“Mas Andra, stop!” Mei mulai terbawa emosi. “Lebih baik Mas Andra pergi kalau nggak bisa diajak bicara baik-baik. Kita ini sudah dewasa, Mas. Please, jangan kekanak-kanakan seperti ini.” “Jujur saja, Mei. Kamu nunggu Amran, kan?” “Oke, oke.” Mei mengganjur napas. Ia masih belum melepas pandangan dari Andra. Paginya yang hangat hilang akibat ulah Andra. “Memangnya, apa masalahnya buat Mas Andra kalau aku nunggu Prof. Amran?” “Ngapain kamu nunggu laki-laki pengecut seperti dia? Sampai kapan pun dia tidak akan punya nyali untuk melamarmu. Ngapain kamu nunggu laki-laki seperti itu?” Andra kalap. Hening sejenak. Mei terperangah. Ucapan Andra membuat otak Mei hang dan kepalanya pusing. Mungkin Amran selama ini memang tidak pernah mau jujur dengan perasaannya, tetapi menyebut Amran pengecut jelas tidak benar. Mei mengerti, menyembuhkan trauma tidak pernah mudah. Menindas rasa tidak percaya diri dan menjadi manusia paling jelek di dunia karena ditolak mentah-mentah bukan hal gampang. “Sa
“Terus? Soal kerjaan saya, Prof? Saya sudah bisa ngerjain laporan, Prof. Tangan dan otak saya bisa kerja, kok.” “Ya, Tuhan.’ Amran tidak sanggup menahan tawa. “Saya ke sini mau silaturahim, bukan mau ngomongin kerjaan.” “Silaturahim?” Mei makin tidak mengerti. Amran tidak pernah mengatakan apa pun sebelum kedatangannya hari ini.“Iya, saya pengen ngobrol sama Bapak dan Ibu. Waktu di rumah sakit baru kenalan dan Bapak Ibu keburu pulang.” “Oh.” Mei menggaruk kepala. Tatapan herannya masih menelisik paras secerah matahari pagi milik Amran. “Sebentar saya panggilkan Bapak Ibu, Prof.” Dengan bertumpu pada salah satu kaki, Mei masuk dan mengajak kedua orangtuanya ke depan. Ketika mereka sudah berada di ruang tamu, mendadak Mei jadi overthinking. Apa mungkin Prof. Amran berubah pikiran? Dia tidak lagi menganggapku sekadar asisten? Ah, pikiran macam apa ini? Mei buru-buru memadamkan harapan di hatinya. Prof. Amran cuma mau silaturahim, Mei. Mau kenalan sama Bapak Ibu. Jangan ge er dulu.A
“Lho, lho, Ibu kenapa, sih?” Sambil meringis kesakitan, Amran melepas jemari ibunya dari telinga lalu mundur selangkah. “Nggak melamar salah, melamar juga salah. Jadi maunya Ibu gimana? Ibu mau jodohin saya sama orang lain? Ibu punya calon lain?” “Ya, Allah, kamu ini malu-maluin Ibu dan almarhum Bapak, Ran?” Ratih berdiri, meletakkan Al Quran di rak, lalu kembali duduk di kursi malas. Selain bujang karatan, ternyata putranya juga terlalu polos untuk hal-hal seperti ini. Hampir sepuluh tahun di Jerman mungkin sedikit melupakannya dari tradisi leluhur. “Malu-maluin gimana, Bu? Saya datang melamar Mei. Saya dan Mei tidak melakukan perbuatan dosa. Apanya yang memalukan?” Amran semakin tidak mengerti maksud sang ibu. Tiga puluh tahun sejak pertama baligh ia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga diri dari perbuatan dosa. Ketika di Jerman, ia sama sekali tidak pernah clubbing apalagi menenggak minuman beralkohol. Lalu sekarang tiba-tiba ia dianggap telah mempermalukan Ibu dan Bapak. Amran
Setelah kepergian Alvin dan Bastian, giliran Najma dan Aina yang berpamitan. “Pamit dulu, Mei sayang,” ujar Aina ketika mereka sudah berada di depan Mei dan Amran. “Makasih, Na.” Dipeluknya erat tubuh sahabatnya. “Aku pasti akan kangen nggosip bareng kalian.” “Besok kamu nggosip sama Prof. Amran saja.” Keduanya tergelak. "Bakal seru banget nggosip sambil ehem-ehem." "Apaan, sih." Mei mencubit hidung Mei. "Biasanya pengantin baru masih panas." "Panas mana sama pantat panci?""Panas ranjang pengantin baru." "Please, jaga omongan kalian. Di sini ada anak di bawah umur." Najma menyela sembari memasang wajah memelas. "Eh, iya. Ntar dia minta kawin, kan, gawat." Aina tertawa diikuti Mei dan Amran. "Sini giliran aku yang pamitan." Najma menggeser tubuh Aina. “Met honeymoon, Mbak Mei. Ditunggu keponakannya segera launching," ucapnya tanpa mempedulikan protes Aina. “Baru juga nikah, dah ditodong keponakan.” Mei tertawa lalu memeluk Najma. “We’re gonna miss you, Mbak. Tetep main ke
Pernikahan dengan Amran memang bukan yang pertama bagi Mei. Meski demikian, ia tetap merasa memasuki dunia baru yang tidak ia kenal. Amran tentu beda dengan Andra dan Mei tetap harus beradaptasi dengan ritme kehidupan Amran. Seperti hari ini ketika ia menjemput Amran di Bandara Adisumarmo, dada Mei tetap berdebar menanti pertemuan kembali setelah berpisah seminggu. Apa yang harus dilakukannya untuk menyenangkan hati Amran? Apakah ia harus dandan maksimal? Apakah ia harus memasak makanan favorit Amran? Ia lupa bertanya apa menu favorit pria itu. Mei hanya ingat Amran sangat suka minum teh. Tidak mungkin ia hanya menyuguhkan teh saat Amran pulang. Lintasan-lintasan pikiran itu membuat Mei cemas sekaligus juga penasaran. "Suami dari perjalanan jauh harus disenangkan hatinya. Biar dia lupa sama yang bening-bening di luar sana dan lengket sama kamu." Awalnya Mei menganggap angin lalu nasihat itu. Mei tahu siapa saja kolega Amran di fakultas. Mei juga tahu bagaimana mahasiswa di fakultas
“Prof, kalau lagi rapat jangan unboxing, ya. Nanti saja kalau sudah malam.” Salah satu peserta rapat berseru yang diikuti tawa yang lain. Ya, Tuhan. Amran meneguk teh dan menelannya cepat-cepat. Dihelanya napas karena forum makin tidak terkendali. “Maaf, ya, Prof, kami ganggu waktu ehem-ehemnya.” Lagi, ada yang melempar bola panas. Dasar mahasiswa tidak berakhlak! Amran mengomel dalam hati. Lalu, Dengan muka memerah, Amran menatap Mei. "Kami sedang rapat penting, Meine Schatzi. Would you mind to leave me alone, please?" Bukan Amran tak ingin Mei bertegur sapa, tetapi pembicaraan mereka sedang di titik kulminasi karena menyangkut pembengkakan biaya. Amran tidak ingin Mei ikut memikirkannya. Ia sudah memberi izin cuti sampai batas waktu yang tidak ditentukan dan Amran benar-benar ingin membebaskan Mei dari segala jenis beban proyek. "Nanti aku panggil setelah rapat selesai dan kamu bisa ngobrol dengan mereka. Okay?" Amran menangkupkan telapak tangan di pipi Mei lalu mengecup bibir
Awalnya, Mei dan Amran memang tidak terlambat. Alarm ponsel membangunkan Amran lebih dulu. Setelah membersihkan diri, ia mencium kening dan bibir Mei, memaksanya terjaga dan bersiap. Mereka akan naik kereta pertama jurusan Yogyakarta dari Stasiun Jebres. "Hei, bangun, Meine Schatzi." Amran mengguncang tubuh Mei karena ciumannya tak berhasil membangunkannya. "Lombok sudah menunggu kita, Mei." "Jam berapa, Mas?" Dengan mata masih terpejam, Mei menggeliat. "Hampir subuh." "Hah!" Mendengar kata subuh, Mei terperanjat. Ia membuka mata lalu menyibak selimut, tetapi segera menutupkannya kembali ketika menyadari tubuhnya hanya dibalut gaun tidur sementara lampu kamar menyala terang. "To-tolong hadap sana, Prof." Mei menenggelamkan tubuhnya di balik selimut. Seluruh tubuhnya, kecuali mata, tetutup kain tebal berwarna merah. Amran tersenyum geli lalu berdiri. Diraihnya baju koko dari gantungan dan segera memakainya. Lalu, ditinggalkannya kamar. Waktu subuh belum tiba, tetapi lebih baik ia
Sekian detik tatapan keduanya bertemu. Mei ingin bersorak. Ia tidak menyangka kalau Amran ternyata bisa bersikap romantis. Sementara Amran lega karena akhirnya bisa mempraktikkan saran dari konsultan-konsultan pernikahan yang ia dengar ceramahnya di youtube agar sering memuji istri dan sesekali menggombal. Sebelum menikah, Amran juga mencari daftar kata dan kalimat romantis yang bisa diucapkan pada istri. Ia mencatat semuanya dan berusaha keras menghapal. Hari ini hapalan recehnya ternyata berhasil membuat Mei salting. Amran selalu senang melihat Mei salah tingkah. Kesal di hatinya pun semakin berkurang.Denting piano Yiruna, aroma kopi panas, dan wangi kue menyambut Mei dan Amran. Mereka memilih meja di dekat dinding kaca. Dari tempat mereka duduk, hiruk-pikuk stasiun terlihat seperti putaran film dokumenter salah satu episode perjalanan hidup manusia, datang dan pergi. "Ngomong-ngomong, beneran Prof, kita bakal ke Gili Trawangan? Beneran Prof dapat cuti?" Mei masih sedikit sangsi.
Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi
Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j
"Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala
Pagi ini Mei bangun lebih awal dari biasanya. Pukul 03.00 dini hari sementara beberapa hari lalu ia lebih sering membuka mata 30 menit setelah jam tiga. Entah mengapa, sejak Lila sempat hadir dalam kehidupan Amran, ia selalu lebih cepat terjaga. Seperti ada alarm yang menempel di tubuhnya lalu menggelitik tubuhnya hingga membuka mata. Mei menggeliat. Sebelum matanya benar-benar terbuka, ia telah mendengar dengkuran halus Amran menyelinap di antara detak jarum jam. Mei menoleh, melihat Amran masih terlelap di sampingnya dengan wajah sedikit memerah. Refleks, Mei meletakkan telapak tangan di dahi Amran. Demam. Mei membatin. Perlahan diangkatnya salah satu tangan Amran yang berada di atas pinggangnya kemudian beringsut dan turun dari ranjang. Kecapekan, Mei berpikir jika suaminya pasti kelelahan maraton mengurus Lila dan sepulang dari Jakarta ia pergi ke Bantul. Amran baru kembali tadi malam. Akhirnya tubuhnya berontak dan minta istirahat. Mei bukan tidak mengingatkan Amran agar isti
Amran dan Mei menggeleng. "Kebetulan saya teman lama dia. Memang dia sempat mau meminjam uang, tetapi istri saya keburu tahu. Jadi, Alhamdulillah uang kami selamat." "Syukurlah." Perempuan itu mengganjar napas. "Dia sudah terbiasa hidup mewah. Sejak suaminya ditangkap karena korupsi dan aset-asetnya disita, dia jadi kehilangan pegangan. Akhirnya dia nipu sana-sini.” "Anak-anaknya gimana, Eyang?" Mendadak Mei teringat anak-anak Lila."Dia sudah tidak punya anak." Mei melongo."Anak satu-satunya meninggal karena sakit. Sejak saat itu hidupnya makin tidak karuan."Meski Lila harus mendapat hukuman atas kejahatannya, Mei tetap prihatin dengan nasib Lila. Ia pernah kehilangan bayi dan bisa membayangkan betapa hancur hati Lila. “Sekarang Lila ada di rumah sakit, Eyang. Kemarin dia sempat ingin bunuh diri.” Perempuan sepuh itu terkejut. “Di rumah sakit mana, Nak? Biar nanti Eyang jemput. Papanya sudah nggak ada dan keluarga besar mamanya tidak mau lagi nerima dia. Biar dia tinggal di si
Baiklah, cukup sampai di sini atau tensiku naik. “Berarti beruntung banget saya, ya, Mbak. Dapat laki-laki suamiable seperti Mas Amran.” Mei berkata dengan nada sekalem mungkin. “Nggak tahu juga, sih, seberuntung apa kamu. Kata orang cinta pertama itu susah dilupakan dan mudah banget buat CLBK.” Mei tersenyum, berusaha tetap santai. “Saya pamit dulu, Mbak. Sudah sore,” ujarnya setelah kimbab di tangan Lila berpindah ke lambung. Keinginan Mei untuk mengorek lebih dalam jati diri Lila menguap. Ia terlanjur jengkel pada Lila. Kontrakan Bidadari Tepi Kali menjadi tujuan Mei selepas dari rumah sakit. Ia sudah menghubungi Najma dan perempuan itu sedang ada di rumah. Di bawah temaram cahaya matahari yang merangkak menuju ufuk barat, Mei memacu motor melewati padatnya jalan raya di samping perkampungan Kali Code. Ia sengaja tidak memakai jaket. Dibiarkannya angin sore hari memeluk tubuhnya, memeluk cemburu di hati lalu menerbangkannya bersama debu dan kepulan asap kendaraan. Sesampainya
Mei menoleh, bertemu pandang dengan perawat yang tersenyum meyakinkan. "Jadi, Sus. Kebetulan saya bawa barang-barang Bu Lila juga. Siapa tahu dibutuhkan selama di sini." "Baik, Bu. Kalau begitu, silakan masuk." Perawat itu membuka pintu. Suara deritnya menarik perhatian Lila. Ia berhenti membaca, menurunkan koran lalu menatap lurus-lurus pada Mei yang baru saja masuk.Pintu ditutup. Napas Mei tertahan sesaat. Tatap tajam Lila memacu jantungnya hingga berdegup lebih kencang. Dihirupnya udara beraroma karbol dalam-dalam. Jadi dia, perempuan bernama Lila. Cantik. Mei membatin. Tanpa make up saja ia terlihat menarik, apalagi jika ada sedikit riasan. Lila memiliki hidung bangir dan bentuk bibir sempurna. Ia bermata bening, tidak terlalu sipit dan tidak terlalu lebar. Memandangnya seperti sedang melihat telaga berair jernih dan tenang. Mei yakin, dengan kelebihannya, Lila sanggup menaklukkan hati laki-laki dengan mudah. Nyaris tidak bisa dipercaya, perempuan dengan pahatan wajah sempurna
"Kayaknya Prof makin hari makin genit." Mei tertawa."Jadi apa aku harus datar seperti papan penggilesan?" Keduanya tergelak. Amran berdiri sembari menarik tangan Mei. "Yuk." "Tunggu, Prof." Mei bergeming. Dimintanya Amran untuk duduk kembali. "Anda belum selesai menjelaskan, Prof. Jadi apa yang harus aku lakukan besok saat bertemu Lila?" lanjutnya setelah Amran ada di sampingnya lagi. "Ah, sorry." Kedua sudut bibir Amran terangkat. "Kamu selalu membuatku lupa banyak hal." "Tuh, kan, saya jadi kambing hitam lagi." Mei pura-pura cemberut. "Memang begitu kenyataannya, Meine Schatzi." Amran menepuk kedua pipi Mei. Hampir saja ia mengecup bibir Mei kalau tangan Mei tidak bergerak cepat menahan dadanya. "Lanjutkan dulu penjelasannya, Mas." Mei mencium pipi Amran. "Hmm, oke-oke." Amran tersenyum sembari membetulkan letak kacamatanya. "Kamu ke wisma dan ambil barang-barang Lila. Setelah itu bawa ke Sardjito. Dokter belum bisa memastikan berapa lama dia diisolasi. Jadi biar kopernya a
“Ada keluarganya di Kotagede, tapi saya tidak tahu nomor teleponnya. Besok kalau sudah luang, saya akan ke sana.” “Suami? Anak-anak?” Dokter itu bertanya hati-hati. “Lila bilang kalau sudah bercerai. Sampai saat ini saya belum tahu siapa mantan suaminya. Keluarga besarnya ada di Jakarta dan saya tidak punya nomor mereka. Sudah lama sekali saya tidak terhubung dengan Lila dan keluarganya." "Baik, Prof." Dokter itu tersenyum iba. “Semoga Anda bisa segera terhubung dengan keluarganya.” Sekali lagi Amran mengucapkan terima kasih kemudian berpamitan. Ia masih sempat memandang Lila dan melangitkan doa. Amran berharap keadaan Lila tidak memburuk sehingga bisa keluar secepatnya dari rumah sakit. Bukan tentang biaya yang Amran pikirkan, melainkan karena ia khawatir tidak dapat mengurus Lila dengan baik di tengah timbunan pekerjaan. Langkah-langkah lebar Amran membawa pria itu tiba di tempat parkir lebih cepat. Setelah melewati portal rumah sakit, Amran memacu motor secepat mungkin. Masi