Kening wanita itu semakin berkerut. Ia tidak menyangka dengan jawaban suaminya. Tidak diduga dia akan mendapatkan jawaban tersebut.
Padahal, dia sudah tahu yang sesungguhnya. Ia hanya sengaja untuk mencoba kejujuran suaminya dan itulah yang didapatkan. Ia tidak mengerti lagi kenapa lelaki di depannya membohonginya."Janji, ya, Mas. Besok ditransfer!""Kamu kayak gak percaya Abang, Dil?" Lelaki itu merasa tersinggung."Ya, aku hanya memperingatkan, Bang. Biaya kebutuhan bayi gak sedikit dan tidak bisa ditunda. Aku gak pegang duit lagi. Semuanya sudah habis untuk kebutuhan dapur di rumah ini.""Berarti benar yang ibu bilang kalau kau sangat boros?" tanya lelaki itu penuh penekanan."Boros? Uang segitu apa cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur di rumah ini, juga kebutuhanmu? Asal Abang tau, aku disuruh memasak lauk pauk banyak di rumah karena kakakmu, Sela sering ke sini untuk membawa pulang beberapa lauk pauk itu ke rumahnya."Dila mulai tidak bisa menahan emosi karena dituduh boros.Mendengar suaminya yang mengatakan hal tadi begitu menyakitkan hatinya.Suaminya sangat berbeda. Sikap Radit yang sudah tidak terlihat peduli pada dirinya, kesehatannya, juga putrinya. Bahkan di depannya sendiri lelaki itu menuduhnya seperti tadi. Ia tidak tahu siapa yang meracuni pikiran suaminya.Namun tidak dapat dipungkiri orang di dalam rumah mereka hanya mertuanya. Bisa jadi, iparnya juga yang sering ke rumah untuk sekedar numpang makan.Alasannya tidak sempat memasak karena sibuk di kantor kelurahan sebagai administrator. Bahkan iparnya tersebut membawa sedikit lauk pauk untuk bekal di rumah KPR yang mereka tinggali.Sela, iparnya itu sengaja menghemat pengeluaran karena mendahulukan bayaran cicilan rumah. Itu yang sering diucapkannya ke ibunya jika bertandang ke rumah. Sela memaksakan diri membeli rumah KPR agar terlihat mapan."Kok, kamu nuduh kakak iparmu seperti itu, Dek?""Bukan nuduh, Bang. Tapi, kenyataannya seperti itu. Abang jarang lihat karena sedang kerja di kantor." Dila ingin melanjutkan jika yang menyuruhnya membuat masakan yang banyak ialah ibu mertuanya sendiri."Sudah .... Abang tidak ingin berdebat lagi."Seharusnya, Dila yang marah karena suaminya tidak bertanggung jawab tentang biaya operasi caesar. Bukan hanya kali ini, tetapi yang terdahulu juga.Ia masih sangat kesal, tetapi ditahannya. Dila masih harus mendahulukan kesembuhannya. Setelah itu, wanita yang sudah bersandar di ranjang tidur tersebut akan mempertimbangkan kembali tentang dirinya dan keluarga toxic dari suaminya.Masih banyak hal yang harus dia ketahui. Tentang kebohongan suaminya mengenai suara wanita di ponselnya, biaya persalinannya yang terkesan dibiarkan, dan masalah gaji tadi.Semua masih menjadi tanda tanya. Dila merasakan sesuatu yang berbeda dari cara suaminya menyapa dan berbicara padanya semenjak pulang tadi.Di ruang makan, Radit sedang serius mendengarkan keluhan Ibunya. Bu Santi, Radit, dan Sela belum beranjak setelah menikmati makan malam bersama.Sela sengaja datang untuk meminta lauk, tetapi tidak banyak. Akhirnya, dia memutuskan makan bersama.Dila tertidur di kamar setelah menikmati sup ubi yang dikirimkan oleh ibunya lewat kurir. Beruntung, Dila mendengar suara kurir mengantar pesanan untuknya. Kalau tidak, makanan tersebut akan dibawa lagi oleh Sela, iparnya itu."Radit, ibu sudah sangat tua jika harus mengurus rumah ini sendiri." Tiba-tiba, Bu Santi berbicara."Hmm ... Ibu bersabar dulu. Dila tidak lama lagi akan sembuh, kok dan membantu Ibu.""Kelamaan, Dit ....""Jadi, ibu maunya gimana?" tanya putranya penasaran, mengalihkan pandangannya dari ponsel di tangan."Kamu harus menyewa ART.""ART? Gaji Radit gak cukup, Bu untuk membayar ART.""Kamu bisa kurangi jatah istrimu. Kan jatah kebutuhan rumah ini ada di istrimu.""Ibu benar, Bang. Kasihan ibu kalau harus bekerja. Belum lagi jika harus mengurus putrimu karena Dila belum sembuh total," sambung Sela.Ia nampak senang mendengar usulan ibunya. Sebuah ide seketika muncul di kepalanya. Jika Radit menyewa ART, itu artinya dia bisa leluasa membawa makanan lagi. Tidak butuh drama sindiran pedas bersama iparnya jika datang ke rumah.Radit nampak berpikir lama, kemudian berkata, "Radit akan beritahu Dila dulu, Bu.""Gak perlu izin segala. Kamu itu kepala keluarga, masa harus izin segala. Istri mesti nurut keputusan suami. Ntar, Dila menolak lagi. Pokoknya besok kamu sudah bawa pembantu di rumah ini. Kamu rela ibumu sakit-sakitan hanya karena mengurus rumah ini?" keluh Bu Santi dengan wajah memelas."Baik. Kalau begitu Radit akan cari besok." Lelaki itu tidak punya pilihan selain menyetujui permintaan ibunya. Ia tidak rela melihat ibunya bersedih."Nah, gitu dong! Ibu gak akan sakit-sakitan lagi. Kamu memang putra ibu yang sangat pengertian." Wajah Bu Santi seketika berubah ceria.***Minggu kedua dari pasca operasi, Dila sudah bisa beraktivitas pagi itu meskipun belum bisa aktivitas yang banyak dan padat. Terkadang rasa nyeri tiba-tiba muncul.Setidaknya, dia sudah bisa melakukan kegiatan kecil. Berbaring lama di ranjang membuat persendiannya terasa kaku."Dila, kamu sudah sehat 'kan?""Kenapa, Bu?" Dila menoleh karena teguran ibu mertuanya."Ibu minta bantuan kamu nyuci pakaian ibu.""Bukannya sudah ada ART, Bu?""Kalau nunggu ART kelamaan. Dia masih kerja yang lain. Apalagi ini sudah musim hujan. Pakaian ibu gak bakal kering kalau nunggu sampai sore.""Maaf, Bu. Dila belum bisa aktivitas berat.""Jadi, kamu menolak permintaan ibu mertuamu? Kamu tega membiarkan ibu jatuh sakit?""Bukan nolak, Bu. Dila lagi tidak sehat seratus persen. Jahitan di perut ini masih perih.""Lagian, kenapa sih meminta lahiran dengan operasi segala? Coba kalau lahiran normal, kamu sudah bisa beraktivitas. Gak seperti sekarang.""Itu bukan Dila yang minta, Bu. Justru, Dila mengharapkan lahiran normal, tetapi memang keadaannya yang tidak memungkinkan. Dokter kandungan yang memutuskan seperti ini.""Kalau tau seperti itu, seharusnya kalian tahan dulu program anak. Biar gak resiko seperti sekarang. Belum lagi biayanya sangat mahal."Wanita tua itu mengira Dila sengaja meminta operasi caesar saat lahiran untuk mengikuti trend dan tidak merasakan sakit. Dia tidak mengerti bahwa operasi juga melewati rasa sakit yang sangat lama.Ia hanya tahu lewat gosip-gosip dan kabar lewat orang lain tentang operasi. Tidak perlu lewati drama melahirkan secara normal yang sangat menyakitkan.Ia tidak pernah merasakannya dan jarang memerhatikan anak mantunya, sesakit apa operasi itu. Karena semenjak lahiran pertama, dia memerhatikan anak mantunya tidak pernah mengeluh saat berjalan."Kalau anak itu emang amanah, Bu. Dila juga sudah usaha meminum pil KB."Dila baru saja masuk ke kamarnya, kemudian duduk sambil bersandar. Tiba-tiba, sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya.Wanita itu meraih ponselnya dan menjawab panggilan masuk. "Assalamualaikum. Iya, Bang.""Apa yang baru saja kau katakan ke ibu, Dil? Dia baru saja meneleponku dan menangis di sambungan telepon. Kau membentak ibuku?" Seketika, Dila terperanjat. Ia mengerutkan dahi.Nada suara Radit terdengar keras di telinga. Dila menjauhkan sebentar ponselnya dari telinga, kemudian mendekatkan kembali.Ia masih bingung. Keluhan apa yang disampaikan ibu mertuanya ke Radit?Wanita tua itu mengadu ke putranya."Membentak? Apa aku gak salah dengar, Bang?""Kau tidak perlu berpura-pura, Dil. Aku sudah tahu seperti apa kau itu.""Abang terlalu cepat mempercayai sesuatu dan tidak menanyakan dulu padaku. Aku tidak terima difitnah seperti ini terus, Bang." Dila segera menutup panggilan telepon tanpa menunggu ucapan balik dari suaminya.Deru napas di dadanya naik turun. Jari-jarinya meremas ponselnya. Ia pun meletakkan ponselnya ke atas kasur dengan sedikit kasar. Rasanya sesak dan sakit mendengar orang-orang terdekat di rumah yang ditinggali itu menuduh apalagi menyalahkannya. Perasaan sabar yang ditahan tidak mampu lagi dibendung. Dila sangat marah karena ucapan suaminya dan juga fitnah ibu mertuanya. Kejam sekali Bu Susan memfitnahnya kemudian mengadu ke putranya. "Halo ... Halo .... Dila! Aku belum selesai berbicara .... "Huff, wanita itu sangat tidak menghargai siapa yang diajak berbicara," gumam Radit sambil meletakkan kembali ponselnya. Ia sudah mencoba, menghubungi, tetapi tidak dijawa
Sejurus kemudian, notifikasi pesan terbaru ke ponsel tersebut. Dila kembali menoleh untuk membaca pesan tersebut. Walaupun dia tidak bisa membuka ponsel tersebut dan membaca isi pesan secara keseluruhan, dia masih bisa membaca lewat notifikasi di depan layar. Pesan masuk masih dari emoticon bunga mawar tadi.[Aku sudah terima, Yang. Makasih, ya! Jangan bosan menyayangiku terus. Kamu memang sangat aku andalkan] emoticon memberi ciuman.Deru dadanya semakin bergejolak dan terasa panas. Pesan tersebut sangat jelas tertulis di sana. Dila semakin yakin kalau Radit pasti berselingkuh atau memiliki hubungan dengan suara wanita di sambungan telepon saban hari dan seseorang dengan nama ber-emoticon bunga mawar.Pintu kamar mandi bergeser. Lelaki itu keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan. Ia berjalan, mendekati nakas dan meraih ponselnya. Ia mengetik sesuatu di layar benda pipih tersebut, kemudian meletakkannya kembali. Ia menuju lemari sambil sesekali bersiul. Wajahnya sudah be
"Bang Radit! Trus dia ngapain ke restoran?""Nah, itu dia, Dil. Mungkin kau akan terkejut, Dil. Aku juga syok lihatnya. Tau gak siapa yang dia temui?""Maksudmu gimana, Nit?"Tidak berselang lama, Nita mengirim beberapa gambar yang diambilnya ke ponsel milik Dila. Dugaannya beberapa hari terakhir semakin membuatnya yakin. Ternyata, Radit memiliki wanita selingkuhan. Wajah wanita di dalam foto tersebut masih sangat muda dan tidak terlalu tua. Jelas sekali di gambar tersebut mereka terlihat sangat mesra. Radit beberapa kali mengelus tangan wanita di depannya dan mencubit dagu sambil tersenyum.Mata Dila menatap tajam ke gambar kemudian memerah karena sakit. Namun, perasaan jijik mulai membentuk dari sudut bibirnya. Lelaki itu sangat tidak malu mempertontonkan perlakuannya di depan orang banyak. Dila kemudian menutup video yang belum selesai ditontonnya. Nita merekam juga selain mengambil gambar kedua insan yang sangat intim dan mesra itu."Dil, kamu baik-baik saja 'kan?" Nita merasa
Dila memasuki kamar di mana Asti dan kedua anaknya sudah lama menunggu di dalam. Asti sangat mengerti, sehingga membawa mereka agar tidak mendengar pertengkaran orang dewasa. Dila sudah tidak peduli dengan penilaian keluarga suaminya padanya. Keberadaannya saja dianggap sesuatu yang tidak berguna. Ia merasa seolah orang asing di rumah keluarga suaminya sendiri. Ipar yang julid, mertua yang menusuknya dari belakang, dan suami yang tidak tahu diri dan bertanggung jawab. Ia merasa muak dengan semua yang penuh kepura-puraan. Diam terus akan semakin ditindas. Ia sudah tidak tahan dengan semuanya. Pilihannya dia harus menentukan sendiri."Dila, kamu kenapa semakin berubah seperti ini? Abang seperti tidak mengenalmu lagi." Radit memasuki kamar. Dia belum puas berbicara dengan Dila sehingga mengikutinya ke kamar. "Maaf, Non. Saya izin keluar!" Asti merasa tidak nyaman ikut campur dengan masalah majikannya. Ia pun memutuskan keluar dengan membawa Syifa dan baby Nisya ke kamar kosong yang
Dila sudah berdiri tepat di tengah pintu sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Tatapannya sangat tajam."Bang .... Siapa yang Abang ajak bicara? Jadi, seperti ini yang kau lakukan di belakangku? Abang punya hubungan dengan seseorang "kan? Jujur ...." Suara Dila sudah meninggi, kemudian terjeda. Seketika, lelaki itu membalikkan badan dan menoleh ke Dila. "Ssst ...." Ia memberi isyarat dengan menempelkan telunjuknya ke bibirnya. "Jadi, gitu Wan caranya merayu agar hati istrimu luluh kembali." Radit seolah masih serius berbicara di dalam sambungan telepon. "Sudah dulu, Wan. Kita sambung lagi besok." Ponsel yang menempel di telinga sudah diturunkan.Dila mengernyitkan dahi. Dia sangat tidak mengerti."Tadi, teman sedang curhat. Dia minta saran bagaimana meluluhkan hati pasangannya. Mereka sedang tidak akur. Jadi, Abang hanya bantu sebisanya." Radit memberi penjelasan."Teman? Abang tidak berbohong 'kan? Aku sudah mendengar semua percakapanmu, Bang. Jangan berani menipuku." Dila m
Dila masih menatap foto tersebut. Pikirannya kembali membayangkan wajah wanita yang dibawa oleh Radit, kemudian membandingkannya. Ia sangat yakin mereka orang yang sama, hanya berbeda dari penampilan saja. Deru di dadanya memompa dan tidak menentu. "Ma, Papa dengan siapa tadi?" Dila menoleh pada putrinya sambil mengusap rambutnya. "Dengan ART yang akan membantu bersih-bersih di rumah nenek.""Kok, Mama sedih?""Tidak, Sayang." Dila buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin putrinya melihat kalau ibunya bersedih. Ia memikirkan nasib kedua putrinya di kemudian hari tanpa sosok ayah di samping mereka. Ia mulai memikirkan matang-matang tentang keputusannya. Keputusannya untuk berpisah nanti akan mengorbankan nasib kedua putrinya. Hal itu yang mulai mengganggunya belakangan ini.Radit semakin nekat. Dia mencoba untuk membohongi istri dan keluarganya. Namun ternyata, dia salah. Istrinya sangat mudah mengenal siasatnya. Mungkin juga karena lelaki itu tidak bisa men
Dorongan pintu sangat keras menghentak dinding. Cukup mengejutkan orang di dalam. Matanya sangat tajam seakan menembus setiap inci benda yang dipandangnya. Ia tidak menyangka lelaki itu sangat nekat membawa selingkuhannya di rumah. Deru jantungnya memompa makin tidak menentu. Kedua insan di dalam ruangan tersebut membeku. Seakan berubah menjadi batu. Lelaki bercambang itu kalang kabut. Ia tidak sempat menutup dirinya, begitu juga wanita yang berbaring itu. "Jadi, kalian yang berzina di rumah ini? Bang, kamu berzina dengan wanita pelacur ini?" teriak Dila, hingga suaranya terdengar di luar rumah.Dila berhenti di situ saja. Ia terus mencecar Radit dengan berbagai pertanyaan. Tentang pembicaraan lelaki itu di telepon saban hari dengan seorang wanita, dan suara yang menjawab di telepon. Ia baru ingat bahwa suara yang menjawab panggilannya di ponsel sangat mirip.Radit mulai mencari pakaiannya yang entah berserakan ke mana. Nafsu telah menguasai mereka, sehingga tidak sadar telah melem
Warga belum puas sehingga memutuskan tetap berkerumun. Mereka tidak pulang melainkan menunggu pihak yang berwajib untuk membawa kedua pasangan tersebut. Bu Santi masih syok. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mendengar kenyataan putranya berzina di rumahnya membuat hatinya perih. Putra yang dibanggakannya telah menodai kepercayaan dan kebanggaannya. "Nak Dila tunggu sebentar, ya. Pihak kepolisian sedang membuat informasi dan kesaksian Nak Dila." Pak RT meminta Dila agar tidak pergi. Dila hanya mengangguk. Ia tidak bisa menahan rasa sakitnya yang sangat dalam, karena dikhianati oleh lelaki yang telah menikahinya tiga tahun terakhir. Ternyata menyaksikan sendiri, terasa lebih sakit daripada mendengar dari kesaksian orang. Ia masih sangat terpukul. Beberapa warga masih mengira bahwa Radit membawa wanita itu untuk berhubungan di rumah tersebut. Namun, Bu Santi menjelaskan bahwa wanita yang bersama Radit, seorang ART yang akan bekerja di rumahnya. Ia yang meminta putranya mencarikan se
Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Herjunot segera menjawab panggilan tersebut. “Ada apa, Vid?”“Laporan yang anda minta beberapa minggu lalu sudah kami kumpulkan. Apakah anda ingin aku kirimkan sekarang, Tuan?”“Okay, silakan! Aku akan mengeceknya segera.”Herjunot beranjak menuju kamar kemudian duduk di kursi dan menyalakan laptop miliknya. Dengan segera membuka kotak masuk di email setelah laptop on. Beberapa menit kemudian pesan yang dinantikannya sudah masuk. Ia pun membuka dan memperhatikan dengan seksama isi laporan tersebut. Beranjak tempat duduknya dan segera meraih blazer miliknya. “Sayang, aku harus ke kantor sekarang. See you!” Herjunot mengecup keningnya.“Hati-hati ya, Mas. Jangan ngebut kalau mengendarai mobil.”“Gak, kok, Nato yang akan mengantarku ke kantor.”“Syukurlah.”Dila mengantarnya sekaligus menemani hingga ke depan pintu. Senyum indah ia berikan sebelum lelaki tampan yang disayanginya masuk ke mobil. Herjunot membalas senyum itu kemudian melambai
Mereka pun tiba di depan kamar. Pintu kamar terbuka dengan mudah. Herjunot membukanya dengan menggunakan kaki, kebetulan tidak terkunci rapat. Lelaki dengan tubuh atletis itu meletakan istrinya ke atas ranjang tempat tidur. Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian, Dila kembali duduk ke tepi ranjang. Tidak berselang lama Herjunot kembali duduk di sampingnya. Mereka bercengkerama bersama hingga tak terasa malam semakin larut. Herjunot menyandarkan kepala istrinya ke dada miliknya. Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu melewati malam yang syahdu dengan penuh gelora. Dila menoleh ke atas dan menatap wajah yang sangat menawan itu. “Mas, apakah kau tidak akan menyesal menikahiku?”“Pertanyaan macam apa itu? Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”“Tidak, Mas. Aku hanya khawatir dengan keadaan dan statusku yang sekarang. Aku seorang janda.”“Aku sudah memperhitungkan segalanya. Lagipula yang memutuskan untuk menikahimu adalah aku, bukan siapapun. Itu berarti aku memang mem
“Ya, Abang benar. Biasanya, tangisan anak kecil hanya sebagai siasat untuk meluluhkanmu, Bang.”“Nah, itu yang Abang maksud.”Hati Serly menjadi plong dari beban pikiran yang menyelimutinya tadi. Ia merasa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh suaminya. Ia sangat bangga mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut lelaki di sampingnya. Matanya tidak berhenti menatap lelaki yang sedang menyetir mobil tersebut dengan puas diri. “Kamu kenapa aneh gitu, Ser?”“Aneh kenapa, Bang?” “Kenapa menatapku terus seperti itu? Senyum-senyum pula ….” Radit merasa aneh dengan sikap istrinya.“Ti-dak, kok, Bang.” Serly tergagap karena ketahuan suaminya menatap terus sambil tersenyum. Ia pun menolehkan kepala dan menatap lurus ke depan.Mobil masih terus melaju, mengantar mereka kembali ke rumah. Radit masih menyetir, tetapi matanya sesekali melirik ke Serly. Ia masih bertanya-tanya dengan sikap wanita, yang duduk di sampingnya. Sebelumnya, ia melihat raut wajah Serly yang cemberut di pesta tadi, kemu
Secara reflek Martin melakukannya. Hatinya mengarahkan untuk menuntun wanita tersebut. Raut wajahnya tidak menunjukan ekspresi sedih, marah atau canggung sedikitpun. Dila masih bertanya-tanya sambil sesekali melirik lelaki itu. Dila sadar banyak mata menatap mereka. Ia bingung bagaimana harus menyikapi tindakan Martin. Ia ingin memberi isyarat kepada Martin, tetapi tak enak hati karena semua sudah memperhatikan mereka. Kakinya tetap melangkah mengikuti arah ke mana lelaki itu mengantarnya. Herjunot menatap lelaki yang sedang berjalan dengan calon istrinya tersebut dengan tatapan penuh tanda tanya. Hingga mereka mulai mendekat padanya. “Silakan duduk calon iparku!” Martin mepersilakan Dila untuk duduk dengan melemparkan senyuman. “Terima kasih.”Akhirnya, Herjunot mengembuskan napas. Tanda tanya dan kebingungan tadi seketika lenyap. Martin meliriknya sebentar dengan menyunggingkan senyuman. “Selamat berbahagia, my brother!” ucapnya kemudian kembali menghampiri Celline yang sempa
Bab 57Dila terperanjat. “Ma-af, aku tidak mengerti apa maksudmu.”“Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh hati padamu. Kau orang yang menyenangkan. Aku sangat suka bila mengobrol denganmu.”“Maaf, Mas, aku tidak bisa. Aku sudah tunangan dengan Herjunot. Kau sangat tahu kami saling mencintai.”“Aku tahu ini salah, tapi kau sudah terlanjur memikat hatiku.”“Mencintai beda dengan mengagumi. Mungkin anda hanya mengagumi.”“Aku serius, Dila. Aku harus jujur aku mencintai.”Dila deg-degan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang sangat berani mengungkapkan isi hati padanya secara langsung. Namun, ia juga menjadi was-was karena lelaki itu tidak peduli dengan jawabannya. Sebelumnya, ia sudah mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima lelaki itu. “Maaf, Aku tidak bisa. Bolehkah, aku melanjutkan pekerjaanku?” Dila merasa tidak nyaman bila ditatap terlalu dekat. Ia tidak pernah sedekat ini dengan orang asing baginya. Secara tiba-tiba, pintu ruangan Dila dibuka. Keduanya men
Bab 56“Aku, Tuan?” tanya Serly dengan nada bergetar. “Ya, aku berbicara denganmu. Siapa lagi?”“Baik, Tuan.” Wajah ceria Serly berubah suram. Tadi, ia berpikir semua telah selesai ketika Herjunot menyuruh mereka pergi. Ia mulai senang. Namun, semuanya berubah dalam beberapa detik di saat bos suaminya itu memanggil dan memintanya berhenti.“Dila, ada yang ingin kamu sampaikan padanya?”Dila menoleh ke Herjunot. Sebenarnya, ia tidak ingin membahas Serly dan mengingat perlakuan wanita itu. Bila melihat Serly, ia seperti melihat iblis berwujud manusia. Sangat berbahaya. “Aku ingin dia menjauh dari sini.” Dila sama sekali malas berurusan dengan wanita itu. Ia pun berlalu dan pergi lebih dulu ke ruang kerja Herjunot. Ia malas bertemu dengan Serly. Kini tinggal Herjunot dan Serly. Herjunot pun menatap Serly. “Kau harus mendapatkan kata maaf darinya, kemudian aku akan melepaskanmu. Jika tidak, hidupmu tidak akan aman. Kau tahu akhirnya ke mana? Kau akan berakhir di penjara dan membusuk
“Dila ….” Walaupun masih dalam kebingungan, ia tetap menyapa wanita di depannya.Martin beberapa kali mengajak Dila untuk mengobrol. Dia terlalu asyik mengobrol dan sesekali menanyakan perihal Herjunot ke Dila, sehingga tak sadar bahwa mereka terlalu lama mengobrol. Semakin mereka mengobrol, semakin membuat Martin ingin tahu lebih jauh. Dila merupakan teman yang asyik untuk diajak mengobrol apapun. “Aku dengar bahwa kalian sudah lama menjalin hubungan. Benarkah begitu?”“Iya, semenjak di masa sekolah menengah ….”Celline hampir saja tersedak oleh air yang diminumnya. Ia segera melap mulutnya dengan tisu. Ia tidak menoleh ke Dila. Namun, telinganya mendengar jelas jawaban Dila tadi.“Kau tidak apa-apa, Sayang?” tanya Martin sambil menyodorkan tisu padanya.“Tidak, Sayang. Aku hanya terburu-buru tadi.” Martin kembali menoleh ke lawan bicaranya. “Mungkin sebaiknya kita makan agar makanan ini tidak dingin.”“Benar. Yuk, kita makan!”“Oh, ya. Tadi, kau bilang, hubungan kalian semenjak ma
Herjunot menoleh ke wanita di samping Martin. Wanita itu menyunggingkan senyum yang mengisyaratkan sesuatu bahwa dia juga bisa mendapatkan yang lebih daripada lelaki di depannya. “Kenalkan, aku Celline ….” Wanita itu seolah merasa tidak mengenal Herjunot. Ia bersikap dingin saat mengulurkan tangan.“Herjunot ….” Lelaki itu membalas uluran tangannya.Di satu sisi, ia bahagia melihat wanita di depannya telah menemukan pengganti dirinya. Namun di sisi lain, ia merasa kasihan dengan sepupunya. Ia khawatir wanita itu memiliki tendensi lain. Apapun itu, ia tetap mendukung sepupunya, karena Martin sudah sering bercerita dengannya mengenai wanita ini. Ia ingin memberitahu sepupunya tentang Celline yang sesungguhnya. Akan tetapi, ia tak mau merusak hubungan sepupunya yang masih seumur jagung. Tak baik juga baginya ikut campur masalah hubungan orang lain. Ia berharap suatu saat semua akan terungkap juga dengan sendiri. Martin sepertinya sangat tergila-gila dengan Celline. Lelaki itu sering b
Beberapa hari mulai berlalu, Dila sudah bisa beraktivitas. Namun, pergelangan tangan bagian kirinya masih dibalut dengan kain karena tulangnya ada sedikit keretakan. Dia belum bisa beraktivitas berat, hanya bisa berjalan ke butik dan kedai saja. Baru kali ini, ia mulai beraktivitas kembali, setelah kurang lebih dua minggu ia tidak diperbolehkan untuk beraktivitas. Ia sangat bersemangat dan antusias dengan aktivitasnya. Ia sangat merindukan rutinitasnya tersebut. Hari ini, ia sedang di butik, memeriksa beberapa sketsa buatannya dan juga karyawannya. Biasanya sebulan sekali dia akan merancang sekaligus mengeluarkan produk terbaru. Biasanya, dia akan mempertimbangkan selera pasar juga agar selalu up to date. Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Ia pun menjawab panggilan tersebut. Ia sangat antusias menjawab panggilan tersebut. Padahal baru sehari mereka berpisah, tetapi seperti sebulan.“Apa kabar, Dil?”“Baik, Mas. Gimana kabarmu di situ?”“Di sini, aku baik juga. Kangen ni