Share

Perantara

Penulis: Hayanis Kalani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-26 15:14:27

"Lo punya otak gak sih, Bri? Lo bukannya nolong Fera tapi malah menjatuhkan Fera. Lo tau, setelah kejadian ini Fera bakal makin di-bully habis-habisan."

Kata-kata Ara terus terngiang-ngiang di kepalanya. Sudah dua hari sejak kejadian itu, Brian tidak bisa melupakannya. Apalagi mengingat pandangan orang-orang pada Fera tadi, Brian miris melihatnya.

Brian juga mendengar kabar kalau Fera dicap sebagai perempuan murahan, rumor yang beredar kalau Fera sebagai wanita penghibur itu makin meyakinkan orang-orang, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Setiap orang yang melihat Fera, mereka langsung mencibir Fera dengan kata-kata yang tidak pantas.

Fera seharusnya tidak mendapatkan cibiran itu. Harusnya Brian lah yang dikata-katai, karena sebenarnya Brian di sini yang salah. Sekali lagi, Fera hanya korban. Korban!

"Gue kasian liat Fera, dia makin dikucilkan."

Brian menatap Fera yang sedang menunduk membaca buku sambil bersandar pada dinding. "Terus gue harus gimana, Don?"

"Lo minta maaf lagi gih sana," jawab Doni.

"Gue udah puluhan bahkan ratusan kali minta maaf sama dia, tapi dia gak pernah sedikit pun maafin gue. Lo tau, setiap gue mau bantuin dia buat nyapu lapangan, dia selalu menghindar. Dia benci sama gue, Don."

"Lo emang pantas dibenci," ujar Farid.

Hati Brian sama sekali tidak tersinggung, toh memang faktanya memang harus seperti itu.

"Coba lo ngomong baik-baik. Atau ajak orang buat jadi perantara lo. Ara misalnya."

Brian tidak mungkin mengandalkan Ara lagi, kakak sepupunya itu sedang dalam keadaan yang tidak baik. Ia juga punya masalah yang belum diselesaikan, ia juga sibuk dengan latihan voli dan vokal untuk pertandingan dan lomba nanti yang akan diselenggarakan kurang lebih dua bulan lagi.

Apa mengajak ketua kelas yang sekaligus sohib Brian saja? Tapi sepertinya tidak akan berhasil. Yang harus jadi perantara itu perempuan, karena sesama perempuan pasti akan mengerti.

Lalu Brian harus mengajak siapa? Ia tidak dekat dengan perempuan mana pun kecuali Ara dan juga Bianca. Ah, apa mungkin mengajak Bianca saja?

Brian mengambil ponselnya. Ia segera menghubungi Bianca. Tidak berapa lama Bianca menjawab teleponnya. Sepertinya di sekolahan sana juga masih jam istirahat.

["Halo, Yan?"]

"Halo. Ca, lo bisa bantuin gue gak?" tanya Brian.

["Bantuin apa, nih? Tumben."]

Brian menceritakan semua permasalahannya. Tanpa diduga, Bianca menyetujui untuk menjadi perantara Brian. Nanti sepulang jam sekolah, Bianca akan langsung pergi ke sekolah Brian untuk menjalankan misi.

Sesuai janji, Bianca datang setelah semua murid yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler meninggalkan sekolah. Brian menghampiri Bianca lalu menyuruhnya untuk mendekati Fera yang sedang membersihkan toilet perempuan.

"Gue mengandalkan lo, Ca."

Bianca tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Brylian. "Lo percaya sama gue. Gue gak akan mengecewakan lo. Tapi jangan lupa sama janji yang udah kita berdua sepakati, ya!"

Bianca memulai aksinya. Ia masuk ke toilet dan berdiri di depan cermin. Fera sedikit terkejut melihat Bianca, pasalnya ia tidak pernah melihat Bianca sebelumnya. Dan juga, ia kaget melihat badge sekolah Bianca yang berbeda dengan sekolahnya.

Murid baru? Atau musuh yang sedang menyusup? pikir Fera.

"Hai, ganggu ya?" tanya Bianca.

Fera menggeleng, ia kembali melanjutkan mengepel lantai.

"Lo rajin banget. Lagi kebagian piket ya?" tanya Bianca lagi.

"Ah, iya." Dusta Fera.

"Kenalin, gue Bianca temannya Ara. Lo tau dia, kan? Gue ke sini gak berniat buat tawuran, kok. Gue mau jemput si Ara."

"Oh, ya... salam kenal," balas Fera.

"Lo piketnya masih lama? Temenin gue ya? Mau, kan? Gue takut di sini, gak ada temen. Ntar kalau tiba-tiba gue diseret paksa ke Ruang Guru gimana, coba, gara-gara gue seenaknya masuk ke sekolahan orang."

Fera mengangguk pelan. "Iya, aku piketnya masih lama. Nanti aku temenin."

"Makasih," ucap Bianca. Ia menunggu Fera di luar toilet.

Ibu jari Bianca terangkat ke atas begitu melihat Brian. Kode dari Bianca itu membuat Brian tersenyum. Ya, Brian tak salah memilih Bianca sebagai perantara.

"Lo mau piket di mana lagi? Kelas?" tanya Bianca begitu Fera menutup pintu toilet.

"Di lapangan," jawab Fera.

Bianca mengangguk. Mereka berdua berjalan beriringan menuju lapang yang sedang dipakai oleh anak-anak ekskul voli putri.

"Btw dari tadi gue liat lo piket cuma sendirian, temen lo yang lain ke mana? Gak ada yang bantu kah?"

Fera hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan Bianca. Ia tak niat menjawab, karena Bianca adalah orang yang tidak dikenalinya. Jadi orang asing tidak seharusnya tahu tentang masalah dirinya.

"Lo piket bareng sama Brian? Cuma kalian berdua aja piketnya?"

Mata Fera melirik sekilas Brian yang baru saja datang ke lapangan. Harusnya Fera tidak kaget saat tahu Bianca kenal Brian. Jelas saja, Bianca adalah teman Ara, otomatis Bianca dekat juga dengan gengnya Ara.

"Ayo, ayo, yang bersih, yang bersih, yang bersih!"

Brian menyawer Bianca dengan dedaunan yang sudah disapu oleh Fera. Cantika tertawa geli karena sukses menjahili Brian. "Bawel! Bantuin gue napa!"

"Ih, sorry ya, gue bukan murid sekolah sini," balas Bianca.

Brian berjalan ke sisi kanan lapangan. Fera dan Brian membagi dua lapangan ini supaya cepat selesai disapu.

Bianca mengikuti Fera yang sedang menyapu. "Lo tau gak, katanya Brian kepergok lagi ciuman di sekolah. Itu berita bener gak, sih?"

Fera terdiam. Keningnya sedikit mengkerut. Bianca menanyakan hal ini padanya? Apa tidak salah?

"Ya gitu," jawab Fera pelan.

"Lo tau siapa ceweknya?"

Kebingungan Fera terjawab, Bianca tidak tahu siapa dirinya.

"Lo tau gak, awalnya gue gak percaya sama gosip itu. Karena apa, Brian selama dua tahun terakhir itu gak pernah deket sama satu pun cewek. Ya bisa dibilang dia itu anti cewek. Tapi waktu anak-anak se-geng nge-iya-in, gue akhirnya percaya. Gue gak tau alasan dia cium tuh cewek, apalagi tu cewek bukan pacarnya."

Bianca memperhatikan Fera yang sedari tadi diam. Wajahnya juga menggambarkan sedikit gurat kecemasan. "Itu cewek kasian, pasti dia kaget karena tiba-tiba dicium. Kalo gue jadi cewek itu, gue bakal marahin Brian habis-habisan, gue bakal keluarin unek-unek gue sampe hati gue tenang. Abis itu gue maafin deh. Karena apa? Pasti Brian gak sengaja nyium. Lo tau, sebesar apapun kesalahan seseorang, kita harus memaafkannya. Kita jangan egois, coba kita liat sudut pandang orang itu juga, kita rasain gimana jadi dia, enak apa nggak gak dimaafin sama seseorang."

Perkataan Bianca itu sangat menohok hati Fera. Apa iya Fera egois? Tapi memaafkan Brian yang sudah semakin merusak reputasinya itu sangat sulit. Tidak di rumah, tidak di sekolah, Fera diperlakukan dengan tidak baik. Fera tidak bisa menerimanya.

"Perasaan dari tadi gue curcol mulu ya? Hehehe... maaf ya, soalnya gue kalo lagi bosen suka kek gini. Oh ya, btw gue belum tau nama lo. Nama lo siapa?" tanya Bianca.

"Nucifera," gumam Fera.

"Fera? Itu asli nama lo? Unik ya? Jarang loh orang pake nama bunga lotus, biasanya juga mawar, melati, dahlia dan banyak lagi."

"Makasih." Fera memang tidak berbohong soal namanya. Nama asli Fera adalah Lotus Nucifera. Memang jarang orang memakai nama bunga dengan nama ilmiahnya.

Sejujurnya Fera tidak suka nama itu karena bunga lotus ditanam di tempat yang kotor. Lingkungan tempat bunga lotus hidup sama dengan lingkungan tempat tinggal Fera.

Fera benci dengan hidupnya!

Bab terkait

  • Dry Flower   Tidak Ada Kabar

    Sepanjang hari ini Fera terus melamun memikirkan ucapan Bianca hari kemarin. Hati Fera masih merasa bimbang antara harus memaafkan Brian atau tidak. Padahal selama ini Fera seorang yang pemaaf. Tetapi kenapa pada Brian ia sangat sulit berhadapan langsung dan mendengar semua penjelasan Brian?Apakah kali ini Fera harus memberikan kesempatan? Sebenarnya Fera juga tidak mau seperti ini, berlarut-larut marah dalam diam. Fera ingin mencurahkan isi hatinya yang selama ini dipendam sendiri. Fera ingin berbagi kesakitan yang selama ini dirasakannya.Tidak, Fera tidak jahat, tapi ia hanya ingin seseorang mengerti akan apa yang ia rasakan. Ia tidak tahan di-bully oleh orang-orang.Fera memang membutuhkan seseorang untuk menjadi tempat ia bercerita."Fera!" Brian memanggil Fera yang sedang menyimpan sapu dan sekop di bawah tangga.Fera melirik sekilas tanpa menjawab panggilan Brian."Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucap Brian lagi. "Gue mau minta maaf."Fera masih diam. Ia berlalu meninggalkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Dry Flower   Mencari Fera

    "Jadi, kita fix nih ke sananya nanti?" tanya Farid."Iya, tapi kita harus ngajak cewek, soalnya, kan, cewek bawel, pinter ngomong gitu," jawab Fajar."Ngajak siapa? Si Aliyah aja?" tanya Farid lagi."Jangan, mending kita ngajak yang pendiem aja, temannya si Ara tuh, siapa, sih, namanya? Oh ya Leha. Tu cewek mulutnya gak ember gak kayak cewek di kelas kita.... Gimana, Bri? Lo setuju gak?"Brian tidak menjawab. Ia masih memikirkan alamat rumah Fera. Rasa-rasanya alamat rumah Fera itu tidak asing. Brian seperti pernah mendengarnya."Bri, gimana?" tanya Fajar."Apanya?" ucap Brian saat tersadar dari lamunan."Ngeselin lu!"Brian keluar kelas untuk mencari Dio. Farid, Fajar, Bagas dan Doni mendumel karena Brian pergi begitu saja.Dio ternyata berada di ruang OSIS. Ia menghampiri kembarannya, Ara, yang sedang duduk di kursi panjang sambil memasukan beberapa lembar kertas berukuran A4 ke dalam map."Yo, lo yakin itu alamat rumah Fera?" tanya Brian setelah memasuki ruangan OSIS.Setelah waktu

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-16
  • Dry Flower   Tertusuk

    Rutinitas Brian selama tiga hari ini yaitu membuntuti Fera (Brian melakukannya setelah ia, Fajar dan Leha mengunjungi rumah Fera. Brian sengaja melakukannya karena masih merasa penasaran tentang gadis tersebut).Dari jam empat subuh sampai jam setengah enam pagi, Brian mengawasi gerak-gerik Fera. Ia juga sudah hafal tempat mana saja yang Fera kunjungi, ya lebih tepatnya tempat Fera mencari uang alias tempat-tempat di mana Fera bekerja.Brian tidak tahu berapa upah yang diberikan tuan rumah. Yang jelas, upah buruh mencuci baju dan piring itu tidaklah banyak. Tetapi Brian heran, kenapa Fera mau bekerja seperti itu? Kenapa dia tidak bekerja di toko saja yang upahnya cukup lumayan?Selama pengintaian, Brian tidak menemukan hal-hal yang aneh, seperti yang pernah dikatakan oleh ibu-ibu penggosip. Brian tahu, Fera itu sungguh perempuan baik-baik hanya lingkungannya saja yang membuat Fera terlihat kotor.Tepat jam enam, Brian berhenti mengawasi Fera. Ia pulang ke rumah untuk bersiap-siap ber

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • Dry Flower   Menyelamatkan

    Sepi, gang itu memang sepi. Sepertinya tidak akan ada yang melewati gang tersebut. Daripada menunggu yang tidak pasti, Fera berinisiatif untuk memapah Brylian sampai ke depan gang supaya ada orang yang menolongnya. "Tahan sebentar, Bry. Bentar lagi kita sampe di ujung gang.""Gue udah gak kuat lagi, Fer," ucap Brylian lirih. Dan satu detik kemudian, Brylian jatuh terkulai. "Bry!!!" Fera menjerit. Darah dari tubuh Brylian terus mengalir. Fera tidak tau harus berbuat apa. Otaknya saat panik seperti ini tidak bisa berpikir jernih. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya menangis dan menangis. Jarak lima belas meter lagi sampai ke ujung gang. Fera kembali berteriak sampai suaranya parau. Mobil dan motor berlalu lalang. Fera berlari ke ujung gang itu kemudian melambaikan tangannya pada setiap kendaraan yang melaju. Tapi kendaraan itu tidak ada satupun yang mau berhenti. Fera mengusap air matanya. Ia menyetop sebuah motor bebek. Motor itu berhenti karena pengendaranya kaget melihat Fera y

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-22
  • Dry Flower   Terkunci di Gudang

    Suara jam dinding yang tidak pernah berhenti berputar barang satu detik itu menggema di sebuah kamar yang gelap dan juga sempit. Seseorang di atas kasur lantai lalu bangun dan menyalakan lampu. Jam masih menunjukan pukul tiga pagi, tetapi orang tersebut tidak kembali tidur, melainkan membereskan kamar lalu berjalan ke kamar mandi untuk mencuci pakaian dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lain.***"Sial!" Seorang murid laki-laki yang memakai jaket hitam itu berlari kencang sambil sesekali mulutnya mengumpat.Adrenalinnya berpacu dengan cepat setiap kali dirinya melihat waktu dari jam tangan. Ini lebih menegangkan dari ketika dirinya dikejar-kejar oleh seekor anjing liar. Atau ketika dirinya menaiki wahana rollercoaster di taman hiburan.Telat, ini pasti telat! rutuknya dalam hati.Dari jarak sepuluh meter ia sudah bisa melihat gerbang sekolahnya yang setengah tertutup. Dengan mengeluarkan semua kekuatannya, murid laki-laki itu mempercepat larinya. Dan ketika pak satpam hampir menutup

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Dry Flower   Namanya Fera

    Brian menguap lebar sambil mengubah posisi tidurnya di sebuah sofa butut yang disimpan di loteng sekolah. Hari ini di jam pelajaran keempat Brian memilih membolos untuk tidur siang karena mengantuk gara-gara semalam ia begadang menonton bola sehabis itu bermain game online sampai dini hari.Tangan Brian merogoh saku celananya lalu menatap ponsel yang bergetar, ternyata ada telepon dari Farid. Teman Brian itu mengatakan kalau pelajaran baru saja selesai dan sekarang waktunya jam pulang meskipun bel belum berbunyi.Brian tidak langsung bangun, ia memilih untuk kembali melanjutkan tidurnya sampai lima belas menit kemudian ia bangun dalam keadaan yang lumayan segar meskipun kepalanya sedikit pusing.Tas ransel milik Brian masih tertinggal di kelas karena tadi ia berpesan pada Farid untuk membawanya sendiri supaya nanti kalau tidak sengaja berpapasan dengan guru ia pulang tidak membawa tas bisa-bisa ia diinterogasi, apalagi oleh pak satpam yang selalu ingin mengurusi urusan para murid saja

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Dry Flower   Tangis

    Ruangan yang tidak terlalu besar itu sangat menyesakkan dada. Entah karena situasinya yang membuat kepala tidak bisa berpikir jernih dan tubuh bergetar ketakutan."Apa betul yang difoto ini kalian berdua?" tanya Pak Anwar setelah beberapa saat terdiam sebentar ketika dua menit yang lalu Brian dan Fera baru saja datang."Betul, Pak," jawab Brian."Kenapa kalian melakukan hal yang tidak pantas seperti itu di sekolah?" Brian dan Fera tidak menjawab."Bapak tanya sekali lagi, kenapa kalian melakukan tindakan yang tidak senonoh? Kalian tidak merasa malu apa?""Maafkan kami, Pak," jawab Brian lagi.Kepala Fera makin menunduk, menyembunyikan wajahnya dibalik helaian rambutnya yang selalu tergerai bebas.Sesuai kesepakatan sepihak dari Brian, ia melarang Fera membuka suara. Jadi, setiap kali Pak Anwar bertanya, maka yang menjawab dan menjelaskan semuanya adalah Brian. Cowok jangkung yang sering berpenampilan acak-acakan itu menganggap kalau ini bukan salah Fera, semua ini adalah salah diriny

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26

Bab terbaru

  • Dry Flower   Menyelamatkan

    Sepi, gang itu memang sepi. Sepertinya tidak akan ada yang melewati gang tersebut. Daripada menunggu yang tidak pasti, Fera berinisiatif untuk memapah Brylian sampai ke depan gang supaya ada orang yang menolongnya. "Tahan sebentar, Bry. Bentar lagi kita sampe di ujung gang.""Gue udah gak kuat lagi, Fer," ucap Brylian lirih. Dan satu detik kemudian, Brylian jatuh terkulai. "Bry!!!" Fera menjerit. Darah dari tubuh Brylian terus mengalir. Fera tidak tau harus berbuat apa. Otaknya saat panik seperti ini tidak bisa berpikir jernih. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya menangis dan menangis. Jarak lima belas meter lagi sampai ke ujung gang. Fera kembali berteriak sampai suaranya parau. Mobil dan motor berlalu lalang. Fera berlari ke ujung gang itu kemudian melambaikan tangannya pada setiap kendaraan yang melaju. Tapi kendaraan itu tidak ada satupun yang mau berhenti. Fera mengusap air matanya. Ia menyetop sebuah motor bebek. Motor itu berhenti karena pengendaranya kaget melihat Fera y

  • Dry Flower   Tertusuk

    Rutinitas Brian selama tiga hari ini yaitu membuntuti Fera (Brian melakukannya setelah ia, Fajar dan Leha mengunjungi rumah Fera. Brian sengaja melakukannya karena masih merasa penasaran tentang gadis tersebut).Dari jam empat subuh sampai jam setengah enam pagi, Brian mengawasi gerak-gerik Fera. Ia juga sudah hafal tempat mana saja yang Fera kunjungi, ya lebih tepatnya tempat Fera mencari uang alias tempat-tempat di mana Fera bekerja.Brian tidak tahu berapa upah yang diberikan tuan rumah. Yang jelas, upah buruh mencuci baju dan piring itu tidaklah banyak. Tetapi Brian heran, kenapa Fera mau bekerja seperti itu? Kenapa dia tidak bekerja di toko saja yang upahnya cukup lumayan?Selama pengintaian, Brian tidak menemukan hal-hal yang aneh, seperti yang pernah dikatakan oleh ibu-ibu penggosip. Brian tahu, Fera itu sungguh perempuan baik-baik hanya lingkungannya saja yang membuat Fera terlihat kotor.Tepat jam enam, Brian berhenti mengawasi Fera. Ia pulang ke rumah untuk bersiap-siap ber

  • Dry Flower   Mencari Fera

    "Jadi, kita fix nih ke sananya nanti?" tanya Farid."Iya, tapi kita harus ngajak cewek, soalnya, kan, cewek bawel, pinter ngomong gitu," jawab Fajar."Ngajak siapa? Si Aliyah aja?" tanya Farid lagi."Jangan, mending kita ngajak yang pendiem aja, temannya si Ara tuh, siapa, sih, namanya? Oh ya Leha. Tu cewek mulutnya gak ember gak kayak cewek di kelas kita.... Gimana, Bri? Lo setuju gak?"Brian tidak menjawab. Ia masih memikirkan alamat rumah Fera. Rasa-rasanya alamat rumah Fera itu tidak asing. Brian seperti pernah mendengarnya."Bri, gimana?" tanya Fajar."Apanya?" ucap Brian saat tersadar dari lamunan."Ngeselin lu!"Brian keluar kelas untuk mencari Dio. Farid, Fajar, Bagas dan Doni mendumel karena Brian pergi begitu saja.Dio ternyata berada di ruang OSIS. Ia menghampiri kembarannya, Ara, yang sedang duduk di kursi panjang sambil memasukan beberapa lembar kertas berukuran A4 ke dalam map."Yo, lo yakin itu alamat rumah Fera?" tanya Brian setelah memasuki ruangan OSIS.Setelah waktu

  • Dry Flower   Tidak Ada Kabar

    Sepanjang hari ini Fera terus melamun memikirkan ucapan Bianca hari kemarin. Hati Fera masih merasa bimbang antara harus memaafkan Brian atau tidak. Padahal selama ini Fera seorang yang pemaaf. Tetapi kenapa pada Brian ia sangat sulit berhadapan langsung dan mendengar semua penjelasan Brian?Apakah kali ini Fera harus memberikan kesempatan? Sebenarnya Fera juga tidak mau seperti ini, berlarut-larut marah dalam diam. Fera ingin mencurahkan isi hatinya yang selama ini dipendam sendiri. Fera ingin berbagi kesakitan yang selama ini dirasakannya.Tidak, Fera tidak jahat, tapi ia hanya ingin seseorang mengerti akan apa yang ia rasakan. Ia tidak tahan di-bully oleh orang-orang.Fera memang membutuhkan seseorang untuk menjadi tempat ia bercerita."Fera!" Brian memanggil Fera yang sedang menyimpan sapu dan sekop di bawah tangga.Fera melirik sekilas tanpa menjawab panggilan Brian."Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucap Brian lagi. "Gue mau minta maaf."Fera masih diam. Ia berlalu meninggalkan

  • Dry Flower   Perantara

    "Lo punya otak gak sih, Bri? Lo bukannya nolong Fera tapi malah menjatuhkan Fera. Lo tau, setelah kejadian ini Fera bakal makin di-bully habis-habisan."Kata-kata Ara terus terngiang-ngiang di kepalanya. Sudah dua hari sejak kejadian itu, Brian tidak bisa melupakannya. Apalagi mengingat pandangan orang-orang pada Fera tadi, Brian miris melihatnya.Brian juga mendengar kabar kalau Fera dicap sebagai perempuan murahan, rumor yang beredar kalau Fera sebagai wanita penghibur itu makin meyakinkan orang-orang, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Setiap orang yang melihat Fera, mereka langsung mencibir Fera dengan kata-kata yang tidak pantas. Fera seharusnya tidak mendapatkan cibiran itu. Harusnya Brian lah yang dikata-katai, karena sebenarnya Brian di sini yang salah. Sekali lagi, Fera hanya korban. Korban!"Gue kasian liat Fera, dia makin dikucilkan."Brian menatap Fera yang sedang menunduk membaca buku sambil bersandar pada dinding. "Terus gue harus gimana, Don?""Lo minta maaf lagi g

  • Dry Flower   Tangis

    Ruangan yang tidak terlalu besar itu sangat menyesakkan dada. Entah karena situasinya yang membuat kepala tidak bisa berpikir jernih dan tubuh bergetar ketakutan."Apa betul yang difoto ini kalian berdua?" tanya Pak Anwar setelah beberapa saat terdiam sebentar ketika dua menit yang lalu Brian dan Fera baru saja datang."Betul, Pak," jawab Brian."Kenapa kalian melakukan hal yang tidak pantas seperti itu di sekolah?" Brian dan Fera tidak menjawab."Bapak tanya sekali lagi, kenapa kalian melakukan tindakan yang tidak senonoh? Kalian tidak merasa malu apa?""Maafkan kami, Pak," jawab Brian lagi.Kepala Fera makin menunduk, menyembunyikan wajahnya dibalik helaian rambutnya yang selalu tergerai bebas.Sesuai kesepakatan sepihak dari Brian, ia melarang Fera membuka suara. Jadi, setiap kali Pak Anwar bertanya, maka yang menjawab dan menjelaskan semuanya adalah Brian. Cowok jangkung yang sering berpenampilan acak-acakan itu menganggap kalau ini bukan salah Fera, semua ini adalah salah diriny

  • Dry Flower   Namanya Fera

    Brian menguap lebar sambil mengubah posisi tidurnya di sebuah sofa butut yang disimpan di loteng sekolah. Hari ini di jam pelajaran keempat Brian memilih membolos untuk tidur siang karena mengantuk gara-gara semalam ia begadang menonton bola sehabis itu bermain game online sampai dini hari.Tangan Brian merogoh saku celananya lalu menatap ponsel yang bergetar, ternyata ada telepon dari Farid. Teman Brian itu mengatakan kalau pelajaran baru saja selesai dan sekarang waktunya jam pulang meskipun bel belum berbunyi.Brian tidak langsung bangun, ia memilih untuk kembali melanjutkan tidurnya sampai lima belas menit kemudian ia bangun dalam keadaan yang lumayan segar meskipun kepalanya sedikit pusing.Tas ransel milik Brian masih tertinggal di kelas karena tadi ia berpesan pada Farid untuk membawanya sendiri supaya nanti kalau tidak sengaja berpapasan dengan guru ia pulang tidak membawa tas bisa-bisa ia diinterogasi, apalagi oleh pak satpam yang selalu ingin mengurusi urusan para murid saja

  • Dry Flower   Terkunci di Gudang

    Suara jam dinding yang tidak pernah berhenti berputar barang satu detik itu menggema di sebuah kamar yang gelap dan juga sempit. Seseorang di atas kasur lantai lalu bangun dan menyalakan lampu. Jam masih menunjukan pukul tiga pagi, tetapi orang tersebut tidak kembali tidur, melainkan membereskan kamar lalu berjalan ke kamar mandi untuk mencuci pakaian dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lain.***"Sial!" Seorang murid laki-laki yang memakai jaket hitam itu berlari kencang sambil sesekali mulutnya mengumpat.Adrenalinnya berpacu dengan cepat setiap kali dirinya melihat waktu dari jam tangan. Ini lebih menegangkan dari ketika dirinya dikejar-kejar oleh seekor anjing liar. Atau ketika dirinya menaiki wahana rollercoaster di taman hiburan.Telat, ini pasti telat! rutuknya dalam hati.Dari jarak sepuluh meter ia sudah bisa melihat gerbang sekolahnya yang setengah tertutup. Dengan mengeluarkan semua kekuatannya, murid laki-laki itu mempercepat larinya. Dan ketika pak satpam hampir menutup

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status