Hai, readers! Terima kasih untuk yang masih setia membaca novel ini. Aku baru saja menyelesaikan tulisan ini dan jngin segera mempublikasikannya. Aku menulisnya dengan perasaan cinta Irham kepada Raina. Semoga bisa menghibur kalian. Semoga bab selanjutnya bisa segera muncul di otakku. :)
Irham bersikukuh ingin menginap di rumah Raina, mengikuti rencana Anes. Dia beralasan khawatir bila dua wanita itu tidak dijaga. Anes memutar mata dan tertawa. "Abang Irham besok ngajar, kerja, sebaiknya di rumah aja, deh. Lagipula Raina tidak mengizinkan." Irham menghela napas. Dia melirik Raina yang sedang bersandar di sofa, di sebelahnya. Iya, memang Irham tadi iseng untuk duduk di sebelah Raina. Wanita itu tidak menolak dan hanya diam saja. Apa mungkin sakit telah membuat Raina sedikit lebih bisa diatur? "Raina, saya boleh menunggu di ruang tamu ini, 'kan?" tanya Irham sambil sedikit memiringkan badan. Dia menatap wajah Raina yang tidak berekspresi. "Nggak! Bikin nggak nyaman aja!" kata Anes kesal. Dia menggeser tubuh Irham. Gadis itu sengaja duduk di antara Irham dan Raina. "Kamu lihat sekarang sudah malam dan pintu rumah saya pasti sudah dikunci," Irham masih mengarahkan pandangan kepada Raina. Raina tersenyum. Matanya fokus pada layar TV yang menyala. Maira memang belum m
Irham merebahkan kepala di sofa ruang tamu rumah Raina. Dia memutar ulang memori saat-saat melihat gadis itu menangis di balkon rumah Anes. Cantik. Raina selalu cantik, tetapi rapuh seperti kapas yang siap terbang ke mana angin meniupnya. Irham tidak berpikir Raina cukup kuat untuk tinggal sendirian di rumah yang lumayan besar ini. Dia menghela napas. Seandainya perasaannya saat itu sudah sekuat sekarang, tentu dia akan membahagiakan Raina sejak dulu. Irham hanya berpikir mungkin sikap empatinya hanya karena gadis itu merupakan sahabat Anesya. Masih jelas pada ingatannya saat menghadiri wisuda Maira dan beberapa teman yang mendapat giliran kedua, sedangkan Irham sudah lebih dahulu mendapat jadwal wisuda. Raina menangis di sudut luar gedung. Wajah cantiknya tertutup pilar besar. Dia belum berhijab seperti sekarang. Rambut panjang coklat kehitaman dengan poni yang sangat menggemaskan. "Kamu adiknya Maira, bukan?" tanya Irham ramah. Dia berpura-pura tidak mengenal Raina. Raina hanya
Perasaan kehilangan adalah perasaan paling asing yang tidak ingin Raina ulang dalam hidup. Pria yang selama ini mewarnai kehidupannya ternyata akan pergi. Dia bisa berbuat apa? Apa Raina sungguh harus ikut dan terdampar di negeri orang? Bagaimana kalau dia ditinggalkan di sana? Bukankah tampak lebih menyedihkan? Pukul 05.00 dini hari, Raina bangun dan langsung turun ke lantai 1. Dia ingin memastikan apakah Irham tidur di sana tadi malam. Gadis itu bahkan sedikit berlari menuruni anak tangga. Hening. Kosong. Tak ada Irham di atas sofa. Raina menghela napas dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Tekanan darahnya masih rendah dan dia benar-benar merasa seperti dilanda gempa sekarang. Kepala terasa sakit. Raina terduduk di sana. Ada kemeja Irham yang tersampir di atas lengan sofa. Apakah Irham langsung pergi tadi malam sehingga lupa membawa ini? Bagaimana kalau pria itu kedinginan karena pulang hanya memakai kaos saja? Tangan Raina meraih kemeja navy Irham dan membawa benda itu ke dalam
Kutukan apa yang paling cocok Raina terima karena sudah menelantarkan cinta seorang Irham Nusahakam? Apa tidak ada yang lebih ringan dari melihat tatapan datar itu? Sungguh, hatinya ikut terluka. "Pagi, Raina ter ..." Ucapan Adli terputus saat Raina hanya menatapnya sinis. "Gue salah apa, sih? Kok gitu cara natapnya?" Adli tentu saja tak terima. Dia berusaha duduk di sebelah Raina seperti biasa. Saat Adli meletakkan tasnya di atas meja, Raina malah mendorong benda tersebut agar menjauh. "Jangan ada yang duduk di sebelah gue," ucapnya lirih. Adli menelan ludah. Pria itu memutuskan duduk di depan Raina, bersebelahan dengan Anes. Dia bahkan meletakkan tasnya kasar di atas meja. "Raina, follower gue pengen kita live bareng," kata Adli setelah memiringkan badan. Matanya bisa menangkap raut wajah Raina yang penuh kekhawatiran. "Oke," jawab Raina. "Kok oke doang?" Adli mengerutkan kening. "Maunya gimana?" tanya Raina judes. Adli akhirnya bosan mengajak Raina bicara. Gadis itu hanya m
Format Pengajuan Judul Skripsi. Nama: Raina Atqiyya Judul: Pengaruh 30 Hari Mengenal Irham Nusahakam terhadap Perasaan Raina Atqiyya --- "Kenapa kamu mempermainkan formulir pengajuan judul ini?" Irham tidak terlihat sedang bercanda. Saat bercanda pun aura dosen itu selalu terasa serius, bagaimana dengan saat serius? Meskipun gurat ketampanan pria berkacamata itu jelas terpampang, Raina tetap ingin kabur. "Judulnya apa, Pak?" tanya Gibral. Sedetik kemudian, pria itu menutup mulut dengan kedua tangan. Dia mendapat pelototan tajam dari Anes. "Panggil saya ke kantor bapak saja, Pak, untuk dimarahi!" ucap Raina yakin. Matanya fokus terarah ke mata Irham. Raina bisa melihat jelas bagaimana Irham menolak tatapannya. Pria itu tampaknya berusaha melihat ke arah mana saja, asalkan tidak mata Raina. Irham meletakkan kertas formulir tersebut di atas meja dengan kasar. "Kamu pikir waktu saya seluang itu?" tanyanya. "Jangan main-main lagi kalau mau cepat lulus!" Irham membalikkan badan dan
"Bukannya kamu menyuruh saya pergi? Sekarang saya sudah pergi, sebaiknya kamu pergi juga." Ucapan Irham Nusahakam terus terngiang di telinga Raina. Dia terus memikirkan pria itu bahkan di saat Anes sedang menginap di kamarnya. "Kenapa lagi, sih? Masih mikirin Bang Irham?" tanya Anes sambil merebahkan diri. Dia menatap Raina di sebelahnya. Raina mengangguk pasrah. "Ngilu banget hati gue, Nes." "Bang Irham pasti sebenernya tetep sayang sama lo, cuma dia jaim aja!" Anes berusaha menenangkan perasaan Raina. "Gimana kalo lo mau aja menunggu?" tanya Anes. Raina menggeleng lemah. "Gue mau ngomong aja dipatahin terus sama dia." Raina bersyukur Anes mau menemaninya malam ini. Wangi krim malam Anes tercium sampai ke hidung Raina. Entah kenapa, terasa cukup menenangkan. "Gue bantu mediasi, ya?" tanya Anes lagi. Dia lekas duduk dan menegakkan badan. "Lo mau ngapain?" tanya Raina. "Gue mau telpon Bang Irham," kata Anes. Raina menggigit bibir pelan. Apa Irham akan menolak dan marah lagi?
"Oke, kalo gitu! Saya pergi! Saya pastikan saya pergi dan Pak Irham tidak akan pernah melihat saya lagi!" Irham bisa melihat entakan kaki Raina penuh pelampiasan kekesalan. Dia terpejam beberapa detik dan berusaha menjernihkan otak. Apa dia sudah keterlaluan? Irham lekas mengejar Raina. Dia mengakui kebodohannya malam ini. Namun, kepergian Irham ke California memang tidak bisa ditunda lagi. Langkah pria itu terhalang oleh Adli. "Bapak apain, Raina?" Adli mendorong bahu Irham dengan sengaja. Irham hanya menarik napas dan berusaha melewati Adli. Namun, mahasiswa itu malah mendorong kasar dan menatapnya tajam. Gibral--yang sejak awal sudah melihat Adli berlari mengejar Raina ke pintu gerbang--pun lekas menghampiri kedua pria itu. Dia seharusnya melerai meskipun tidak tahu apa inti masalah yang terjadi. Yang jelas, Adli terus menghalangi langkah Irham. Itu terlalu mengkhawatirkan bagi Gibral "Ad? Apa-apaan, sih, lo?" tanya Gibral. Sebelah lengannya memeluk bahu Adli dan mendorong pr
Aku ingin membuang semua kenangan tentang kita. Namun, ke mana? Itu yang masih kutanyakan. Haruskah semua terbawa arus sungai dan bermuara di lautan luas. Ataukah mungkin kubuang ke tempat pembuangan sampah agar dibakar? Tidak, tidak! Bagaimana kalau pemulung memungut kenangan kita ... dan mendaur-ulangnya? *** "Gue nggak mau anter lo, Raina!" seru Adli setelah mematikan live media sosialnya. Dia tidak mau beranjak dari kursi." Nggak, nggak! Lo harus anter gue. Gue harus ketemu Pak Irham!" Raina menarik tangan kanan Adli. Pria itu terus berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan Raina. Mereka berjalan menuju tempat parkir di kafe tersebut. "Gue nggak akan anterin lo apa pun yang terjadi. Udah cukup tadi kekacauan saat live." Raina berhenti melangkah. "Kacau apanya?" "Lo sebut nama Pak Irham di depan banyak orang, sedangkan bagi mereka kita ini pasangan," jelas Adli. Dia terus melangkah menuju motornya. Moodnya berantakan. "Ini bisa dibahas nanti aja, nggak, sih, Ad?
Menikah itu ibadah. Namun, jangan sampai Irham mendengar hal yang diyakini Raina ini. Dia bisa semakin ngebet untuk melaksanakan ibadah yang kelak akan menjadi kesukaannya.Raina bukan bergidik, tetapi pipinya malah bersemu merah.Malam semakin larut. Bahu dan punggung Raina rasanya rontok seperti baru selesai outbond atau bahkan mendaki gunung. Dia ingin segera membersihkan wajah dan tidur.Irham masuk kamar dengan wajah kelelahan, tetapi tetap terpancar kebahagiaan. Dia baru saja membantu Maira dan Collin membawakan hadiah-hadiah teman Raina ke mobil untuk disimpan di rumah Raina langsung.Kelopak mawar di atas kasur sudah berantakan di bawah. Irham menarik napas. Raina pasti sudah mengibasnya dengan membabi buta. Wanita itu sudah bilang tidak mau ada bed ala-ala pengantin baru.Irham membuka jas dan kemejanya dan duduk di pinggir kasur. Dia tahu Raina sedang mandi dan membersihkan wajah. Adegan membukakan baju pengantin yang Irham bayangkan ambyar sudah. Buktinya, Raina sudah buru-
"Saya terima nikah dan kawinnya Raina Atqiyya binti ..."Itu adalah kalimat paling romantis yang didengar seorang penulis. Dari ribuan kalimat dalam novel romansanya, dia tidak pernah menulis satu kalimat pun seindah itu.Raina tidak membayangkan akan menikah dengan Irham, si paling ngajak ribut setiap hari.Anes sibuk bersorak-sorai sejak orang-orang berkata sah, apalagi saat Irham memakaikan cincin di jari manis tangan kiri Raina. Dia tidak peduli dengan keanggunan gaun bridesmaid berwarna silver yang sedang dipakainya. Ada yang berbeda dari Anes. Wanita itu memakai hijab. Tentu saja setelah perdebatan panjang dengan Raina.Anes semakin gregetan dengan sikap malu-malu ala perawan Raina saat dokumentasi foto-foto buku nikah. Dia asyik tertawa dan menjepret dari berbagai sudut tanpa peduli sosok yang sejak tadi terpesona dengan penampilan barunya.Ya, itu adalah Vino, yang ikut tersenyum saat Anes tertawa.Irham terlihat sangat bahagia seolah matanya mengeluarkan binar cinta saat mena
Percuma pesona Irham Nusahakam kalau tidak bisa membuat Raina menginginkannya.~ Irham yang sedang memikirkan cara untuk melakukan hal halal setelah akad==="Sekarang kita pikir dulu, Sayang." Irham mengulurkan tangan, menarik Raina untuk duduk di sebelahnya.Mereka sedang berada dalam kantor Irham.Raina ingat setahun lalu Irham pernah tidak membukakan pintu untuknya. Kalau diingat-ingat, Raina jadi sebal pangkat seribu terhadap pria di sebelahnya. Sok bersikap dingin padahal akhirnya tetap mengejar Raina. Siapa lagi kalau bukan Irham Nusahakam?"Pikir apa?" tanya Raina. Dia membuka box rujak jambu kristal yang tadi dibelinya di jalan menuju kantor Irham. Meskipun sudah sore, tetapi tidak mengurangi keinginan Raina untuk memakan buah tersebut."Tentang kita. Tentang akad." Irham menatap Raina penuh perhatian. Namun, as always, yang ditatap sibuk mengalihkan pandangan.Wanita itu mencicipi jambu kristalnya dengan khusyuk. Matanya seolah mengeluarkan cahaya bintang karena terlalu exci
Berada di antara kalian membuatku sakit. Namun, aku juga bahagia karena melihat Raina bahagia.~ Adli Winata galau tak berkesudahan.===Jadi, siapa sebenarnya yang orang ketiga? Adli atau Irham? Irham lebih dulu menyukai Raina bahkan sejak gadis itu masih bau keringat. Namun, Adli lebih dulu menapaki masa-masa kuliah bersama Raina. Dia lebih dulu memperkenalkan diri. Yang pasti, mereka memiliki ruang berbeda dalam hati Raina.Adli curiga pemilik akun fanbase itu adalah orang di sekitar lokasi syuting, tetapi siapa? Pria itu mengambil handphone dari saku. Setidaknya rumor bisa ditutup dengan postingan ini. Dia menarik lengan Raina untuk mendekat. Begitu juga dengan Irham. Jadi, posisi Adli sekarang berada di antara pasangan itu.Irham mengerutkan kening. "Kamu mau ngapain?" tanyanya waspada.Adli hanya berdecak sebal dengan mata melirik Irham penuh kekesalan.Sementara, Raina hanya tersenyum melihat interaksi di antara dua pria tersebut."Foto dulu buat kenangan." Adli mengangkat tang
Apa ada yang lebih bahagia daripada menikah dengan orang yang kamu cintai dan mencintaimu? - Irham Nusahakam Apa ada yang lebih ikhlas daripada melihat orang yang kamu cintai menikah dengan pilihannya? - Adli Winata Apa ada yang lebih galau daripada mencintai orang yang telanjur mencintai orang lain? - Aldian =========== Setelah chating ingin bicara pada waktu itu, Raina tiba-tiba sibuk bolak-balik kantor webtun untuk beberapa kali rapat dan ACC komiknya yang akan diadaptasi menjadi sebuah drama web series. Dia pun seketika lupa kalau memiliki seorang tunangan yang kesabarannya setinggi gunung Everest. Ya, ketinggian 8800 meter di atas permukaan laut. Meskipun kesabarannya setinggi gunung, akan tetapi terkadang berubah menjadi setipis tisu. Seperti hari ini, Raina terkejut melihat Irham sudah duduk di lobi kantor. Dia baru saja bertemu Kriss untuk rapat dan baru mendapat bocoran bahwa Irham memiliki saham di perusahaan tersebut sejak beberapa tahun lalu. Apa itu juga dilakukann
"Pak Irham sengaja ya nempelin aku terus supaya enggak mau ditinggal?"Raina and her bucin fiancee.--------Ini sudah beberapa jam sejak Raina hanya membalas pertanyaan Irham dengan senyum. Sungguh, dia malu kalau harus berkata tidak sanggup berjauhan dari Irham. Lagipula, tingkat kebucinan Raina belum setinggi itu. Kalau diukur pakai penggaris, kebucinan Raina mungkin hanya 5 cm, jauh berbeda dibanding kebucinan Irham yang menjulang tinggi.Sekarang, mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Awalnya, mama meminta Raina untuk tinggal di Bogor saja. Namun, Raina tidak betah tinggal di rumah mamanya sendiri. Dia lebih nyaman tinggal di rumahnya, meskipun kesepian.Sejak kehadiran Irham, kesepian hanya sebuah keadaan, buktinya hati Raina terus saja dipenuhi keramaian tentang pria itu.Irham melirik Raina yang pagi ini memakai sebuah dress berbahan crinkle airflow premium dengan jilbab lebih cerah dan bermotif. Dia secara natural menarik senyuman. Bagaimana ini? Irham sama
Kalau hati sudah yakin, apa yang bisa menghentikannya? Hanya keyakinan yang diperlukan dua insan untuk hidup bersama.- author lagi bageur --------------"Mohon maaf kepada Maira, saya tentu saja bukan ingin menghancurkan acaranya. Saya hanya ingin menambah kebahagiaan di antara kita semua. Kebetulan papa mama saya juga hadir dalam acara ini." Irham menatap papa mamanya yang sudah penasaran level tinggi.Mungkin, Pak Ibrahim siap melempar sepatu mahalnya ke hadapan Irham kalau anak itu membuat malu keluarga. Namun, selama ini Irham adalah anak tunggal yang merupakan kebanggan papa mamanya.Sementara itu, Maira sudah duduk di kursi sambil memijat dahi. Dia tidak suka rundown acaranya dirusak oleh Irham. Collin mengusap punggungnya sejak tadi."Mama, Papa, yang terhormat orangtua Raina Atqiyya, mantan mahasiswi saya." Irham membungkuk hormat sambil menghadap ke arah mama Raina dan papa tirinya, lalu melakukan hal yang sama kepada papa Raina dan ibu tirinya. "Perkenalkan saya adalah Ir
Kalau bukan kamu, apa aku bisa bertahan selama ini?Icikiwir :D====Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Namun, ini bukan hari yang ditunggu Raina, tetapi Maira.Maira's day is today. Dia mengulangi sejarahnya dengan Collin bersama hati yang baru, pola pikir yang baru, dan cinta yang baru.Sejak subuh, wanita itu sudah ribet. Iya, dia ngerepotin Raina dengan banyak menyuruh-nyuruh ini dan itu. Kalau bukan karena ini hari bahagia Maira, tentu saja Raina sudah memulai peperangan sejak pagi."Na, jas buat saya nge-MC di mana?" Itu suara Aldian yang menginterupsi kesantaian Raina di sofa. Iya, Raina sedang meluruskan punggung.Akhirnya yang jadi MC pada acara Maira memang Aldian, bukan Adli Winata. Adli Winata tiba-tiba menghilang seperti yang dikatakannya."Na?" Aldian menyadarkan Raina yang sedang melamun memikirkan Adli.Tiga hari sudah tidak ada kabar.Huh, dasar Adli Winata! Si paling pengen dicariin."Na?" Aldian meninggikan suara."Ih, Aa, kenapa nanyanya sama aku, sih? Aku kan
Puluhan kali aku melihat senyumanmuPuluhan kali juga aku terpesona padamu~ Gombalan siapa lagi ini? :'(===="Sayang, kamu ngapain ke sini?"Sungguh, Irham sangat terkejut mendengar panggilan sayang dari Raina. Dia benar-benar dibuat salah tingkah karena satu panggilan itu. Irham bahkan belum menjawab pertanyaan itu. Pria itu menenangkan diri sesaat sebelum akhirnya berbicara."Mama, Papa, maaf, ya. Saya agak salting sedikit karena Raina dari tadi pamer senyum terus ke saya. Jantung saya tidak aman." Irham hanya mampu menatap mama dan papa Raina bergantian.Dia tidak sanggup melihat Raina yang sedang tersenyum menatapnya. Jantungnya makin terasa tidak karuan."Kita ke sini mau minta restu Mama untuk segera menikah. Kalau lamarannya sebenarnya sudah sering saya lakukan secara pribadi kepada Raina, tetapi Raina kemarin-kemarin belum siap mempunyai suami seperti saya." Irham tertawa setelah mengatakannya."Raina suka ngada-ngada emang." Mama bergumam.Aldian dan Adli menghela napas ber