memperlambat langkahnya saat mendengar suara seseorang di sebelah. Kebetulan kamarnya dan Radit berdekatan dengan teras samping rumah, tempat tanaman bunga dirawat.Suara tersebut terdengar seperti seseorang sedang berbisik, tetapi Dila masih bisa mendengarnya karena malam hari sangat hening, tidak ada suara selain embusan angin dan ranting yang bergerak.Kebetulan pintu kamar tidak tertutup rapat. Dila membuka pintu kamar dan memicingkan mata untuk melihat jelas siapa yang berbicara.Ia pun mendekat perlahan supaya tidak terdengar. Ia juga memutuskan berdiri di jarak yang agak jauh, agar keberadaannya tidak dilihat."Iya, Sayang. Besok saja biaya kosan-mu Abang transfer. Kan Abang selalu tepati janji. Kamu tidak percaya sama Abang?""Percaya kok, Bang. Sarli hanya ingatin Abang jangan sampai lupa seperti bulan lalu. Gak enak Bang, ditagih sama ibu kos." Suara di balik sambungan telepon dengan nada manja."Nah gitu, dong. Besok ketemuan di mana lagi? Kamu saja ya, yang tentuin tempatnya. Kangen nih suara desahanmu.""Ih, Abang bisa aja. Desahan atau yang lainnya juga.""Semuanya deh, sama jeritanmu juga.""Dasar nakal! Padahal kemarin udah masa masih kangen aja."Jelas sekali suara tersebut milik Radit. Dila syok mendengar percakapan tersebut. Ia yakin wanita yang dihubungi suaminya, wanita yang ada di foto pagi tadi."Besok Abang akan ke situ lagi, ya. Sampai jumpa besok. Mmuah! Kamu membuatku tersiksa malam ini. Awas kamu besok, ya."Dila masih mematung mendengar percakapan tersebut. Melihat gambar atau mendengar kabar dari orang lain sakit, tetapi tidak sangat menyakitkan. Berbeda halnya mendengar sendiri dengan telinganya.Lelaki itu benar-benar sangat di luar batas. Dila sudah sangat marah dan tidak mampu menahannya lagi. Ia pun melangkah keluar kamar dan menuju teras tersebut, di mana Radit berada.Lelaki itu pun hendak mengakhiri panggilan telepon. Dia sangat terkejut melihat siapa yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri juga. Matanya mengerjap berkali-kali.Deru di dadanya memompa sangat cepat. Dia tidak menyangka suaranya terdengar oleh Dila. Padahal dia sudah memelankan suaranya agar tidak terdengar.Radit ingin berbalik, tetapi wanita itu semakin mendekat. Keringat dingin mulai mengucur di dahi.Dila sudah berdiri tepat di tengah pintu sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Tatapannya sangat tajam."Bang .... Siapa yang Abang ajak bicara? Jadi, seperti ini yang kau lakukan di belakangku? Abang punya hubungan dengan seseorang "kan? Jujur ...." Suara Dila sudah meninggi, kemudian terjeda. Seketika, lelaki itu membalikkan badan dan menoleh ke Dila. "Ssst ...." Ia memberi isyarat dengan menempelkan telunjuknya ke bibirnya. "Jadi, gitu Wan caranya merayu agar hati istrimu luluh kembali." Radit seolah masih serius berbicara di dalam sambungan telepon. "Sudah dulu, Wan. Kita sambung lagi besok." Ponsel yang menempel di telinga sudah diturunkan.Dila mengernyitkan dahi. Dia sangat tidak mengerti."Tadi, teman sedang curhat. Dia minta saran bagaimana meluluhkan hati pasangannya. Mereka sedang tidak akur. Jadi, Abang hanya bantu sebisanya." Radit memberi penjelasan."Teman? Abang tidak berbohong 'kan? Aku sudah mendengar semua percakapanmu, Bang. Jangan berani menipuku." Dila m
Dila masih menatap foto tersebut. Pikirannya kembali membayangkan wajah wanita yang dibawa oleh Radit, kemudian membandingkannya. Ia sangat yakin mereka orang yang sama, hanya berbeda dari penampilan saja. Deru di dadanya memompa dan tidak menentu. "Ma, Papa dengan siapa tadi?" Dila menoleh pada putrinya sambil mengusap rambutnya. "Dengan ART yang akan membantu bersih-bersih di rumah nenek.""Kok, Mama sedih?""Tidak, Sayang." Dila buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin putrinya melihat kalau ibunya bersedih. Ia memikirkan nasib kedua putrinya di kemudian hari tanpa sosok ayah di samping mereka. Ia mulai memikirkan matang-matang tentang keputusannya. Keputusannya untuk berpisah nanti akan mengorbankan nasib kedua putrinya. Hal itu yang mulai mengganggunya belakangan ini.Radit semakin nekat. Dia mencoba untuk membohongi istri dan keluarganya. Namun ternyata, dia salah. Istrinya sangat mudah mengenal siasatnya. Mungkin juga karena lelaki itu tidak bisa men
Dorongan pintu sangat keras menghentak dinding. Cukup mengejutkan orang di dalam. Matanya sangat tajam seakan menembus setiap inci benda yang dipandangnya. Ia tidak menyangka lelaki itu sangat nekat membawa selingkuhannya di rumah. Deru jantungnya memompa makin tidak menentu. Kedua insan di dalam ruangan tersebut membeku. Seakan berubah menjadi batu. Lelaki bercambang itu kalang kabut. Ia tidak sempat menutup dirinya, begitu juga wanita yang berbaring itu. "Jadi, kalian yang berzina di rumah ini? Bang, kamu berzina dengan wanita pelacur ini?" teriak Dila, hingga suaranya terdengar di luar rumah.Dila berhenti di situ saja. Ia terus mencecar Radit dengan berbagai pertanyaan. Tentang pembicaraan lelaki itu di telepon saban hari dengan seorang wanita, dan suara yang menjawab di telepon. Ia baru ingat bahwa suara yang menjawab panggilannya di ponsel sangat mirip.Radit mulai mencari pakaiannya yang entah berserakan ke mana. Nafsu telah menguasai mereka, sehingga tidak sadar telah melem
Warga belum puas sehingga memutuskan tetap berkerumun. Mereka tidak pulang melainkan menunggu pihak yang berwajib untuk membawa kedua pasangan tersebut. Bu Santi masih syok. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mendengar kenyataan putranya berzina di rumahnya membuat hatinya perih. Putra yang dibanggakannya telah menodai kepercayaan dan kebanggaannya. "Nak Dila tunggu sebentar, ya. Pihak kepolisian sedang membuat informasi dan kesaksian Nak Dila." Pak RT meminta Dila agar tidak pergi. Dila hanya mengangguk. Ia tidak bisa menahan rasa sakitnya yang sangat dalam, karena dikhianati oleh lelaki yang telah menikahinya tiga tahun terakhir. Ternyata menyaksikan sendiri, terasa lebih sakit daripada mendengar dari kesaksian orang. Ia masih sangat terpukul. Beberapa warga masih mengira bahwa Radit membawa wanita itu untuk berhubungan di rumah tersebut. Namun, Bu Santi menjelaskan bahwa wanita yang bersama Radit, seorang ART yang akan bekerja di rumahnya. Ia yang meminta putranya mencarikan se
Enam pasang mata itu masih menatapnya tajam saat meninggalkan rumah. Ucapan Dila tadi membuat mereka meradang. Marah dan juga kesal sudah menyatu.Pisah memang pilihan yang berat. Namun untuk kondisinya saat ini merupakan pilihan yang tepat. Mempertahankan bahtera rumah tangga dengan Radit lambat laun akan rubuh juga fondasi yang dibangun. Lelaki itu yang merubuhkannya sendiri. Radit telah menodai perjanjian di atas altar nikah yang pernah diucapkannya. Hati Dila sakit melihat putrinya, yang terus-menerus memanggil ayahnya untuk mengikuti mereka. Dila mencoba menenangkan putrinya. Ia mencoba ikhlas menerima kenyataan pahit tentang nasib kedua putrinya. Ia sadar kedua gadis kecilnya masih membutuhkan sosok ayah di samping mereka. Anak kecil itu belum mengerti dengan apa yang terjadi. Ia hanya ingin ayahnya menyahut ajakannya. Gadis kecil berusia tiga tahun itu menghampiri, kemudian mencoba menarik tangan ayahnya, tetapi digagalkan oleh ibunya.Dia ingin bertanya kenapa. Ia tidak men
Ternyata pernikahan siri antara Radit dan Serli bukan sebelum kejadian tertangkap basah beberapa hari yang lalu itu, tetapi sebaliknya. Kebohongan yang dilakukan Radit bisa ditahu oleh warga sekitar, berkat kekuatan jejak digital yang ditelusuri warganet. Radit semakin tidak nyaman saat bekerja apalagi melintas di depan ruang kerja teman kantor. Pernikahan sirinya sudah menjadi buah bibir di kantor, tidak bisa disembunyikan lagi. ***"Aku muak kerja lagi!" Lelaki bercambang itu melempar tasnya begitu saja. "Kenapa, Dit?" "Muak, Bu dengan teman-teman di kantor. Apa tidak ada pembahasan lain selain menggosipkan tentangku?""Orang-orang memang seperti itu. Udah biarin aja!""Awalnya aku cuek, tetapi lama-kelamaan jadi jengkel juga," sungut Radit. "Dan ternyata mereka sudah tahu kalau ....""Kalau kenapa?" tanya ibunya penasaran. Radit tidak melanjutkan penjelasannya. Ia khawatir ibunya tahu kalau dia belum nikah siri dengan Serli. Ia pun memilih menutup mulut."Kalau a-ku nikah siri
"SERLI ... cepat buatkan kami makan! Abang sudah lapar." Radit sudah tidak bisa menahan diri. "Abang tunggu ya, di dapur!" Lelaki itu segera pergi dan tidak menunggu jawaban wanita itu. Ia tahu Serli akan memberikan alasan lagi. Jadi, dia memutuskan pergi dan menunggu di ruang makan saja. Wanita yang sedang berbaring itu membisu karena keterkejutannya. Bentakan keras suara lelaki tadi membuatnya sakit hati. Selama setahun memiliki hubungan dengan lelaki itu, dia tidak pernah diperlakukan seperti tadi. Lelaki itu selalu bersikap baik, romantis dan memanjakannya. Namun yang baru saja ia dengar telah mengubah pandangannya tentang lelaki itu. Hampir setengah jam, Serli belum keluar dari kamar. Radit mulai gelisah dan juga meradang. Wanita yang ditunggu belum juga menampakkan wajahnya atau pun beraktivitas di dapur. Radit pergi ke luar untuk memarkirkan kendaraannya yang sembarang saja disimpan saat tiba di rumah. Kesal dan jengkel di kantor belum hilang, kini muncul kekesalan baru te
"Teman, Bang. Taulah dia sedikit belok," jawab Serli sambil mencontohkan maksudnya dengan mengayunkan jemarinya. "Nih, aku sengaja dah siap kayak gini untuk bertempur lagi, dan tentunya menyenangkanmu." Serli kembali bergelayut manja di leher Radit dengan menautkan kedua tangannya.Lelaki itu tentu saja hilang kendali. Pikirannya pun teralihkan seiring aliran darah yang bergejolak tak karuan karena denyut jantung memompa semakin kencang. "Tapi, benar, ya. Jangan bohong. Awas kalau bohongin Abang!" Ia mencubit bibir wanita di depannya."Tentu dong, Bang. Kok, Abang gak percaya banget sama Serli?" ucap wanita itu dengan meyakinkan, walaupun sebenarnya dia juga terlihat sangat khawatir.Ia berharap Radit tidak melihat sosok di balik sambungan video call tadi. Serli masih terus merayu lelaki bercambang itu agar segera luluh. Radit kembali melepas rangkulan tangan wanita di sampingnya. "Kenapa, Bang?" Serli tidak mengerti dengan reaksi Radit, sangat cepat berubah."Aku rasa kau sedang b
Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Herjunot segera menjawab panggilan tersebut. “Ada apa, Vid?”“Laporan yang anda minta beberapa minggu lalu sudah kami kumpulkan. Apakah anda ingin aku kirimkan sekarang, Tuan?”“Okay, silakan! Aku akan mengeceknya segera.”Herjunot beranjak menuju kamar kemudian duduk di kursi dan menyalakan laptop miliknya. Dengan segera membuka kotak masuk di email setelah laptop on. Beberapa menit kemudian pesan yang dinantikannya sudah masuk. Ia pun membuka dan memperhatikan dengan seksama isi laporan tersebut. Beranjak tempat duduknya dan segera meraih blazer miliknya. “Sayang, aku harus ke kantor sekarang. See you!” Herjunot mengecup keningnya.“Hati-hati ya, Mas. Jangan ngebut kalau mengendarai mobil.”“Gak, kok, Nato yang akan mengantarku ke kantor.”“Syukurlah.”Dila mengantarnya sekaligus menemani hingga ke depan pintu. Senyum indah ia berikan sebelum lelaki tampan yang disayanginya masuk ke mobil. Herjunot membalas senyum itu kemudian melambai
Mereka pun tiba di depan kamar. Pintu kamar terbuka dengan mudah. Herjunot membukanya dengan menggunakan kaki, kebetulan tidak terkunci rapat. Lelaki dengan tubuh atletis itu meletakan istrinya ke atas ranjang tempat tidur. Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian, Dila kembali duduk ke tepi ranjang. Tidak berselang lama Herjunot kembali duduk di sampingnya. Mereka bercengkerama bersama hingga tak terasa malam semakin larut. Herjunot menyandarkan kepala istrinya ke dada miliknya. Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu melewati malam yang syahdu dengan penuh gelora. Dila menoleh ke atas dan menatap wajah yang sangat menawan itu. “Mas, apakah kau tidak akan menyesal menikahiku?”“Pertanyaan macam apa itu? Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”“Tidak, Mas. Aku hanya khawatir dengan keadaan dan statusku yang sekarang. Aku seorang janda.”“Aku sudah memperhitungkan segalanya. Lagipula yang memutuskan untuk menikahimu adalah aku, bukan siapapun. Itu berarti aku memang mem
“Ya, Abang benar. Biasanya, tangisan anak kecil hanya sebagai siasat untuk meluluhkanmu, Bang.”“Nah, itu yang Abang maksud.”Hati Serly menjadi plong dari beban pikiran yang menyelimutinya tadi. Ia merasa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh suaminya. Ia sangat bangga mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut lelaki di sampingnya. Matanya tidak berhenti menatap lelaki yang sedang menyetir mobil tersebut dengan puas diri. “Kamu kenapa aneh gitu, Ser?”“Aneh kenapa, Bang?” “Kenapa menatapku terus seperti itu? Senyum-senyum pula ….” Radit merasa aneh dengan sikap istrinya.“Ti-dak, kok, Bang.” Serly tergagap karena ketahuan suaminya menatap terus sambil tersenyum. Ia pun menolehkan kepala dan menatap lurus ke depan.Mobil masih terus melaju, mengantar mereka kembali ke rumah. Radit masih menyetir, tetapi matanya sesekali melirik ke Serly. Ia masih bertanya-tanya dengan sikap wanita, yang duduk di sampingnya. Sebelumnya, ia melihat raut wajah Serly yang cemberut di pesta tadi, kemu
Secara reflek Martin melakukannya. Hatinya mengarahkan untuk menuntun wanita tersebut. Raut wajahnya tidak menunjukan ekspresi sedih, marah atau canggung sedikitpun. Dila masih bertanya-tanya sambil sesekali melirik lelaki itu. Dila sadar banyak mata menatap mereka. Ia bingung bagaimana harus menyikapi tindakan Martin. Ia ingin memberi isyarat kepada Martin, tetapi tak enak hati karena semua sudah memperhatikan mereka. Kakinya tetap melangkah mengikuti arah ke mana lelaki itu mengantarnya. Herjunot menatap lelaki yang sedang berjalan dengan calon istrinya tersebut dengan tatapan penuh tanda tanya. Hingga mereka mulai mendekat padanya. “Silakan duduk calon iparku!” Martin mepersilakan Dila untuk duduk dengan melemparkan senyuman. “Terima kasih.”Akhirnya, Herjunot mengembuskan napas. Tanda tanya dan kebingungan tadi seketika lenyap. Martin meliriknya sebentar dengan menyunggingkan senyuman. “Selamat berbahagia, my brother!” ucapnya kemudian kembali menghampiri Celline yang sempa
Bab 57Dila terperanjat. “Ma-af, aku tidak mengerti apa maksudmu.”“Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh hati padamu. Kau orang yang menyenangkan. Aku sangat suka bila mengobrol denganmu.”“Maaf, Mas, aku tidak bisa. Aku sudah tunangan dengan Herjunot. Kau sangat tahu kami saling mencintai.”“Aku tahu ini salah, tapi kau sudah terlanjur memikat hatiku.”“Mencintai beda dengan mengagumi. Mungkin anda hanya mengagumi.”“Aku serius, Dila. Aku harus jujur aku mencintai.”Dila deg-degan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang sangat berani mengungkapkan isi hati padanya secara langsung. Namun, ia juga menjadi was-was karena lelaki itu tidak peduli dengan jawabannya. Sebelumnya, ia sudah mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima lelaki itu. “Maaf, Aku tidak bisa. Bolehkah, aku melanjutkan pekerjaanku?” Dila merasa tidak nyaman bila ditatap terlalu dekat. Ia tidak pernah sedekat ini dengan orang asing baginya. Secara tiba-tiba, pintu ruangan Dila dibuka. Keduanya men
Bab 56“Aku, Tuan?” tanya Serly dengan nada bergetar. “Ya, aku berbicara denganmu. Siapa lagi?”“Baik, Tuan.” Wajah ceria Serly berubah suram. Tadi, ia berpikir semua telah selesai ketika Herjunot menyuruh mereka pergi. Ia mulai senang. Namun, semuanya berubah dalam beberapa detik di saat bos suaminya itu memanggil dan memintanya berhenti.“Dila, ada yang ingin kamu sampaikan padanya?”Dila menoleh ke Herjunot. Sebenarnya, ia tidak ingin membahas Serly dan mengingat perlakuan wanita itu. Bila melihat Serly, ia seperti melihat iblis berwujud manusia. Sangat berbahaya. “Aku ingin dia menjauh dari sini.” Dila sama sekali malas berurusan dengan wanita itu. Ia pun berlalu dan pergi lebih dulu ke ruang kerja Herjunot. Ia malas bertemu dengan Serly. Kini tinggal Herjunot dan Serly. Herjunot pun menatap Serly. “Kau harus mendapatkan kata maaf darinya, kemudian aku akan melepaskanmu. Jika tidak, hidupmu tidak akan aman. Kau tahu akhirnya ke mana? Kau akan berakhir di penjara dan membusuk
“Dila ….” Walaupun masih dalam kebingungan, ia tetap menyapa wanita di depannya.Martin beberapa kali mengajak Dila untuk mengobrol. Dia terlalu asyik mengobrol dan sesekali menanyakan perihal Herjunot ke Dila, sehingga tak sadar bahwa mereka terlalu lama mengobrol. Semakin mereka mengobrol, semakin membuat Martin ingin tahu lebih jauh. Dila merupakan teman yang asyik untuk diajak mengobrol apapun. “Aku dengar bahwa kalian sudah lama menjalin hubungan. Benarkah begitu?”“Iya, semenjak di masa sekolah menengah ….”Celline hampir saja tersedak oleh air yang diminumnya. Ia segera melap mulutnya dengan tisu. Ia tidak menoleh ke Dila. Namun, telinganya mendengar jelas jawaban Dila tadi.“Kau tidak apa-apa, Sayang?” tanya Martin sambil menyodorkan tisu padanya.“Tidak, Sayang. Aku hanya terburu-buru tadi.” Martin kembali menoleh ke lawan bicaranya. “Mungkin sebaiknya kita makan agar makanan ini tidak dingin.”“Benar. Yuk, kita makan!”“Oh, ya. Tadi, kau bilang, hubungan kalian semenjak ma
Herjunot menoleh ke wanita di samping Martin. Wanita itu menyunggingkan senyum yang mengisyaratkan sesuatu bahwa dia juga bisa mendapatkan yang lebih daripada lelaki di depannya. “Kenalkan, aku Celline ….” Wanita itu seolah merasa tidak mengenal Herjunot. Ia bersikap dingin saat mengulurkan tangan.“Herjunot ….” Lelaki itu membalas uluran tangannya.Di satu sisi, ia bahagia melihat wanita di depannya telah menemukan pengganti dirinya. Namun di sisi lain, ia merasa kasihan dengan sepupunya. Ia khawatir wanita itu memiliki tendensi lain. Apapun itu, ia tetap mendukung sepupunya, karena Martin sudah sering bercerita dengannya mengenai wanita ini. Ia ingin memberitahu sepupunya tentang Celline yang sesungguhnya. Akan tetapi, ia tak mau merusak hubungan sepupunya yang masih seumur jagung. Tak baik juga baginya ikut campur masalah hubungan orang lain. Ia berharap suatu saat semua akan terungkap juga dengan sendiri. Martin sepertinya sangat tergila-gila dengan Celline. Lelaki itu sering b
Beberapa hari mulai berlalu, Dila sudah bisa beraktivitas. Namun, pergelangan tangan bagian kirinya masih dibalut dengan kain karena tulangnya ada sedikit keretakan. Dia belum bisa beraktivitas berat, hanya bisa berjalan ke butik dan kedai saja. Baru kali ini, ia mulai beraktivitas kembali, setelah kurang lebih dua minggu ia tidak diperbolehkan untuk beraktivitas. Ia sangat bersemangat dan antusias dengan aktivitasnya. Ia sangat merindukan rutinitasnya tersebut. Hari ini, ia sedang di butik, memeriksa beberapa sketsa buatannya dan juga karyawannya. Biasanya sebulan sekali dia akan merancang sekaligus mengeluarkan produk terbaru. Biasanya, dia akan mempertimbangkan selera pasar juga agar selalu up to date. Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Ia pun menjawab panggilan tersebut. Ia sangat antusias menjawab panggilan tersebut. Padahal baru sehari mereka berpisah, tetapi seperti sebulan.“Apa kabar, Dil?”“Baik, Mas. Gimana kabarmu di situ?”“Di sini, aku baik juga. Kangen ni